Mengenang Rm Bernardus Sebho, Pr
Dia disemayamkan di Kapela St Alfonsus Liguori, Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Kapela itu buah karya dan jerih payahnya. Sepertinya dia sudah mempersiapkan ruang tunggunya, sebelum masuk ke kediaman abadi.
Berita kepergian Rm Bernardus Sebho, Pr ke Rumah Bapa cukup mengejutkan. Sedemikian tiba-tiba. Di saat Alumni Seminari Mataloko sedang memantau saat demi saat kondisi P Alfons Engels, Sang Maestro Pedadog yang tengah terbaring sakit. Dua orang ini, baik Rm Nadus maupun P Alfons, adalah irisan dari Penyelenggaraan Ilahi dan Karya Manusia, terutama untuk mentahbiskan generasi bermutu dari Lembah Sasa.
Rm Nadus, demikian sapaannya, lahir di Maunori pada 28 April 1958. Dia adalah Kepala Sekolah Seminari Mataloko periode 1993 hingga 2000, masa peralihan pengelolaan Seminari Mataloko dari SVD ke Imam Projo. Selanjutnya, Rm Nadus diangkat menjadi Praeses (Bapa Rumah) Seminari Mataloko pada 2001 hingga 2006. Beliau menjadi Praeses Imam Projo kedua setelah Rm Albinus Rupa, Pr.
Beberapa alumni Seminari Mataloko mengenang Beliau sebagai guru mata pelajaran agama. Tetapi, Rm Nadus kadang masuk kelas untuk menyentil berbagai pelajaran seperti Bahasa Inggris, Matematika, atau Fisika. Dalam kelompok lebih kecil, Beliau adalah guru Public Speaking. Untuk figurnya di depan kelas, dia nampak sangat cerdas. Juga seorang motivator. Kesukaannya adalah membuka cakrawala baru. Karena itu, pelajaran agama bukan lagi soal mengamini kutipan Kitab Suci dan menghafal Hidup dan Karya Yesus. Lebih dari itu, Rm Nadus mengajak siswanya untuk berpikir analitis, kritis, dan praktis. Dan yang terutama adalah praktis.
"Apa gunanya agama jika tidak berfungsi dan bermakna dalam keseharian hidup kita? Inkarnasi itu letaknya adalah pengejawantahan iman dalam hidup nyata kini," katanya ketika berdiri di depan kelas suatu ketika.
Sekali waktu, Rm Nadus menginspirasi para siswanya supaya tidak hanya sekedar mampu berbicara, tetapi wajib berbicara padat, berisi, menarik, dan memukau.
"Jika jarum yang jatuh bisa didengar oleh semua orang pada suatu forum ketika kalian berbicara, kalian sudah berhasil menjadi seorang pembicara yang menarik," kata dia.
Rupanya Rm Nadus adalah penikmat seni. Dia jatuh cinta pada Si Burung Merak WS Rendra. Dia juga pengagum "Aku" Chairil Anwar dan bersimpuh dalam suasana hikmat berkat "Doa" penyair yang sama: Di pintuMu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling.
Kata-kata kunci ini: analitis, kritis, dan terutama praktis. Lalu, padat, berisi, menarik, dan memukau. Sedikit memberontak ala WS Rendra dan “Aku” Chairil Anwar. Tetapi, tetap reflektif seperti “Doa” Chairil Anwar. Itulah Rm Nadus.
Kata-kata kunci ini: analitis, kritis, dan terutama praktis. Lalu, padat, berisi, menarik, dan memukau. Sedikit memberontak ala WS Rendra dan “Aku” Chairil Anwar. Tetapi, tetap reflektif seperti “Doa” Chairil Anwar. Itulah Rm Nadus.
