Kamis, 17 April 2008

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon


Bagian 3, habis

Harmonisasi atau Disharmonisasi Egon
Pada hari Selasa, 15 April 2008, pukul 22.15 waktu setempat Gunung Egon meletus. Warga di kaki gunung itu mendadak panik. Mengemas barang-barang dan mengungsi ke kampung-kampung tetangga. Mereka sama sekali tidak menduga gunung itu bakal meletus lagi, setelah tahun 1888, 1891, 1892, dan 1925.


Tahun 1995 – 1996, aktivitas gunung Egon itu meningkat. Beberapa kali terdengar ledakan kecil, disertai semburan abu dan material. Bagian pinggir dari puncak kawah gunung tersebut sempat longsor. Saat itu, penduduk setempat berpikir gunung Egon bakal meletus lagi setelah sekian lama tidur. Namun pada saat siaga itu, ternyata Egon tidak jadi meletus. Baru sekarang, ketika semua warga sedang tertidur lelap dan tidak berjaga-jaga, ia menunjukkan kegarangannya.


Ke manakah sinyal alam itu? Apakah alam dan penghuninya tidak lagi memberikan tanda pada saat ia hendak melakukan harmonisasi dari hukum keseimbangannya sendiri? Apakah dialog antara alam dan manusia itu sudah terputus? Tidak ada lagi komunikasi?


Memasuki tahun 1990-an sampai tahun 2008 kini, warga setempat diresahkan dengan berbagai tindakan eksploitasi lingkungan. Hutan tempat sumber air panas dan bendungan itu tidak lagi seasli dulu. Pada sisi kiri dan kanannya kita dapat menyaksikan tumbangnya pohon demi pohon oleh ulah para penebang liar. Siang tak kenal malam, dengungan mesin sensor pemotong kayu terdengar mengacau. Truk-truk besar kecil turun gunung dengan muatan penuh gelondongan kayu.


Pada musim kemarau, dari tahun ke tahun pembukaan lahan baru dengan cara membakar terus menerus dilakukan oleh para petani pindah ladang. Menghanguskan hutan dengan sejumlah bibit peremajaan pohon kecil besar, semak dan belukar. Habitat dari sejumlah hewan hutan pun turut dirusakkan. Rusa, kera, babi hutan pada bermigrasi. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran manusia dan ulahnya.


Garis pantai sepanjang Waigete pun tidak luput dari arogansi tamak manusia. Terumbu karang dengan ikan warna-warni, kemilau berjenis di dasar laut sudah jarang dijumpai. Pantai Waigete tidak lagi seindah dulu. Cuma menyisakan pasir putihnya. Pola penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak memporak-porandakan sejumlah terumbu karang, berikut keseimbangan ekosistem laut. Jumlah pohon bakau makin sedikit. Sementara laut terus mengeruk sedikit demi sedikit daerah kering di bibir pantai. Banyak yang bilang, “untuk sekedar mandi pun terasa tidak lagi nyaman. Permukaan laut tidak enak untuk diinjak. Penuh beling, karang-karang hancur, dan lautnya pun kotor”


Keluhan senada pun dialamatkan pada debit air bendungan yang kian hari kian menurun. “Kalau dulu kami kelimpahan air, sekarang kami harus berebutan. Buka tutup saluran air. Malah ada yang curang. Jatah pembukaan saluran air untuk kelompok tani lain sengaja ditutup supaya sawah mereka bisa dialiri sejumlah air” Kali-kali dan sejumlah sumber air bersih pun ikut mati. “Dulu kami tidak kesulitan air bersih. Kapan saja kami mau, selalu tersedia. Sekarang, ada jam-jam tertentu air itu mengalir. Kebutuhan air bersih kami sangat bergantung dari kran-kran penampung air”.


Curah hujan menurun. Unsur hara tanah kian terkikis. Keropos. “Ladang kebun kami tidak lagi bersahabat. Tanaman dan buah-buahan kami kerdil. Padi-padi tidak banyak bulirnya. Panen makin menurun. Bahkan untuk makan pun kami susah. Ternak-ternak kami pun kelaparan. Tidak ada lagi padang rumput yang hijau. Semua kelihatan kering. Hangus terbakar oleh sengat matahari”.


