Rabu, 26 Maret 2008

SEBENTUK CERMIN DALAM SEJARAH “SIKKA”

Nama Kabupaten Sikka bukan tanpa debat kusir. Suhu perpolitikan itu sudah bisa memanas hanya dengan menyebut “Sikka”. Sejarah Kabupaten Sikka itu tidak pernah diam dengan dialektika politik. Apalagi di tengah hiruk pikuk Pilkada sekarang. Kabupaten Sikka seolah melempeng untuk dibentuk kembali. Menanti kelahiran baru dalam tungku pembakaran sejarah dan politik menjadinya.


Ruas Perpolitikan Dari Sebuah Nama

Ata Sikka atau Sika, lebih pas marga Sikka sesungguhnya merupakan peleburan dari beberapa suku. Muhang, Krowin, Krowe, Palue, Mego-Nualolo, dan Bu-Mbengu. Tahun 1925, akibat politik konsentrasi kolonialisme Belanda, suku-suku tersebut, yang berada di bawah kekuasaan tiga kerajaan besar: Sikka, Kangae, dan Nita, “dipaksa” menyatu menjadi “Sikka”.

Mencuatnya nama Sikka sebagai identitas tunggal itu seolah-olah mencaplok kekuasaan dua kerajaan lainnya. Justru karena inilah, nama Sikka menjadi sangat kontroversial. Penuh perdebatan. Karena toh, Sikka sendiri hanya merupakan wilayah kecil dari “oderafdeling Maumere”. Sama sekali tidak mampu mewakili nama dan kekuasaan dari dua kerajaan lain. Sejarah lebih berpihak pada Raja Don Alessu, raja Sikka waktu itu, oleh kedekatannya terhadap pemerintah Belanda. Sementara dua kekuasaan lain yang sama sekali non-koperatif, memilih untuk melawan, ketimbang bekerja sama. Karena itu, Belanda lebih mudah memilih “Sikka” sebagai sebuah nama, ketimbang mengakui nama-nama lain untuk wilayah itu.

Sikka dibesarkan oleh waktu, dan bukan atas catatan sejarah yang rasional dan seimbang. Artinya, aroma persaingan, pertarungan, perebutan kekuasaan, termasuk dalam hal memprasastikan sebuah nama, begitu lekat dengan gerak menjadi Sikka. Kritik atas “Sikka” menjadi sangat dekat dengan aroma persaingan itu, kalau nama itu sengaja dibenturkan dengan nama “Maumere” yang sudah lebih populer dan merangkul. Tetapi berbagai argumentasi di balik perjuangan menggantikan nama Sikka menjadi Maumere itu tetap saja kandas. Sikka yang menjadi sasaran kritik karena sarat sentimen kewilayahan dan fanatisme kesukuan tersebut tetap tidak bisa menjadi Maumere yang lebih populer dan merangkul.

Kalau perdebatan tentang nama ini cuma sampai di sini, provokasi kebangkitan massa dan sektarian kesukuan akan semakin menguat. Perlulah pembacaan yang lebih positif, sesuai dengan karakter dan gerak menjadi orang Sikka itu sendiri. Bahwa antara Sikka dan Maumere, ada ruang, pilihan, konsistensi kemenjadian orang Sikka yang selalu bertarung di iklim percaturan perpolitikan. Sikka tidak pernah lahir dari kesetujuan massal. Dari kesepakatan semua suku atau kerajaraan. Nama itu muncul dari penaklukkan politis, yang justru menjadi pusar orang Sikka. Karena itu, hanya waktu yang bisa menjawab. Dalam gerak perpolitikan itu, konsensus rakyat dan para pemimpin di Kabupaten Sikka bisa memilih dengan kesadarannya untuk tetap menggunakan nama Sikka. Atau malah menggantikannya dengan Maumere.

Pemerintahan Populis Sikka

Dalam lintas sejarah perpolitikannya, Sikka pernah mengenal KANILIMA. Deklarasi KANILIMA dipelopori oleh tokoh dan cendekia masyarakat dari tiga wilayah: KAngae, NIta, dan LIo-Maumere. Didukung oleh massa luar biasa dari ketiga distrik itu, KANILIMA berhasil tampil menjadi oposan. Mereka gigih mengkritik dan mendobrak politik dominasi pemerintahan Sikka masa itu, di bawah Raja Don Thomas Ximenes da Silva.

