Selasa, 18 Desember 2007

49 TAHUN BERSAMA GIZI BURUK

Tanggal 20 Desember nanti, NTT menginjak usia 49 tahun. Selangkah lagi akan berumur emas. Seharusnya, pada tingkat usia seperti ini, ada hal yang patut dibanggakan. Misalnya, soal kemajuan pembangunan atau tingkat kesejahteraan tertentu. Yang terjadi justru sebaliknya. Wajah NTT di usia ke-49 tahun ini tidak jauh dari stigma kemiskinan dan gizi buruk. Mengapa bisa begini jadinya?

Kompleksnya masalah gizi buruk
Persoalan pertama yang mendasari masalah gizi buruk di NTT adalah kemiskinan. Menyempitkan arti, ketiadaan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa alasan mendasar. Kategori alasan pertama, sebagian besar anak-anak gizi buruk berasal dari keluarga miskin yang tidak punya lahan atau lahannya sempit atau pekerjaannya tidak menentu. Pangan merupakan sesuatu yang sulit. Dalam kondisi ini, anak-anak tidak mendapatkan makanan bergizi. Mereka lebih sering makan nasi, bubur, jagung tanpa sayur. Tanpa lauk. Atau ubi, ya ubi terus. Makannya pun tidak tiga kali sehari. Dua kali sehari, siang dan malam. Atau sekali sehari. Memang untuk tingkat keluarga seperti ini, rata-rata mereka memiliki ternak. Tetapi percuma. Ternak-ternak itu bukan diperuntukkan sebagai penyeimbang gizi, melainkan dijual atau ditukarkan untuk membeli pangan pokok, seperti beras, minyak tanah, minyak kelapa. Untuk keperluan mendesak dan kepentingan adat. Dengan pola makan seperti ini, bisa dibayangkan anak-anak kehilangan gizi yang seharusnya dibutuhkan.
Kondisi ini diperberat lagi dengan jumlah anak yang banyak. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran yang lain terlalu dekat. Pola makan keluarga pun turut disesuaikan. Jatah pertama diberikan pada anak-anak dan bapa, kemudian baru mama. Atau bapa yang pertama, anak-anak, kemudian baru mama. Mama bahkan tidak kebagian, atau mendapat sisa dari jatah makanan bapa dan anak-anak. Hal seperti ini sangat tidak menguntungkan untuk ibu yang sedang mengandung. Pasokan gizi untuk ibu hamil sangat terbatas. Gizi anak dalam kandungan pun tidak terjamin.
Kategori alasan berikut, keluarga miskin dengan pendidikan rendah sangat minim pengetahuan akan makanan bergizi. Prinsipnya, yang penting bisa kenyang. Tidak peduli bergizi atau tidak. Selagi anak-anak tidak panas dingin, muntah, menceret, anak itu dipandang sehat dan bergizi. Perut buncit sebagai ciri-ciri gizi buruk belum menjadi pertanda yang mengejutkan. Baru sesudah kaki mulai mengecil, berat badan menurun drastis, dan lesu lemas, orang tua kemudian membawa anak tersebut ke puskesmas. Dari situ, keluarga yang minim pengetahuan itu baru menyadari anaknya menderita gizi buruk.
Ketika ditanya soal pengetahuan tentang makanan yang bergizi, orang tua selalu berasumsi soal nasi, daging, sayur yang dijual di pasar atau toko/kios. Dan mereka menyerah soal itu. Bagi mereka, hal tersebut merupakan sebuah pemborosan. Uang lebih baik digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih penting, seperti biaya sekolah, kebutuhan pokok pangan, kepentingan adat, dan bukan untuk sayur atau lauk. Untuk sebagian keluarga, harus diakui mereka sama sekali tidak mampu menyediakan menu makanan sehat itu karena miskin finansial.
Sosialisasi yang tidak tepat sasar turut juga mempengaruhi kondisi ini. Ada yang tidak mengerti, kenapa terus-terus ke posyandu tetapi tetap saja gizi buruk. Kalau dicermati secara kritis, pada saat ke posyandu, anak-anak justru tidak didampingi oleh orang tua mereka, ayah atau ibu. Banyak diwakili oleh nenek, kakak, saudari perempuan. Karena itu, informasi yang berkaitan dengan kesehatan bayi/anak tidak sampai ke ranah pengetahuan dan kesadaran orang tua. Putus sampai di telinga nenek, kakak, atau saudari perempuan.
Sementara sebagian tidak mengerti penyuluhan yang disampaikan petugas kesehatan. Pertama karena materi yang disampaikan kurang relevan dengan kondisi riil yang dihadapi keluarga-keluarga miskin. Dan kedua karena memang tidak mampu menangkap. Posyandu kemudian berubah menjadi kegiatan daftar-timbang-catat, selebihnya tidak ada manfaatnya.