Betapa memprihatinkan pula kalau pemerintah setempat merasa tidak terjadi apa-apa dengan hutan di sekitar gunung Egon. Atau malah membiarkan semua kerusakan itu terjadi di depan mata. Hutan rakyat, tempat para petani menggantungkan hidupnya itu dibiarkan dibabat. Dibakar. Tak tersisa sampai sekecil-kecilnya. Mulusnya perusakan hutan ini tidak jauh pula dari perjanjian empat mata, yang dilakukan diam-diam antara pemasok kayu dan pihak keamanan. Dengan kertas pada sejumlah peraturan, undang-undang, para pembabat hutan itu merasa sudah dimenangkan dengan butir-butir hukum itu. Mereka bahkan menguasai hutan, dengan menggantikan periuk nasi para tetua kampung dengan sejumlah uang.


Sebenarnya masyarakat tidak perlu heran dengan segala kejadian yang menimpa sawah, ladang, kebun, ternak mereka. Dengan sendirinya hukum alam itu bekerja untuk mencari keseimbangannya. Ketika ekosistem hayati itu diganggu, alam mencari sendiri premis-premisnya, untuk kemudian memunculkan kesimpulan dalam bentuk tanda-tanda. Seperti kemarau panjang, curah hujan yang rendah, keroposnya unsur hara, dan kerdilnya panen para petani dan nelayan. Sejauh alam mampu membentengi dirinya sendiri, melakukan mekanisme penyembuhan sendiri, ia bisa mengatasi hal-hal yang mengejutkan, menakutkan. Seperti bencana atau badai. Tetapi ketika hukum keseimbangannya sudah tidak mampu lagi menampung daya rusak pada ekosistemnya, alam menjawab kalimat perusak itu dengan daya rusaknya pula. Bukan untuk menelan manusia. Menguburkan sejumlah nyawa. Tetapi hanya untuk sebuah alasan sederhana. Harmonisasi.

Berdialog dengan alam
Sinyal yang tidak bisa ditangkap oleh penduduk setempat berkaitan dengan letusan itu menandakan putusnya dialog, komunikasi intersubjektif antara alam dan manusia. Bahwa yang terjadi selama dekade tahun 1990-an hingga kini adalah dialog sepihak. Bahkan kesannya memaksa. Mengeksploitasi. Merusak. Tidak ada bahasa yang lebih humanis dan kosmologis. Seperti mencintai, merawat, menanam kembali. Ada ruang yang hilang antara Egon dan warganya.


Betapa menipisnya jumlah besar orang yang mempunyai hati seperti Dua Kesik. Juga pengetahuan lokal seperti kisah si penunggu gunung itu. Tidak ada pula perempuan-perempuan, pada setiap sore, yang berbaris menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bahkan ranting sudah habis. Tidak ada pula perempuan-perempuan pemikul cangkul. Menari dan menyanyi sambil mencakul kebun dan memetik panen. Sebab tanah itu tidak lagi berbuah banyak.

Peristiwa meletusnya gunung Egon, menghujankan abu vulkanik dan bau belerang, perlulah dimaknai secara kosmologis. Dengan sasarannya pada kultur, perilaku, dan tata kelola ekonomi masyarakat di kaki gunungnya. Katakanlah Egon yang gagah di singgasananya itu sedang mengembuskan suara kenabian. Pada gemuruh dan batuk-batuk asap dan abunya itu, ia ingin mengatakan kepada penghuni di kakinya. “Lihatlah sekarang, pada tubuh, kaki, tanganku. Tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan dari diriku. Babak belur diriku dibuat. Bahkan sisa-sisa dari intipati diriku pun telah disedot. Sekarang, dalam keadaan diriku yang keropos ini, apa yang kau mau dari diriku lagi? Karena yang tersisa pada diriku hanyalah abu, asap, dan belerang. Maka kuberikan padamu juga. Supaya pada bagian dari yang tersisa ini bisa bertumbuh lagi segala jenis tanam-tanaman, pohon-pohonan, buah-buahan, sayur-sayuran. Menjadi tempat persemaian bibit-bibitmu. Dan makanan untuk ternak-ternakmu. Masih belum cukupkan kebaikanku padamu? Atau mau kumuntahkan saja sekalian lava dan laharku? Supaya kamu mengerti, betapa menyakitkan mempertahankan keseimbangan diriku. Mengertilah, camkanlah untuk sekarang dan yang akan datang. Supaya aku selalu bisa memberimu makan. Jadi, jangan paksa diriku untuk menjadi lebih murka dari sekarang? Jangan minta sesuatu yang belum saatnya terjadi.”Dialog dengan alam adalah dialog melestarikan, menanam kembali, dan mengambil secukupnya untuk hari ini. Tanpa itu, kita tinggal menanti letusan berikut yang lebih dasyat dari hari ini.(*)

