
Bagian 3, habis
Harmonisasi atau Disharmonisasi Egon
Pada hari Selasa, 15 April 2008, pukul 22.15 waktu setempat Gunung Egon meletus. Warga di kaki gunung itu mendadak panik. Mengemas barang-barang dan mengungsi ke kampung-kampung tetangga. Mereka sama sekali tidak menduga gunung itu bakal meletus lagi, setelah tahun 1888, 1891, 1892, dan 1925.
Pada hari Selasa, 15 April 2008, pukul 22.15 waktu setempat Gunung Egon meletus. Warga di kaki gunung itu mendadak panik. Mengemas barang-barang dan mengungsi ke kampung-kampung tetangga. Mereka sama sekali tidak menduga gunung itu bakal meletus lagi, setelah tahun 1888, 1891, 1892, dan 1925.
Tahun 1995 – 1996, aktivitas gunung Egon itu meningkat. Beberapa kali terdengar ledakan kecil, disertai semburan abu dan material. Bagian pinggir dari puncak kawah gunung tersebut sempat longsor. Saat itu, penduduk setempat berpikir gunung Egon bakal meletus lagi setelah sekian lama tidur. Namun pada saat siaga itu, ternyata Egon tidak jadi meletus. Baru sekarang, ketika semua warga sedang tertidur lelap dan tidak berjaga-jaga, ia menunjukkan kegarangannya.
Ke manakah sinyal alam itu? Apakah alam dan penghuninya tidak lagi memberikan tanda pada saat ia hendak melakukan harmonisasi dari hukum keseimbangannya sendiri? Apakah dialog antara alam dan manusia itu sudah terputus? Tidak ada lagi komunikasi?
Memasuki tahun 1990-an sampai tahun 2008 kini, warga setempat diresahkan dengan berbagai tindakan eksploitasi lingkungan. Hutan tempat sumber air panas dan bendungan itu tidak lagi seasli dulu. Pada sisi kiri dan kanannya kita dapat menyaksikan tumbangnya pohon demi pohon oleh ulah para penebang liar. Siang tak kenal malam, dengungan mesin sensor pemotong kayu terdengar mengacau. Truk-truk besar kecil turun gunung dengan muatan penuh gelondongan kayu.
Pada musim kemarau, dari tahun ke tahun pembukaan lahan baru dengan cara membakar terus menerus dilakukan oleh para petani pindah ladang. Menghanguskan hutan dengan sejumlah bibit peremajaan pohon kecil besar, semak dan belukar. Habitat dari sejumlah hewan hutan pun turut dirusakkan. Rusa, kera, babi hutan pada bermigrasi. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran manusia dan ulahnya.
Garis pantai sepanjang Waigete pun tidak luput dari arogansi tamak manusia. Terumbu karang dengan ikan warna-warni, kemilau berjenis di dasar laut sudah jarang dijumpai. Pantai Waigete tidak lagi seindah dulu. Cuma menyisakan pasir putihnya. Pola penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak memporak-porandakan sejumlah terumbu karang, berikut keseimbangan ekosistem laut. Jumlah pohon bakau makin sedikit. Sementara laut terus mengeruk sedikit demi sedikit daerah kering di bibir pantai. Banyak yang bilang, “untuk sekedar mandi pun terasa tidak lagi nyaman. Permukaan laut tidak enak untuk diinjak. Penuh beling, karang-karang hancur, dan lautnya pun kotor”
Keluhan senada pun dialamatkan pada debit air bendungan yang kian hari kian menurun. “Kalau dulu kami kelimpahan air, sekarang kami harus berebutan. Buka tutup saluran air. Malah ada yang curang. Jatah pembukaan saluran air untuk kelompok tani lain sengaja ditutup supaya sawah mereka bisa dialiri sejumlah air” Kali-kali dan sejumlah sumber air bersih pun ikut mati. “Dulu kami tidak kesulitan air bersih. Kapan saja kami mau, selalu tersedia. Sekarang, ada jam-jam tertentu air itu mengalir. Kebutuhan air bersih kami sangat bergantung dari kran-kran penampung air”.
Curah hujan menurun. Unsur hara tanah kian terkikis. Keropos. “Ladang kebun kami tidak lagi bersahabat. Tanaman dan buah-buahan kami kerdil. Padi-padi tidak banyak bulirnya. Panen makin menurun. Bahkan untuk makan pun kami susah. Ternak-ternak kami pun kelaparan. Tidak ada lagi padang rumput yang hijau. Semua kelihatan kering. Hangus terbakar oleh sengat matahari”.
