Rabu, 01 Desember 2010

Melihat Indonesia dari kesultanan Jogja

Saya berkesempatan bertatap muka dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X (SHB) dalam acara serah terima sumbangan untuk korban bencana alam erupsi Gunung Merapi pekan lalu. Dalam benak saya semula SHB bakal hanya meluangkan waktu tidak lebih dari setengah jam untuk menerima kedatangan rombongan ini. Namun, perkiraan saya meleset. SHB berapi-api bercerita dan bertukar pikiran lebih dari dua jam, setelah diingatkan sekretarisnya jadwal acara selanjutnya.
Bertatap muka dengan SHB mengingatkan saya pada kisah betapa Jogja memainkan peran yang sentral di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ibu kota negara pernah dipindahkan ke Jogja. Lebih dari itu, setelah ambruknya Sriwijaya dan Majapahit, juga pengaruh raja-raja lainnya di Indonesia, Kesultanan Jogja akhirnya menjadi satu-satunya yang masih mempertahankan nilai-nilai kerajaan dalam tata kelola pemerintahan. Kesultanan Jogja menjadi peninggalan historis peran raja-raja zaman dulu dalam mengatur dan mengelola kehidupan bermasyarakat.
Saya membayangkan SHB tampil dengan kharisma feodalnya, seperti raja bahkan kepala suku di Indonesia. SHB akan sangat aristokrat dan mengeksploitasi eksistensi kami menjadi warga Jogja sementara waktu yang mau tidak mau "nrimo" kebesarannya. Namun, sekali lagi bayangan saya itu jauh terbalik. Banyak sekali yang dibicarakan SHB terutama tentang keprihatinannya terhadap tata kelola pemerintahan di daerah, pusat, dan negara ini. Kesimpulan saya, dari Jogja seharusnya bangsa ini perlu kembali merefleksikan arti kebangsaan dan kenegaraan.
Pertama, SHB begitu gusar dengan sikap menutup mata pemerintah Indonesia akan potensi maritim di negara kepulauan dan posisi strategis Indonesia sebagai negara maritim di dunia. Seharusnya Indonesia memetik banyak keuntungan dari posisi strategis sebagai negara maritim. Bukan Singapura, Australia, atau Malaysia. SHB mengatakan, nyanyian nenek moyangku seorang pelaut tinggal sebagai nyanyian, sedangkan warisan dan keahlian sebagai seorang pelaut sudah lama hilang dari bumi pertiwi. Indonesia sudah kehilangan banyak waktu dan kesempatan menangguk keuntungan dari keahlian warisan budaya nenek moyang sebagai seorang pelaut.
Kedua, beberapa investor dari luar negeri sulit mempercayai pejabat dan birokrat Indonesia. Banyak investor bahkan pejabat negara lain tidak sunkan-sunkan bertanya dan membuka komunikasi dengan SHB sebelum benar-benar ingin masuk ke Indonesia. Kata mereka, "kami hanya kenal dan percaya SHB di Indonesia." Betapa posisi tawar bangsa ini sudah rusak di mata internasional karena konsistensi baik moral, birokrasi, dan etika pergaulan sangat sulit diterapkan dan dipegang teguh di Indonesia. Atas inkonsistensi itu, keamanan dan kepastian hukum, berikut daya tarik investasi di Indonesia, khusunya di daerah menjadi harga yang mahal.
Ketiga, di era otonomi daerah saat ini, SHB mengingatkan bahwa daerah, terutama decision making di daerah mutlak memiliki jiwa entrepreneur. Pemda perlu meninggalkan mental birokratis dan harus pro aktif sebagai entrepreneur untuk menawarkan, mengelola, dan mengambil nilai tambah dari potensi alam di daerah. Semua potensi di daerah bisa memberikan nilai tambah, asalkan pemda peka secara entrepreneur mengubah potensi dan risiko dari potensi itu menjadi sumber penghasilan untuk daerah dan masyarakat. SHB lantas memberikan beberapa contoh upayanya di Jogja dalam meningkatkan dan memperbesar porsi nilai tambah tersebut.
Keempat, di mata SHB era kapitalisme Barat sudah pudar. Setelah perekonomian AS mengalami guncangan hingga merambah ke Eropa dan sekarang Yunani. Sementara itu, sosialisme di Rusia juga anjlok. Saatnya sekarang dunia berpaling ke Asia. Pelopor kebangkitan Asia adalah Cina dan India. Alasannya sederhana, Eropa dan Amerika tidak memiliki sumber daya alam. Namun, mereka sangat bergantung pada sumber daya alam itu. Asia sudah memiliki modal sendiri dan tidak lagi bergantung pada finansial Eropa dan Amerika. Sementara itu, teknologi dan ahli bisa dibeli. Asia memiliki semua itu dan sekarang saatnya potensi alam itu diberdayakan untuk memperbesar porsi nilai tambah bagi negara, daerah, dan masyarakat.