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Bagian 2 dari 3 tulisan

Perempuan Egon: ibu-ibu bumi


Dua Kesik melanjutkan tenunannya. Sementara Nong Frans bergegas hendak ke pasar.
“Moret lalang masa tei poin susar megu meruk”. (Jalan hidup di masa sekarang hanyalah susah sedih meremuk). Kata Dua Kesik.
“Ama Pu loar nain ita, ganu me heak belung loar”. (Sepertinya Tuhan meninggalkan kita, seperti anak yang ditinggalkan setelah dilahirkan) Lanjutnya pula.
“Au gata Kitab Suci rakang. Te tutur hoor aun ganu lau tahi witi wuak” (Kau terlalu baca Kitab Suci. Kata-katamu itu bombastis. Lepas ditelan laut) Nong Frans membalas.
“Au ele persaya ko? Uma woer itan benu bait. Loning poi niang tawa tana itan peho matan potat rumu ramang.” (Kenapa kau tidak percaya? Yang tumbuh di kebun kita hanya kepahitan. Karena si empunya tanah membalikkan muka dan menghilang di tengah kegelapan) Lanjut Dua Kesik.
“Tutur dor aun ganu ata plender. Gata kela poin di ele newan. Ma perang beli me aun. Au pano lalan epan. Ge tena naruk dadi mior melur” (Kata-katamu seperti orang pintar saja. Padahal baca tulis saja kau tidak bisa. Sana, masak buat anakmu. Saya jalan dulu. Semoga Sukses. Sehingga kesulitan kita dapat diatasi) Sahut Nong Frans.
***
Kehidupan kaum perempuan di Waigete, di bawah kaki gunung Egon, 23 kilometer dari Kota Maumere, tidak jauh dari alam. Dari sawah dan kebun mereka. Sudah ada pembagian yang jelas antara suami dan isteri. Selain rumah, di seputar dapur dan anak, isteri dan anak perempuan ikut membantu di kebun atau sawah. Mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, menyirami, memupuki, sampai memetik hasil. Bahkan pada saat-saat tertentu, perempuan menjadi lebih intens dan dekat dengan alam, tanah, dan tumbuh-tumbuhannya. Ketika pria-pria mereka memindahkan hewan ternak mereka, seperti sapi, kambing, kerbau, mencari tempat makan di padang berikut, mereka ditemukan tiarap dengan tanah. Pada saat pria-pria mereka itu melaut, mereka pulalah yang menggantikan peran menjadi petani, dengan sejumlah beban di rumahnya. Untuk asap dapur pun, perempuan-perempuanlah yang mencari kayu bakar di hutan, mengambil air di sumur-sumur dan pipa-pipa umum, menjinjing bakul ayaman berisi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan untuk dimakan. Mereka pulalah yang menumbuk padi, mewarisi sejumlah potensi pangan lokal. Perempuanlah para petani itu!

Pada satu waktu di awal musim hujan, sekelompok perempuan termasuk di antara Dua Kesik akan memikul cangkul ke ladang. Mereka disebut group “Sako Seng”. Seperti arisan bergilir untuk mencangkul kebun. Kalau hari ini giliran Dua Kesik, solidaritas “Sako Seng” itu beramai-ramai selama tiga sampai lima jam mencangkul petak tanah dan membuat bedeng pada kebun Dua Kesik. Begitu pun sebaliknya, tiba giliran teman lain, Dua Kesik pun harus rela membiarkan waktu dan cangkulnya berada di atas ladang milik teman kelompoknya. Termasuk dalam hal panen, mereka memberlakukan gotong royong unik ini.

Jelang masa panen, ketika bulir-bulir padi mulai menguning, perempuan-perempuan itu pula yang menarik boneka (orang-orangan) untuk mengusir burung-burung Tuhan. Sementara laki-laki mereka mencari nafkah lain, untuk mencukupi kebutuhan harian. Sambil menunggu, menarik tali-tali pada boneka-boneka itu, mereka menyulam, mengayam. Mereka bernyanyi. Mengajarkan kebijaksanaan perempuan pada anak-anak perempuan mereka.

Kalau tidak bersekolah, satu-satunya sumber dari kecerdasan yang mereka miliki adalah belajar dari alam. Dari ruang hidup. Dan kebijaksanaan mereka selalu seperti padi. Lebih berisi lebih meruduk. Mereka juga mengajarkan cinta, mewariskan cinta melalui dialog dengan alam.

Apa yang salah dari Egon?