Betapa memprihatinkan pula kalau pemerintah setempat merasa tidak terjadi apa-apa dengan hutan di sekitar gunung Egon. Atau malah membiarkan semua kerusakan itu terjadi di depan mata. Hutan rakyat, tempat para petani menggantungkan hidupnya itu dibiarkan dibabat. Dibakar. Tak tersisa sampai sekecil-kecilnya. Mulusnya perusakan hutan ini tidak jauh pula dari perjanjian empat mata, yang dilakukan diam-diam antara pemasok kayu dan pihak keamanan. Dengan kertas pada sejumlah peraturan, undang-undang, para pembabat hutan itu merasa sudah dimenangkan dengan butir-butir hukum itu. Mereka bahkan menguasai hutan, dengan menggantikan periuk nasi para tetua kampung dengan sejumlah uang.
Sebenarnya masyarakat tidak perlu heran dengan segala kejadian yang menimpa sawah, ladang, kebun, ternak mereka. Dengan sendirinya hukum alam itu bekerja untuk mencari keseimbangannya. Ketika ekosistem hayati itu diganggu, alam mencari sendiri premis-premisnya, untuk kemudian memunculkan kesimpulan dalam bentuk tanda-tanda. Seperti kemarau panjang, curah hujan yang rendah, keroposnya unsur hara, dan kerdilnya panen para petani dan nelayan. Sejauh alam mampu membentengi dirinya sendiri, melakukan mekanisme penyembuhan sendiri, ia bisa mengatasi hal-hal yang mengejutkan, menakutkan. Seperti bencana atau badai. Tetapi ketika hukum keseimbangannya sudah tidak mampu lagi menampung daya rusak pada ekosistemnya, alam menjawab kalimat perusak itu dengan daya rusaknya pula. Bukan untuk menelan manusia. Menguburkan sejumlah nyawa. Tetapi hanya untuk sebuah alasan sederhana. Harmonisasi.
Berdialog dengan alam
Sinyal yang tidak bisa ditangkap oleh penduduk setempat berkaitan dengan letusan itu menandakan putusnya dialog, komunikasi intersubjektif antara alam dan manusia. Bahwa yang terjadi selama dekade tahun 1990-an hingga kini adalah dialog sepihak. Bahkan kesannya memaksa. Mengeksploitasi. Merusak. Tidak ada bahasa yang lebih humanis dan kosmologis. Seperti mencintai, merawat, menanam kembali. Ada ruang yang hilang antara Egon dan warganya.
Betapa menipisnya jumlah besar orang yang mempunyai hati seperti Dua Kesik. Juga pengetahuan lokal seperti kisah si penunggu gunung itu. Tidak ada pula perempuan-perempuan, pada setiap sore, yang berbaris menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bahkan ranting sudah habis. Tidak ada pula perempuan-perempuan pemikul cangkul. Menari dan menyanyi sambil mencakul kebun dan memetik panen. Sebab tanah itu tidak lagi berbuah banyak.
Peristiwa meletusnya gunung Egon, menghujankan abu vulkanik dan bau belerang, perlulah dimaknai secara kosmologis. Dengan sasarannya pada kultur, perilaku, dan tata kelola ekonomi masyarakat di kaki gunungnya. Katakanlah Egon yang gagah di singgasananya itu sedang mengembuskan suara kenabian. Pada gemuruh dan batuk-batuk asap dan abunya itu, ia ingin mengatakan kepada penghuni di kakinya. “Lihatlah sekarang, pada tubuh, kaki, tanganku. Tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan dari diriku. Babak belur diriku dibuat. Bahkan sisa-sisa dari intipati diriku pun telah disedot. Sekarang, dalam keadaan diriku yang keropos ini, apa yang kau mau dari diriku lagi? Karena yang tersisa pada diriku hanyalah abu, asap, dan belerang. Maka kuberikan padamu juga. Supaya pada bagian dari yang tersisa ini bisa bertumbuh lagi segala jenis tanam-tanaman, pohon-pohonan, buah-buahan, sayur-sayuran. Menjadi tempat persemaian bibit-bibitmu. Dan makanan untuk ternak-ternakmu. Masih belum cukupkan kebaikanku padamu? Atau mau kumuntahkan saja sekalian lava dan laharku? Supaya kamu mengerti, betapa menyakitkan mempertahankan keseimbangan diriku. Mengertilah, camkanlah untuk sekarang dan yang akan datang. Supaya aku selalu bisa memberimu makan. Jadi, jangan paksa diriku untuk menjadi lebih murka dari sekarang? Jangan minta sesuatu yang belum saatnya terjadi.”Dialog dengan alam adalah dialog melestarikan, menanam kembali, dan mengambil secukupnya untuk hari ini. Tanpa itu, kita tinggal menanti letusan berikut yang lebih dasyat dari hari ini.(*)