Nagekeo resmi menjadi kabupaten baru, Ngada mesti berbagi wilayah dan praktis menjadi sempit. Kenyataan ini tidak boleh dianggap sepele. Perubahan batas wilayah turut juga mengubah potensi, peluang, dan arah strategi pembangunan. Karena itu, perlu ada wawasan dan alternatif pengembangan baru yang efektif. Sejauh mana?
Dilema Kota Bajawa
Ngada tidak bisa semata-mata bergantung pada kota Bajawa. Sulit untuk diperluas karena kontur wilayahnya yang berbukit-bukit. Cuacanya pun kurang mendukung. Orang tidak bisa betah beraktivitas. Semua lebih memilih masuk rumah, ketimbang berinteraksi. Baik secara sosial budaya, maupun secara ekonomi politik.. Kalau tidak punya daya tarik lebih, kota Bajawa menjadi lebih cepat sepi.
Ngada dan Bajawa letaknya strategis. Sekurang-kurangnya karena berada di tengah. Antara Manggarai, Nagekeo, bahkan Ende, Maumere, dan Larantuka. Jalur transportasi yang sudah semakin lancar memungkinkan Ngada dan Bajawa menjadi singgahan. Persoalannya, kurangnya penciptaan peluang usaha dan waktu yang terbatas karena cuaca membuat Bajawa tidak optimal. Dari Manggarai atau Labuan, orang mungkin baru sampai Bajawa di sore hari. Demikian pun perjalanan dari Larantuka dan Maumere. Sampai di Bajawa, biasanya aktivitas ekonomi sudah selesai. Satu dua toko mungkin masih dibuka. Selebihnya semuanya tutup.
Kondisi seperti ini justru melemahkan nilai strategis dan denyut ekonomi Ngada. Harapannya Bajawa bukan hanya sekedar singgahan untuk menginap. Melainkan juga melakukan berbagai aktivitas, terutama yang berkaitan dengan ekonomi. Praktis hal itu tidak bisa dilakukan. Peredaran uang sudah telanjur “membeku” dalam dingin.
Memang sudah tidak mungkin memindahkan ibu kota ke tempat lain. Pusat perkantoran, persekolahan, dan pasar sudah telanjur dibangun di situ. Lagi pula secara sosial antropologis, Bajawa menjadi tempat yang tepat. Lebih mewakili identitas kultural dan karakter antropologis ras Ngada. Sama seperti Betawi untuk Jakarta. Atau Keraton untuk Jogya.
Pilihan satu-satunya adalah optimalisasi potensi, tata ruang, dan konsep ekonomi. Katakanlah, ada program membuka toko sampai jam sembilan malam. Sehingga orang tidak takut untuk pulang lebih awal. Atau ketinggalan angkot, karena pada jam itu semua sudah sepi. Bisa juga dibuat program, sekolah malam, pusat hiburan malam, hanya supaya memancing aktivitas dengan jam yang lebih panjang. Tidak cepat tutup buku kas. Memacu peredaran uang. Jual beli. Dan kesadaran untuk berbuat lebih. Lebih gigih. Ulet. Tidak dimanjakan oleh situasi.
Golewa sebagai Kota Alternatif
Kalau mau dilihat, sudah saatnya Golewa (Mataloko) menjadi kota alternatif. Golewa tidak kalah ramainya dengan Bajawa. Lagi pula Golewa dengan Mataloko sebagai pusatnya merupakan titik perjumpaan orang Rowa, Maumbawa, Laja, dan Zepe. Berbatasan dengan Nagekeo. Dan merupakan wisata budaya lain yang unik.
Laja dan Maumbawa merupakan perpaduan Maritim dan Agrikultur. Sementara Mataloko merupakan daerah lintasan jalan utama Flores. Alasan ini membuat orang Laja dan Maumbawa, mau tidak mau, harus ke Mataloko. Kemudian baru ke daerah-daerah lain. Orang Laja dan Maumbawa memang butuh akses. Dan kesempatan pertama itu diperoleh melalui Mataloko.
Mataloko juga punya akses yang cukup terbuka dengan lumbung padi Soa. Jalur Mataloko, Zepe, Soa sekalipun belum dikenal secara luas, masih merupakan jalan berbatu-batu, tidak cukup ramai, melintasi daerah persawahan, cukup menjanjikan untuk sebuah pengembangan kota alternatif. Dengan akses yang lebih menjanjikan. Selain melalui Bajawa dan Naru. Orang Soa bisa langsung ke Nageko melalui jalur Mataloko dan Zepe. Barangkali lebih singkat. Tidak makan ongkos dan energi. Sebaliknya, orang Nagekeo, dan bukan tidak mungkin orang Ende, Maumere, Larantuka bisa langsung mengakses ke Soa melalui jalur ini.