“Raik Egon raning rang, ita gai plari epae?” (Kalau gunung Egon meletus, kita mau lari ke mana) Tanya Dua Kesik.
“Hai ata beta ganu tia? Lopa blau, noran Moan Egon. Siru wisu nimun newan tena Egon bile blatan” (Siapa bilang begitu. Jangan takut, ada penjaga gunung. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan supaya Gunung Egon tetap diam) Kata Nong Frans.
“Gita sai Egon reta ia. Rusa tama natar. Ular-ular bekor nain. Wero-wero plari sawe. Raik tia, masa nimun gai raning rang” (Coba perhatikan, rusa masuk kampung, ular-ular pada bermunculan, kera-kera lari meninggalkan habitatnya. Itu pertanda, Egon akan mengamuk) Jelas Dua Kesik.
“Egon gahu gahar, tahi marak matar, hala apa walong ita ei? (Gunung Egon lagi memanas, laut seperti ikut bergolak, salah apa kita? Seolah-olah retoris, Nong Frans berkata.
***
Konon, Gunung Egon itu ada penunggunya. Juru kuncinya. Ia dilukiskan sebagai orang tua yang berambut dan berjenggot panjang. Kalau berjalan, kakinya tidak menyentuh tanah. Alias melayang di udara. Itu menandakan “ilmu” pertapaannya sangat tinggi. Setiap hari, hidupnya hanya diabdikan untuk Egon. Berada tidak jauh-jauh dari Egon.

Kalau ia keluar dari pertapaannya, itu berarti ada sesuatu yang penting, sangat penting dan mendesak, berkaitan dengan siklus musiman Egon. Dipercaya, pada masa tertentu, sosok penunggu gunung itu harus memberikan sesajian dan tumbal untuk menjinakkan murka Egon. Keluarnya sang pertapa penunggu gunung itu berkaitan erat dengan tumbal. Saat itu, keadaan kampung akan menjadi lebih hening. Anak-anak tidak boleh keliaran sembarangan. Apalagi anak perempuan yang masih perawan.

Pengetahuan kuno masyarakat mengajarkan bahwa, ketika binatang-binatang hutan pada berkeluaran secara serempak, seperti rusa masuk kampung, kera-kera bermigrasi, dan ular-ular bermunculan dari sarang sembunyiannya, saat itu bumi lagi bergolak. Panas. Membuat tidak betah binatang-binatang itu. Saat itu pula, sinyal meletusnya gunung Egon dibaca dan diterima oleh penduduk setempat. Rata-rata mereka sudah tahu sebelum sinyal kerak bumi itu
diterima mesin seismograf.

Peringatan dini itu akan berjalan, jika dan hanya jika, keseimbangan alam itu terjaga dengan baik. Artinya, indera penciuman manusia sangat bergantung pada insting di dunia binatang. Pada hewan-hewan di hutan. Mengandaikan hutan masih merupakan tempat huni yang nyaman buat hewan-hewan bebas itu. Mengandaikan hutan dibiarkan pada bentuk aslinya, tidak terlalu banyak campur tangan manusia, rekayasa ekosistem dan hutan, eksploitasi dan pengerukkan massal.

Dengan dibiarkan seperti itu, bingkai cerita kuno pada sebentuk tokoh tua si penunggu gunung punya kebenarannya sendiri. Mendedikasikan hidup seluruhnya pada gunung, ia menjadi orang yang paling cerdas, dengan pengetahuan jelimek tentang keadaan gunung. Denyut gunung dan alam sekitar adalah denyut jantungnya pula. Ketidakseimbangan pada ekosistem dan disharmonisasi hutan adalah gangguan pada kesehatannya pula. Dengan begitu ia pun tahu cara untuk menyembuhkannya. Karena, ketika keadaan kritis itu terjadi, ia mampu berdialog dengan hutan, gunung, dan alam tentang hal yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana harus mengatasinya.

Seorang Dua Kesik, perempuan di kaki gunung Egon itu pun merasakan hal sama. Ia memiliki kecerdasan alam. Karena senantiasa dekat dengan bumi. Bersentuhan mesrah dengan bumi. Ia mampu merasakan derita alam, tumbuhan, buah-buahan, dan tanam-tanaman. Ketika kebun ladang mereka hanya menyisakan hasil yang kerdil. Ia pun mulai menjadi resah, merasa bumi mulai menolak keberadaan umat manusia. Kepekaannya melebihi kecerdasan kaum cerdik pandai. Melebihi bilangan patriarkat yang menjadi dominan untuk kelas intelektual masyarakat kampung.