Pemerintah dan program bantuan
Pertengahan tahun 2005, kasus gizi buruk dan busung lapar di NTT ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten mengucurkan dana senilai Rp. 64.027.047.000 untuk penanganan KLB gizi tersebut. Tujuannya untuk pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P), revitalisasi posyandu, dan kegiatan penunjang lainnya. Namun upaya ini tidak bisa memulihkan kondisi keterpurukan tersebut secara signifikan. Kalau tidak bisa disebut gagal, berarti rendah. Karena hanya mampu menyumbang 24% dari kondisi semula.
Gagalnya penanganan KLB gizi ini disebabkan oleh beberapa alasan mendasar dan substansial. Penanganan yang birokratis pada situasi emergensi tersebut justru memperlambat bantuan. Atau bahkan tidak sampai ke keluarga miskin dan gizi buruk. PMT sendiri tidak hanya dimakan anak gizi buruk yang menjadi sasaran, tetapi juga oleh anak-anak lain, atau seluruh keluarga. Sementara penanganan gizi buruk dan busung lapar itu hanya terfokus pada pemberian PMT tanpa mempedulikan penyakit lain yang diderita anak. Karena itu, PMT menjadi percuma karena sakit yang diderita anak tidak tersentuh.
Kelemahan logika bantuan di NTT adalah menciptakan ketergantungan. Tidak ada jaminan bahwa setelah program PMT selesai, keluarga gizi buruk dan busung lapar jadi melek gizi. Justru hidup mereka bergantung pada bantuan tersebut. Karena dengan begitu, kebutuhan akan pangan tetap terjamin. Lebih parah lagi, ketergantungan tersebut justru berakibat pada terasingnya menu makan lokal. Keluarga lebih memilih mie instant, susu dan makanan kaleng, biskuit, ketimbang alpukat, susu kedele, pucuk labu, daun singkong, umbi-umbian, atau ikan segar. Makanan bergizi identik dengan biskuit dan makanan kaleng.

Langkah berbenah
Persoalan gizi buruk dan busung lapar tidak bisa dikatakan berdiri sendiri. Cakupannya justru sangat luas. Baik menyangkut kondisi perekonomian, SDM, mental masyarakat, paradigma membangun, maupun soal tradisi dan budaya. Semua itu membentuk rantai masalah yang kompleks dan akut. Penanganannya pun tidak semudah seperti yang dibayangkan.
Saya sendiri lebih setuju kalau penyelesaian masalah ini dilakukan dengan pendekatan penguatan komunitas lokal. Cakupan yang terlalu luas justru melebarkan masalah dan tidak fokus. Tanggung jawabnya pun menjadi anonim. Mengapa demikian?
Salah satu kegagalan posyandu adalah karena penyuluhan itu tidak aktual menjawab kebutuhan riil keluarga. Penguatan komunitas lokal yang terbatas mampu mengatasi masalah tersebut. Identifikasi masalahnya lebih jelas. Dan kebutuhan akan penyuluhan selalu bisa berangkat dari akar masalah dalam keluarga. Dengan cara seperti ini pula, masyarakat punya mekanisme kontrol yang lebih kuat. Sistem pengawasan bisa dilaksanakan secara terpadu, melalui pemimpin-pemimpin lokal yang sudah ada. Petugas bisa mengenali orang tua dari masing-masing anak.
Harus diakui, gizi buruk dan busung lapar di NTT berwajah perempuan dan anak-anak. Ketidaksetaraan gender dengan keterbatasan akses perempuan dan anak-anak terhadap pangan bergizi salah satunya disebabkan oleh dominasi budaya patriarkat. Ayah yang pertama, kemudian anak-anak, dan yang terakhir perempuan. Karena itu, penguatan komunitas lokal dengan upaya kesetaraan gender wajib dilakukan. Faktor keterbatasan pendidikan perempuan menjadi penyebab seorang ibu buta akan pangan bergizi. Tidak tahu cara mengolah dan mengatur bahan makanan lokal menjadi makanan sehat bergizi. Tidak tahu juga cara merawat dan membesarkan anak secara sehat dan bergizi. Faktor keterbatasan akses pangan menyebabkan perempuan kehilangan kebutuhan akan makanan bergizi. Gizi anak yang dikandung pun tidak terjamin. Dan faktor ketidaksetaraan pengambilan keputusan di keluarga menyebabkan perempuan tidak mampu mengatur kesejahteraan dan kesehatan rumah tangga secara seimbang.
Kebutuhan di tingkat lokal sekarang adalah bagaimana keluarga-keluarga itu mampu menyediakan bagi diri sendiri pangan yang sehat dan bergizi. Hal ini tidak bisa diharapkan tanpa adanya pendidikan, penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan. Basisnya adalah perempuan dan anak-anak. Semoga ide penguatan komunitas lokal berbasis perempuan dan anak menjadi solusi jangka panjang, preventif, dan strategis.(*)