Kelihatan sekali, “perseteruan” Raja Don Thomas sebagai pihak pemegang roda pemerintahan dan KANILIMA sebagai oposan menjadikan iklim demokrasi ala Sikka lebih hidup, menarik, dan dialektis. Pada perseteruan itu, KANILIMA bersuara cukup keras, sebagai corong dan pengemban amanat penderitaan rakyat. Sasarannya, supaya roda pemerintahan Sikka itu berjalan lebih seimbang, adil, menghargai nilai kemajemukan, meninggalkan tindakan-tindakan kekerasan, penindasan, pemerasan, dan politik KKN. Tampilnya KANILIMA justru menghidupkan lagi dialektika politik orang Sikka, dari dominasi sentralistik menuju pemerintahan demokratis.

Kalau mau disejajarkan, deklarasi KANILIMA pada tahun 1948 itu sama persisnya dengan gerakan mahasiswa tahun 1998. Iklim demokrasi yang sentralistik, penuh dengan tindakan monopoli, KKN, kekerasan, dan penindasan itu berhasil ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa. Indonesia mulai dengan pembabakan sejarah baru. Pada kelahiran era reformasi. Posisi KANILIMA sendiri tidak jauh berbeda dengan bentuk negara demokrasi milik negara-negara di Eropa yang hanya mengenal dua partai: pihak pemegang roda kepemerintahan dan pihak oposisi. Dan betapa membanggakan, gerakan reformasi seperti ini sudah bukan asing lagi untuk orang Sikka, sekurang-kurangnya sejak tahun 1948.

Pembejalaran atas catatan tinta emas deklarasi KANILIMA sebetulnya menjadi titik simpul dari pemaknaan pemerintahan populis, yang khas Sikka. Berikut ciri-ciri kepemimpinan yang berhak duduk di kursi panas kabupaten ini. Bahwa bentuk pemerintahan populis masyarakat Sikka itu selalu berada dalam dialektika tesis dan antithesis, antara pemerintah dan pihak oposisi. Dalam dialektika tersebut, yang dicapai adalah reformasi. Kelahiran baru. Yang ditandai dengan pembukaan ruang demokrasi yang luas, penghargaan pada nilai-nilai humanis, ekologis, dan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, tipe kepemimpinan yang selaras dengan aras dialektika ini adalah memberikan keleluasaan bagi banyak orang untuk berpartisipasi. Menghargai perbedaan pendapat. Akomodatif terhadap kritik dan masukan. Mengutamakan kepentingan masyarakat. Sensitif terhadap suara arus bawah. Menghormati ruang hidup, adat istiadat, dan kemajemukan. Serta memiliki kepatutan publik, seperti tidak terlibat dalam kasus asusila, KKN, kekerasan, dan penindasan. Pemimpin Sikka mesti selalu berjiwa reformis.

Sebentuk Cermin Sejarah Sikka

Dalam catatan pemberontakan Teka Iku yang ditulis Bruder Petrus Laan SVD, tertulis kutipan: “Tahukah kamu juga, tanya Kailola kepada Nurak, apa sebab Teka berontak melawan Raja?” Atas nama Nurak berkata, “Teka mengatakan ia berkelahi untuk orang kecil, bahwa belasting baru dari Raja, 4 buah kelapa dari tiap pohon, dan itu dari tiap panen, adalah terlalu tinggi”.

Kegerahan seorang Teka, mengawali pemberontakan Teka Iku yang panjang dan luar biasa itu adalah sobekan dari bagian yang utuh sejarah Sikka yang selalu “tidak tinggal diam”. Spirit yang sudah lama tumbuh, terpatri, dan mendarah daging di tubuh masyarakat Sikka adalah berani mereformasi diri. Berani melakukan otokritik. Siap berubah menuju kelahiran baru. Senantiasa menjadi lebih bersih dan cerlang. Gagah berani seperti tombak dan panah pada tangan, tetapi lembut bersih dalam jiwa dan hati. Inilah sebentuk cermin sejarah Sikka.