Tetapi pertanyaan Nong Frans menjadi penting. Pada sesuatu yang sebenarnya tidak mau diungkapkan secara terang oleh Dua Kesik. Ia tahu diri. Kultur tidak pernah memberi tempat yang luas untuk refleksi seorang perempuan. Karena itu, Dua Kesik sepertinya sedang menggiring Nong Frans untuk mengungkapkan inti dari permenungan kosmologisnya. Yaitu: apa yang salah dari alam dan diri kita?........................bersambung

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Bagian 1 dari 3 tulisan

Helaan napas panjang keluar dari mulut Dua Kesik. Dengan lincahnya perempuan tua itu memindahkan buntalan benang dari sisi kiri ke kanan. Dalam lima enam kali gerakan, ia merapatkan benang-benang itu. Menyatu pintal dengan tenunan benang lainnya. Terus menerus gerakan itu dilakukan. Di sisi terdekat dari simpuh duduknya, kelihatan kain tenunannya itu menggambarkan motif dari sebuah sarung. Seperti bangunan segi lima, teratur, indah, berwarna.


Dua Kesik menghela napas lagi. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Menimbulkan beban pada pundak. Dengan hati seperti biru blau. Kalau dipandang dengan sekejab mata. Tanpa perhatian serius dan mendalam, nampak Dua Kesik begitu menikmati setiap gerakan dari menenunnya itu. Ia seakan ikut menari bersama sahut-sahutan benang-benang itu. Karena menemukan solidaritas dan identitas dari penyatuan dirinya dengan benang lainnya menjadi sebuah sarung. Tanpa terganggu oleh keresahan hati seorang Dua Kesik.

Setengah jam berlalu. Dari arah berlawanan muncul Nong Frans. Hitam. Berdebu. Dengan kumis pada mulut. Kelihatan sekali tempaan alam membuat otot-otot bisep trisep sang pembawa kelapa itu nampak kekar.
“Kabor kelut ko Nong?” (Kelapa muda ka Nong?) Tanya Ina Kesik.
“Eon. Kabor kubar ge Dua. Au gai pano regang. Kabor tena selung no pare.” (Bukan. Kelapa tua kok sayang. Saya mau ke pasar untuk tukar kelapa ini dengan beras) Jelas Nong.
“Tea leu poi. Puan sa ena Nurakin neni hoang gai riwa hoang sekolah nimun” (Jual saja itu kelapa. Dari tadi Nurak terus minta uang untuk bayar uang sekolahnya) Kata Dua Kesik.
“Au ma tea sai”. (Ayolah, jualah kelapa itu) Lanjutnya pula.

Egon: The Lost Paradise


Egon terlihat gagah. Di sekeliling kawahnya terburat garis lurus awan putih. Tidak ada asap. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya.

Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci.


Beberapa kali seekor dua rusa masuk kampung. Sekejab rupa, kampung menjadi ramai. Laki-laki berumur maupun belia sama-sama mengejar rusa yang masuk kampung itu. Mirip arena balapan dengan lintasan tak berhingga. Sampai rusa itu benar-benar tertangkap.
Lain waktu, di rumahku beberapa orang di kaki gunung mengantar burung Kakatua, Nuri, atau Beo. Bulunya indah. Suara kicauannya merdu rupawan. Tetapi tidak mudah untuk mengurung burung-burung itu pada sangkar. Mereka sudah terbiasa dengan alam bebas di kaki pegunungan. Kalau tidak keburu dilepas, mereka bakal mati.


Hampir setiap sore, ketika beberapa siswa berpawai-pawai ke sekolah untuk belajar sore, anak-anak di kampung kami justru berbaris menuju hutan di kaki pegunungan itu. Mereka, yang rata-rata perempuan ragam usia itu, mencari kayu bakar. Mengambil dan mematahkan ranting-ranting pohon yang kering. Atau dahan dan batang pohon yang sudah mendekati lapuk. Semua itu dikumpulkan pada sebuah ikatan. Dibawa pulang untuk kebutuhan dapur. Menghidupkan tungku api dengan kayu-kayu kering itu.


Pada belukar hutan dan pohon kenari tua di sebuah letak, sekitar 15 kilometer dari jalan raya Maumere – Larantuka, tersembunyi mata air panas. Yang keluar terus menerus dari perut bumi oleh desakan aktivitas vulkanologi. Tempatnya masih sangat perawan. Tidak ada jebakan sejenis bendungan. Ia tercipta dari palung alam. Membaringkan aliran dari sumber panas itu mengalir di sela berisik gesekan daun-daun kenari.


Kalau sedikit menanjak ke sebuah perkampungan. Blidit, namanya. Ditemukan di sana bendungan tua yang tak terawat. Volume air yang dialirinya cukup membuat dam-dam di sepanjang bendungan itu penuh. Melimpahkan air pada sawah-sawah di Waigete. Yang membuat Waigete dikenal sebagai salah satu lumbung beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan di Kabupaten Sikka.