Indonesia adalah negara paling menjanjikan dari sisi potensi alam, tetapi salah kelola potensi itu menyebabkan negara itu kehilangan momentum dan nilai tambah. Karena itu, sekaranglah saatnya Indonesia harus berubah, pertama-tama dari sisi pola pikir, mental dan moral, birokrasi, lantas mengambil langkah kewirausahaan.
SHB sempat berceritera, Jogja tidak punya banyak potensi kekayaan alam. Sementara itu, permintaan di luar kekayaan yang dimiliki Jogja banyak. SHB tidak tinggal diam. SHB rela mencari sumber potensi alam, seperti ikan ke daerah lain untuk memenuhi permintaan pasokan. Prinsip SHB, yang penting kami bisa bertransaksi, nilai tambah itu pasti akan berdampak untuk Jogja.
SHB juga punya tambang pasir besi, PT Jogja Mangasa Iron, sebuah Kontrak Karya Pertambangan satu-satunya yang ditandatangani setelah masa pemerintahan Presiden Soeharto. Potensi alam, di mata SHB, merupakan jembatan untuk menggerakkan sumber daya manusia. Melalui investasi padat modal, menyerap banyak tenaga kerja akan memberikan nilai tambah yang signifikan untuk daerah dan masyarakat. Begini SHB mengelola tambang pasir besi itu. SHB mewajibkan transaksi sedapat mungkin menggunakan bank pembangunan daerah, kuota pemakaian produk dan barang dalam negeri diperbesar melalui pengalihan subkontraktor daerah, tenaga kerja lokal diprioritaskan, dan community development untuk masyarakat lingkar tambang. Selanjutnya, pemerintah akan mengawasi perusahaan tersebut demi memastikan operasionalisasi itu taat hukum, termasuk perpajakan dan royalti, juga ramah lingkungan. Investor hanya minta dua hal, keamanan dan jaminan kepastian hukum. Soal keuntungan dibagi secara proposional.
Dari perspektif lain, Jogja terkategori sebagai kota sehat layak huni. Sudah dua tahun, Jogja mendapat predikat kota sehat layak huni itu. Tentu saja bukan soal lingkungan, tetapi juga soal keadaban publik yang memungkinkan setiap warga menikmati kehidupan yang pantas. Ada regulasi yang taat asas yang dibangun SHB sehingga warganya mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sesamanya yang lain.
Dari semua itu, harus diakui bahwa SHB berhasil membawa roh kesultanan ke dalam tata kelola pemerintahan dan masyarakat. Fundamental keberhasilan SHB justru terletak di situ, yaitu benar-benar tampil sebagai seorang pemimpin yang dipercayai publik dan mengemban kepemimpinannya itu untuk kemakmuran masyarakat banyak. Pada satu sisi, SHB tetap mempertahankan visi kesultanan, yang gagal dilihat banyak orang sebagai monarki, supaya kemudi dari tata kelola pemerintahan dan masyarakat itu bisa dikendalikan dalam sebuah tujuan bersama. Setiap warganya "manut" pada sultan, bukan karena takut, bukan juga soal fungsional belaka, tetapi taat pada kewibaan kesultanan yang bekerja demi mewujudkan tujuan bersama.
Setelah "manut" sebagai mandat itu diterima SHB, sang "raja" itu tidak kalap mata untuk bertindak feodal dan birokratis. SHB berhasil keluar dari sikap kebanyakan darah biru dan beralih menjadi pemimpin keraton yang berjiwa wirausaha. Seperti raja-raja dulu yang wajib memakmurkan warganya, dengan entrepreneur SHB melandasi pola pikir masyarakat Jogja untuk mengambil kesempatan, peluang usaha yang datang dari penjuru manapun. SHB sendiri turun tangan dan memberikan contoh. Dia ada di medan tempur untuk memimpin dan menyemangati warganya.
Dengan cara demikian, pertumbuhan ekonomi Jogja lambat laun meningkat, dari 3% per tahun menjadi 4-5% tahun. SHB mengatakan, erupsi gunung Merapi kali ini memang yang terparah. Ekonomi sebagian besar masyarakat Jogja lumpuh. Pendapatan turun drastis dari sebelumnya 80% per hari menjadi 10% per hari. Pertumbuhan ekonomi bisa jadi melorot lagi ke 3%. Tetapi, di balik bencana itu ada hikmahnya. SHB percaya, di tengah bencana selalu ada berkah. Nampak secara spiritual, SHB tengah membangkitkan kembali semangat warganya untuk bangun dari keterpurukan.
Sekali lagi, Indonesia justru harus dilihat dari Jogja. Ketika saat ini ada beberapa pihak seolah-olah mempertanyakan keistimewaan Jogja sebagai pemerintahan monarki dan kelihatannya ingin menghilangkan keistimewaan itu, upaya itu sepertinya akan menghilangkan integritas dan ciri khas ke-Indonesia-an, juga kepercayaan publik internasional akan moral bangsa ini dari sudut kesultanan Jogja. Mereka gagal melihat kesultanan Jogja sebagai sebuah entitas lengkap yang berhasil memadukan prinsip kenegarawan, kebangsaan, kepemerintahan, dan entrepreneur dengan etika moral dan spiritualitas bermasyarakat.(*)