NATAL DAN HUT NTT

Dalam teologi Kristen, peristiwa kelahiran Yesus selalu dikaitkan dengan inkarnasi. Ada beberapa gagasan kunci yang bisa diperoleh dari makna inkarnasi tersebut. Di antaranya, Allah menjadi manusia, kabar gembira, kelahiran baru, rencana keselamatan, eskatologis. Peristiwa-peristiwa yang melingkari kelahiran Yesus pun bisa dijadikan parabel menarik. Mulai dari kabar gembira malaikat Gabriel, penyerahan diri Maria, tiga raja dari timur dan arogansi Herodes, sampai pada kisah pengungsian keluarga kudus ke Mesir. Di sisi lain, bukan sebuah kebetulan gema Natal itu jatuh (selalu) dengan perayaan HUT NTT. Kalau demikian, sejauh mana makna perayaan Natal itu bisa disanding dengan perayaan HUT NTT yang ke-49 di tahun ini? Atau dapatkah gereja merayakan natal sekaligus HUT NTT?

Kelahiran Yesus dan gizi buruk
Boleh dibilang Yesus lahir pada sebuah situasi yang benar-benar darurat. Tidak terjadi di sebuah rumah sakit atau didampingi secara telaten oleh seorang bidan melahirkan. Ia dibaringkan di sebuah palungan. Bukan di atas kasur empuk. Sebuah situasi yang benar-benar terbatas, serba sulit, kalau tidak mau dikatakan miskin.

Namun siapa sangka, kelahiranNya itu mengawali sebuah pembabakan baru dalam sejarah. Bayi itu bahkan sudah disebut raja di usianya yang masih belia. Mengejutkan ahli taurat dan kaum farisi pada umur 14 tahun. Karena memiliki intelegensia yang luar biasa atas kitab suci dan tradisi yahudi. Menjadi seorang pemimpin rakyat yang disegani dan dihormati kawan maupun lawan. Kemudian menjadi inspirasi sejati untuk kaum kristiani, seorang penebus atau penyelamat.