Pada ketinggian itu pula, sejauh mata memandang, nampak garisan pantai dengan pasir putih yang indah. Dibalut nyiur melambai pada sepanjang garis pantai itu. Sebuah tempat di sebelah Timur yang bernama pantai Wairterang justru menjadi salah satu tujuan wisata. Pada tempat yang tenang itu, wisatawan lokal maupun asing, berebutan berjemur dan merenangi isi keindahan terumbu karang di lepas pantainya.


Pati Ahu, nama lain dari tempat di Kecamatan Waigete yang mesti juga disebutkan. Di tempat ini, ada tiga hal yang perlu diingat. Pertama, Pati Ahu adalah tempat belajar para petani dan peternak. Ada sebuah sekolah pertanian dan peternakan yang diasuh biarawan SVD. Beberapa hektar tanahnya diabdikan untuk ladang percontohan budi daya kelapa, jati putih, lamtoro, beberapa jenis sayuran, dan buah-buahan. Sementara salah satu bangunan di deretan bangunan asrama dan perumahan para karyawan, dibangun khusus sebuah asrama percontohan peternakan babi, sapi, ayam, itik, dan ikan. Semua orang yang berminat bisa belajar dari asrama orang tani dan peternak ini.


Kedua, Pati Ahu memiliki klub sepak bola kesohor. Klub yang lintas ethnis. Orang Maumere, Ngada, dan Lembata. Mereka menjadi tersohor karena berturut-turut memboyong piala bergilir antarkecamatan se-Kabupaten Sikka untuk Waigete. Tidaklah heran, pemain besutan klub ini menjadi langganan kesebelasan Persami Maumere, PS Ngada, dan PS Lembata.
Ketiga, pada salah satu tempat di kedalaman hutannya terdapat sebuah gua dengan usia puluhan tahun. Menariknya, karena di gua itu hidup secara berkerumunan sekelompok kelalawar. Gua itu disebut Gua Kelalawar. Karena mereka sesungguhnya adalah tuan atas tempat itu, sebelum ditemukan oleh peradaban. Dan menjadi daya tarik lain bagi pengunjung di daerah wisata Waigete.


Rata-rata masyarakat Waigete orang kelas menengah ke bawah. Kalau mau dipatok berdasarkan ukuran sosiologis ekonomis. Tetapi sangat tidak adil kalau selanjutnya dijustifikasi dengan ukuran seperti ini. Kerdil di hadapan statistik. Kurus di hadapan data angka kemiskinan.
Tidak ada orang asli di Waigete. Semua adalah pendatang dari wilayah Nele, Kloangpopot, Bola, Sikka-Lela. Oleh peradaban berpindah-pindah, mereka mematok hutan, membuka ladang dan persawahan, dan makan dari sistem food gathering.


Untuk para pendatang, Waigete merupakan penemuan terbesar. Seperti surga yang hilang (The lost paradise). Untuk rata-rata kondisi geografis dan kontur tanah Sikka yang kering kemarau, Waigete (sesuai namanya, Wair: air, Gete: besar) adalah kelimpahan, kesuburan, dan kehidupan. Karena itu, gerak perpindahan translokal itu pun serentak mengalir sendiri. Tanpa harus dipaksa atau diultimatum. Tanah yang subur dan air yang berlimpah merupakan berita sejuk untuk Sikka yang kering.


Surga itu pun dibuka. Dengan cantiknya, mereka meletakkan sawah-sawah itu di dataran yang subur, menanam kelapa-kelapa di sepanjang garis pantai, buah-buahan, sayur-sayuran, dan hidup dari kelimpahan tersebut. Tidak pernah terpikirkan untuk mengambil secara serakah, atau berlebihan dari hasil yang seharusnya dipetik. Mereka hidup selaras alam. Mencintai irama harmonisasi alamnya. Pada sungai mengalir, pada kicau burung, pada ranting pohon yang mengering dan batang pohon yang patah, pada ular sawah, tikus, belalang, madu hutan, terumbu, kerang, rusa, kera, babi dan ayam hutan. Yang terpikirkan oleh mereka adalah bumi mesti tetap mengeluarkan khasiat kesuburannya, tetapi tidak dengan cara dipaksakan. Diperas. Bumi hanya bisa menurunkan hujan, mengeluarkan kesuburan, kalau manusia menuruti irama alamnya. Mencintai dengan merawat, mengambil seperlunya, dan menyimpan yang lainnya di dalam tanah, untuk hari berikutnya........bersambung

Sisi Lemah Demokrasi Sikka: Pilkada Sikka


PILKADA Kabupaten Sikka memasuki masa kritis. Lima hari lagi terhitung dari sekarang. Masing-masing kubu dari calon bupati dan wakilnya semakin tergerus oleh waktu. Berupaya secara maksimal untuk memberikan sentuhan akhir yang melegakan. Semua mengklaim kemenangan atas dirinya. Menyatakan aman untuk posisi pemberi suara pada wilayah-wilayah pemilihan. Membaptis dalam jumlah besar rakyat mengambang. Dengan melupakan, It’s the Voters, Stupid!