Kehadiran kota alternatif Golewa ini merupakan langkah pembendungan. Jangan sampai kabupaten tetangga lebih menarik perhatian ketimbang ibu kota sendiri. Juga demi pemerataan perhatian, pembangunan, dan pembukaan akses. Kalau Ngada tidak pintar-pintar membaca peluang ini, justru Ngada akan tenggelam dalam ketertutupannya. Risikonya jauh lebih merugi. Yaitu hijrahnya sebagian pendapatan daerah ke kabupaten lain. Inilah juga yang disebutkan dengan memanfaatkan peluang yang sudah diberikan alam. Tinggal kemampuan untuk menatanya menjadi sebuah potensi yang efektif. Salah satunya adalah mempercepat proses Mataloko menjadi sebuah kota alternatif.
Riung seperti Aimere
Riung separuh sudah tersentuh dan sebagiannya belum optimal. Daerah tanah subur dengan status ulayat (kebanyakan) itu tidak kalah potensialnya juga dengan Soa, Maumbawa, dan Laja. Kalau bukan persawahan bisa juga prospeknya ke arah perkebunan dan hortikultura. Kalau tidak salah, kontur Riung hampir sama dengan Aimere. Hanya saja Aimere sedikit berdebu. Sedang Riung lebih liat dan subur.
Bisnis pariwisata bisa menjadi alternatif lain. Riung bisa menjadi alternatif peristirahatan dan tour. Potensi wisata tujuh pulau dan komodo menjadikan daerah ini unik untuk sebuah tujuan wisata. Tempat berlibur.
Sebuah pelabuhan translokal bisa dibangun di Riung. Isu ini sejalan dengan ide transportasi air dan laut untuk daratan Flores, yang justru akan menjadi alternatif yang lebih baik ketimbang jalan darat. Persandingannya dengan Mbay, menjadikan Riung berpotensi sebagai daerah bongkar muatan. Pelabuhan jasa dagang. Karena Mbay mungkin saja lebih berkosentrasi ke pelabuhan penumpang.
Lepas dari Ngada, Mbay akan memacu wajah pembangunannya. Riung sebagai kembarannya, karena menyebut Mbay rasanya tidak lengkap tanpa menyebut Riung, seharusnya tidak boleh kalah. Jalan di tempat pun rasanya tidak mungkin. Sekurang-kurangnya Riung harus bisa menarik keuntungan dari geliat pembangunan kota Mbay. Harus sama-sama maju dan tidak boleh ketinggalan. Karena risikonya akan besar kalau saja ada ketimpangan pembangunan. Pemerintah boleh saja ngotot. Tetapi yang akan terjadi adalah pengalihan sejumlah besar potensi daerahnya ke daerah lain tanpa bisa dicegah. SDA, SDM, dan sejumlah potensi yang tentunya memacu pendapatan daerah bisa hilang begitu saja.
Itu artinya, prospek Riung adalah menggandeng Mbay. Orang akan merasa kurang kalau ke Mbay tanpa menginjak Riung. Penciptaan sejumlah “branch” alias kapitalisasi diri melalui produk-produk lokal, wisata kuliner, wisata flora fauna, sampai pada hasil-hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan semestinya menjadi program jangka pendek, sejalan dengan pengembangan kawasan perkotaan di Mbay.
Siapa Yang harus Mulai
Selain Riung, Aimere dan Maumbawa adalah politik interlokal bahkan mungkin internasional Ngada. Dari tempat ini, Ngada “menjual diri”-nya. Ke Kupang, Sumbawa, Makasar, dan bisa jadi ke daerah-daerah lain di seputaran Indonesia dan kancah internasional. Bukan tidak mungkin, mengingat dunia sudah semakin sempit. Sementara Soa, Jerebuu, Mataloko adalah lumbung Ngada. Daerah-daerah ini menjadi penyedia berbagai jasa layanan dan kebutuhan ke dalam.
Umumnya yang terjadi sekarang adalah Bajawa “digebuk” dari segala arah. Mataloko, Soa, Aimere, Riung, dan Jerebuu. Konsentrasi ini kelihatannya tidak menguntungkan. Birokrasinya pun terlalu bertingkat. Waktunya terbatas. Dan cost menjadi lebih besar. Penyempitan ini seharusnya dibuka. Arus perputaran lebih diperlebar dengan cara meluaskan akses dan pembangunan pusat-pusat distribusi baru. Mataloko menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan. Selain optimalisasi potensi Riung, Maumbawa, dan Aimere.
Pertanyaan sekarang, siapa yang harus mulai? Konsentrasi pemerintah mungkin sedang terpecah. Dua kabupaten sama-sama menuntut perhatian penuh. Kalau Nagekeo masih menjadi prioritas, Ngada jangan sampai dilupakan. Ruang yang semakin sempit ini selalu mengundang tantangan optimalisasi. Kalau tidak Ngada tinggal menjadi sebutan di sebuah persinggahan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar