Mungkin agak terlambat tulisan ini. Tetapi sebuah tulisan bukan soal peruntungan. Apalagi yang ditulis bersifat “memoria,” atau “catatan di sebuah jejak sejarah”, atas ketokohan seseorang. Kepergian dua “beliau”, yang satunya sudah 70-an tahun yang lalu dan yang lainnya “menyentak kalbu” karena baru saja berlalu, mungkin adalah sejarah yang ditulis secara konsisten di tengah arus gelombang kehidupan, dan juga “dalam” berkat penghayatan personal yang mengagumkan.
Tidak semua orang seperti itu. Terutama ketika berada dalam dunia dengan dua wajah yang selalu berbeda, bertentangan, bahkan bertarung untuk saling mengalahkan. Being and Nothingness. Dan dua tokoh ini begitu konsisten, bergerak “menjadi” dan menjadi “model” dari “being”, mengajak semua orang yang mereka jumpai di dunia ini untuk meninggalkan “nothingness”-nya. Mereka juga menunjukkan “ketegasan”, “penghayatan”, “keberimanan”, dan “sosialitas” lawan “anonimitas dalam antinomi”, “tenggelam dalam massa”, “spiritualitas konteks alias relativisme absolut”, “terjun bebas dimangsa hedonisme”, “formalisme yang membungkuk kepada tuan”, dan “untung rugi di tangan kanan maupun kiri”. Dalam dunia yang berbeda tersebut, mereka menjadi “the way”, cermin perjalanan seseorang, dan “the ligth”, terang yang meniadakan kegelapan bagi generasi berikutnya. Ringkasnya, dua tokoh ini adalah “sumbu” yang meretas pencerahan, kemudian mengajak sekian banyak orang menyanyikan “hosana” kebangkitan, dan bukannya “lenguh” duka di keranda kematian. Dan pada tapak itu, mereka sepertinya mengalirkan “keajaiban”, “mujizat” secara nyata, seperti mengubah “air” menjadi “anggur”, dari “wajah lama” menjadi “wajah baru”.
Tipikal duet pribadi dalam persenyawaan personalitas yang cerah itu merupakan kerinduan banyak orang. Memori akan ketokohannya menguakkan batas kemanusiawian kita menjadi sedemikian “jalang” akibat perbedaan mendasar yang ditoreh pada masa kini kita. Itu berarti, kepergian mereka sepantasnya menjadi kepergian seorang “nabi”, yang jasadnya terkubur dalam tanah tetapi “ajaran”, “tutur kata”, dan “penghayatannya” menjadi pitutur masa kini dan suri teladan generasi selanjutnya. Giliran berikut mereka menjadi “otokritik” yang menyediakan ruang bagi semua orang “memukul-mukul dirinya sendiri” dan pulang dalam penyesalan “kenapa tidak seperti mereka?”. Di sini pula, selaput “katarak” kita menjadi luluh dan “efata” (baca: terbukalah) mata kita tentang apa yang seharusnya dikerjakan, dipertahankan, dan apa yang seharusnya dilepas, diluluhlantahkan.
Menyebut dua tokoh ini pula berarti menyinggung soal pilihan hidup dan konsekuensinya. Kawin atau tidak kawin dan bukan tidak kawin sekaligus kawin. Biarawan atau awam dan bukan awam sekaligus biarawan. Namun tidak demikian jadinya. Biarawan atau awam adalah suci atau tidak suci, sakral atau tidak sakral, ilahi atau tidak ilahi. Dalam dimensi ini, baik biarawan maupun awam adalah sama-sama suci, sakral, ilahi dalam sebuah “ruah” (baca: nafas) dan wadah yang tidak lagi menjadi beda, antara yang ada dan yang tiada. Sebab secara sakral, ilahi, dan yang suci tersembunyi makna terdalam kehidupan, ada-nya secara penuh dalam ketiadaan yang sunyi, seperti Sang Pencipta, yang (dirasakan) Ada-Nya, sekaligus (dirasakan) Tiada-Nya. Juga begitu, tidak ada lagi perpisahan, perbedaan antara yang biarawan dan yang awam, tidak ada lagi ruang vakum, sebab semua sudah terisi oleh Yang Ada dan Yang Tiada.