Tidak heran jika Beliau begitu lekat dikenal umat paroki Wangka dengan jargon: Nadus tidak mau tahu, Sebho tidak mau repot. Dia tegas, prinsipil. Seperti terasa dia sedang memberontak di kepala kebanyakan orang. Demi sebuah kebaikan bersama, apalagi untuk pengejawantahan iman yang praktis, dia adalah Aku-nya si Chairil Anwar. Tidak mau seorang pun kan merayu, kendati peluru menembus kulit. Setelah melakukan "pemberontakan" itu, Rm Nadus akan menyelesaikannya dengan solusi yang lebih praktis. Tidak mau repot. Ketegasan itu pula yang dia tunjukkan untuk Paroki Mangulewa dan Jerebuu.
Dalam salah satu kesempatan asistensi bersama Beliau di Maunori, paroki tempat kelahirannya, dia pernah mengatakan, "iman adalah puisi yang senantiasa berlari." Lanjut dia, "puisi itu butuh inspirasi. Butuh rahim untuk dilahirkan. Sama seperti iman, butuh inspirasi untuk dilahirkan. Umat adalah rahim iman. Mari kita berlari kepada rahim itu untuk iman dan puisi hidup kita."
Saat itu saya menjadi mengerti, mengapa Bapa Rumah kami itu "sering" tidak dijumpai di Seminari. Dia seolah-olah membiarkan anak-anaknya sendirian. Karena Rm Nadus, entah sebagai Kepala Sekolah maupun Bapa Rumah, akan melangkahkan kakinya keluar untuk bersilahturahmi dengan umat, sahabat, dan kenalannya.
Tentang ini ada sisi paradoksal untuknya. “Dia selalu pulang subuh. Entah apa yang dilakukannya di luar Seminari. Hingga kadang dia harus dibangunkan untuk memimpin misa harian di Kapela SMP atau SMU jika itu memang menjadi jadwalnya. Kadang, hanya karena pulang subuh itu, misa harian akhirnya dilakukan sore hari. Itu kalau lagi apes, karena koster tidak mampu mencari pengganti. Kadang Rm Nadus kelihatan memimpin misa sambil mengantuk. Ini memang bukan contoh yang baik untuk harga sebuah kedisiplinan seperti kebiasaan di Seminari.”
Namun, Rm Nadus selalu tahu misi yang harus dilakukannya sebagai Bapa Rumah. Dalam situasi serba terbatas, Seminari harus tetap menghasilkan buah.
Teringat sambutan Rm Nadus pada akhir sidang BP3 pada 20 Juli 1999. Selaku Praeses kala itu, dia mengatakan, “Dengan kegiatan BP3 ini Seminari mulai menemukan ibunya sendiri, yaitu umat. Seminari telah dikembalikan dari statusnya sebagai Seminari Hierarki-karena hanya menjadi urusan hierarki-kepada Seminari Umat.”
Jika ingin terus berbuah, Seminari Mataloko tidak punya pilihan lain kecuali membuka diri kepada umatnya. Kepada ibu yang melahirkannya. Keyakinan itulah yang dia bawa dalam lawatannya di tengah umat. Dengan cara itu pula, Seminari Mataloko dipulangkan kepada asalnya. Lalu dimulailah era BP3 yang mengawal pendidikan Seminari. Puncaknya pada Perayaan Intan Seminari Mataloko di Tahun 2005. Seminari Mataloko benar-benar menjadi milik umat, yang berpadu pada intimasi perayaan ekaristi dan makan bersama sebagaimana layaknya Perayaan Syukur sesuai adat istiadat masyarakat Ngada. Rm Nadus adalah otak di balik perayaan itu. Karena lawatan demi lawatan itu, semua pekerjaan menjadi begitu mudah. Yah, dia tahu bagaimana harus menjaga, merawat, dan membesarkan Seminari Mataloko untuk terus menghasilkan buah.
Dari Seminari Mataloko, Rm Nadus ke Jerebuu. Rupanya Jerebuu hanyalah titian menuju jabatan Vikaris Episkopal (Vikep) Bajawa. Dalam titian itu, Rm Nadus dibasuh kembali dalam rahim puisi yang senantiasa berlari. Dia begitu nyaman dan bahagia untuk sebuah Reba Jerebuu yang dialaminya. Karena hanya dengan dekat pada rahim yang melahirkan puisi dan iman itulah, Rm Nadus selalu punya inspirasi untuk mewartakan dan mengejawantahkan inkarnasi Kristus.
