Senin, 03 Desember 2007

COPA FLORETE: LAUDATE PATRIAM!

susah mencari alasan yang sepadan dengan kecintaan masyarakat Flores terhadap bola. Olah kulit bundar itu bukan kultur asli masyarakat Flores. Lebih merupakan produk jiplakan. Tetapi seni atraktif menendang bola di lapangan hijau itu seakan-akan sudah bukan monopoli negara-negara daratan Eropa dan Amerika Latin lagi. Milik penonton, official, pemain, dan masyarakat Flores sesungguhnya. Kerumunan, histeria, eforia antargenerasi versus liukan pemain, strategi, dan derby adalah gambaran menarik dari lapangan Rawamangun, tempat berlangsung Copa Florete. Pesta sepak bola antardaerah sedaratan Flores.
Memang yang disebut asli Flores begitu sulit dicari. Termasuk Karakteristik antropologis sosiologis. Katanya, nenek moyang orang Flores itu asalnya dari Srilangka dan India. Sebagian bercampur dengan darah para pelaut handal, seperti Portugis dan ekspedisi Melayu, Bugis Makasar, Gowa Tallo, dan daerah pesisir pantai dalam jazirah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit. Karena itu, hampir pasti bahwa sebagian besar kultur Flores, juga karakteristik fisik bawaan merupakan warisan dari perluasan dan penyebaran kekuasaan, budaya, dan kepercayaan suku (bangsa) asing.
Namun kalau bicara soal bola, demikian pun sebuah budaya, mesti ada hal baru yang dilahirkan. Tidak semata-mata merupakan murni jiplakan tanpa ada kekhasan. Karena itu pula Flores dikenal dengan keunikan budayanya, ragam adat istiadatnya, juga bahasa dan sistem nilai. Kesemuanya itu bergantung dari lingkungan alam, kontur wilayah, sejauh mana masyarakat Flores bersaing untuk mempertahankan hidup di tanah kecintaannya.
Bola dan Flores, pertama, lingkungan alam yang tidak bersahabat dengan wilayah perbukitan, hutan belukar, kerikil dan debu, menciptakan karakteristik permainan yang ulet, tangguh, ngotot, dan keras. Tidak ada alasan untuk tidak bermain bola di tanah miring, berbukit-bukit, atau berkerikil. Dan bukan bola Flores kalau tidak ada tackle men-tackle, “sleding tidur alias gunting tidur”, atau prinsip “bola boleh lewat asal pemain tidak”. Indahnya permainan sepak bola Flores terletak pada umpan-umpan panjang, memanfaatkan sayap kiri dan kanan, dengan sesekali umpan terobos melalui lini tengah. Bola dibiarkan menggelinding ke depan, penyerang sayap atau penyerang utama beradu ngotot, kejar mengejar dengan pemain bertahan lawan. Kalau sudah dengan taktik sentuhan dari kaki ke kaki, rasanya bukan sepak bola alamiah Flores. Karena itu, sepak bola Flores mirip sekali dengan tradisi permainan Inggris, yang ngotot sampai akhir pertandingan. Malah kalau keliwatan seru, penonton, suporter, official, dan para pemain bisa beradu mulut dan fisik, selain uji strategi.
Kedua, bedanya sangat tipis antara fanatisme dan persaudaraan. Kecintaan terhadap bola sekaligus melahirkan persaudaraan dan fanatisme. Karena itu, sepak bola Flores tidak bertuan. Tidak ada kawan atau lawan abadi. Karena persaudaraan Flores itu seperti arang. Nampak bersatu tetapi rapuh. Kalau sudah dibakar mudah sekali membara. Atau seperti periuk tanah. Tampak kokoh, namun mudah pecah, dan paling baik sebagai penyalur panah (emosi). Sebelum pluit dibunyikan, semua datang ke stadion sebagai satu saudara. Ketika pluit dibunyikan, senyum dari kedua kesebelasan masih saling membekas. Kalau keadaan tetap draw, persaudaraan itu masih nampak akur. Cuma mungkin pemain dan official yang kena getahnya. Tetapi kalau keadaan sudah berubah dalam posisi menang dan kalah. Cerita persaudaraan itu sudah mulai lain. Aroma persaingan, tidak mau kalah, ngotot, harus menang memacu emosi ke puncak adrenalin. Perbedaan pun semakin ditegaskan. Ini kawan dan itu lawan. Itu daerahku dan ini daerahmu. Itu sukuku dan ini sukumu. Fanatisme muncul karena ada bara yang belum selesai dipadamkan.
Ketiga, bola Flores adalah kegembiraan massal. Tontonan semua usia. Dan berpadu bersama musikalitas asli niang tawa tana atau nua sare. Dibuat seperti sebuah pesta adat. Artinya bola hanya sebagai jembatan keledai untuk merayakan kecintaan terhadap tanah air, pada budaya dan adat istiadat. Karena itu, bukan bola Flores, kalau tanpa disertai histeria nyanyian dan tarian. Juga pesta rakyat. Bola bukan tujuan yang sebenarnya. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa tanah air, rumah adat, dan tradisi. Karena itu, bola Flores adalah nyanyian dan pujian pada tanah air, rumah adat, budaya, dan tradisinya. Laudate patriam omnes!
Memindahkan tempat pertandingan sekelas Copa Florete dari tanah airnya di Flores menuju Jakarta sama sekali tidak berpengaruh pada maknanya. Bola Flores tetap pada bentuk dan gayanya. Sebuah seni olah permainan dan apresiasi kepada tanah airnya di tanah rantau. Cuma ada dua hal yang menonjol, yaitu mengenang dan pujian. Mengenang dan memuji tanah air, rumah adat, budaya, keluarga, sanak saudara, dan sahabat kenalan.
Hanya sayang, kekuatan dan potensi seperti ini hanya dihargai sebatas mengenang dan memuji. Tidak ada kesinambungannya. Inilah kelemahan orang Flores. Terlalu terpaku pada masa lalu, menjadi begitu feodal, sampai-sampai melupakan masa depan dan generasi berikut. Saking feodalnya, masa lalu dianggap sebagai takdir dan bukan sebuah estafet, permulaan dari sebuah kebangkitan generasi berikut. Karena itu, sepak bola Flores bisa menjadi cermin sejauh mana orang Flores menjadi peduli dengan masa depan dan generasi berikutnya. Keahlian, keterampilan, kesempatan dan peluang hanya dilihat dari aspek individualitasnya saja dan bukan merupakan keunggulan dan kekayaan bersama, komunitas. Justru karena itu, tidak ada komunitas Flores yang bisa bertahan lama. Termasuk sebuah komunitas bola. Copa Florete kemudian berubah menjadi sebuah otokritik. Untuk Flores, terutama expatriae Flores di Jakarta. Quo vadis?(*)

Tidak ada komentar: