Senin, 17 Januari 2011

Belajar dari Cina dan India

Memasuki 2011 perekonomian dunia ditandai dengan tiga pembelahan. Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara tujuan ekspor (emerging market). Setelah dilanda krisis moneter pada 2008-2009 lalu, AS kini menanjak ke arah pemulihan. Krisis moneter itu berdampak terutama pada rawannya kondisi keberlanjutan fiskal, baik dari segi defisit maupun utang publik. Hal ini menyebabkan pengangguran tinggi, karena industri negara maju itu sebagian kolaps dan sebagian melakukan pelepasan tenaga kerja dalam jumlah besar pada masa krisis. Sementara itu, kepercayaan perbankan, lembaga keuangan, juga investor belum sepenuhnya pulih.

Di kawasan Eropa, krisis surat utang pemerintahan Eropa yang bermula dari Yunani pada Mei 2010 bakal menjalar ke Irlandia. Dari Irlandia, krisis itu bisa merambat lebih luas ke Portugal, Spanyol, hingga Belgia.  

Selain AS yang terus disibukkan dengan upaya pemulihan, kawasan Eropa tersita pada upaya mengatasi krisis surat utang itu agar tidak berdampak lebih luas. Modal dari negara-negara kawasan Eropa akan lebih terprioritaskan demi menyuntik silang kondisi keuangan negara-negara kawasan itu. Alhasil, perekonomian AS dan kawasan Eropa bakal mengalami perlambatan.

Kondisi sebaliknya justru terjadi pada Cina dan India. Ketika pertumbuhan ekonomi AS diprediksi hanya di kisaran 2,5%, kawasan Eropa 1,7%, Jepang 2,0%, Cina melejit sendirian di kisaran 9,3% disusul India 7,6%. Ekspansi bisnis yang ditunjang dengan kebijakan yang agresif dan proaktif dari birokrasi dan swasta, upah buruh yang relatif rendah, dan angkatan konsumsi yang tinggi akibat ledakan penduduk menyebabkan ekonomi Cina tahan banting dan melaju sendirian. 

India mengekor Cina dengan pemicu pertumbuhan yang tidak jauh berbeda. Dalam dua hal, India tampil sangat dominan dibanding negara lain. Ahli ekonomi dan teknisi jebolan India mewabah di hampir semua korporasi raksasa dunia, entah di induk maupun anak perusahaan di seluruh dunia. 

Perlambatan ekonomi AS dan kawasan Asia menyebabkan ekspor negara-negara maju, termasuk Indonesia bakal menurun. Pendapatan negara dari ekspor bakal terkoreksi sekian persen yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia terevisi. Sementara itu, gempuran produk impor terutama dari Cina semakin membajir sebagai akibat dari dibukanya keran pasar bebas kawasan Asia. Hal ini menyebabkan industri dan pabrik di Indonesia bakal berpikir dua kali, yakni mengamankan penjualan dalam negeri dan mencari solusi dari terkoreksinya angka ekspor ke negara maju.

Pemerintah Cina dan India sangat jor-joran membantu wirausahawan di negerinya untuk berekspansi ke negara lain. Sendi perekonomian yang kuat saat ini menyebabkan banyak korporasi besar dunia membangun pabrik dan mengalirkan modalnya besar-besaran ke Cina dan India. Ditambah konsumsi yang tinggi akibat perekonomian yang membaik itu, juga tenaga kerja dengan upah rendah, tetapi para ahli tersedia menyebabkan korporasi besar dunia itu menikmati biaya produksi yang rendah. Dengan meminjam kuku perekonomian Cina dan India yang sedang menggurita di dunia saat ini, korporasi besar dunia itu bisa memasarkan produknya ke seluruh dunia.

Cina dan India, alhasil, kebanjiran modal. Karena itu, Cina dan India begitu jor-joran mendukung wirausahawan di negerinya untuk segera memanfaatkan momen saat ini untuk berekspansi sebanyak mungkin di negara-negara potensial di mana pun. Perusahaan besar kecil dari Cina dan India pun mulai mewabah pada berbagai bidang investasi, termasuk di Indonesia. 

Kondisi Indonesia terbilang tidak jauh berbeda dari masalah yang dihadapi Cina dan India. Ledakan penduduk, kemiskinan, perkumuhan, dan korupsi hampir sama ruwetnya seperti di Cina dan India. Kendati Indonesia termasuk negara yang luput dari krisis moneter 2008-2009 lalu, Indonesia tidak mampu bangkit dari ketertinggalan dan bersanding dengan Cina dan India. 

Kultur usaha di Indonesia memang tidak seperti di Cina. Demikian pun pendidikan, tidaklah menyerupai India. Pemerintah dan wirausahawan di Indonesia malah saling menerkam, memakan, atau bahu membahu menistakan tujuan bersama dan harapan masyarakat banyak. Perkelahian pemerintah dan swasta dengan politik sebagai jembatannya menjerumuskan kekuatan bangsa ini untuk bertumbuh. Atas cara itu, kultur usaha di Indonesia bergantung pada pihak yang memiliki power, daripada mengurusi kepentingan bersama.