Rm Nadus sedang mempersiapkan pesta perak tahbisannya tahun ini. Panitia telah terbentuk. Rumah kediaman yang sedianya akan digunakan untuk tempat perayaan sedang direnovasi. Tatkala Tuhan memanggil, Rm Nadus sedang mempersiapkan diri melawat ke Paroki Boba pada Sabtu (18/2) kemarin. Dia jatuh dan tak tertolong. Tuhan memanggilnya di saat dia sedang merindu untuk kembali ke rahim puisinya. Maka, berbahagialah umat Boba. Tangan sang seniman Tuhan itu sedang merentang untuk memanjatkan doa. Dia seolah-olah sedang menjemput teriakan “sudah selesai” di salib dengan tetap memeluk kecintaannya untuk berada dalam lawatan umatnya.
Yah, Rm Nadus memang selalu berlari. Tidak pernah dia bisa tinggal diam. Atau terpekur di salah satu ruangan. Bahkan kamarnya sendiri. Dia selalu dijumpai dalam pertemuan, lawatan, dan silahturahmi.
Bingkai cerita dari kepergian Rm Nadus sama persisnya dengan keseluruhan cerita Yesus. Tuhan itu lahir dalam sebuah perjalanan. Pertama-tama bermula dari ziarah kepasrahan seorang Maria setelah menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel. Maria lantas mengungjungi Elisabeth, saudaranya. Kemudian di tengah usia kandungannya yang semakin membesar, Yusuf harus mengungsikan Maria dari Nazareth untuk mendaftarkan diri ke Bethlehem. Dalam perjalanan itu, Yesus lahir.
Cerita perjalanan itu pun berlanjut. Para gembala bergegas menuju kandang Bethlehem untuk menyaksikan Yesus setelah mendapat kabar dari Malaikat Gabriel. Sementara itu, Tiga Raja dari Timur terpaksa harus berjalan jauh untuk menjumpai Sang Juru Selamat yang sudah diramalkan sejak masa Perjanjian Lama.
Yesus pun harus dilarikan Yusuf ke Mesir oleh ancaman Raja Herodes. Mesir mengingatkan gereja pada perjalanan Musa dan bangsa pilihan menuju ke tanah terjanji. Setelah itu, Yesus mulai mengajar, menyembuhkan, dan membuat banyak mukjizat dari kunjungan dan lawatan-Nya.
Babak paling radikal adalah ketika Dia harus menempuh perjalanan menuju golgota dengan memanggul salib. Namun, Dia akhirnya bangkit dan mewartakan kabar gembira itu dalam perjalanan-Nya bersama dua murid ke Galilea. Dia bangkit pada ketergesaan dan lari cepat para murid menuju kubur-Nya. Dia bangkit pada lawatan-Nya kepada para murid-Nya.
Tidak berlebihan, keyakinan Rm Nadus soal lawatan itu adalah permenungan panjang dirinya tentang agama, iman, dan inkarnasi Kristus dalam hidup nyata. Dia memang tidak mau tahu dan tidak mau repot. Karena iman tidak butuh dibumbui dan didandani. Iman hanya butuh sesuatu yang tidak dibuat-buat, yang hidup dalam dinamika dan keseharian. Karena itu, iman itu perlu ditemukan melalui lawatan dan silahturahmi. Melalui gerak turun. Seperti yang sudah dilakukan Rm Nadus sepanjang dia memikul salibnya. Dia telah menggapai perak imamatnya dalam pelukan Sang Pembaca Puisi, sebuah Puisi yang senantiasa berlari. Dan orang-orang yang pernah mengalami lawatannya pun tumpah ruah melepaspergikan Sang Gembala Baik itu. Dalam dada mereka, kunjungan Rm Nadus tetap membekas di hati.(*)