Senin, 31 Desember 2007

WAJAH BURAM ANAK INDONESIA: Catatan Akhir Tahun 2007

Kepedulian terhadap kondisi anak selalu bersifat membelah dan memilah. Di satu sisi, term “kepentingan terbaik anak” itu seolah-olah hanya diperuntukkan bagi sebagian anak. Dan di sisi lainnya, masih banyak anak yang terabaikan, bahkan dilupakan hak-haknya. Kelompok anak pertama, yang nasibnya lebih beruntung itu, menikmati sejumlah akses terhadap pangan, pendidikan, kesehatan, partisipasi secara memadai. Sementara kelompok kedua mempunyai akses yang sangat terbatas, malah tidak punya pilihan. Dan tidak heran kalau jumlah kelompok kedua itu jauh lebih besar ketimbang kelompok pertama.

Pendidikan dan Kesehatan
Istilah “sekolah unggul”, “sekolah bertaraf internasional”, “sekolah plus” justru memarginalkan sebagian anak. Berbarengan dengan istilah itu, ada gejala pengkastaan di wilayah pendidikan. Bahwa hanya anak-anak yang mampu secara jasmani, punya rangking akademik yang bagus, berduit, dan tinggal di wilayah perkotaan yang bisa menikmati pendidikan seperti itu. Lain dari itu, anak-anak disfabel dan dari golongan kelas menengah ke bawah, tersembunyi di pelosok pedesaan dan di gubuk-gubuk tidak mampu memiliki kesempatan yang sama. Kecuali mengharapkan beasiswa dan kebijakan sekolah gratis.

Berita-berita miris seperti gedung sekolah terendam banjir, ambruk dihantam angin puting beliung, rusak berat karena dimakan usia, berikut nasib guru yang tidak jelas, inkonsistensi kurikulum dan UAN turut menyumbangkan keprihatinan tersebut. Berdasarkan pemantauan YPHA, setidak-tidaknya tiga sampai lima sekolah dalam sebulan yang sengaja diliburkan karena hambatan yang sifatnya infrastruktur tersebut. Belum lagi perbedaan kualitas guru yang mempengaruhi cara menyampaikan materi. Persoalan ketidakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar telah ada di tingkat dasar. Klaim pemerintah sudah tercapai 92,52 persen wajib belajar atau wajar sembilan tahun persen pada anak usia 13-15 di tahun 2007 justru mengeliminasi tingkat drop out anak-anak dengan berbagai alasan seperti biaya sekolah yang makin tinggi, tidak lulus UAN, anak dipaksa meninggalkan bangku sekolah karena dipaksa kawin atau bekerja. Angka fantastis ini justru dicatat berdasarkan jumlah pendaftaran masuk sekolah tanpa dikurangi jumlah drop out.

Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia 2007/2008 menunjukkan adanya kemajuan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Umur harapan hidup meningkat, angka kematian bayi dan angka kematian ibu menurun. Senada dengan itu, UNICEF menilai adanya penurunan jumlah kematian anak di bawah 5 tahun di seluruh dunia. Setiap tahun angka kematian anak di bawah 5 tahun berkurang, dari 10 juta pada tahun 2006 menjadi 9,7 juta pada 2007. Penyebarluasan gerakan pemberian air susu ibu (ASI) serta gerakan melawan campak dan malaria telah berhasil memicu perkembangan kesehatan anak-anak di seluruh dunia.

Akan tetapi parameter ini menjadi gamang kalau saja disandingkan dengan kejadian luar biasa yang menimpa anak Indonesia sepanjang tahun 2007 ini. Wabah malaria, diare, serangan virus Flu Burung, ISPA, TBC, kasus gizi buruk dan busung lapar, berikut makin besarnya jumlah anak-anak yang terjangkit virus mematikan HIV AIDS adalah catatan dengan jumlah korban terbesar di pihak anak sepanjang tahun 2007 ini. Sebagai gambaran, dari 477.829 balita di NTT, jumlah yang menderita gizi kurang adalah 85.604 anak balita, 12.925 menderita gizi buruk, 425 balita menderita marasmus dan meninggal adalah 35 orang yang tersebar pada 16 kabupaten/ kota. Jumlah ini tidak terlalu jauh berbeda dari propinsi-propinsi lain di Indonesia.

Persoalan yang mendasari masalah kesehatan adalah kemiskinan. Menyempitkan arti, ketiadaan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Kondisi ini diperberat lagi dengan jumlah anak yang banyak. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran yang lain terlalu dekat. Biaya pengobatan dan rumah sakit melambung. Harga susu melonjat tinggi. Pola makan keluarga pun turut disesuaikan. Jatah pertama diberikan pada ayah sebagai kepala keluarga, anak-anak, baru kemudian ibu. Hal seperti ini sangat tidak menguntungkan untuk ibu yang sedang mengandung. Pasokan gizi untuk ibu hamil sangat terbatas. Gizi anak dalam kandungan pun tidak terjamin.
Masalah berikut adalah keluarga miskin dengan pendidikan rendah sangat minim pengetahuan akan makanan bergizi dan kesehatan. Prinsipnya, yang penting bisa kenyang. Tidak peduli bergizi atau tidak. Selagi anak-anak tidak panas dingin, muntah, menceret, anak itu dipandang sehat dan bergizi. Perut buncit sebagai ciri-ciri gizi buruk belum menjadi pertanda yang mengejutkan. Baru sesudah kaki mulai mengecil, berat badan menurun drastis, dan lesu lemas, orang tua kemudian membawa anak tersebut ke puskesmas. Dari situ, keluarga yang minim pengetahuan itu baru menyadari anaknya menderita gizi buruk.

Kekerasan dan Eksploitasi
Pada saat yang sama, kekerasan dan eksploitasi terhadap anak terjadi bervariasi menurut sifat dan keseriusannya. WHO memperkirakan sekitar 20 sampai 65 persen anak-anak usia sekolah mengalami bullying baik secara verbal maupun secara fisik selama 30 hari. 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki yang berusia di bawah 18 tahun mengalami hubungan seks paksa yang melibatkan kontak fisik. 218 juta anak terlibat dalam perburuhan anak, dan 126 juta di antaranya bekerja di lingkungan yang membahayakan.

Konteks Indonesia tidak jauh berbeda dari catatan WHO tersebut. Corporal punishment seperti kasus perpeloncoan IPDN, kasus SMA 34 Pondok Labu, penusukan sampai mati Riyan Herdiyana, sindikat penjualan gadis di bawah umur di Surabaya, Tarakan, Kalimantan Timur, Sabah, Batam dan masih banyak kasus lain adalah fakta nyata kekerasan dan eksploitasi tersebut.

Institusi negara sendiri melakukan kekerasan terhadap anak. Pelapor Khusus PBB Manfred Nowak sangat prihatin terkait tanggung jawab kriminal di Indonesia yang dimulai sejak umur delapan tahun. Karena itulah, anak-anak kecil dapat dimasukkan ke penjara, yang sering kali digabung dengan remaja dan orang dewasa. Padahal, anak-anak berisiko tinggi terhadap hukuman fisik dan perlakuan yang menyakitkan di tempat penahanan, seperti pemukulan, penyiksaan, disodomi.

Menurut hasil Konsultasi Kekerasan terhadap Anak yang dilakukan pada 18 propinsi di Indonesia, mencakup 580 anak perempuan dan laki-laki, disimpulkan bahwa kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak. Sejak usia dini anak-anak sudah dikenalkan pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari yang verbal, fisikal, hingga seksual. Dan 80 persen kekerasan terhadap anak itu dilakukan oleh orang-orang dekat di lingkungan anak.

Bahaya paling rentan terjadinya eksploitasi anak muncul pada daerah-daerah konflik dan bencana. Tahun 2007 adalah tahun bencana dan konflik untuk Indonesia. Pada situasi itu, perhargaan dan pemenuhan hak serta kepentingan terbaik anak berada pada titik terendah. Selain korban nyawa, putusnya akses atas pangan, sandang, papan, pendidikan, dan sosial budaya, anak-anak pun terpaksa diantar ke jalan-jalan menjadi pengemis, pengamen, pekerja paksa, pekerja seks, dan jenis eksploitasi lainnya. Turut di dalamnya, perekrutan anak-anak di bawah kendali sindikat narkoba, baik sebagai penyalur maupun pemakai generasi pertama.

Pengabaian
Terhadap nasib dan kondisi anak yang memprihatinkan ini, umumnya negara dan pemerintah lebih memilih mengabaikannya. Isu anak bukan merupakan hal yang paling mendesak. Kalah dibandingkan isu ekonomi makro dan panggung politik. Yang pasti bahwa kasus-kasus kematian dan bencana yang terkait persoalan kemiskinan hanya membuat banyak orang terenyak sejenak, namun segera dilupakan tanpa sempat menciptakan perbaikan. Amnesia kolektif atas kasus-kasus kematian akibat kemiskinan, menjadikan kematian anak-anak miskin tak pernah dipandang sebagai tragedi. Baru dikatakan tragedi kalau terkait pelanggaran berat hak asasi, yang melibatkan penderitaan korban atau kematian massal dalam satuan waktu tertentu. Selebihnya tragedi terbatas pada pelanggaran oleh negara terhadap hak sipil politik dan mengabaikan pelanggaran berat hak asasi akibat ketidakadilan di wilayah ekonomi.

Sistem demokrasi yang memainstreaming kultur mayoritas justru melupakan kepentingan terbaik dari kelompok yang minoritas dan yang paling lemah ini. Kepentingan terbaik anak dipandang sudah terpenuhi dengan kebijakan kesejahteraan keluarga Indonesia. Atau dengan paradigma menaikkan pendapatan per kapita keluarga. Karena itu, sering kali APBD atau juga APBN untuk alokasi pendidikan dan kesehatan anak lebih kecil malah diabaikan dari porsi yang sebenarnya. Perlakuan anak baik secara sosial dan yuridis pun disamakan saja atau malah disisihkan oleh kepentingan orang dewasa. Padahal, kebutuhan anak itu jelas berbeda. Tidak bisa sekedar disamakan dan diselesaikan secara makro.