Karena itu, betapa memalukan pemimpin Sikka sekarang kalau terjerumus terus menerus dalam semangat yang sentralistik, haus kekuasaan, KKN, dan feodal. Betapa direndahkannya marga yang mulia ini, kalau spirit reformis dan ladang demokrasi itu kerdil, bahkan mati. Di sini pulalah letak tanggung jawab dan kadar penghormatan atas sejarah Niang Tawa Sikka, Tanah Maumere.

Semoga kristalisasi sejarah panjang Sikka menjadi cermin otokritik untuk Pilkada Sikka kali ini. Semoga pula, masyarakat Sikka terbuka matanya untuk memilih pemimpinnya dengan benar. Kalau tidak, mari kita menjadi oposisi sejati.(*)


Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org

Mengembalikan Kemahakuasaan Tuhan


Beberapa waktu lalu, di Parung, Bogor sejumlah orang mengusir aktivitas perayaan paskah umat kristiani. Sebuah pertanyaan muncul di benak ketika menyaksikan pemeluk agama yang satu mengadili pemeluk agama lainnya di tanah air ini: Apakah di dunia ilahi, para Tuhan pun saling bertarung? Mungkinkah Tuhan berpikir untuk membumihanguskan pemeluk agama lain? Dan apakah Tuhan itu jamak?

Kesesatan Tuhan, agama, atau pemeluk

Sangat boleh jadi kemahakuasaan Tuhan itu ditafsirkan secara keliru dengan kemutlakan. Kemutlakan selalu berarti persis benar. Berarti pula, baik adanya. Karena itu, kemutlakan menandakan sebuah tatanan yang selalu benar. Ketika satu unsur sesat, kemutlakan itu serta merta runtuh. Ini terlalu riskan untuk arti kemahakuasaan Tuhan. Karena, pada saat kemutlakan itu gugur oleh sebuah kesesatan, kemahakuasaan Tuhan pun mengerut. Tuhan bisa saja dipersalahkan.

Kalau Tuhan salah, Ia tidak bisa dikatakan maha tahu. Tahu segalanya. Baik di masa lampau, masa kini, maupun masa depan. Dengan kecacatan seperti ini, bisa saja rencananya yang selalu “baik adanya” itu salah. Karena peluang kesesatan dari kemahakuasaan Tuhan itu bisa hadir sesewaktu. Tatatan dunia yang sempurna di bawah providentia ilahi pun patut dipertanyakan. Kekeliruan atas penciptaan dan penyelenggaraan ilahi bisa mengakibatkan dunia berjalan timpang. Menuju sebuah kesesatan.

Klaim antara yang sesat dan yang benar, antara yang jahat dan suci dari pemeluk agama seolah-olah membenarkan kesesatan Tuhan ini. Bahwa ada sebagian warga masyarakat di bumi nusantara ini yang berpihak pada Tuhan yang sesat dan sebagiannya lagi pada Tuhan yang suci. Dan seruan untuk memerangi para pemeluk dari Tuhan yang jahat itu seolah-olah datang dari perintah Tuhan yang suci.

Para Tuhan pun berperang. Lalu apakah pantas kalau Tuhan itu masih disebut Esa? Juga maha baik? Karena Tuhan yang suka berperang, menjatuhkan hukuman atas bangsa, suku bangsa, atau manusia justru mencurangi nilai holistik kemanusiaan.Tuhan lantas menjadi sangat kuno, rigoristik, banal, melegalkan segala cara termasuk sampai harus bersimbah darah. Dengan cara seperti ini justru Dia sendiri menurunkan derajat kemahakuasaannya. Mengakui keberadaan Tuhan-Tuhan lain. Alih-alih, menanggalkan atribut kemahabaikannya.

Whitehead, dalam filsafat prosesnya menggambarkan Tuhan itu selalu menjadi dan ikut berproses. Proses itu ditandai dengan daya mencintainya yang tiada terbatas. Sebegitu mencintainya Tuhan atas dunia dan segala isinya, Dia rela memberikan tempat di balik kemahakuasaannya itu untuk yang dicintainya. Dan oleh cintanya itu pula, Dia menarik diri sedemikian rupa sehingga manusia dan segala ciptaannya bisa bergerak secara bebas, sesuai dengan hati nuraninya. Dia seumpama sebuah kapal, dari sebuah awal keberangkatan menuju tujuan akhir, dan di atasnya manusia dan segala isinya bergerak seturut hati nuraninya. Dia sendiri mengikuti dinamika ombak dan cuaca. Ritme suka dan duka kehidupan manusia. Dia sepertinya luluh lantah di tengah bencana sekaligus memberikan harapan dan optimisme di tengah keluh kesah tak berdaya tersebut. Toh, Tuhan pun tidak pernah langsung mengadili manusia di tengah kehidupannya. Dengan serta merta menyatakan bahwa manusia itu sesat dalam perilaku dan tutur katanya. Dengan setia, Dia menunggu di sebuah akhir.

