Kepedulian terhadap kondisi anak selalu bersifat membelah dan memilah. Di satu sisi, term “kepentingan terbaik anak” itu seolah-olah hanya diperuntukkan bagi sebagian anak. Dan di sisi lainnya, masih banyak anak yang terabaikan, bahkan dilupakan hak-haknya. Kelompok anak pertama, yang nasibnya lebih beruntung itu, menikmati sejumlah akses terhadap pangan, pendidikan, kesehatan, partisipasi secara memadai. Sementara kelompok kedua mempunyai akses yang sangat terbatas, malah tidak punya pilihan. Dan tidak heran kalau jumlah kelompok kedua itu jauh lebih besar ketimbang kelompok pertama.
Pendidikan dan Kesehatan
Istilah “sekolah unggul”, “sekolah bertaraf internasional”, “sekolah plus” justru memarginalkan sebagian anak. Berbarengan dengan istilah itu, ada gejala pengkastaan di wilayah pendidikan. Bahwa hanya anak-anak yang mampu secara jasmani, punya rangking akademik yang bagus, berduit, dan tinggal di wilayah perkotaan yang bisa menikmati pendidikan seperti itu. Lain dari itu, anak-anak disfabel dan dari golongan kelas menengah ke bawah, tersembunyi di pelosok pedesaan dan di gubuk-gubuk tidak mampu memiliki kesempatan yang sama. Kecuali mengharapkan beasiswa dan kebijakan sekolah gratis.
Berita-berita miris seperti gedung sekolah terendam banjir, ambruk dihantam angin puting beliung, rusak berat karena dimakan usia, berikut nasib guru yang tidak jelas, inkonsistensi kurikulum dan UAN turut menyumbangkan keprihatinan tersebut. Berdasarkan pemantauan YPHA, setidak-tidaknya tiga sampai lima sekolah dalam sebulan yang sengaja diliburkan karena hambatan yang sifatnya infrastruktur tersebut. Belum lagi perbedaan kualitas guru yang mempengaruhi cara menyampaikan materi. Persoalan ketidakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar telah ada di tingkat dasar. Klaim pemerintah sudah tercapai 92,52 persen wajib belajar atau wajar sembilan tahun persen pada anak usia 13-15 di tahun 2007 justru mengeliminasi tingkat drop out anak-anak dengan berbagai alasan seperti biaya sekolah yang makin tinggi, tidak lulus UAN, anak dipaksa meninggalkan bangku sekolah karena dipaksa kawin atau bekerja. Angka fantastis ini justru dicatat berdasarkan jumlah pendaftaran masuk sekolah tanpa dikurangi jumlah drop out.
Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia 2007/2008 menunjukkan adanya kemajuan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Umur harapan hidup meningkat, angka kematian bayi dan angka kematian ibu menurun. Senada dengan itu, UNICEF menilai adanya penurunan jumlah kematian anak di bawah 5 tahun di seluruh dunia. Setiap tahun angka kematian anak di bawah 5 tahun berkurang, dari 10 juta pada tahun 2006 menjadi 9,7 juta pada 2007. Penyebarluasan gerakan pemberian air susu ibu (ASI) serta gerakan melawan campak dan malaria telah berhasil memicu perkembangan kesehatan anak-anak di seluruh dunia.
Akan tetapi parameter ini menjadi gamang kalau saja disandingkan dengan kejadian luar biasa yang menimpa anak Indonesia sepanjang tahun 2007 ini. Wabah malaria, diare, serangan virus Flu Burung, ISPA, TBC, kasus gizi buruk dan busung lapar, berikut makin besarnya jumlah anak-anak yang terjangkit virus mematikan HIV AIDS adalah catatan dengan jumlah korban terbesar di pihak anak sepanjang tahun 2007 ini. Sebagai gambaran, dari 477.829 balita di NTT, jumlah yang menderita gizi kurang adalah 85.604 anak balita, 12.925 menderita gizi buruk, 425 balita menderita marasmus dan meninggal adalah 35 orang yang tersebar pada 16 kabupaten/ kota. Jumlah ini tidak terlalu jauh berbeda dari propinsi-propinsi lain di Indonesia.
Persoalan yang mendasari masalah kesehatan adalah kemiskinan. Menyempitkan arti, ketiadaan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Kondisi ini diperberat lagi dengan jumlah anak yang banyak. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran yang lain terlalu dekat. Biaya pengobatan dan rumah sakit melambung. Harga susu melonjat tinggi. Pola makan keluarga pun turut disesuaikan. Jatah pertama diberikan pada ayah sebagai kepala keluarga, anak-anak, baru kemudian ibu. Hal seperti ini sangat tidak menguntungkan untuk ibu yang sedang mengandung. Pasokan gizi untuk ibu hamil sangat terbatas. Gizi anak dalam kandungan pun tidak terjamin.
Masalah berikut adalah keluarga miskin dengan pendidikan rendah sangat minim pengetahuan akan makanan bergizi dan kesehatan. Prinsipnya, yang penting bisa kenyang. Tidak peduli bergizi atau tidak. Selagi anak-anak tidak panas dingin, muntah, menceret, anak itu dipandang sehat dan bergizi. Perut buncit sebagai ciri-ciri gizi buruk belum menjadi pertanda yang mengejutkan. Baru sesudah kaki mulai mengecil, berat badan menurun drastis, dan lesu lemas, orang tua kemudian membawa anak tersebut ke puskesmas. Dari situ, keluarga yang minim pengetahuan itu baru menyadari anaknya menderita gizi buruk.