Harus disadari bahwa upaya yang dilakukan dalam mencermati kepentingan terbaik anak semata-mata bertujuan untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia. Bukan terutama supaya anak-anak diperlakukan secara khusus, namun lebih pada usaha menyetarakan status dan kedudukan anak secara lebih manusiawi sesuai dengan martabat manusia. Sebagai salah satu warga dunia, anak-anak mestinya diakui sebagai manusia kelas satu, bukan kelas dua.(*)

Selasa, 18 Desember 2007

49 TAHUN BERSAMA GIZI BURUK

Tanggal 20 Desember nanti, NTT menginjak usia 49 tahun. Selangkah lagi akan berumur emas. Seharusnya, pada tingkat usia seperti ini, ada hal yang patut dibanggakan. Misalnya, soal kemajuan pembangunan atau tingkat kesejahteraan tertentu. Yang terjadi justru sebaliknya. Wajah NTT di usia ke-49 tahun ini tidak jauh dari stigma kemiskinan dan gizi buruk. Mengapa bisa begini jadinya?

Kompleksnya masalah gizi buruk
Persoalan pertama yang mendasari masalah gizi buruk di NTT adalah kemiskinan. Menyempitkan arti, ketiadaan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa alasan mendasar. Kategori alasan pertama, sebagian besar anak-anak gizi buruk berasal dari keluarga miskin yang tidak punya lahan atau lahannya sempit atau pekerjaannya tidak menentu. Pangan merupakan sesuatu yang sulit. Dalam kondisi ini, anak-anak tidak mendapatkan makanan bergizi. Mereka lebih sering makan nasi, bubur, jagung tanpa sayur. Tanpa lauk. Atau ubi, ya ubi terus. Makannya pun tidak tiga kali sehari. Dua kali sehari, siang dan malam. Atau sekali sehari. Memang untuk tingkat keluarga seperti ini, rata-rata mereka memiliki ternak. Tetapi percuma. Ternak-ternak itu bukan diperuntukkan sebagai penyeimbang gizi, melainkan dijual atau ditukarkan untuk membeli pangan pokok, seperti beras, minyak tanah, minyak kelapa. Untuk keperluan mendesak dan kepentingan adat. Dengan pola makan seperti ini, bisa dibayangkan anak-anak kehilangan gizi yang seharusnya dibutuhkan.
Kondisi ini diperberat lagi dengan jumlah anak yang banyak. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran yang lain terlalu dekat. Pola makan keluarga pun turut disesuaikan. Jatah pertama diberikan pada anak-anak dan bapa, kemudian baru mama. Atau bapa yang pertama, anak-anak, kemudian baru mama. Mama bahkan tidak kebagian, atau mendapat sisa dari jatah makanan bapa dan anak-anak. Hal seperti ini sangat tidak menguntungkan untuk ibu yang sedang mengandung. Pasokan gizi untuk ibu hamil sangat terbatas. Gizi anak dalam kandungan pun tidak terjamin.
Kategori alasan berikut, keluarga miskin dengan pendidikan rendah sangat minim pengetahuan akan makanan bergizi. Prinsipnya, yang penting bisa kenyang. Tidak peduli bergizi atau tidak. Selagi anak-anak tidak panas dingin, muntah, menceret, anak itu dipandang sehat dan bergizi. Perut buncit sebagai ciri-ciri gizi buruk belum menjadi pertanda yang mengejutkan. Baru sesudah kaki mulai mengecil, berat badan menurun drastis, dan lesu lemas, orang tua kemudian membawa anak tersebut ke puskesmas. Dari situ, keluarga yang minim pengetahuan itu baru menyadari anaknya menderita gizi buruk.
Ketika ditanya soal pengetahuan tentang makanan yang bergizi, orang tua selalu berasumsi soal nasi, daging, sayur yang dijual di pasar atau toko/kios. Dan mereka menyerah soal itu. Bagi mereka, hal tersebut merupakan sebuah pemborosan. Uang lebih baik digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih penting, seperti biaya sekolah, kebutuhan pokok pangan, kepentingan adat, dan bukan untuk sayur atau lauk. Untuk sebagian keluarga, harus diakui mereka sama sekali tidak mampu menyediakan menu makanan sehat itu karena miskin finansial.
Sosialisasi yang tidak tepat sasar turut juga mempengaruhi kondisi ini. Ada yang tidak mengerti, kenapa terus-terus ke posyandu tetapi tetap saja gizi buruk. Kalau dicermati secara kritis, pada saat ke posyandu, anak-anak justru tidak didampingi oleh orang tua mereka, ayah atau ibu. Banyak diwakili oleh nenek, kakak, saudari perempuan. Karena itu, informasi yang berkaitan dengan kesehatan bayi/anak tidak sampai ke ranah pengetahuan dan kesadaran orang tua. Putus sampai di telinga nenek, kakak, atau saudari perempuan.
Sementara sebagian tidak mengerti penyuluhan yang disampaikan petugas kesehatan. Pertama karena materi yang disampaikan kurang relevan dengan kondisi riil yang dihadapi keluarga-keluarga miskin. Dan kedua karena memang tidak mampu menangkap. Posyandu kemudian berubah menjadi kegiatan daftar-timbang-catat, selebihnya tidak ada manfaatnya.

Pemerintah dan program bantuan
Pertengahan tahun 2005, kasus gizi buruk dan busung lapar di NTT ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten mengucurkan dana senilai Rp. 64.027.047.000 untuk penanganan KLB gizi tersebut. Tujuannya untuk pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P), revitalisasi posyandu, dan kegiatan penunjang lainnya. Namun upaya ini tidak bisa memulihkan kondisi keterpurukan tersebut secara signifikan. Kalau tidak bisa disebut gagal, berarti rendah. Karena hanya mampu menyumbang 24% dari kondisi semula.
Gagalnya penanganan KLB gizi ini disebabkan oleh beberapa alasan mendasar dan substansial. Penanganan yang birokratis pada situasi emergensi tersebut justru memperlambat bantuan. Atau bahkan tidak sampai ke keluarga miskin dan gizi buruk. PMT sendiri tidak hanya dimakan anak gizi buruk yang menjadi sasaran, tetapi juga oleh anak-anak lain, atau seluruh keluarga. Sementara penanganan gizi buruk dan busung lapar itu hanya terfokus pada pemberian PMT tanpa mempedulikan penyakit lain yang diderita anak. Karena itu, PMT menjadi percuma karena sakit yang diderita anak tidak tersentuh.
Kelemahan logika bantuan di NTT adalah menciptakan ketergantungan. Tidak ada jaminan bahwa setelah program PMT selesai, keluarga gizi buruk dan busung lapar jadi melek gizi. Justru hidup mereka bergantung pada bantuan tersebut. Karena dengan begitu, kebutuhan akan pangan tetap terjamin. Lebih parah lagi, ketergantungan tersebut justru berakibat pada terasingnya menu makan lokal. Keluarga lebih memilih mie instant, susu dan makanan kaleng, biskuit, ketimbang alpukat, susu kedele, pucuk labu, daun singkong, umbi-umbian, atau ikan segar. Makanan bergizi identik dengan biskuit dan makanan kaleng.

Langkah berbenah
Persoalan gizi buruk dan busung lapar tidak bisa dikatakan berdiri sendiri. Cakupannya justru sangat luas. Baik menyangkut kondisi perekonomian, SDM, mental masyarakat, paradigma membangun, maupun soal tradisi dan budaya. Semua itu membentuk rantai masalah yang kompleks dan akut. Penanganannya pun tidak semudah seperti yang dibayangkan.
Saya sendiri lebih setuju kalau penyelesaian masalah ini dilakukan dengan pendekatan penguatan komunitas lokal. Cakupan yang terlalu luas justru melebarkan masalah dan tidak fokus. Tanggung jawabnya pun menjadi anonim. Mengapa demikian?
Salah satu kegagalan posyandu adalah karena penyuluhan itu tidak aktual menjawab kebutuhan riil keluarga. Penguatan komunitas lokal yang terbatas mampu mengatasi masalah tersebut. Identifikasi masalahnya lebih jelas. Dan kebutuhan akan penyuluhan selalu bisa berangkat dari akar masalah dalam keluarga. Dengan cara seperti ini pula, masyarakat punya mekanisme kontrol yang lebih kuat. Sistem pengawasan bisa dilaksanakan secara terpadu, melalui pemimpin-pemimpin lokal yang sudah ada. Petugas bisa mengenali orang tua dari masing-masing anak.
Harus diakui, gizi buruk dan busung lapar di NTT berwajah perempuan dan anak-anak. Ketidaksetaraan gender dengan keterbatasan akses perempuan dan anak-anak terhadap pangan bergizi salah satunya disebabkan oleh dominasi budaya patriarkat. Ayah yang pertama, kemudian anak-anak, dan yang terakhir perempuan. Karena itu, penguatan komunitas lokal dengan upaya kesetaraan gender wajib dilakukan. Faktor keterbatasan pendidikan perempuan menjadi penyebab seorang ibu buta akan pangan bergizi. Tidak tahu cara mengolah dan mengatur bahan makanan lokal menjadi makanan sehat bergizi. Tidak tahu juga cara merawat dan membesarkan anak secara sehat dan bergizi. Faktor keterbatasan akses pangan menyebabkan perempuan kehilangan kebutuhan akan makanan bergizi. Gizi anak yang dikandung pun tidak terjamin. Dan faktor ketidaksetaraan pengambilan keputusan di keluarga menyebabkan perempuan tidak mampu mengatur kesejahteraan dan kesehatan rumah tangga secara seimbang.
Kebutuhan di tingkat lokal sekarang adalah bagaimana keluarga-keluarga itu mampu menyediakan bagi diri sendiri pangan yang sehat dan bergizi. Hal ini tidak bisa diharapkan tanpa adanya pendidikan, penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan. Basisnya adalah perempuan dan anak-anak. Semoga ide penguatan komunitas lokal berbasis perempuan dan anak menjadi solusi jangka panjang, preventif, dan strategis.(*)

NATAL DAN HUT NTT

Dalam teologi Kristen, peristiwa kelahiran Yesus selalu dikaitkan dengan inkarnasi. Ada beberapa gagasan kunci yang bisa diperoleh dari makna inkarnasi tersebut. Di antaranya, Allah menjadi manusia, kabar gembira, kelahiran baru, rencana keselamatan, eskatologis. Peristiwa-peristiwa yang melingkari kelahiran Yesus pun bisa dijadikan parabel menarik. Mulai dari kabar gembira malaikat Gabriel, penyerahan diri Maria, tiga raja dari timur dan arogansi Herodes, sampai pada kisah pengungsian keluarga kudus ke Mesir. Di sisi lain, bukan sebuah kebetulan gema Natal itu jatuh (selalu) dengan perayaan HUT NTT. Kalau demikian, sejauh mana makna perayaan Natal itu bisa disanding dengan perayaan HUT NTT yang ke-49 di tahun ini? Atau dapatkah gereja merayakan natal sekaligus HUT NTT?