India merambah dunia dengan cara membenahi pendidikan. Sekolah keuangan dan teknik yang andal menyebabkan tenaga kerja siap pakai dan para ahli ekonomi India itu menjadi pilihan utama korporasi dunia. Dengan cara itu pula, India menarik korporasi dunia untuk menginvestasikan modalnya di India. Dari pada harus mengimpor para ahli keuangan dan tenaga kerja teknik dengan ongkos yang lebih mahal, India menawarkan regulasi, tingkat konsumsi, dan tenaga kerja yang justru menekan biaya produksi lebih besar dari pada membangun pabrik di negara pemodal.

Cina dan India tidak lagi melihat ledakan penduduk, kemiskinan, dan perkumuhan sebagai sebuah masalah. Permasalahan itu sudah diubah menjadi peluang yang dioptimalkan secara sinergis dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Ledakan pendudukan adalah kekuatan konsumsi, marketing, tenaga kerja, dan daya tarik investasi berbiaya rendah. Masalah kemakmuran dengan sendirinya akan membaik apabila jumlah angkatan kerja dan pendapatan masyarakat meningkat. Kuncinya mendatangkan modal dan investasi.

“Kalau di Indonesia, home industri lebih dimengerti sebagai pembuatan kain sarung, batik, atau manik-manik, sedangkan di Cina produk home industri sudah menjangkau barang-barang modal yang diimpor seperti handphone, radio, tape, televisi. Indonesia termasuk salah satu pasar empuk produk home industri Cina tersebut.”

Untuk Flores

Lupakan Indonesia. Berpikirlah dari Flores kepada dunia. Keterperosokan utama Flores adalah ketergantungannya pada formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sejumlah lulusan diploma maupun sarjana di Flores selalu menanti keberuntungannya pada formasi PNS. Lebih dari itu, angkatan kerja dari lulusan itu terbilang dalam angkatan pengangguran terbuka maupun terselubung. 

Harus diakui, lulusan diploma dan sarjana di Flores sebagian besar terasing dari konsentrasi ekonomi tradisional di Flores. Keilmuan yang ditimba di luar Flores lebih merupakan produk faktual berdasarkan kebutuhan lapangan kerja di Pulau Jawa. Sebagiannya karena keenganan, prestise, dan “jauh panggang dari api” atas kewirausahawan yang sudah diemban di bidang pertanian, peternakan, atau pelayaran. Karena itu, formasi PNS masih menjadi primadona untuk memperbaiki taraf hidup dan pendapatan per kapita.
Di sisi lain, Flores punya jurang yang lebar dalam segala hal dengan Bali, Jawa, apalagi Cina dan India. Lebih dari itu, Flores dan NTT saat ini lebih dikenal dengan perkelahian antar geng, gizi buruk, busung lapar, dan korupsi.

Cina dan India berhasil keluar dari masalah yang sama dengan mengubah pola pikir yang mengungkung menjadi peluang. Dari segala kelemahan itu, masyarakat mesti diarahkan untuk berubah menjadi kekuatan konsumsi, marketing, tenaga kerja, dan daya tarik investasi berbiaya rendah. Memang Flores terbilang kecil penduduk, tidak ideal untuk konsumsi dan marketing. Infrastruktur pun bermasalah karena jika hanya disandingkan dengan tenaga kerja, ongkos produksi di Flores masih tinggi. 

Namun, satu-satunya jalan untuk keluar dari jerat masalah itu adalah mendatangkan investasi dan modal. Tidak ada pilihan lain, kecuali Flores terbuka untuk menerima investasi di sektor mana pun dalam plus dan minusnya. Cina dan India keluar dari jerat masalah itu karena berhasil memintal kerut merut benangnya menjadi jembatan yang kokoh untuk lewatnya investasi dan modal. Setiap potensi yang menjadi daya tarik investasi dioptimalkan agar Cina dan India bisa kebanjiran investasi dan modal. 

“Investasi itu bak turbin. Volume dan kecuraman air, instalasi, bahkan lampu pijar tak akan ada gunanya tanpa turbin. Air hanya akan mengalir dari hulu ke hilir tanpa bisa diubah menjadi lampu pijar. Demikian pun investasi, mesti mengubah potensi menjadi in actu, dari alam kepada manusia.”  

Sangatlah tidak masuk akal jika pola tradisional saat ini tetap dipertahankan. Investasi mesti mengubah wajah Flores ke arah industrialisasi. Pola tradisional dan angkatan kerja di Flores saat ini telah terpisah dalam jurang yang lebar. Ongkos sosial dari jurang itu akan semakin menajam, jika jembatan penghubung antara dua kutub yang bertolak belakang tersebut tidak didamaikan. Industrialisasi dalam skala kecil maupun besar, cepat atau lambat mesti mengubah wajah Flores. Dengan tuntutan itu, Flores perlu terbuka pada investasi dan modal. Baik atau buruknya semata-mata jatuh pada pertimbangan manusia.(*)