Kelesuan berdemokrasi

Dalam sebuah wawancara di tahun 1966, Walter Lippmann menengarai isu busuk pada praktik-praktik demokrasi liberal Barat. Ia menegaskan, demokrasi liberal Barat sedang menuju keruntuhannya sendiri. Akibat kebodohan sendiri. Secara tajam, ia membuat sejumlah politisi Eropa Barat, khususnya Amerika gerah. Mengajak mereka merefleksikan kembali posisi kepemimpinannya di tengah masyarakat.

Argumentasi Lippmaan berangkat dari fenomena penggelembungan opini publik melalui kampanye media maupun publik. Kampanye-kampanye tersebut dianggap memberikan daya rusak dan menimbulkan sejumlah konflik. Karena di dalamnya tertumpuk sejumlah janji, diulang-ulang dengan efek ingatan yang kuat pada sejumlah massa. Tetapi belum tentu akan ditepati. The bubbles politic ini kemudian berdampak pecah pada dukungan masyarakat terhadap pemimpinnya. Pada satu kubu pendukung terhadap kubu pendukung lainnya. Mengurangi kepercayaan pada kebijakan publik. Dengan konsekuensi lanjut, terciptanya keresahan non kooperatif pada elemen pendukung pembangunan.

Letak nadi demokrasi adalah dukungan rakyat. Pemimpin populis yang demokratis adalah pemimpin yang mendapat dukungan luas masyarakatnya. Karena itu, pada masa-masa kampanye, eforia para calon difokuskan pada upaya menarik perhatian massa. Berbagai cara dilakukan. Bahkan bisa mencapai 180o. Yaitu, sedapat mungkin atau seolah-olah menjadi sama dengan masyarakatnya. Sangat memahami persoalan masyarakat. Berbicara sangat banyak soal kondisi keprihatinan. Dengan janji, tak akan terjadi lagi pengingkaran atas nasib buruk rakyat.

Namun kelemahan kepemimpinan yang dibangun atas dasar simpatisan di corong kampanye adalah susah untuk dimintai tanggung jawab dan komitmennya. Tidak ada kunci yang disertai meterai pada mulut dan kata. Tidak ada pula keyakinan pada orde pemenuhan janji. Karena yang ada hanyalah produksi imajinatif untuk memanipulasi prasangka, opini, dan keberpihakan. Bukan untuk tujuan membangun ke masa depan, tetapi untuk merebut kursi kepemimpinan.

Pemimpin lantas melupakan rakyat dan eforia masa kampanyenya. Sementara rakyat sudah kembali larut dalam himpitan hidup. Lupa untuk menagih janji pada sang pengucap janji. Kalau pun diingat, ia tidak mampu melakukan selebrasi tuntutan. Atau advokasi kebijakan publik. Ruang yang disediakan untuk sebuah partisipasi hanya diletakkan pada perangkat desa, kelurahan, dan kecamatan. Selanjutnya menguap di meja-meja para pegawai bulanan yang menanti gaji.

Pada tahap ini, rakyat bisa digumpalkan pada beberapa kelompok. Gumpalan pertama berisi mereka yang acuh tak acuh pada roda pemerintahan. Yang hanya berurusan dengan keresahan mengisi perut tengah. Gumpalan berikut, berisi mereka yang punya kepentingan yang sangat kuat terhadap kebijakan publik di tangah pemerintah. Yang melihat peluang dan saling berebutan kue pembangunan. Dengan menyembunyikan alibi pada berkas proposal dan tender. Dan gumpalan terakhir adalah mereka yang aktif menyuarakan hak, kedudukan masyarakat. Menuntut janji pemerintah, mengadvokasi kebijakan publik. Namun dengan catatan, terengah-engah oleh konflik kepentingan, antara konsisten berpihak pada kepentingan rakyat. Atau, berorientasi menjadi pejabat. Mengejar kekuasaan dan kursi kenyamanan yang sama.