Kelahiran Yesus dan gizi buruk
Boleh dibilang Yesus lahir pada sebuah situasi yang benar-benar darurat. Tidak terjadi di sebuah rumah sakit atau didampingi secara telaten oleh seorang bidan melahirkan. Ia dibaringkan di sebuah palungan. Bukan di atas kasur empuk. Sebuah situasi yang benar-benar terbatas, serba sulit, kalau tidak mau dikatakan miskin.

Namun siapa sangka, kelahiranNya itu mengawali sebuah pembabakan baru dalam sejarah. Bayi itu bahkan sudah disebut raja di usianya yang masih belia. Mengejutkan ahli taurat dan kaum farisi pada umur 14 tahun. Karena memiliki intelegensia yang luar biasa atas kitab suci dan tradisi yahudi. Menjadi seorang pemimpin rakyat yang disegani dan dihormati kawan maupun lawan. Kemudian menjadi inspirasi sejati untuk kaum kristiani, seorang penebus atau penyelamat.

Gambaran kelahiran dan sejarah ketokohan Yesus seperti itu pun (kelihatannya) menjadi kerangka apriori untuk semua orang tua di NTT. Harapan akan sebuah kelahiran, kehadiran anggota keluarga baru menandakan sebuah harapan di masa depan. Bahwa anak yang dilahirkan adalah generasi berikut. Yang mesti lebih baik dari nasib orang tuanya. Perlu ada peningkatan dan perubahan dalam hidup. Bila perlu tampil menjadi seorang pemimpin lokal. Yang memimpin sebuah perubahan bersama.
Yang terjadi justru masih sebaliknya. Nasib anak NTT tidak sebaik nasib bayi Yesus. Pertengahan tahun 2005, dari 477.829 balita di NTT, jumlah yang menderita gizi kurang adalah 85.604 anak balita, 12.925 menderita gizi buruk, 425 balita menderita marasmus dan meninggal adalah 35 orang yang tersebar pada 16 kabupaten/ kota. Berbagai upaya terus dilakukan ternyata pergeserannya juga masih belum terlalu jauh, seminggu yang lalu di awal Maret 2006 jumlah gizi buruk 13.000 dan yang meninggal sudah menjadi 52. Tahun 2005, tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) berkisar 554/100.000 dibandingkan dengan AKI Nasional 307/100.000 (SDKI 2002-2003). Penyebab kematian terbesar adalah perdarahan (58%) yang dipicu oleh anemia yang dialami ibu selama masa kehamilan dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) 29%. BBLR terjadi karena pada masa kehamilan ibu mengalami kekurangan energi kronik (KEK). Atau secara singkat boleh dikatakan, ibu dan anak kekurangan gizi.

Tingkat pendidikan di NTT pun memprihatinkan. Angka drop out tinggi, mencapai 54 persen. Belum lagi pemenuhan hak anak dan kepentingan terbaiknya yang terus menerus diabaikan. Dalam kenyataannya, anak NTT sangat rentan dengan kekerasan, pelecehan seksual, perdagangan anak, dan dipaksa bekerja dengan beban yang tinggi.
Berbeda dengan Yesus, yang kelahirannya selalu diingat setiap tahun, kepentingan terbaik anak sepertinya dilupakan. Dikesampingkan. Ada sebuah gejala amnesia massal akan nasib terbaik anak. Yang pasti bahwa kasus-kasus kematian dan bencana yang terkait persoalan kemiskinan hanya membuat banyak orang terenyak sejenak, namun segera dilupakan tanpa sempat menciptakan perbaikan.Amnesia kolektif atas kasus-kasus kematian akibat kemiskinan, menjadikan kematian anak-anak miskin di NTT tak pernah dipandang sebagai tragedi. Baru dikatakan tragedi kalau terkait pelanggaran berat hak asasi, yang melibatkan penderitaan korban atau kematian massal dalam satuan waktu tertentu. Selebihnya tragedi terbatas pada pelanggaran oleh negara terhadap hak sipil politik dan mengabaikan pelanggaran berat hak asasi akibat ketidakadilan di wilayah ekonomi.
Dengan cara pandang seperti itu, nasib anak NTT yang menderita dan satu per satu meninggal, tak akan pernah dianggap signifikan untuk ditangani serius. Sebab dalam sistem ekonomi global sekarang ini, keberadaan dan penderitaan kaum miskin tak akan tampak. Mereka tersembunyi di gubuk-gubuk, di pelosok-pelosok pedesaan, dan di sudut-sudut kumuh, yang ruang hidupnya tak pernah terhitung dalam sistem ekonomi formal.
Seharusnya, semakin banyaknya kasus-kasus gizi buruk dan pelanggaran kepentingan terbaik anak yang merebak ke permukaan menjadi perhatian khusus pemerintah dan masyarakat, membangkitkan emosi kepedulian yang sangat tinggi. Bahwa ini tak sekadar kasus yang berujung pada kematian seorang anak, melainkan sebuah bencana yang perlahan-lahan yang menghabiskan generasi NTT di masa datang (low on disaster). Ini sebuah pelanggaran asasi manusia, karena hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia telah diabaikan.
Kritik atas teologi
Pada tataran teologis, peristiwa kelahiran Yesus lebih merupakan sebuah peristiwa iman. Allah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Dimensinya sangat dalam dan mendasar. Menyentuh ke hakikat wahyu, jati diri ke-Allah-an, dan orientasi gereja. Pertama, wahyu atau logos itu kini berdaging, menempati ruang dan waktu, menjadi lebih nyata dan dapat dirasai kehadirannya. Inkarnasi membuat kata-kata itu menjadi lebih berisi. Bukan hanya sekedar sebuah literer, mimpi, imajinasi, tetapi merupakan sebuah praksis, tindakan nyata. Bukan sebuah hiburan, sekedar pidato, candu, melainkan sebuah kerja nyata. Wahyu itu kini berbudaya, berbahasa manusia, dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap kejadian hidup. Kontekstual. Tidak heran, kalau dalam pewartaanNya, Yesus lebih suka menggunakan perumpaan-perumpaan yang dekat dengan kehidupan para pendengarNya. Seperti, bulir, gandum, ikan, pohon ara, keledai, anggur, minyak zaitun, dll.
Kedua, inkarnasi mengubah jati diri Allah itu sendiri. Allah yang digambarkan sebagai Bapa yang penuh kuasa, yang berada di singgasana dengan kuasa yang luar biasa, menjatuhkan hukuman, melemparkan kutukan, berpihak pada sebuah bangsa atau suku, allah yang sangat patriarkat, kini bersalin menjadi Allah yang turun ke bumi. Dekat dengan manusia. Penuh kasih. Tidak berpihak. Penuh belas kasih dan maha mengampuni. Allah yang mencintai wanita, seperti peran Maria secara lebih mulia. Karena itu pula, dalam hidupNya yang singkat itu, Yesus begitu dekat dengan orang kecil, miskin, dekat dengan perempuan-perempuan, para pendosa, kaum disfabel, mereka dari golongan kelas kedua, yang sering dilupakan dan disisihkan dalam strata sosial kemasyarakatan.
Ketiga, gereja pertama dibentuk oleh wahyu dan janji keselamatan. Gereja dimulai dengan ziarah iman keluarga Abraham, bapa-bapa bangsa, kemudian berpuncak pada Yesus Kristus, para rasul, pengganti-penggantinya. Keselamatan yang dibawa bersifat already but not yet. Artinya, (seharusnya) sudah dirasakan dari sekarang melalui tanda-tanda yang menyelamatkan dan akan terpenuhi secara sempurna nanti (eskatologis). Kalau pada masa Abraham dan ziarah bapa-bapa bangsa, keselamatan itu terkesan legalistik, dengan asumsi-asumsi psikologis, perbedaan yang mencolok antara yang profan dan yang ilahi, badan dan roh, misi keselamatan di bawah terang peristiwa inkarnasi lebih humanis dan kontekstual. Menyentuh budaya setempat, dengan penghargaan yang tinggi pada harkat martabat manusia, kebebasan, keputusan, tanpa ada perbedaan yang mencolok antara yang jasmaniah dan yang rohaniah, tubuh dan roh. Dengan begitu, gereja lebih bergerak bebas untuk mengambil perannya di tengah masyarakat. Termasuk di dalamnya isu-isu krusial soal politik, ekonomi, HAM, kesehatan, dan sosial budaya. Gereja memandang semua itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu tubuh yang sama.
Kelihatan sekali ada perubahan yang luar biasa dari gerak turun Allah dalam peristiwa inkarnasi tersebut. Bahwa kitab suci (seolah-olah) sudah habis dibaca, wahyu itu sudah selesai dan sekarang saatnya kehidupan nyata itu berbicara, sesuai atau tidak sesuai dengan terang kitab suci. Bukan soal aspek legalitasnya lagi yang dipersoalkan melainkan kualitas kehidupan itu sendiri yang harus dipersoalkan. Sederhananya, apakah kualitas kehidupan masyarakat sekarang sudah sesuai dengan misi keselamatan Allah?
Berhadapan dengan berbagai masalah yang terjadi di NTT, perayaan natal sebenarnya merupakan sebuah otokritik untuk mayoritas masyarakat kristen NTT. Juga buat teologi kontekstual. Apa yang sudah dilakukan sebagai wujud nyata membangun wajah NTT menjadi lebih baik? Apakah gereja lebih memilih menjadi “penonton,” lebih banyak berbicara, berdiskusi, musyawarah tanpa ada hasil yang nyata? Bagaimana dengan SDM gereja? Seberapa signifikant gereja mengubah kualitas SDM NTT dan mengambil peran secara aktif dalam pembangunan di NTT? Atau gereja hanya menjadi “lawan” dari pemerintah dalam soal program pemberdayaan masyarakat?
Kita masih berharap pada peran gereja. Selamat Natal dan Bahagia NTT di usianya yang ke-49.(*)