Dalam pandangan ini, patut kita berterima kasih pada dua tokoh ini. Mereka sudah menunjukkan bagaimana semua orang harus memandang kehidupan ini. Yang paling penting adalah mencintai kehidupan ini karena bersumber dan berakhir pada yang suci, sakral, dan ilahi, berikut konsisten terhadap pilihan hidup yang sudah diputuskan. Mereka menjadi sedemikian pro life, karena melihat kehidupan itu secara suci, sakral, dan ilahi, tetapi juga pro choice, karena konsisten pada keputusan yang sudah diambil. Dan justru di situlah, pertanyaan terbesar untuk apa kehidupan itu terlunaskan sudah dalam kepasrahan total di sebuah tarikan nafas terakhir.
Pertengahan April kemarin, apa yang sudah dimulai oleh Sang Maha Guru, Petrus, dan kawan-kawannya diteruskan secara sakral melalui pentahbisan “yang terpilih dari yang dipanggil” para diakon. Beruntung bahwa saya mengenal mereka secara lebih dekat. Karena mereka pernah menjadi kawan-kawan kelas saya. Tetapi lebih beruntung bagi mereka yang tidak mengenalnya. Sebab justru dari bumi Flobamora ini, dunia berharap banyak mendapat “murid”-Nya. Ini sebuah kebanggaan. “Wajah Flobamora muncul di mana-mana”. Dan berharap, semoga kebanggaan yang sama pada dua tokoh di atas juga disematkan di hati dan pundak mereka. Lebih beruntung lagi, sebab mereka juga pernah merasakan tempaan tangan mulia, alm. P. Niko Hayon. Dia dikenal sebagai dosen Liturgi, Pelawak Kondang “nyaris” Tukul, tetapi terutama karena “kapasitas kerohanian dan penghayatan imamatnya yang purna”. Bersama sejarah yang terentang pada kayu salib Sang Guru, oleh pengabdian darah para martir, dan dijiwai semangat imamat Mgr. Gabriel Manek, P. Niko Hayon, ada sebuah titisan yang mengalir dari jantung iman itu, demikian bunyinya: “Apa yang ada pada saya hanya sebagian kecil dari generasi pendahulu dan generasi sesudah saya. Sejarah itu terus berlanjut, dan tidak berhenti di sebuah titik, pada sebuah pribadi. Ia senantiasa harus dikembalikan ke titik nol, supaya ada pencerahan, dan refleksi, ada pembaruan, dan ada kemajuan. Kebanggaan pada seseorang hanya merupakan nyanyi merdu ucapan bibir, pemanis mulut, dan tidak merupakan titik akhir dari sebuah perjalanan panjang. Tokoh-tokoh itu hanya hadir sebagai sebuah reffrein, sebuah chorus, yang harus diulang terus menerus dalam sejarah, dengan kekuatan, makna, yang seharusnya lebih dasyat dari itu.” Kenapa tidak!***
Kamis, 06 Desember 2007
SIAPA ITU “PEMIMPIN”
Kancah politik di Kota Maumere sepertinya memanas lagi. Isu santernya adalah gugatan Y.B. Semadu Sadipun terhadap I. A. Medah, Ketua Golkar NTT dan Melchias M. Mekeng, Ketua Golkar Sikka sekarang. Semadu menilai bahwa Melki Mekeng, selanjutnya I.A. Medah “bahu membahu” dalam sebuah kerjasama yang apik, menurunkan dirinya dari tampuk kepemimpinan Golkar Sikka. Pada sidang pertama, Semadu menyalahkan Musdalub, 27 Mei 2006. Menurutnya, Musdalub tersebut tidak sesuai alias “melanggar” AD/ART Partai Golkar, dan karena itu dikatakan tidak sah, dan dapat dibatalkan demi hukum. Sementara itu, pihak I.A. Medah dan Melki Mekeng menampik bahwa segala sesuatu berjalan sesuai prosedur dan merupakan keinginan arus bawah. Sidang berikut, Semadu “ngotot”. Ke-ngototannya itu disimpulkan dalam kata “KUDETA”, sebuah kata “sakral” untuk orang politik, atau orang yang memang sangat haus akan kekuasaan. Bahwa Semadu menilai perbuatan I. A. Medah dan Melki Mekeng terbilang sebagai tindakan “KUDETA” atas tampuk kepemimpinan Golkar Sikka yang didudukinya.
Persoalan sah atau tidaknya Musdalub 27 Mei 2006 sebenarnya merupakan hal internal Partai Golkar, menyangkut mekanisme dan peraturan keorganisasian. Karena itu, urusan ini sebenarnya merupakan pertanggungjawaban di “meja hijau” Partai Golkar sendiri. Menjadi soal, ketika harus ada yang diturunkan dan harus ada yang menggantikan. Prosesnya menjadi begitu rentan dengan ambisi, perasaan tidak mau kalah, tidak terima, baik dari pihak yang diturunkan, maupun dari orang-orang yang “bersedia atau tidak bersedia” menerima setelah terjadi proses pergantian tersebut. Dan sudah tentu, semua mata akan “menyalak”, secara jeli memastikan proses tersebut berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan aturan mainnya.
Kemudian hal yang seharusnya “internal” menjadi bias publik. Sesuatu yang seharusnya “lex specialis” menjadi “lex generalis”. Tanggung jawab morilnya pun jelas berbeda. Pada situasi seperti ini, yang diharapkan adalah terjadinya proses “pembelajaran” secara luas, terarah pada kesadaran reformasi publik, menjangkau masyarakat bawah, menyangkut hal yang seharusnya terjadi, sudah terjadi dan benar sesuai aturan main, dan hukuman atas illegalitas personal. Sederhananya, penguakan kembali persoalan internal ini wajib diberi isi pembelajaran politik bagi khayalak ramai dan masyarakat umumnya, apalagi merupakan persoalan Partai Golkar “Bersatu Untuk Maju”, yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat.
Isu yang diangkat sekarang, mungkin hanya soal sah atau tidaknya sebuah musdalub, atau dugaan ada atau tidaknya “KUDETA”. Itu artinya sebatas soal mekanisme dan peraturan partai. Kenapa tidak dipersoalkan hal yang lebih prinsipil, sesuatu yang menjadi esensi dari sebuah peraturan, yaitu soal kapasitas moral publik, kredibilitas personal dari seorang pemimpin partai, yang sudah tentu menjadi soal utama di balik AD/ART sebagai penyanggahnya?
Menyebut seorang pemimpin dengan jabatan di atas sebuah “cathedra”, berarti tidak lepas dari atribut yang paling hakiki, yaitu kredibilitas personalnya, dan kapasitas moral publiknya. Dan kursi seperti ketua sebuah partai politik merupakan sebuah “cathedra” yang seyogyanya dipegang oleh pemimpin dengan kapasitas moral publik yang tidak diragukan, mampu bertindak adil dan benar, dari dirinya sendiri tidak mengandung cacat personal, alias malum, tidak bercela di hadapan umum karena bukan merupakan tersangka, pelaku dari sebuah keburukan sosial, dan terutama berjiwa populis. Karena mau tidak mau, pemimpin sebuah partai politik adalah pengemban suara rakyat. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sebuah musdalub dilakukan tentu ada zit im leben-nya. Karena “luar biasanya” itu, musdalub menjadi sesuatu yang “ingin segera dilakukan” oleh karena desakan yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau tidak dilakukan, era baru tidak pernah ada dan wajah pembaruan mungkin hanya menjadi angan-angan. Kolaps. Dan desakan yang tidak bisa ditunda itu sudah tentu dari suara arus bawah, dari aspirasi bawah, dalam hal ini kader/anggota/simpatisan Golkar. Yang mereka tuntut adalah pergantian kepemimpinan dengan taruhan nama besar dan masa depan Partai Golkar. Pada titik ini, perlu dipertanyakan eksistensi kepemimpinan seorang yang memegang jabatan di era sebelum sampai sekurang-kurangnya musdalub itu terjadi. Ada apa dan mengapa sampai terjadi demikian?
Kalau musdalub dilihat sebagai aspirasi arus bawah, itu berarti salah alamat kalau hanya I. A. Medah atau Melki Mekeng yang digugat. Karena sesungguhnya kursi kepemimpinan sebuah partai itu hanya muncul dari suara hati rakyat, dan bukan dijadikan atau diciptakan. Kesadaran akan tanggung jawab moral populis ini seharusnya menjadi sebuah legitimasi absolut yang patut dicerna oleh seorang pemimpin. Karena betapa berdosanya pemimpin itu bila bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, dan bukan demi kebaikan umum. Bukankah hukum, demikian juga aturan tidak lain adalah perintah akal budi dan ditujukan demi kebaikan umum. Dan sesuatu yang timbul dari akal budi adalah sesuatu yang benar sesuai hati nurani, berarti merupakan suara Tuhan, dan juga suara rakyat (demi kebaikan umum).Musdalub juga ada karena ada “pelanggaran”, barangkali pelanggaran yang teramat besar sampai perlu harus segera dilakukan. Sudah tentu, pelanggaran terhadap mekanisme partai. Dalam hal ini, ada “kebingungan” yang harus dijelaskan di antara kedua belah pihak. Siapa sebenarnya yang “melanggar” aturan partai Golkar? Dan demi “kebaikan umum”, mana “pelanggaran” yang seharusnya “ditobatkan” dan mana “pelanggaran” yang seharusnya “dihukum”? Di sinilah justru letak pembelajaran politik tersebut. Salah mengambil keputusan berarti melangkahi kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Berarti pula mengantar partai Golkar Sikka ke ambang kehancuran, karena akan menjadi sulit untuk dipercayai lagi. Taruhannya bukan saja pribadi tertentu, melainkan nasib Golkar dan kepercayaan publik. Dan yang jauh lebih penting adalah, jangan sampai hati nurani rakyat terlukai lagi. Sebab “mata hati rakyat”, sekalipun nampaknya tersusun dari kebutaan akan organisasi, mekanisme partai, hukum, “main uang”, ia sekali-kali tidak bisa ditipu, karena ada yang bergerak melampaui hukum duniawi dan manusiawi itu, yaitu perasaan ilahi, atau kesadaran alamiah, spontan, dan sakral akan mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana kejujuran dan mana tipu muslihat.*)
Persoalan sah atau tidaknya Musdalub 27 Mei 2006 sebenarnya merupakan hal internal Partai Golkar, menyangkut mekanisme dan peraturan keorganisasian. Karena itu, urusan ini sebenarnya merupakan pertanggungjawaban di “meja hijau” Partai Golkar sendiri. Menjadi soal, ketika harus ada yang diturunkan dan harus ada yang menggantikan. Prosesnya menjadi begitu rentan dengan ambisi, perasaan tidak mau kalah, tidak terima, baik dari pihak yang diturunkan, maupun dari orang-orang yang “bersedia atau tidak bersedia” menerima setelah terjadi proses pergantian tersebut. Dan sudah tentu, semua mata akan “menyalak”, secara jeli memastikan proses tersebut berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan aturan mainnya.
Kemudian hal yang seharusnya “internal” menjadi bias publik. Sesuatu yang seharusnya “lex specialis” menjadi “lex generalis”. Tanggung jawab morilnya pun jelas berbeda. Pada situasi seperti ini, yang diharapkan adalah terjadinya proses “pembelajaran” secara luas, terarah pada kesadaran reformasi publik, menjangkau masyarakat bawah, menyangkut hal yang seharusnya terjadi, sudah terjadi dan benar sesuai aturan main, dan hukuman atas illegalitas personal. Sederhananya, penguakan kembali persoalan internal ini wajib diberi isi pembelajaran politik bagi khayalak ramai dan masyarakat umumnya, apalagi merupakan persoalan Partai Golkar “Bersatu Untuk Maju”, yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat.
Isu yang diangkat sekarang, mungkin hanya soal sah atau tidaknya sebuah musdalub, atau dugaan ada atau tidaknya “KUDETA”. Itu artinya sebatas soal mekanisme dan peraturan partai. Kenapa tidak dipersoalkan hal yang lebih prinsipil, sesuatu yang menjadi esensi dari sebuah peraturan, yaitu soal kapasitas moral publik, kredibilitas personal dari seorang pemimpin partai, yang sudah tentu menjadi soal utama di balik AD/ART sebagai penyanggahnya?
