Jumat, 10 Desember 2010

Selamat Ulang Tahun Louiza

Teringat setahun pada 10 Desember yang lalu. Gerimis tidak berubah. Desember selalu menetaskan berkah di akhir tahun. Kendati dingin, 10 Desember selalu emosional. Hari ini, setahun dan berpuncak pada dua tahun yang lalu, anak kami Louiza Magnifica hadir sebagai buah cinta kami.

Setahun lalu, Louiza belum banyak bicara. Tangan mungilnya sudah pandai menggapai dan memeluk. Kegembiraan dan pesona jiwanya terpancar purna dari raut mukanya. Bila senang dia tertawa. Bila menangis dia menitikkan air matanya. Belum ada kata-kata yang terucap dari bibir mungilnya. Kecuali ciuman, pelukan, rengkuhan, dan kemanjaan. Demikian cara Louiza membahasakan isi hatinya.

Pada 10 Desember di tahun lalu. Tidak ada kue ulang tahun. Louiza pun belum mengerti apa artinya ulang tahun. Dia hanya bisa tertawa lebar, memeluk dan mencium, tatkala mata mungilnya menyambut pagi. Kecupan demi kecupan mendarat di pipi. Selamat ulang tahun, Louiza. 

Betapa senang hatinya. Di sudut kamar sebuah sepeda baru diletakkan. Serta merta Louiza turun dari tempat tidur. Dihampirinya sepeda baru itu dengan tertawa lebar. Berbinar-binar matanya menandakan keriangan hatinya. Dalam sepersekian detik, Louiza sudah berada di atas sepeda sambil memegang kedua setir. Itu hadingah pertama di hari ulang tahun yang pertama.

Hari itu Louiza tidak pernah lepas dari sepeda barunya. Entah di dalam atau di luar rumah, Louiza tetap ingin di atas sepeda. Semacam ada ketakutan hadiah itu cuma sementara. Sekedar menyenangkan hati, lantas dikembalikan. Dia tidak ingin kehilangan dunia anak-anaknya di sebuah tambatan hati atas sepeda baru.

Sehari menjelang ulang tahunnya di usianya yang menginjak dua tahun, Louiza ingin meniup lilin. Dia bernyanyi, “tiup lilinnya, tiup lilinnya” tatkala mamanya membisikkan bahwa hari ini Louiza berulang tahun. Louiza kini tidak lagi sekedar memeluk dan mencium. Kata-kata telah mampu mewakili isi hatinya. 

Sebuah lilin menyala hari ini, tepat ketika Louiza membuka matanya. Louiza menyadari lilin ulang tahunnnya telah menyala. Sejenak dia memandang lilin ulang tahun itu. Seolah Louiza sedang mendaraskan isi hati dan keinginannya. Kami menyanyikan selamat ulang tahun. Louiza tertawa lepas. Kami meminta Louiza meniup lilin di akhir nyanyian perayaan kecil itu. Sekali tiup masih gagal. Dua kali gagal. Dan kali ketiga, lilin itu benar-benar padam. Selamat ulang tahun Louiza.
                                                            ***
Seringkali ada perasaan bersalah. Setiap harinya Louiza hanya bisa berceloteh dengan kami pada pagi hari. Satu dua jam yang tidak efektif. Selanjutnya waktu kami habis dalam pekerjaan. Ketika kami kembali ke rumah, Louiza telah pulas. Kami cuma bisa memandang wajah pulasnya, sisa kegembiraan bermainnya, atau goretan kecil pada kulit akibat kenakalan sebagai anak.

Kadang Louiza bangun di tengah malam. Dia Nampak gembira mendapati dirinya diapati papa dan mamanya. Louiza mengajak kami bermain sepanjang malam. Bahkan hingga pagi menjelang. Kami mencoba meladeni rasa kangen dan kerinduan kasih sayang Louiza. Menemani Louiza bermain apa saja. 

Tetapi, kami bisa saja tertidur. Membiarkan Louiza sendiri mencengkeram malam. Pelupuk mata dan kerja pikiran yang sudah terkuras kadang tidak bisa berkompromi dengan rasa kangen Louiza. Atau, kami menjadi ‘terpaksa’ dan lebih berharap Louiza kembali tertidur. Nampak kami egois dan untuk itu kami mesti meminta maaf pada gadis kecil kami yang selalu membuat hati kami gembira di saat pulang ke rumah.

Hari Sabtu dan Minggu adalah jatah Louiza. Tetapi tidak selalu kami bisa menepati jatah itu. Sabtu dan Minggu bahkan kami disibukkan dengan pekerjaan. Louiza kembali kehilangan haknya bercengkrama bersama papa dan mamanya. Untuk itu pula, kami mesti meminta maaf pada Louiza.

Kami selalu ingin membahagiakan Louiza pada setiap kesempatan. Kami ingin memenuhi pengalaman eksistensialnya di masa kecil dengan cahaya kebahagiaan oleh kehangatan dan kasih sayang. Membahagiakan dan memanjakannnya kadang bedanya sangat tipis. Tetapi kami berupaya agar kebahagiaan yang terpancar itu bukan bersumber dari kemanjaan. Louiza mesti mandiri. Untuk mandiri, Louiza perlu bahagia dan menjadi percaya diri karena merasa didukung penuh oleh kehangatan dan kasih sayang.  

Satu dua kegagalan kadang kami sadari. Dengan begitu kami belajar menjadi dewasa sebagai orang tua. Louiza tampil sebagai guru, yang mengingat dan menegur kami melalui caranya mendekati dan berkomunikasi dengan kami. Untuk itu, kami perlu berterima kasih pada gadis mungil anugerah terbesar kami.

Pada ulang tahunnya yang kedua ini, kami mengajak Louiza ke sebuah panti asuhan. Louiza berbagi kebahagiaan bersama teman-temannya di panti asuhan. Bahwa dirinya sebagai Magnifica adalah anugerah bagi semua orang. Bahwa hidup itu tidak lain pemberian bagi sesama. Louiza telah menjadi anugerah, sebuah mukjizat bagi kami. Sekarang, Louiza adalah magnificat  bagi semua orang.(*)