Kamis, 06 Desember 2007

Dua Martir dan Para Sahabatku

Mungkin agak terlambat tulisan ini. Tetapi sebuah tulisan bukan soal peruntungan. Apalagi yang ditulis bersifat “memoria,” atau “catatan di sebuah jejak sejarah”, atas ketokohan seseorang. Kepergian dua “beliau”, yang satunya sudah 70-an tahun yang lalu dan yang lainnya “menyentak kalbu” karena baru saja berlalu, mungkin adalah sejarah yang ditulis secara konsisten di tengah arus gelombang kehidupan, dan juga “dalam” berkat penghayatan personal yang mengagumkan.
Tidak semua orang seperti itu. Terutama ketika berada dalam dunia dengan dua wajah yang selalu berbeda, bertentangan, bahkan bertarung untuk saling mengalahkan. Being and Nothingness. Dan dua tokoh ini begitu konsisten, bergerak “menjadi” dan menjadi “model” dari “being”, mengajak semua orang yang mereka jumpai di dunia ini untuk meninggalkan “nothingness”-nya. Mereka juga menunjukkan “ketegasan”, “penghayatan”, “keberimanan”, dan “sosialitas” lawan “anonimitas dalam antinomi”, “tenggelam dalam massa”, “spiritualitas konteks alias relativisme absolut”, “terjun bebas dimangsa hedonisme”, “formalisme yang membungkuk kepada tuan”, dan “untung rugi di tangan kanan maupun kiri”. Dalam dunia yang berbeda tersebut, mereka menjadi “the way”, cermin perjalanan seseorang, dan “the ligth”, terang yang meniadakan kegelapan bagi generasi berikutnya. Ringkasnya, dua tokoh ini adalah “sumbu” yang meretas pencerahan, kemudian mengajak sekian banyak orang menyanyikan “hosana” kebangkitan, dan bukannya “lenguh” duka di keranda kematian. Dan pada tapak itu, mereka sepertinya mengalirkan “keajaiban”, “mujizat” secara nyata, seperti mengubah “air” menjadi “anggur”, dari “wajah lama” menjadi “wajah baru”.
Tipikal duet pribadi dalam persenyawaan personalitas yang cerah itu merupakan kerinduan banyak orang. Memori akan ketokohannya menguakkan batas kemanusiawian kita menjadi sedemikian “jalang” akibat perbedaan mendasar yang ditoreh pada masa kini kita. Itu berarti, kepergian mereka sepantasnya menjadi kepergian seorang “nabi”, yang jasadnya terkubur dalam tanah tetapi “ajaran”, “tutur kata”, dan “penghayatannya” menjadi pitutur masa kini dan suri teladan generasi selanjutnya. Giliran berikut mereka menjadi “otokritik” yang menyediakan ruang bagi semua orang “memukul-mukul dirinya sendiri” dan pulang dalam penyesalan “kenapa tidak seperti mereka?”. Di sini pula, selaput “katarak” kita menjadi luluh dan “efata” (baca: terbukalah) mata kita tentang apa yang seharusnya dikerjakan, dipertahankan, dan apa yang seharusnya dilepas, diluluhlantahkan.
Menyebut dua tokoh ini pula berarti menyinggung soal pilihan hidup dan konsekuensinya. Kawin atau tidak kawin dan bukan tidak kawin sekaligus kawin. Biarawan atau awam dan bukan awam sekaligus biarawan. Namun tidak demikian jadinya. Biarawan atau awam adalah suci atau tidak suci, sakral atau tidak sakral, ilahi atau tidak ilahi. Dalam dimensi ini, baik biarawan maupun awam adalah sama-sama suci, sakral, ilahi dalam sebuah “ruah” (baca: nafas) dan wadah yang tidak lagi menjadi beda, antara yang ada dan yang tiada. Sebab secara sakral, ilahi, dan yang suci tersembunyi makna terdalam kehidupan, ada-nya secara penuh dalam ketiadaan yang sunyi, seperti Sang Pencipta, yang (dirasakan) Ada-Nya, sekaligus (dirasakan) Tiada-Nya. Juga begitu, tidak ada lagi perpisahan, perbedaan antara yang biarawan dan yang awam, tidak ada lagi ruang vakum, sebab semua sudah terisi oleh Yang Ada dan Yang Tiada.
Dalam pandangan ini, patut kita berterima kasih pada dua tokoh ini. Mereka sudah menunjukkan bagaimana semua orang harus memandang kehidupan ini. Yang paling penting adalah mencintai kehidupan ini karena bersumber dan berakhir pada yang suci, sakral, dan ilahi, berikut konsisten terhadap pilihan hidup yang sudah diputuskan. Mereka menjadi sedemikian pro life, karena melihat kehidupan itu secara suci, sakral, dan ilahi, tetapi juga pro choice, karena konsisten pada keputusan yang sudah diambil. Dan justru di situlah, pertanyaan terbesar untuk apa kehidupan itu terlunaskan sudah dalam kepasrahan total di sebuah tarikan nafas terakhir.
Pertengahan April kemarin, apa yang sudah dimulai oleh Sang Maha Guru, Petrus, dan kawan-kawannya diteruskan secara sakral melalui pentahbisan “yang terpilih dari yang dipanggil” para diakon. Beruntung bahwa saya mengenal mereka secara lebih dekat. Karena mereka pernah menjadi kawan-kawan kelas saya. Tetapi lebih beruntung bagi mereka yang tidak mengenalnya. Sebab justru dari bumi Flobamora ini, dunia berharap banyak mendapat “murid”-Nya. Ini sebuah kebanggaan. “Wajah Flobamora muncul di mana-mana”. Dan berharap, semoga kebanggaan yang sama pada dua tokoh di atas juga disematkan di hati dan pundak mereka. Lebih beruntung lagi, sebab mereka juga pernah merasakan tempaan tangan mulia, alm. P. Niko Hayon. Dia dikenal sebagai dosen Liturgi, Pelawak Kondang “nyaris” Tukul, tetapi terutama karena “kapasitas kerohanian dan penghayatan imamatnya yang purna”. Bersama sejarah yang terentang pada kayu salib Sang Guru, oleh pengabdian darah para martir, dan dijiwai semangat imamat Mgr. Gabriel Manek, P. Niko Hayon, ada sebuah titisan yang mengalir dari jantung iman itu, demikian bunyinya: “Apa yang ada pada saya hanya sebagian kecil dari generasi pendahulu dan generasi sesudah saya. Sejarah itu terus berlanjut, dan tidak berhenti di sebuah titik, pada sebuah pribadi. Ia senantiasa harus dikembalikan ke titik nol, supaya ada pencerahan, dan refleksi, ada pembaruan, dan ada kemajuan. Kebanggaan pada seseorang hanya merupakan nyanyi merdu ucapan bibir, pemanis mulut, dan tidak merupakan titik akhir dari sebuah perjalanan panjang. Tokoh-tokoh itu hanya hadir sebagai sebuah reffrein, sebuah chorus, yang harus diulang terus menerus dalam sejarah, dengan kekuatan, makna, yang seharusnya lebih dasyat dari itu.” Kenapa tidak!***

SIAPA ITU “PEMIMPIN”

Kancah politik di Kota Maumere sepertinya memanas lagi. Isu santernya adalah gugatan Y.B. Semadu Sadipun terhadap I. A. Medah, Ketua Golkar NTT dan Melchias M. Mekeng, Ketua Golkar Sikka sekarang. Semadu menilai bahwa Melki Mekeng, selanjutnya I.A. Medah “bahu membahu” dalam sebuah kerjasama yang apik, menurunkan dirinya dari tampuk kepemimpinan Golkar Sikka. Pada sidang pertama, Semadu menyalahkan Musdalub, 27 Mei 2006. Menurutnya, Musdalub tersebut tidak sesuai alias “melanggar” AD/ART Partai Golkar, dan karena itu dikatakan tidak sah, dan dapat dibatalkan demi hukum. Sementara itu, pihak I.A. Medah dan Melki Mekeng menampik bahwa segala sesuatu berjalan sesuai prosedur dan merupakan keinginan arus bawah. Sidang berikut, Semadu “ngotot”. Ke-ngototannya itu disimpulkan dalam kata “KUDETA”, sebuah kata “sakral” untuk orang politik, atau orang yang memang sangat haus akan kekuasaan. Bahwa Semadu menilai perbuatan I. A. Medah dan Melki Mekeng terbilang sebagai tindakan “KUDETA” atas tampuk kepemimpinan Golkar Sikka yang didudukinya.
Persoalan sah atau tidaknya Musdalub 27 Mei 2006 sebenarnya merupakan hal internal Partai Golkar, menyangkut mekanisme dan peraturan keorganisasian. Karena itu, urusan ini sebenarnya merupakan pertanggungjawaban di “meja hijau” Partai Golkar sendiri. Menjadi soal, ketika harus ada yang diturunkan dan harus ada yang menggantikan. Prosesnya menjadi begitu rentan dengan ambisi, perasaan tidak mau kalah, tidak terima, baik dari pihak yang diturunkan, maupun dari orang-orang yang “bersedia atau tidak bersedia” menerima setelah terjadi proses pergantian tersebut. Dan sudah tentu, semua mata akan “menyalak”, secara jeli memastikan proses tersebut berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan aturan mainnya.
Kemudian hal yang seharusnya “internal” menjadi bias publik. Sesuatu yang seharusnya “lex specialis” menjadi “lex generalis”. Tanggung jawab morilnya pun jelas berbeda. Pada situasi seperti ini, yang diharapkan adalah terjadinya proses “pembelajaran” secara luas, terarah pada kesadaran reformasi publik, menjangkau masyarakat bawah, menyangkut hal yang seharusnya terjadi, sudah terjadi dan benar sesuai aturan main, dan hukuman atas illegalitas personal. Sederhananya, penguakan kembali persoalan internal ini wajib diberi isi pembelajaran politik bagi khayalak ramai dan masyarakat umumnya, apalagi merupakan persoalan Partai Golkar “Bersatu Untuk Maju”, yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat.
Isu yang diangkat sekarang, mungkin hanya soal sah atau tidaknya sebuah musdalub, atau dugaan ada atau tidaknya “KUDETA”. Itu artinya sebatas soal mekanisme dan peraturan partai. Kenapa tidak dipersoalkan hal yang lebih prinsipil, sesuatu yang menjadi esensi dari sebuah peraturan, yaitu soal kapasitas moral publik, kredibilitas personal dari seorang pemimpin partai, yang sudah tentu menjadi soal utama di balik AD/ART sebagai penyanggahnya?
Menyebut seorang pemimpin dengan jabatan di atas sebuah “cathedra”, berarti tidak lepas dari atribut yang paling hakiki, yaitu kredibilitas personalnya, dan kapasitas moral publiknya. Dan kursi seperti ketua sebuah partai politik merupakan sebuah “cathedra” yang seyogyanya dipegang oleh pemimpin dengan kapasitas moral publik yang tidak diragukan, mampu bertindak adil dan benar, dari dirinya sendiri tidak mengandung cacat personal, alias malum, tidak bercela di hadapan umum karena bukan merupakan tersangka, pelaku dari sebuah keburukan sosial, dan terutama berjiwa populis. Karena mau tidak mau, pemimpin sebuah partai politik adalah pengemban suara rakyat. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sebuah musdalub dilakukan tentu ada zit im leben-nya. Karena “luar biasanya” itu, musdalub menjadi sesuatu yang “ingin segera dilakukan” oleh karena desakan yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau tidak dilakukan, era baru tidak pernah ada dan wajah pembaruan mungkin hanya menjadi angan-angan. Kolaps. Dan desakan yang tidak bisa ditunda itu sudah tentu dari suara arus bawah, dari aspirasi bawah, dalam hal ini kader/anggota/simpatisan Golkar. Yang mereka tuntut adalah pergantian kepemimpinan dengan taruhan nama besar dan masa depan Partai Golkar. Pada titik ini, perlu dipertanyakan eksistensi kepemimpinan seorang yang memegang jabatan di era sebelum sampai sekurang-kurangnya musdalub itu terjadi. Ada apa dan mengapa sampai terjadi demikian?
Kalau musdalub dilihat sebagai aspirasi arus bawah, itu berarti salah alamat kalau hanya I. A. Medah atau Melki Mekeng yang digugat. Karena sesungguhnya kursi kepemimpinan sebuah partai itu hanya muncul dari suara hati rakyat, dan bukan dijadikan atau diciptakan. Kesadaran akan tanggung jawab moral populis ini seharusnya menjadi sebuah legitimasi absolut yang patut dicerna oleh seorang pemimpin. Karena betapa berdosanya pemimpin itu bila bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, dan bukan demi kebaikan umum. Bukankah hukum, demikian juga aturan tidak lain adalah perintah akal budi dan ditujukan demi kebaikan umum. Dan sesuatu yang timbul dari akal budi adalah sesuatu yang benar sesuai hati nurani, berarti merupakan suara Tuhan, dan juga suara rakyat (demi kebaikan umum).Musdalub juga ada karena ada “pelanggaran”, barangkali pelanggaran yang teramat besar sampai perlu harus segera dilakukan. Sudah tentu, pelanggaran terhadap mekanisme partai. Dalam hal ini, ada “kebingungan” yang harus dijelaskan di antara kedua belah pihak. Siapa sebenarnya yang “melanggar” aturan partai Golkar? Dan demi “kebaikan umum”, mana “pelanggaran” yang seharusnya “ditobatkan” dan mana “pelanggaran” yang seharusnya “dihukum”? Di sinilah justru letak pembelajaran politik tersebut. Salah mengambil keputusan berarti melangkahi kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Berarti pula mengantar partai Golkar Sikka ke ambang kehancuran, karena akan menjadi sulit untuk dipercayai lagi. Taruhannya bukan saja pribadi tertentu, melainkan nasib Golkar dan kepercayaan publik. Dan yang jauh lebih penting adalah, jangan sampai hati nurani rakyat terlukai lagi. Sebab “mata hati rakyat”, sekalipun nampaknya tersusun dari kebutaan akan organisasi, mekanisme partai, hukum, “main uang”, ia sekali-kali tidak bisa ditipu, karena ada yang bergerak melampaui hukum duniawi dan manusiawi itu, yaitu perasaan ilahi, atau kesadaran alamiah, spontan, dan sakral akan mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana kejujuran dan mana tipu muslihat.*)