Kekerasan dan Eksploitasi
Pada saat yang sama, kekerasan dan eksploitasi terhadap anak terjadi bervariasi menurut sifat dan keseriusannya. WHO memperkirakan sekitar 20 sampai 65 persen anak-anak usia sekolah mengalami bullying baik secara verbal maupun secara fisik selama 30 hari. 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki yang berusia di bawah 18 tahun mengalami hubungan seks paksa yang melibatkan kontak fisik. 218 juta anak terlibat dalam perburuhan anak, dan 126 juta di antaranya bekerja di lingkungan yang membahayakan.
Konteks Indonesia tidak jauh berbeda dari catatan WHO tersebut. Corporal punishment seperti kasus perpeloncoan IPDN, kasus SMA 34 Pondok Labu, penusukan sampai mati Riyan Herdiyana, sindikat penjualan gadis di bawah umur di Surabaya, Tarakan, Kalimantan Timur, Sabah, Batam dan masih banyak kasus lain adalah fakta nyata kekerasan dan eksploitasi tersebut.
Institusi negara sendiri melakukan kekerasan terhadap anak. Pelapor Khusus PBB Manfred Nowak sangat prihatin terkait tanggung jawab kriminal di Indonesia yang dimulai sejak umur delapan tahun. Karena itulah, anak-anak kecil dapat dimasukkan ke penjara, yang sering kali digabung dengan remaja dan orang dewasa. Padahal, anak-anak berisiko tinggi terhadap hukuman fisik dan perlakuan yang menyakitkan di tempat penahanan, seperti pemukulan, penyiksaan, disodomi.
Menurut hasil Konsultasi Kekerasan terhadap Anak yang dilakukan pada 18 propinsi di Indonesia, mencakup 580 anak perempuan dan laki-laki, disimpulkan bahwa kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak. Sejak usia dini anak-anak sudah dikenalkan pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari yang verbal, fisikal, hingga seksual. Dan 80 persen kekerasan terhadap anak itu dilakukan oleh orang-orang dekat di lingkungan anak.
Bahaya paling rentan terjadinya eksploitasi anak muncul pada daerah-daerah konflik dan bencana. Tahun 2007 adalah tahun bencana dan konflik untuk Indonesia. Pada situasi itu, perhargaan dan pemenuhan hak serta kepentingan terbaik anak berada pada titik terendah. Selain korban nyawa, putusnya akses atas pangan, sandang, papan, pendidikan, dan sosial budaya, anak-anak pun terpaksa diantar ke jalan-jalan menjadi pengemis, pengamen, pekerja paksa, pekerja seks, dan jenis eksploitasi lainnya. Turut di dalamnya, perekrutan anak-anak di bawah kendali sindikat narkoba, baik sebagai penyalur maupun pemakai generasi pertama.
Pengabaian
Terhadap nasib dan kondisi anak yang memprihatinkan ini, umumnya negara dan pemerintah lebih memilih mengabaikannya. Isu anak bukan merupakan hal yang paling mendesak. Kalah dibandingkan isu ekonomi makro dan panggung politik. Yang pasti bahwa kasus-kasus kematian dan bencana yang terkait persoalan kemiskinan hanya membuat banyak orang terenyak sejenak, namun segera dilupakan tanpa sempat menciptakan perbaikan. Amnesia kolektif atas kasus-kasus kematian akibat kemiskinan, menjadikan kematian anak-anak miskin tak pernah dipandang sebagai tragedi. Baru dikatakan tragedi kalau terkait pelanggaran berat hak asasi, yang melibatkan penderitaan korban atau kematian massal dalam satuan waktu tertentu. Selebihnya tragedi terbatas pada pelanggaran oleh negara terhadap hak sipil politik dan mengabaikan pelanggaran berat hak asasi akibat ketidakadilan di wilayah ekonomi.
Sistem demokrasi yang memainstreaming kultur mayoritas justru melupakan kepentingan terbaik dari kelompok yang minoritas dan yang paling lemah ini. Kepentingan terbaik anak dipandang sudah terpenuhi dengan kebijakan kesejahteraan keluarga Indonesia. Atau dengan paradigma menaikkan pendapatan per kapita keluarga. Karena itu, sering kali APBD atau juga APBN untuk alokasi pendidikan dan kesehatan anak lebih kecil malah diabaikan dari porsi yang sebenarnya. Perlakuan anak baik secara sosial dan yuridis pun disamakan saja atau malah disisihkan oleh kepentingan orang dewasa. Padahal, kebutuhan anak itu jelas berbeda. Tidak bisa sekedar disamakan dan diselesaikan secara makro.
Harus disadari bahwa upaya yang dilakukan dalam mencermati kepentingan terbaik anak semata-mata bertujuan untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia. Bukan terutama supaya anak-anak diperlakukan secara khusus, namun lebih pada usaha menyetarakan status dan kedudukan anak secara lebih manusiawi sesuai dengan martabat manusia. Sebagai salah satu warga dunia, anak-anak mestinya diakui sebagai manusia kelas satu, bukan kelas dua.(*)