Karena itu, sangat tidak mungkin menafsir secara benar eksistensi Tuhan dengan menggunakan akal pikiran manusia. Pikiran yang terbatas justru membelenggu Tuhan hanya pada halaman-halaman kitab suci. Agama dan kitab suci hanya merupakan isu kecil di jagad semesta yang maha luas. Agama dengan satu perspektif belum cukup untuk menilai seberapa adil, bijak, baik, suci untuk sebuah dunia dengan tatanan yang luas ini. Perlu ada sinergi, seberapa jauh kita merangkum keberagaman dan universalitas. Karena itu, egoisme, fundamentalisme, konservatisme hanya akan membuat kita kesulitan menilai dunia, orang lain, dan diri sendiri. Malah akan tercebak dalam penghayatan agama yang salah kaprah. Bukan agama dan Tuhannya yang sesat, tetapi kita salah menilai dan menafsirkannya.

Mengembalikan kemahakuasaan Tuhan

Sejenak Nietzche menjadi pahlawan manusia. Artikulasi kematian Tuhan sepertinya menjadi penyelesaian yang terbaik untuk membebaskan keterpasungan manusia. Di hadapan Tuhan, manusia tidak bisa berbuat banyak. Malah Tuhan menjadi penjara besar untuk gerak maju manusia. Dengan cara membunuh Tuhan, manusia bisa menjadi Tuhan. Atau Superman.

Membayangkan ketiadaan Tuhan di wilayah ciptaan Nietzche sama saja dengan menghadirkan perpecahan dan konflik. Kejahatan justru menjadi mutlak. Yang dapat dibayangkan adalah munculnya tuhan-tuhan baru, superman-superman baru dengan klaim kebenaran, wilayah, dan penganutnya masing-masing. Tidak ada rasa ketakutan, ketaatan, dan moralitas universal. Masing-masing berhak dengan segala macam cara mempertahankan kebenarannya. Tidak ada hukum. Tidak ada kekuasaan yang langgeng. Tidak ada kata hormat menghormati, toleransi, dan cinta damai. Karena itu, sangatlah mendasar kalau Tuhan itu dikatakan maha kuasa. Dia itu Esa. Tuhan tidak bisa jamak. Menyerahkan dunia dan penyelenggaraannya pada Tuhan yang jamak justru menghadirkan kekacauan dan konflik yang tiada habisnya.

Pada kenyataannya, keberagaman agama di nusantara ini tidak perlu dianggap sebagai saingan. Agama-agama tidak pernah mencari Tuhan lain selain Tuhan yang Esa itu. Tidak ada Tuhan stock baru. Munculnya aliran kepercayaan baru adalah bagian dari cara menafsirkan kemahakuasaan Tuhan yang Esa itu. Kemahakuasaannya yang sedemikian rupa itu tidak bisa dilembagakan dengan sebuah format baku dan siap pakai. Dia senantiasa berproses di kedalaman hati nurani manusia. Mengambil bagian secara personal dan kontekstual sesuai dengan hati nurani manusia. Tuhan itu selalu mengambil tempat yang nyaman di dalam hati manusia.

Mengadili sikap dan keberimanan manusia sama saja dengan mengadili kemahakuasaan Tuhan. Sesekali kita perlu bersikap adil terhadap Tuhan dengan cara mengembalikan kemahakuasaannya. Menetralkan kedudukan Tuhan dengan mengatakan Tuhan itu tidak pernah memiliki agama. Membebaskan klaim kepemilikan agama atas Tuhan. Biarlah Dia yang adil menilai perbuatan manusia. Kita hanya perlu bersikap toleransi atas keberagaman ini.(*)