Pada Pesta Rasul Petrus dan Paulus

Petrus dan Paulus bukan duet cendekiawan yang cerdas. Mereka muncul dari kalangan biasa. Bahkan yang satunya mantan penganiaya. Yang lainnya, keras seperti wadas. Namun berkat ketokohan mereka, Gereja berkembang menjalar. Selalu berfragmentasi secara kontekstual. Tidak pernah putus harapan. Dan tidak imun terhadap ekonomi kerakyatan.

Gereja tanpa dinding
Sama seperti gurunya, kerasulan Petrus dan Paulus adalah membangun batu-batu hidup. Umat itu sendiri. Gereja yang berdinding tidak terlalu ditekankan. Bahkan sengaja untuk tidak dibicarakan. Karena misi gereja sesungguhnya adalah kekatolikan. Umum dan universal. Karena itu, gereja Petrus dan Paulus selalu tidak berdinding. Terbuka. Tidak dibatasi. Menyebar ke segala arah.
Berbeda dengan Petrus dan Paulus, rata-rata gereja dan kapela di Flores semuanya berdinding. Bahkan ada yang dibangun secara megah meriah. Kesannya sangat mewah. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah-rumah umat. Sebagian besarnya, beratap alang-alang, bambu, dinding kayu, setengah tembok, lantai tanah, atau semen halus. Ada yang masih tinggal di pondok-pondok, bahkan rumah tipe sederhana, dengan satu kamar “tidur rame-rame”.
Kalau mau dicari tahu, biaya untuk membangun sebuah gereja atau kapela pun tidak sedikit. Selain uang umat, para donatur pun ikut menyumbang. Hampir setiap minggu, iuran pembangunan gereja, renovasi, atau iuran-iuran lain selalu menjadi isu penting pengumuman di gereja. Ditambah dengan kolekte, uang pendaftaran sakramen, kursus, kunjungan pastoral, atau misa kelompok. Hampir tidak pernah terlewatkan, misa tanpa pengumuman tentang sumbangan atau iuran untuk gereja. Umat tertatih-tatih, gereja menjadi kolektor.
Bersikap lain dengan Petrus dan Paulus adalah sebuah tantangan. Mampukah gereja menjawab tantangan teologinya sendiri, berpihak pada yang miskin dan tertindas? Sebab gereja yang sesungguhnya adalah pergulatan batu-batu hidup. Bukan batu-batu mati. Denyut jantungnya seharusnya sama dengan irama denyut jantung umat. Penderitaan, salib, duka dan kecemasannya justru ada di kalangan umat.
Tuhan pun demikian. Ia tidak pernah hidup sendirian. Selalu dalam Trinitarisnya. Dalam kebersamaan di tengah komunitas. Artinya di tengah umat. Karena itu, Dia pun tahu segala kebutuhan, keprihatinan, dan penderitaan umat. Tuhan tidak bisa disendirikan dalam sebuah bangunan yang mewah, gagah, agung. Jangan sampai Tuhan disebut sebagai seorang pesolek, hanya mempercantik dirinya, dan lupa akan sesamanya. Dia justru telah berinkarnasi, lahir dan ada di antara kita, manusia, dan bukan di sebuah bangunan. Membangun pastoral yang kontekstual, seperti mengolah tanah, menyebarkan benih, panen, menangkap ikan, menyelesaikan masalah upah buruh, dan membayar pajak.

Menjawabi Tantangan Ekonomi
Hal menarik lainnya dari kerasulan Petrus dan Paulus adalah filosofi ekonomi kerakyatan yang dikembangkan. Menjawabi tantangan kemiskinan, keprihatinan terhadap para janda, yatim piatu, yang sakit dan miskin, Petrus dan Paulus memaklumkan gerakan “memberi bersama untuk semua”. Dalam Kisah Para Rasul, diceritakan mereka mengumpulkan milik pribadi dan membantu yang lemah. Kekayaan menjadi milik bersama. Bahu membahu dalam kesulitan hidup.
Ternyata gereja yang dibangun Petrus dan Paulus tidak imun soal ekonomi. Mereka malah turun tangan. Selain menjadi nabi mimbar dan altar, juga menjadi nabi ekonomi. Membentuk sebuah kelompok, mirip arisan bersama, koperasi simpan pinjam, mengorganisir penjualan dan pembelian, menghitung keuntungan, persentase pendapatan dan kas umum. Petrus dan Paulus tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang “tabu”, “tidak halal”. Atau takut dinilai “materialistik”, “kapitalistik”, dan karena itu tercela. Gereja Petrus dan Paulus tidak membiarkan umatnya mengurus perut sendiri dan terancam kelaparan.
Bukan rahasia lagi kalau Flores itu lekat dengan kemiskinan. Malah sudah menjadi ikon nasional dan dunia internasional. Ini menjadi menarik karena gereja justru yang paling berpengaruh di Flores. Sejauh mana gereja mampu menjawabi tantangan kemiskinan ini?
Dana besar yang sudah dikeluarkan untuk membangun sebuah gereja bisa menjadi lebih bermanfaat kalau diinvestasikan untuk membangun perekonomian rakyat. Tujuh sakramen, enam di antaranya dipestakan dengan biaya yang besar lebih berguna dialihkan untuk kebutuhan praktis umat. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh gereja. Membangun sekolah kejuruan, keterampilan seperti perikanan, pertanian, perkebunan. Mencetak putra-putra daerah menjadi petani, pelaut, nelayan handal. Mendirikan koperasi simpan pinjam. Memberikan beasiswa. Menciptakan peluang usaha yang menjanjikan, seperti budidaya lebah madu, tripang, pohon jarak, jati putih, semua yang sudah tersedia berlimpah ruah di alam Flores.
Sama seperti Petrus dan Paulus, apakah nabi mimbar dan altar bisa sekaligus menjadi nabi pertanian, perikanan, perkebunan? Tahu dan mengerti seluk beluk pengolahan tanah, pembibitan, peternakan, perkebunan. Dan karena itu, menciptakan pastoral yang lebih kontekstual. Menjawabi kebutuhan masyarakat sesuai dengan denyut jantung kehidupan mereka. Bagaimana umat bisa menyumbang lebih, kalau mereka sendiri hidup selalu berkekurangan? Masih banyak umat Flores yang perlu dirangsang dengan pencerahan soal prospek menanam dan melaut yang profesional. Demi sebuah kemajuan riil di bidang ekonomi, kemakmuran, dan juga keimanan.