Gambaran kelahiran dan sejarah ketokohan Yesus seperti itu pun (kelihatannya) menjadi kerangka apriori untuk semua orang tua di NTT. Harapan akan sebuah kelahiran, kehadiran anggota keluarga baru menandakan sebuah harapan di masa depan. Bahwa anak yang dilahirkan adalah generasi berikut. Yang mesti lebih baik dari nasib orang tuanya. Perlu ada peningkatan dan perubahan dalam hidup. Bila perlu tampil menjadi seorang pemimpin lokal. Yang memimpin sebuah perubahan bersama.
Yang terjadi justru masih sebaliknya. Nasib anak NTT tidak sebaik nasib bayi Yesus. Pertengahan tahun 2005, dari 477.829 balita di NTT, jumlah yang menderita gizi kurang adalah 85.604 anak balita, 12.925 menderita gizi buruk, 425 balita menderita marasmus dan meninggal adalah 35 orang yang tersebar pada 16 kabupaten/ kota. Berbagai upaya terus dilakukan ternyata pergeserannya juga masih belum terlalu jauh, seminggu yang lalu di awal Maret 2006 jumlah gizi buruk 13.000 dan yang meninggal sudah menjadi 52. Tahun 2005, tercatat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) berkisar 554/100.000 dibandingkan dengan AKI Nasional 307/100.000 (SDKI 2002-2003). Penyebab kematian terbesar adalah perdarahan (58%) yang dipicu oleh anemia yang dialami ibu selama masa kehamilan dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) 29%. BBLR terjadi karena pada masa kehamilan ibu mengalami kekurangan energi kronik (KEK). Atau secara singkat boleh dikatakan, ibu dan anak kekurangan gizi.

