Jumat, 13 Juni 2008

Mari Menjual Daerah: Pilkada NTT


Sebelum Pilkada, rakyat selalu menjadi yang nomor satu. Sang calon sangat sensitif publik. Persoalan dan penderitaan rakyat terbentang seperti “balok” di pelupuk mata. Namun, sudah lumrah, balok itu menjadi setitik noktah, malah nyaris tak tersentuh, ketika kursi panas itu sudah terduduki. Mengapa?

Politik Selebrita

Pilkada seperti layar lebar, sejenak mengangkang ke pikiran dan membooming. Kemudian, lewat waktu, ia terbujur nyaris mati.

Pamflet, selebaran, spanduk, kampanye bercampur massa merupakan bagian dari hipnotisasi itu. Semua pikiran seperti tertekuk, menyorot tajam pada sosok yang ingin memimpin. Pikiran pada kehidupan menjadi gamang. Kehidupan nyata lantas terlupakan, karena kata dan janji itu seperti mencerapkan bahasa hiburan tak berhenti, dengan kepuasaan berjengkal-jengkal.

Visi dan misi, tertulis seperti kata-kata hidup, yang terlahir dari pembacaan kilas rangkai harapan massa. Namun, penggelembungan itu menjadi santet, seperti meneror dan mengintimidasi tanpa rasa sakit dan takut. Malah orang terbawa, menjadi satu hati karena tak sadar tersiksa dalam kerangkeng itu.

Sosok, lebih sesak karena menilai sendiri kebenarannya. Sosok seperti mengutuk, menularkan wabah pada masyarakat. Namun, tiada seorang pun tahu, seperti apa dirinya menjadi, sebelum tersohor menjadi calon. Sosok menjadi popok, begitu pasrah menampung “kotoran”, seolah-olah sekian mendengarkan, merasa senasib dan sepenanggungan, dan mengkahyalkan kebahagiaan bersama dari sebuah kursi, dengan kue yang diperebutan banyak kepentingan.

Surat kabar, majalah, buletin, berpihak pada siapa? Menjual diri untuk meluputkan loper dari kemiskinan? Atau merubrikkan konflik dengan menceritakan kebaikan dan keburukan dari sisi yang cover both side (katanya!).

Celah ini menjadi semakin takabur, karena bercampur dengan mamon (duit). Tangan terendah membuka dan mengatup, dengan genggaman penuh durian jatuh. Apa pula yang terjadi, kehidupan itu terkapar dalam gengaman antara duit dan saku, perut dan kehendak. Satu piring ubi tatas bisa diganti dengan Rp 50 ribu bahkan Rp 100 ribu per kepala keluarga, hanya untuk mencari pendukung. Benar-benar “Bantuan Tunai Langsung.” Sementara parpol berpesta pora, KUPD kegenitan, sosok mengelus kursi, toh rakyat tetap gigit jari. Cuma bisa melihat, mendengar, mengagumi, namun tiada pernah bisa memiliki duit sekitar Rp 10 juta, bahkan sepanjang hidupnya, pada tawar menawar di lantai bursa pencalonan tersebut.

Pilkada, memiskinkan atau malah memperkaya? Benar, dua-duanya sedang bertarung, untuk memiskinkan dan memperkaya, tergantung pada siapa membayar siapa, menang atau kalah. Sesudahnya, menguap menjadi senyap!

Menjual Daerah

NTT, semua mata tengah memandang. Ada emas, batubara, fosfor, biji besi, panas bumi. Katanya, potensial!

Krisis energi, minyak melambung, dolar makan rupiah, tetapi pilkada tetap hiruk pikuk.

NTT itu miskin, tertinggal. Bocah-bocahnya kurang gizi. Tetapi, kok sebagian dari mereka di tanah rantau (kaum diaspora NTT) gemuk-gemuk?

Tiga kenyataan ini adalah pilihan sambung bersambung. Pertama, melihat potensi, pemimpin terpilih membubuhkan tanda tangan pada kontrak karya, dan sebuah daerah dari hektar luas pertanian, perkebunan, peternakan, perkampungan melayang ke meja para kuasa tambang. Kedua, tambang menghidupkan pendapatan daerah, menumbuhkan perekonomian dan berakibat pada pendapatan per kapita. Atau merupakan jalan keluar zero to zero, setelah pesta politik itu berakhir dengan utang? Ketiga, bocah-bocah itu kehilangan tempat bermain dan makanan mereka, karena ladang mereka sudah disulap menjadi perkampungan lumpur dan limbah. Keempat, dengan cara apa lagi untuk meyakinkan sang terpilih bahwa ruang hidup yang sudah terpelihara bertahun-tahun itu hanya perlu ditriger menjadi lahan usaha yang local contain. Kelima, penghematan dan pertumbuhan, efisiensi dan elaborasi hanya bisa datang dari pencermatan ruang hidup dan kebiasaan boros memboros. Tradisi yang boros, agama yang boros, pendidikan yang boros, energi yang boros, informasi yang boros, politik yang boros, dan waktu yang boros. Ini yang harus diubah. Mulai menyikapi krisis energi, inflasi, dengan tidak memboros!

Namun, persoalannya ada pada sang terpilih. Sering dan sangat mungkin, daerah, hektar per hektar dijual dengan MOU dan tanda tangan. Rakyat menggelepar. Pilkada, dari pesta menjadi utang. Utang dibayar tanah. Tanah dibayar tangis dan darah. Dan NTT, dari potensial menjadi potensialan(ha...ha.....ha....!).