Quo vadis gereja
Kalau saja gereja tetap tidak beranjak dari dindingnya dan mulai masuk secara nyata ke pertanian, perkebunan, kelautan umat, gereja Flores akan tumbuh secara elitis. Bagaimana pun juga kemiskinan bukan merupakan pilihan hidup setiap manusia. Secara spontan, kemiskinan akan ditolak. Sekalipun dalam ruang gerak yang dibatasi. Sengaja dipaksa untuk mencintai kemiskinan. Karena atas usaha apa pun, gerak merangkak manusia selalu menjauhi keterbelakangan, ketertindasan, dan kemiskinan. Karena itu, kalau tidak dengan sengaja dan sadar, secara riil, aktual dan kontekstual menceburkan diri dalam dimensi kemiskinan itu, gereja akan mengecilkan dirinya menjadi kelompok yang berbeda dari akarnya.
Umat semakin miskin, gereja semakin elitis. Umat mundur, dan gereja mentereng. Kemudian muncul golongan mapan baru. Gereja sebagai kelompok yang mendominasi kemapanan. Berusaha mempertahankan status quo. Susah untuk diajak berubah. Kurang menguasai dinamika masyarakat dan denyut keprihatinan umatnya.
Petrus dan Paulus pernah tergoda dengan lingkungan yang elitis ini. Bahkan Petrus sudah mengiyakan untuk meninggalkan Roma dan umat yang dianiaya. Kemudian Tuhan menyadarkannya. “Engkau akan meninggalkan Aku dianiaya di Roma?” Quo Vadis, Petrus?” Kata Tuhan. Petrus langsung menyadari kekeliruannya. Ia lantas pulang ke Roma dan menjadi martir di sana.
Pertanyaan yang sama pula mesti dilontarkan buat gereja. Quo vadis gereja? Apakah engkau akan meninggalkan Aku di tengah kemiskinan ini?(*)

Senin, 03 Desember 2007

62 TAHUN FLORES BERSAMA INDONESIA

Usia 62 tahun kemerdekaan Indonesia memang bukan waktu yang relatif tua. Masih ada negara-negara yang lebih tua dari Indonesia. Berumur seratus tahun atau mendekati seratus. Namun 62 tahun sudah cukup untuk menilai sikap bangsa dan negara Indonesia terhadap wilayah dan daerah yang menjadi kekuasaannya. Dan untuk daerah seperti Flores, perlu dipertanyakan: apa yang sudah dilakukan selama usia 62 tahun ini?
Flores dan kancah nasional
Krisis yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 hingga tahun 2001, dan imbasnya hingga kini memang memproduksi secara besar-besaran kemunduran di segala sektor kehidupan. Hal ini sebenarnya sudah bisa diramal dan tidak usah lagi dicari-cari alasannya. Kesenjangan sosial yang terus menanjak selama sepuluh tahun sebelum krisis, ketegangan politik antara masyarakat dan elit penguasa yang sudah di titik puncak, rapuhnya fundamental ekonomi, dan lemahnya mental, kesadaran moral bangsa adalah alasan-alasan yang memperparah krisis tersebut.
h Dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Filiphina, Indonesia justru yang terparah. Hal ini dapat dilihat dari indikasi Depresi Besar (Great Depression), yaitu kerugian-kerugian dalam bentuk kemerosotan daya beli masyarakat, hubungan sosial yang memburuk, menyusutnya modal-modal sosial, jatuhnya korban jiwa, dan negara yang paling rendah statusnya di bidang pendidikan, pemberantasan korupsi, risiko investasi, bangkitnya bentuk neoprimodialisme, banyaknya daerah-daerah yang makin tertinggal, dan kehilangan kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Krisis moneter, desakan IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank, jatuhnya Soeharto, dan dimulainya era reformasi sebenarnya merupakan penampakan keluar yang bisa dilihat dari gejolak krisis itu. Goncangan besar itu tidak bisa dijelaskan hanya dari rentetan peristiwa tersebut. Karena perang yang sesungguhnya justru ada di balik peristiwa-peristiwa itu, yaitu ketika semua orang melepaskan pelurunya dan merasa berkepentingan untuk menyampaikan aspirasinya yang selama itu terkungkung. Karena itu, krisis di era 1997 dan jatuhnya Orde Baru merupakan kekalahan negara terhadap rakyat. Juga merupakan bocornya kapasitas negara sebagai penjamin keseimbangan di masyarakat.
Kekuasaan negara menjadi terpencar-pencar. Masing-masing elemen mengaku sebagai negara di wilayahnya sendiri. Berikut balas dendam atas rasa ketidakpuasan selama masa dikungkung dan dipenjara. Reformasi pun kembali berjalan mundur. Bukan kepentingan rakyat yang diperjuangkan. Bukan juga kesejahteraan dan kebaikan bersama. Melainkan keuntungan pribadi dan golongan. Kesenjangan itu semakin menyakitkan, karena tidak dapat dipastikan siapa yang menjadi lawan dan siapa yang menjadi kawan. Tidak ada musuh dan kawan abadi. Tergantung kepentingan mana yang bisa diusung dan menguntungkan. Tidak juga ada kepedulian. Semua bergantung pada seberapa besar imbalan yang diperoleh.
Kesempatan seperti ini juga tidak disia-siakan oleh beberapa daerah. Ketidakpuasan terhadap Pusat sebagai representasi negara membuat daerah-daerah tertentu memilih untuk berpisah, atau sekurang-kurangnya berstatus otonomi khusus. Gejolak itu terasa begitu kencang untuk wilayah-wilayah Indonesia Timur, yang nota bene kebanyakan daerah-daerah tertinggal. Padahal kalau mau dilihat, potensi untuk maju dan meninggalkan status “tertinggal” itu boleh dikatakan mudah. Kalau saja, sumber daya alamnya tidak terus-terus dikeroyok oleh Pusat dan perusahaan asing. Pendapatan Kas Daerah sebenarnya bisa tinggi, mampu menjamin pembangunan yang adil dan makmur, kalau saja SDA daerah itu betul-betul menjadi aset daerah dan bukan “kue” untuk Pusat.
Pilihan pemekaran pun menjadi diskusi hangat. Upaya yang diambil bukan tanpa alasan. Menjadi lebih sempit, lebih kecil, dengan perampingan kekuasaan, birokrasi, dan demokrasi yang dekat dengan rakyat di tanahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, kesadaran memiliki tanah, sumber daya alam, dan potensi daerahnya semakin kuat. Daerah sepertinya trauma dengan sikap negara masa lalu yang memonopoli aset daerah. Karena itu, daerah menjadi lebih peduli dengan tanah kelahiran, harta bendanya, suku, dan rumah adatnya.
Kalau mau dilihat, Flores cenderung terlambat merespon reformasi. Lebih banyak menanti bola, dari pada menjemput bola. Tidak ada sebuah konsensus bersama, barangkali dalam bentuk kontrak politik untuk menyepakati langkah Flores ke depan. Masih sebatas isu politik. Seperti Propinsi Flores(?) Lebih ke dalam, mungkin Flores tidak memiliki kesatuan budaya. Masing-masing mendukung budayanya sendiri, sukunya sendiri. Memikirkan wilayah dan daerahnya sendiri. Manggarai, Ngada, Nagekeo, Larantuka, Lembata, berikut pecahan-pecahannya yang masih terus bergerak mencari bentuknya sendiri, seperti Manggarai Barat, Manggarai Timur, Riung, dan Adonara. Sentimen budaya dan daerah lebih kuat ketimbang mengedepankan sebuah langkah bersama.
Sikap ini didukung pula oleh dua sikap dasar yang cenderung kontradiktif. Di satu pihak, Flores masih sangat bergantung pada kebijakan Pusat, belum bisa mandiri. Tetapi di lain pihak, ada kebencian yang begitu melekat pada ketidakberpihakan Pusat pada daerah. Sayangnya, kebencian itu hanya tinggal sebagai sebuah kebencian. Tidak merupakan sebuah action yang secara sadar berusaha keluar dari ketergantungan tersebut. Flores terlalu berharap pada Pusat sampai-sampai membenci Pusat karena tidak berpihak pada dirinya.
Padahal seperti daerah-daerah lain, Flores punya potensi untuk mengembangkan dirinya sendiri. Hanya kelemahannya adalah gerak kemajuan itu sangat bergantung pada political will, yaitu sejauh mana elit penguasa daerah peduli dengan isu tertentu. Artinya, setelah Flores menanti Pusat turun tangan, sekarang giliran rakyat Flores yang menanti pemerintah berbuat sesuatu. Semua saling menanti. Pemerintah daerah pun bertindak “sesukanya”. Sesuai dengan “visi pribadi”, ke arah mana kecenderungan politik pribadi dan partai itu berhembus. Karena itu, pertimbangan yang lebih menyeluruh, strategis, menguntungkan, demi kebaikan bersama lebih banyak dikorbankan ketimbang kepentingan pribadi atau partai. Kalau boleh dikatakan, arah pembangunan di Flores sangat bergantung pada mood pemimpin dan bukan dari sebuah pertimbangan yang berjangka panjang dan menyentuh kepentingan umum.
Karena itu, tidaklah mengherankan kalau pembangunan di Flores itu berjalan mandek. Berbeda dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Kurang terpadu. Lebih banyak one man show atau power show. Satu pemimpin punya kebijakannya masing-masing, sistemnya sendiri-sendiri, mekanisme dan birokrasi eksklusif, metode dan cara sendiri, termasuk orang-orangnya sendiri. Sayangnya, birokrasi Flores pun terjebak dalam penyakit busuk Indonesia, seperti KKN dan peradilan hukum yang tidak berimbang.
Faktor lainnya adalah lemahnya pengaruh kaum murni intelektual dan praktisi ahli yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Birokrasi dan fungsi sosial lebih dilihat dari segi fungsionalnya saja dan bukan dari segi kualitas dan profesionalitas. Satu dua kaum murni intelektual yang tumbuh di Flores tapi tidak begitu dihargai dan didengarkan. Cuma corong tanpa sasar. Padahal, kehadiran mereka justru sangat dibutuhkan demi menjamin kualitas birokrasi, kebijakan publik, dan praktisi. Mereka diharapkan bisa menjadi think tank yang terus menerus secara jeli dan kritis berpikir soal langkah praktis dan formal dalam membangun wajah Flores.
Kalau mau dicatat, pentas nasional banyak melahirkan pemikir-pemikir ulung kelahiran Flores. Mereka dinilai cerdas dan mampu menghadirkan ide-ide brilian dalam lingkup kerja, dunia, dan masyarakat. Mereka justru tumbuh di luar Flores, memberikan “emas” untuk rakyat di luar Flores. Sebut saja nama-nama seperti Frans Seda, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Thoby Mutis, Blasius Bapa, dan segudang nama lain kelahiran Flores yang tidak diragukan lagi kapabilitasnya. Belum lagi mereka yang sekarang berkiprah di negeri asing dengan bidangnya masing-masing. Kalau mau dicatat, Flores menjadi tempat kelahiran para pakar nasional maupun internasional, tempat lahir para pemikir ulung dan cendekiawan sejati. Tetapi kenapa Flores tetap tidak pernah bisa maju?
Setelah 62 tahun merdeka
Setelah sekian lama merdeka bersama seluruh bangsa Indonesia, harus diakui Flores gagal dalam membangun basis. Tidak ada fundamen yang kuat untuk berharap. Baik di bidang pendidikan, ekonomi, hukum, maupun sosial budaya. Flores selalu menjadi kelinci percobaan yang gagal. Seperti nasib proyek sejuta kopi, ubi, jambu mente, kapas, jati putih, babi belanda, atau sapi import. Selalu semangat di awal, kemudian lesu dan mati dengan sendirinya.
Di bidang pendidikan, Flores kalah bersaing dengan daerah-daerah lain. Tidak dilirik oleh daerah dari dua segi yang sama-sama menguntungkan. Selain merupakan investasi yang menjanjikan, juga demi membangun basis SDM Flores. Tidak banyak sekolah unggul ada di Flores. Apalagi kalau yang berhubungan dengan sekolah keterampilan. Sebuah alternatif pendidikan yang diperlukan karena selain bisa lebih murah, juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah pertanian masih bergantung pada SPP Boawae. Pernah ada Lembaga Pemasyarakatan Usaha Tani (LPUT) di Maumere – Waigete, yang diprakarsai YASPEM, dengan siswa yang beragam dari ujung Timur sampai ujung Barat Flores, tetapi itu pun mati. Sekolah unggul setaraf SMU, hanya Syuradikara. Selain itu siswa keroyokan masuk Seminari. Ada juga STKIP Ruteng, Unflor, kemudian Unipa, disanding dengan STFK Ledalero, semua itu belum cukup memberikan andil buat kemajun pendidikan Flores. Padahal sudah 62 tahun.
Ekonomi yang lebih memprihatinkan. Pegawai negeri masih menjadi tujuan utama. Tidak berani berkecimpung di dunia bisnis dan wiraswasta. Dunia usaha swasta lebih banyak dikuasai oleh golongan Tionghoa, Padang, dan Jawa. Sedikit sekali kaum pribumi yang berani berwiraswasta. Orang Flores punya prinsip, yang penting cukup untuk makan hari ini. Yang lain-lainya tidak usah direpotkan. Sementara itu, penghargaan atas pekerjaan seperti petani, nelayan, peternak sudah mulai menurun. Bukan merupakan tujuan. Kalau tidak mau dikatakan, “terpaksa”. Karena itu, tidak heran kalau orang Flores berjiwa konsumtif. Kasarnya, “beli” dan “kredit”. Enggan untuk mengambil dan mengolah dari alam sendiri. Lagi pula Flores terlalu banyak disibukkan dengan urusan perebutan tanah. Selesai ngotot-ngototan tanah tersebut dibiarkan terbengkelai tanpa diolah.
Setelah 62 tahun, pertama, Flores harus berhenti mengutuki Pusat, atau terlalu berharap pada Pusat. Kembali pada alam terberi, potensi yang masih begitu perawan di daerah. Bukannya menanti dana, hibah, atau proyek desa tertinggal. Seharusnya Flores harus sudah memiliki rasa malu terus menerus dicap miskin dan tertinggal. Kedua, berhenti berspekulasi menjadi pegawai negeri, anggota DPR, atau tambang ini, tambang itu, gas ini gas itu. Berhenti juga dengan janji-janji politik. Semua itu hanya membentuk the bubble economy. Yaitu gelembung hampa ekonomi, yang pada akhirnya berujung pada “gigit jari”, tanpa ada kemajuan. Malah terus-terusan menjadi “sapi perah”. Ketiga, berilah kesempatan pada golongan cendekiawan sebagai think tank, yang secara terus menerus mengkaji prospek terbaik untuk membangun basis sosial budaya, hukum, dan ekonomi kerakyatan. Keempat, bukalah sekolah-sekolah keterampilan, selain STM, pelayaran, tetapi juga pertanian, peternakan. Kembalikan Flores ke wajah aslinya di ladang, kebun, sawah, laut, dan kandang. Kelima, profesionalisme birokrasi dengan lebih mementingkan kualitas, ketimbang bargaining politik dan fungsional semata. Sesuatu yang bukan konvensional dan fungsional belum tentu salah, sekalipun dibenci. Keenam, gerakan zionisme Flores, memanggil pulang putera-putera daerah terbaik untuk membangun Flores.
Ketertinggalan tidak pernah menguburkan mimpi untuk maju. Selain SDA, Flores juga kaya dengan idealisme. Semoga setelah 62 tahun, Flores dapat melihat dan bertindak yang terbaik untuk dirinya.(*)