Menyebut seorang pemimpin dengan jabatan di atas sebuah “cathedra”, berarti tidak lepas dari atribut yang paling hakiki, yaitu kredibilitas personalnya, dan kapasitas moral publiknya. Dan kursi seperti ketua sebuah partai politik merupakan sebuah “cathedra” yang seyogyanya dipegang oleh pemimpin dengan kapasitas moral publik yang tidak diragukan, mampu bertindak adil dan benar, dari dirinya sendiri tidak mengandung cacat personal, alias malum, tidak bercela di hadapan umum karena bukan merupakan tersangka, pelaku dari sebuah keburukan sosial, dan terutama berjiwa populis. Karena mau tidak mau, pemimpin sebuah partai politik adalah pengemban suara rakyat. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sebuah musdalub dilakukan tentu ada zit im leben-nya. Karena “luar biasanya” itu, musdalub menjadi sesuatu yang “ingin segera dilakukan” oleh karena desakan yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau tidak dilakukan, era baru tidak pernah ada dan wajah pembaruan mungkin hanya menjadi angan-angan. Kolaps. Dan desakan yang tidak bisa ditunda itu sudah tentu dari suara arus bawah, dari aspirasi bawah, dalam hal ini kader/anggota/simpatisan Golkar. Yang mereka tuntut adalah pergantian kepemimpinan dengan taruhan nama besar dan masa depan Partai Golkar. Pada titik ini, perlu dipertanyakan eksistensi kepemimpinan seorang yang memegang jabatan di era sebelum sampai sekurang-kurangnya musdalub itu terjadi. Ada apa dan mengapa sampai terjadi demikian?
Kalau musdalub dilihat sebagai aspirasi arus bawah, itu berarti salah alamat kalau hanya I. A. Medah atau Melki Mekeng yang digugat. Karena sesungguhnya kursi kepemimpinan sebuah partai itu hanya muncul dari suara hati rakyat, dan bukan dijadikan atau diciptakan. Kesadaran akan tanggung jawab moral populis ini seharusnya menjadi sebuah legitimasi absolut yang patut dicerna oleh seorang pemimpin. Karena betapa berdosanya pemimpin itu bila bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, dan bukan demi kebaikan umum. Bukankah hukum, demikian juga aturan tidak lain adalah perintah akal budi dan ditujukan demi kebaikan umum. Dan sesuatu yang timbul dari akal budi adalah sesuatu yang benar sesuai hati nurani, berarti merupakan suara Tuhan, dan juga suara rakyat (demi kebaikan umum).Musdalub juga ada karena ada “pelanggaran”, barangkali pelanggaran yang teramat besar sampai perlu harus segera dilakukan. Sudah tentu, pelanggaran terhadap mekanisme partai. Dalam hal ini, ada “kebingungan” yang harus dijelaskan di antara kedua belah pihak. Siapa sebenarnya yang “melanggar” aturan partai Golkar? Dan demi “kebaikan umum”, mana “pelanggaran” yang seharusnya “ditobatkan” dan mana “pelanggaran” yang seharusnya “dihukum”? Di sinilah justru letak pembelajaran politik tersebut. Salah mengambil keputusan berarti melangkahi kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Berarti pula mengantar partai Golkar Sikka ke ambang kehancuran, karena akan menjadi sulit untuk dipercayai lagi. Taruhannya bukan saja pribadi tertentu, melainkan nasib Golkar dan kepercayaan publik. Dan yang jauh lebih penting adalah, jangan sampai hati nurani rakyat terlukai lagi. Sebab “mata hati rakyat”, sekalipun nampaknya tersusun dari kebutaan akan organisasi, mekanisme partai, hukum, “main uang”, ia sekali-kali tidak bisa ditipu, karena ada yang bergerak melampaui hukum duniawi dan manusiawi itu, yaitu perasaan ilahi, atau kesadaran alamiah, spontan, dan sakral akan mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana kejujuran dan mana tipu muslihat.*)
Pada Pesta Rasul Petrus dan Paulus
Petrus dan Paulus bukan duet cendekiawan yang cerdas. Mereka muncul dari kalangan biasa. Bahkan yang satunya mantan penganiaya. Yang lainnya, keras seperti wadas. Namun berkat ketokohan mereka, Gereja berkembang menjalar. Selalu berfragmentasi secara kontekstual. Tidak pernah putus harapan. Dan tidak imun terhadap ekonomi kerakyatan.
Gereja tanpa dinding
Sama seperti gurunya, kerasulan Petrus dan Paulus adalah membangun batu-batu hidup. Umat itu sendiri. Gereja yang berdinding tidak terlalu ditekankan. Bahkan sengaja untuk tidak dibicarakan. Karena misi gereja sesungguhnya adalah kekatolikan. Umum dan universal. Karena itu, gereja Petrus dan Paulus selalu tidak berdinding. Terbuka. Tidak dibatasi. Menyebar ke segala arah.