Tingkat pendidikan di NTT pun memprihatinkan. Angka drop out tinggi, mencapai 54 persen. Belum lagi pemenuhan hak anak dan kepentingan terbaiknya yang terus menerus diabaikan. Dalam kenyataannya, anak NTT sangat rentan dengan kekerasan, pelecehan seksual, perdagangan anak, dan dipaksa bekerja dengan beban yang tinggi.
Berbeda dengan Yesus, yang kelahirannya selalu diingat setiap tahun, kepentingan terbaik anak sepertinya dilupakan. Dikesampingkan. Ada sebuah gejala amnesia massal akan nasib terbaik anak. Yang pasti bahwa kasus-kasus kematian dan bencana yang terkait persoalan kemiskinan hanya membuat banyak orang terenyak sejenak, namun segera dilupakan tanpa sempat menciptakan perbaikan.Amnesia kolektif atas kasus-kasus kematian akibat kemiskinan, menjadikan kematian anak-anak miskin di NTT tak pernah dipandang sebagai tragedi. Baru dikatakan tragedi kalau terkait pelanggaran berat hak asasi, yang melibatkan penderitaan korban atau kematian massal dalam satuan waktu tertentu. Selebihnya tragedi terbatas pada pelanggaran oleh negara terhadap hak sipil politik dan mengabaikan pelanggaran berat hak asasi akibat ketidakadilan di wilayah ekonomi.
Dengan cara pandang seperti itu, nasib anak NTT yang menderita dan satu per satu meninggal, tak akan pernah dianggap signifikan untuk ditangani serius. Sebab dalam sistem ekonomi global sekarang ini, keberadaan dan penderitaan kaum miskin tak akan tampak. Mereka tersembunyi di gubuk-gubuk, di pelosok-pelosok pedesaan, dan di sudut-sudut kumuh, yang ruang hidupnya tak pernah terhitung dalam sistem ekonomi formal.
Seharusnya, semakin banyaknya kasus-kasus gizi buruk dan pelanggaran kepentingan terbaik anak yang merebak ke permukaan menjadi perhatian khusus pemerintah dan masyarakat, membangkitkan emosi kepedulian yang sangat tinggi. Bahwa ini tak sekadar kasus yang berujung pada kematian seorang anak, melainkan sebuah bencana yang perlahan-lahan yang menghabiskan generasi NTT di masa datang (low on disaster). Ini sebuah pelanggaran asasi manusia, karena hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia telah diabaikan.
Kritik atas teologi
Pada tataran teologis, peristiwa kelahiran Yesus lebih merupakan sebuah peristiwa iman. Allah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Dimensinya sangat dalam dan mendasar. Menyentuh ke hakikat wahyu, jati diri ke-Allah-an, dan orientasi gereja. Pertama, wahyu atau logos itu kini berdaging, menempati ruang dan waktu, menjadi lebih nyata dan dapat dirasai kehadirannya. Inkarnasi membuat kata-kata itu menjadi lebih berisi. Bukan hanya sekedar sebuah literer, mimpi, imajinasi, tetapi merupakan sebuah praksis, tindakan nyata. Bukan sebuah hiburan, sekedar pidato, candu, melainkan sebuah kerja nyata. Wahyu itu kini berbudaya, berbahasa manusia, dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap kejadian hidup. Kontekstual. Tidak heran, kalau dalam pewartaanNya, Yesus lebih suka menggunakan perumpaan-perumpaan yang dekat dengan kehidupan para pendengarNya. Seperti, bulir, gandum, ikan, pohon ara, keledai, anggur, minyak zaitun, dll.
Kedua, inkarnasi mengubah jati diri Allah itu sendiri. Allah yang digambarkan sebagai Bapa yang penuh kuasa, yang berada di singgasana dengan kuasa yang luar biasa, menjatuhkan hukuman, melemparkan kutukan, berpihak pada sebuah bangsa atau suku, allah yang sangat patriarkat, kini bersalin menjadi Allah yang turun ke bumi. Dekat dengan manusia. Penuh kasih. Tidak berpihak. Penuh belas kasih dan maha mengampuni. Allah yang mencintai wanita, seperti peran Maria secara lebih mulia. Karena itu pula, dalam hidupNya yang singkat itu, Yesus begitu dekat dengan orang kecil, miskin, dekat dengan perempuan-perempuan, para pendosa, kaum disfabel, mereka dari golongan kelas kedua, yang sering dilupakan dan disisihkan dalam strata sosial kemasyarakatan.
Ketiga, gereja pertama dibentuk oleh wahyu dan janji keselamatan. Gereja dimulai dengan ziarah iman keluarga Abraham, bapa-bapa bangsa, kemudian berpuncak pada Yesus Kristus, para rasul, pengganti-penggantinya. Keselamatan yang dibawa bersifat already but not yet. Artinya, (seharusnya) sudah dirasakan dari sekarang melalui tanda-tanda yang menyelamatkan dan akan terpenuhi secara sempurna nanti (eskatologis). Kalau pada masa Abraham dan ziarah bapa-bapa bangsa, keselamatan itu terkesan legalistik, dengan asumsi-asumsi psikologis, perbedaan yang mencolok antara yang profan dan yang ilahi, badan dan roh, misi keselamatan di bawah terang peristiwa inkarnasi lebih humanis dan kontekstual. Menyentuh budaya setempat, dengan penghargaan yang tinggi pada harkat martabat manusia, kebebasan, keputusan, tanpa ada perbedaan yang mencolok antara yang jasmaniah dan yang rohaniah, tubuh dan roh. Dengan begitu, gereja lebih bergerak bebas untuk mengambil perannya di tengah masyarakat. Termasuk di dalamnya isu-isu krusial soal politik, ekonomi, HAM, kesehatan, dan sosial budaya. Gereja memandang semua itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu tubuh yang sama.
Kelihatan sekali ada perubahan yang luar biasa dari gerak turun Allah dalam peristiwa inkarnasi tersebut. Bahwa kitab suci (seolah-olah) sudah habis dibaca, wahyu itu sudah selesai dan sekarang saatnya kehidupan nyata itu berbicara, sesuai atau tidak sesuai dengan terang kitab suci. Bukan soal aspek legalitasnya lagi yang dipersoalkan melainkan kualitas kehidupan itu sendiri yang harus dipersoalkan. Sederhananya, apakah kualitas kehidupan masyarakat sekarang sudah sesuai dengan misi keselamatan Allah?
Berhadapan dengan berbagai masalah yang terjadi di NTT, perayaan natal sebenarnya merupakan sebuah otokritik untuk mayoritas masyarakat kristen NTT. Juga buat teologi kontekstual. Apa yang sudah dilakukan sebagai wujud nyata membangun wajah NTT menjadi lebih baik? Apakah gereja lebih memilih menjadi “penonton,” lebih banyak berbicara, berdiskusi, musyawarah tanpa ada hasil yang nyata? Bagaimana dengan SDM gereja? Seberapa signifikant gereja mengubah kualitas SDM NTT dan mengambil peran secara aktif dalam pembangunan di NTT? Atau gereja hanya menjadi “lawan” dari pemerintah dalam soal program pemberdayaan masyarakat?
Kita masih berharap pada peran gereja. Selamat Natal dan Bahagia NTT di usianya yang ke-49.(*)