NGADA SETELAH NAGEKEO

Nagekeo resmi menjadi kabupaten baru, Ngada mesti berbagi wilayah dan praktis menjadi sempit. Kenyataan ini tidak boleh dianggap sepele. Perubahan batas wilayah turut juga mengubah potensi, peluang, dan arah strategi pembangunan. Karena itu, perlu ada wawasan dan alternatif pengembangan baru yang efektif. Sejauh mana?
Dilema Kota Bajawa
Ngada tidak bisa semata-mata bergantung pada kota Bajawa. Sulit untuk diperluas karena kontur wilayahnya yang berbukit-bukit. Cuacanya pun kurang mendukung. Orang tidak bisa betah beraktivitas. Semua lebih memilih masuk rumah, ketimbang berinteraksi. Baik secara sosial budaya, maupun secara ekonomi politik.. Kalau tidak punya daya tarik lebih, kota Bajawa menjadi lebih cepat sepi.
Ngada dan Bajawa letaknya strategis. Sekurang-kurangnya karena berada di tengah. Antara Manggarai, Nagekeo, bahkan Ende, Maumere, dan Larantuka. Jalur transportasi yang sudah semakin lancar memungkinkan Ngada dan Bajawa menjadi singgahan. Persoalannya, kurangnya penciptaan peluang usaha dan waktu yang terbatas karena cuaca membuat Bajawa tidak optimal. Dari Manggarai atau Labuan, orang mungkin baru sampai Bajawa di sore hari. Demikian pun perjalanan dari Larantuka dan Maumere. Sampai di Bajawa, biasanya aktivitas ekonomi sudah selesai. Satu dua toko mungkin masih dibuka. Selebihnya semuanya tutup.
Kondisi seperti ini justru melemahkan nilai strategis dan denyut ekonomi Ngada. Harapannya Bajawa bukan hanya sekedar singgahan untuk menginap. Melainkan juga melakukan berbagai aktivitas, terutama yang berkaitan dengan ekonomi. Praktis hal itu tidak bisa dilakukan. Peredaran uang sudah telanjur “membeku” dalam dingin.
Memang sudah tidak mungkin memindahkan ibu kota ke tempat lain. Pusat perkantoran, persekolahan, dan pasar sudah telanjur dibangun di situ. Lagi pula secara sosial antropologis, Bajawa menjadi tempat yang tepat. Lebih mewakili identitas kultural dan karakter antropologis ras Ngada. Sama seperti Betawi untuk Jakarta. Atau Keraton untuk Jogya.
Pilihan satu-satunya adalah optimalisasi potensi, tata ruang, dan konsep ekonomi. Katakanlah, ada program membuka toko sampai jam sembilan malam. Sehingga orang tidak takut untuk pulang lebih awal. Atau ketinggalan angkot, karena pada jam itu semua sudah sepi. Bisa juga dibuat program, sekolah malam, pusat hiburan malam, hanya supaya memancing aktivitas dengan jam yang lebih panjang. Tidak cepat tutup buku kas. Memacu peredaran uang. Jual beli. Dan kesadaran untuk berbuat lebih. Lebih gigih. Ulet. Tidak dimanjakan oleh situasi.
Golewa sebagai Kota Alternatif
Kalau mau dilihat, sudah saatnya Golewa (Mataloko) menjadi kota alternatif. Golewa tidak kalah ramainya dengan Bajawa. Lagi pula Golewa dengan Mataloko sebagai pusatnya merupakan titik perjumpaan orang Rowa, Maumbawa, Laja, dan Zepe. Berbatasan dengan Nagekeo. Dan merupakan wisata budaya lain yang unik.
Laja dan Maumbawa merupakan perpaduan Maritim dan Agrikultur. Sementara Mataloko merupakan daerah lintasan jalan utama Flores. Alasan ini membuat orang Laja dan Maumbawa, mau tidak mau, harus ke Mataloko. Kemudian baru ke daerah-daerah lain. Orang Laja dan Maumbawa memang butuh akses. Dan kesempatan pertama itu diperoleh melalui Mataloko.
Mataloko juga punya akses yang cukup terbuka dengan lumbung padi Soa. Jalur Mataloko, Zepe, Soa sekalipun belum dikenal secara luas, masih merupakan jalan berbatu-batu, tidak cukup ramai, melintasi daerah persawahan, cukup menjanjikan untuk sebuah pengembangan kota alternatif. Dengan akses yang lebih menjanjikan. Selain melalui Bajawa dan Naru. Orang Soa bisa langsung ke Nageko melalui jalur Mataloko dan Zepe. Barangkali lebih singkat. Tidak makan ongkos dan energi. Sebaliknya, orang Nagekeo, dan bukan tidak mungkin orang Ende, Maumere, Larantuka bisa langsung mengakses ke Soa melalui jalur ini.
Kehadiran kota alternatif Golewa ini merupakan langkah pembendungan. Jangan sampai kabupaten tetangga lebih menarik perhatian ketimbang ibu kota sendiri. Juga demi pemerataan perhatian, pembangunan, dan pembukaan akses. Kalau Ngada tidak pintar-pintar membaca peluang ini, justru Ngada akan tenggelam dalam ketertutupannya. Risikonya jauh lebih merugi. Yaitu hijrahnya sebagian pendapatan daerah ke kabupaten lain. Inilah juga yang disebutkan dengan memanfaatkan peluang yang sudah diberikan alam. Tinggal kemampuan untuk menatanya menjadi sebuah potensi yang efektif. Salah satunya adalah mempercepat proses Mataloko menjadi sebuah kota alternatif.
Riung seperti Aimere
Riung separuh sudah tersentuh dan sebagiannya belum optimal. Daerah tanah subur dengan status ulayat (kebanyakan) itu tidak kalah potensialnya juga dengan Soa, Maumbawa, dan Laja. Kalau bukan persawahan bisa juga prospeknya ke arah perkebunan dan hortikultura. Kalau tidak salah, kontur Riung hampir sama dengan Aimere. Hanya saja Aimere sedikit berdebu. Sedang Riung lebih liat dan subur.
Bisnis pariwisata bisa menjadi alternatif lain. Riung bisa menjadi alternatif peristirahatan dan tour. Potensi wisata tujuh pulau dan komodo menjadikan daerah ini unik untuk sebuah tujuan wisata. Tempat berlibur.
Sebuah pelabuhan translokal bisa dibangun di Riung. Isu ini sejalan dengan ide transportasi air dan laut untuk daratan Flores, yang justru akan menjadi alternatif yang lebih baik ketimbang jalan darat. Persandingannya dengan Mbay, menjadikan Riung berpotensi sebagai daerah bongkar muatan. Pelabuhan jasa dagang. Karena Mbay mungkin saja lebih berkosentrasi ke pelabuhan penumpang.
Lepas dari Ngada, Mbay akan memacu wajah pembangunannya. Riung sebagai kembarannya, karena menyebut Mbay rasanya tidak lengkap tanpa menyebut Riung, seharusnya tidak boleh kalah. Jalan di tempat pun rasanya tidak mungkin. Sekurang-kurangnya Riung harus bisa menarik keuntungan dari geliat pembangunan kota Mbay. Harus sama-sama maju dan tidak boleh ketinggalan. Karena risikonya akan besar kalau saja ada ketimpangan pembangunan. Pemerintah boleh saja ngotot. Tetapi yang akan terjadi adalah pengalihan sejumlah besar potensi daerahnya ke daerah lain tanpa bisa dicegah. SDA, SDM, dan sejumlah potensi yang tentunya memacu pendapatan daerah bisa hilang begitu saja.
Itu artinya, prospek Riung adalah menggandeng Mbay. Orang akan merasa kurang kalau ke Mbay tanpa menginjak Riung. Penciptaan sejumlah “branch” alias kapitalisasi diri melalui produk-produk lokal, wisata kuliner, wisata flora fauna, sampai pada hasil-hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan semestinya menjadi program jangka pendek, sejalan dengan pengembangan kawasan perkotaan di Mbay.
Siapa Yang harus Mulai
Selain Riung, Aimere dan Maumbawa adalah politik interlokal bahkan mungkin internasional Ngada. Dari tempat ini, Ngada “menjual diri”-nya. Ke Kupang, Sumbawa, Makasar, dan bisa jadi ke daerah-daerah lain di seputaran Indonesia dan kancah internasional. Bukan tidak mungkin, mengingat dunia sudah semakin sempit. Sementara Soa, Jerebuu, Mataloko adalah lumbung Ngada. Daerah-daerah ini menjadi penyedia berbagai jasa layanan dan kebutuhan ke dalam.
Umumnya yang terjadi sekarang adalah Bajawa “digebuk” dari segala arah. Mataloko, Soa, Aimere, Riung, dan Jerebuu. Konsentrasi ini kelihatannya tidak menguntungkan. Birokrasinya pun terlalu bertingkat. Waktunya terbatas. Dan cost menjadi lebih besar. Penyempitan ini seharusnya dibuka. Arus perputaran lebih diperlebar dengan cara meluaskan akses dan pembangunan pusat-pusat distribusi baru. Mataloko menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan. Selain optimalisasi potensi Riung, Maumbawa, dan Aimere.
Pertanyaan sekarang, siapa yang harus mulai? Konsentrasi pemerintah mungkin sedang terpecah. Dua kabupaten sama-sama menuntut perhatian penuh. Kalau Nagekeo masih menjadi prioritas, Ngada jangan sampai dilupakan. Ruang yang semakin sempit ini selalu mengundang tantangan optimalisasi. Kalau tidak Ngada tinggal menjadi sebutan di sebuah persinggahan.(*)