Sesungguhnya aspek kebersamaan, seperti seruan mencapai keadilan dan kemakmuran semesta itu, sudah terkapling-kapling oleh wilayah kekuasaan masing-masing. Demokrasi menciptakan pemerintahan di dalam pemerintahan, kekuasaan di dalam kekuasaan, dan kepentingan di dalam kepentingan. Pada wilayah-wilayah ini, ada persentase keuntungan yang jelas. Yang satu menyatakan kekuasaan untuk memperlebar persentase keuntungan bagi pihak lain. Sementara yang lain, menarik persentase dari seruan dari seberang jalan. Wujud demokrasi itu menjadi berubah-ubah. Seperti bunglon. Tidak tetap. Tergantung situasi yang menguntungkan. Pada sebuah meja perjudian. Dengan bandar yang selalu berganti-gantian. Kalah dalam perjudian, lesu pulalah dalam pembangunan.

16 April 2008: Apa yang akan terjadi?

Kalau mau dikurung per wilayah, dengan mudahnya kita mampu menghitung secara cepat prediksi peta perpolitikan Kabupaten Sikka. Luka lama dalam tradisi dan sejarah membagi wilayah Sikka menjadi dua. Lebih populer disebut Maumere Timur (Kewapante, Wetakara, Nele, Bola, Hokor, Watuplapi, Kloangpopot, Waigete) dan Maumere Barat (Nita, Sikka, Lela). Sejarah yang saling menerkam, hegemoni budaya, dan arogansi kesukuan menjadikan daerah-daerah ini mudah dipengaruhi secara sentimentil.

Berbeda dengan dua wilayah lain, Talibura-Nebe (pada sisi Timur terjauh) dan Paga-Wolowiro (pada sisi Barat terjauh) tidak terlalu terbawa pada sentimen ini. Oleh karena faktor “mengambang” ini, kehadiran mereka menjadi sangat penting. Suara dan keberpihakan mereka menjadi dukungan plus untuk memukul ikatan primordial pihak lawan.

Karena itu, pada masa-masa kampanye Talibura-Nebe dan Paga-Wolowiro seketika menjadi selebrita sungguhan. Berlomba-lomba para cabub dan wabub berorasi, menjual ilmu corongnya untuk mendapatkan pendukung. Tetapi lihat sesudah itu, Daerah Timur dan Barat terluar itu kembali ke identitas mulanya. Yaitu sunguh-sungguh daerah “terluar”. Yang jarang ditengok. Minim perhatian. Sedikit sekali sentuhan pembangunannya. Dibiarkan terkapar dengan kondisi mengenaskan.

Nasib yang sama pun dialamatkan pada pulau-pulau gugusan Sikka. Palue dan Pamana. Mereka menjadi gugus pulau yang terlupakan. Baik dari segi apresiasi budaya, pelayanan kesehatan, ekosospol, sampai pada pembangunan infrastruktur. Masa-masa kampanye, mereka dielu-elukan. Sesudah itu, nasib mereka “hanya Tuhan yang tahu”.

Untuk Maumere Timur dan Barat, isu sentimen kesukuan selalu dipakai setiap kali Pilkada berlangsung. Secara sadar atau tidak sadar, penggiringan massa menuju alamat kesukuan itu dirujuk dengan kehadiran calon-calon di daerah asal dan tempat lahirnya. Sangat jarang, calon bupati atau wakil bupati diterima baik di dua tempat ini. Atau berbagi posisi orang nomor satu dan dua. Semua mau menjadi yang pertama, demi gengsi sejarah.

Sementara untuk wilayah terluar, isu keberpihakan selalu datang dari mulut pembangunan. Entah jalan, pipa air bersih, listrik, pelabuhan. Semua itu merupakan sisi imajinatif di pulau utopis. Mirip sekali dengan sinyalemen “the bubbles politic” yang sengaja digelembungkan pada masa tertentu. Kemudian pelahan mengempis, sejalan dengan memelarnya komitmen untuk mempertahankan gelembungan itu.

Pertanyaan sekarang, apa yang akan terjadi dengan 19 April nanti? Apakah kemenangan seorang calon itu masih ditentukan oleh prediksi klasik ini? Apakah masyarakat Sikka masih mau ditipu dengan sentimen kewilayahan ini? Demokrasi macam mana yang akan ditunjukkan? Semacam demokrasi, atau seolah-olah demokrasi?

Semua jawaban ada di tangan pemegang demokrasi. Di sinilah justru kelemahannya. Terlanjur menyerah pada opini publik. Pada arah argumentasi massa. Pada pengkotak-kotakan. Pada janji palsu.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di www.ntt-online.org