COPA FLORETE: LAUDATE PATRIAM!

susah mencari alasan yang sepadan dengan kecintaan masyarakat Flores terhadap bola. Olah kulit bundar itu bukan kultur asli masyarakat Flores. Lebih merupakan produk jiplakan. Tetapi seni atraktif menendang bola di lapangan hijau itu seakan-akan sudah bukan monopoli negara-negara daratan Eropa dan Amerika Latin lagi. Milik penonton, official, pemain, dan masyarakat Flores sesungguhnya. Kerumunan, histeria, eforia antargenerasi versus liukan pemain, strategi, dan derby adalah gambaran menarik dari lapangan Rawamangun, tempat berlangsung Copa Florete. Pesta sepak bola antardaerah sedaratan Flores.
Memang yang disebut asli Flores begitu sulit dicari. Termasuk Karakteristik antropologis sosiologis. Katanya, nenek moyang orang Flores itu asalnya dari Srilangka dan India. Sebagian bercampur dengan darah para pelaut handal, seperti Portugis dan ekspedisi Melayu, Bugis Makasar, Gowa Tallo, dan daerah pesisir pantai dalam jazirah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit. Karena itu, hampir pasti bahwa sebagian besar kultur Flores, juga karakteristik fisik bawaan merupakan warisan dari perluasan dan penyebaran kekuasaan, budaya, dan kepercayaan suku (bangsa) asing.
Namun kalau bicara soal bola, demikian pun sebuah budaya, mesti ada hal baru yang dilahirkan. Tidak semata-mata merupakan murni jiplakan tanpa ada kekhasan. Karena itu pula Flores dikenal dengan keunikan budayanya, ragam adat istiadatnya, juga bahasa dan sistem nilai. Kesemuanya itu bergantung dari lingkungan alam, kontur wilayah, sejauh mana masyarakat Flores bersaing untuk mempertahankan hidup di tanah kecintaannya.
Bola dan Flores, pertama, lingkungan alam yang tidak bersahabat dengan wilayah perbukitan, hutan belukar, kerikil dan debu, menciptakan karakteristik permainan yang ulet, tangguh, ngotot, dan keras. Tidak ada alasan untuk tidak bermain bola di tanah miring, berbukit-bukit, atau berkerikil. Dan bukan bola Flores kalau tidak ada tackle men-tackle, “sleding tidur alias gunting tidur”, atau prinsip “bola boleh lewat asal pemain tidak”. Indahnya permainan sepak bola Flores terletak pada umpan-umpan panjang, memanfaatkan sayap kiri dan kanan, dengan sesekali umpan terobos melalui lini tengah. Bola dibiarkan menggelinding ke depan, penyerang sayap atau penyerang utama beradu ngotot, kejar mengejar dengan pemain bertahan lawan. Kalau sudah dengan taktik sentuhan dari kaki ke kaki, rasanya bukan sepak bola alamiah Flores. Karena itu, sepak bola Flores mirip sekali dengan tradisi permainan Inggris, yang ngotot sampai akhir pertandingan. Malah kalau keliwatan seru, penonton, suporter, official, dan para pemain bisa beradu mulut dan fisik, selain uji strategi.
Kedua, bedanya sangat tipis antara fanatisme dan persaudaraan. Kecintaan terhadap bola sekaligus melahirkan persaudaraan dan fanatisme. Karena itu, sepak bola Flores tidak bertuan. Tidak ada kawan atau lawan abadi. Karena persaudaraan Flores itu seperti arang. Nampak bersatu tetapi rapuh. Kalau sudah dibakar mudah sekali membara. Atau seperti periuk tanah. Tampak kokoh, namun mudah pecah, dan paling baik sebagai penyalur panah (emosi). Sebelum pluit dibunyikan, semua datang ke stadion sebagai satu saudara. Ketika pluit dibunyikan, senyum dari kedua kesebelasan masih saling membekas. Kalau keadaan tetap draw, persaudaraan itu masih nampak akur. Cuma mungkin pemain dan official yang kena getahnya. Tetapi kalau keadaan sudah berubah dalam posisi menang dan kalah. Cerita persaudaraan itu sudah mulai lain. Aroma persaingan, tidak mau kalah, ngotot, harus menang memacu emosi ke puncak adrenalin. Perbedaan pun semakin ditegaskan. Ini kawan dan itu lawan. Itu daerahku dan ini daerahmu. Itu sukuku dan ini sukumu. Fanatisme muncul karena ada bara yang belum selesai dipadamkan.
Ketiga, bola Flores adalah kegembiraan massal. Tontonan semua usia. Dan berpadu bersama musikalitas asli niang tawa tana atau nua sare. Dibuat seperti sebuah pesta adat. Artinya bola hanya sebagai jembatan keledai untuk merayakan kecintaan terhadap tanah air, pada budaya dan adat istiadat. Karena itu, bukan bola Flores, kalau tanpa disertai histeria nyanyian dan tarian. Juga pesta rakyat. Bola bukan tujuan yang sebenarnya. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa tanah air, rumah adat, dan tradisi. Karena itu, bola Flores adalah nyanyian dan pujian pada tanah air, rumah adat, budaya, dan tradisinya. Laudate patriam omnes!
Memindahkan tempat pertandingan sekelas Copa Florete dari tanah airnya di Flores menuju Jakarta sama sekali tidak berpengaruh pada maknanya. Bola Flores tetap pada bentuk dan gayanya. Sebuah seni olah permainan dan apresiasi kepada tanah airnya di tanah rantau. Cuma ada dua hal yang menonjol, yaitu mengenang dan pujian. Mengenang dan memuji tanah air, rumah adat, budaya, keluarga, sanak saudara, dan sahabat kenalan.
Hanya sayang, kekuatan dan potensi seperti ini hanya dihargai sebatas mengenang dan memuji. Tidak ada kesinambungannya. Inilah kelemahan orang Flores. Terlalu terpaku pada masa lalu, menjadi begitu feodal, sampai-sampai melupakan masa depan dan generasi berikut. Saking feodalnya, masa lalu dianggap sebagai takdir dan bukan sebuah estafet, permulaan dari sebuah kebangkitan generasi berikut. Karena itu, sepak bola Flores bisa menjadi cermin sejauh mana orang Flores menjadi peduli dengan masa depan dan generasi berikutnya. Keahlian, keterampilan, kesempatan dan peluang hanya dilihat dari aspek individualitasnya saja dan bukan merupakan keunggulan dan kekayaan bersama, komunitas. Justru karena itu, tidak ada komunitas Flores yang bisa bertahan lama. Termasuk sebuah komunitas bola. Copa Florete kemudian berubah menjadi sebuah otokritik. Untuk Flores, terutama expatriae Flores di Jakarta. Quo vadis?(*)