Berbeda dengan Petrus dan Paulus, rata-rata gereja dan kapela di Flores semuanya berdinding. Bahkan ada yang dibangun secara megah meriah. Kesannya sangat mewah. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah-rumah umat. Sebagian besarnya, beratap alang-alang, bambu, dinding kayu, setengah tembok, lantai tanah, atau semen halus. Ada yang masih tinggal di pondok-pondok, bahkan rumah tipe sederhana, dengan satu kamar “tidur rame-rame”.
Kalau mau dicari tahu, biaya untuk membangun sebuah gereja atau kapela pun tidak sedikit. Selain uang umat, para donatur pun ikut menyumbang. Hampir setiap minggu, iuran pembangunan gereja, renovasi, atau iuran-iuran lain selalu menjadi isu penting pengumuman di gereja. Ditambah dengan kolekte, uang pendaftaran sakramen, kursus, kunjungan pastoral, atau misa kelompok. Hampir tidak pernah terlewatkan, misa tanpa pengumuman tentang sumbangan atau iuran untuk gereja. Umat tertatih-tatih, gereja menjadi kolektor.
Bersikap lain dengan Petrus dan Paulus adalah sebuah tantangan. Mampukah gereja menjawab tantangan teologinya sendiri, berpihak pada yang miskin dan tertindas? Sebab gereja yang sesungguhnya adalah pergulatan batu-batu hidup. Bukan batu-batu mati. Denyut jantungnya seharusnya sama dengan irama denyut jantung umat. Penderitaan, salib, duka dan kecemasannya justru ada di kalangan umat.
Tuhan pun demikian. Ia tidak pernah hidup sendirian. Selalu dalam Trinitarisnya. Dalam kebersamaan di tengah komunitas. Artinya di tengah umat. Karena itu, Dia pun tahu segala kebutuhan, keprihatinan, dan penderitaan umat. Tuhan tidak bisa disendirikan dalam sebuah bangunan yang mewah, gagah, agung. Jangan sampai Tuhan disebut sebagai seorang pesolek, hanya mempercantik dirinya, dan lupa akan sesamanya. Dia justru telah berinkarnasi, lahir dan ada di antara kita, manusia, dan bukan di sebuah bangunan. Membangun pastoral yang kontekstual, seperti mengolah tanah, menyebarkan benih, panen, menangkap ikan, menyelesaikan masalah upah buruh, dan membayar pajak.
Menjawabi Tantangan Ekonomi
Hal menarik lainnya dari kerasulan Petrus dan Paulus adalah filosofi ekonomi kerakyatan yang dikembangkan. Menjawabi tantangan kemiskinan, keprihatinan terhadap para janda, yatim piatu, yang sakit dan miskin, Petrus dan Paulus memaklumkan gerakan “memberi bersama untuk semua”. Dalam Kisah Para Rasul, diceritakan mereka mengumpulkan milik pribadi dan membantu yang lemah. Kekayaan menjadi milik bersama. Bahu membahu dalam kesulitan hidup.
Ternyata gereja yang dibangun Petrus dan Paulus tidak imun soal ekonomi. Mereka malah turun tangan. Selain menjadi nabi mimbar dan altar, juga menjadi nabi ekonomi. Membentuk sebuah kelompok, mirip arisan bersama, koperasi simpan pinjam, mengorganisir penjualan dan pembelian, menghitung keuntungan, persentase pendapatan dan kas umum. Petrus dan Paulus tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang “tabu”, “tidak halal”. Atau takut dinilai “materialistik”, “kapitalistik”, dan karena itu tercela. Gereja Petrus dan Paulus tidak membiarkan umatnya mengurus perut sendiri dan terancam kelaparan.
Bukan rahasia lagi kalau Flores itu lekat dengan kemiskinan. Malah sudah menjadi ikon nasional dan dunia internasional. Ini menjadi menarik karena gereja justru yang paling berpengaruh di Flores. Sejauh mana gereja mampu menjawabi tantangan kemiskinan ini?
Dana besar yang sudah dikeluarkan untuk membangun sebuah gereja bisa menjadi lebih bermanfaat kalau diinvestasikan untuk membangun perekonomian rakyat. Tujuh sakramen, enam di antaranya dipestakan dengan biaya yang besar lebih berguna dialihkan untuk kebutuhan praktis umat. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh gereja. Membangun sekolah kejuruan, keterampilan seperti perikanan, pertanian, perkebunan. Mencetak putra-putra daerah menjadi petani, pelaut, nelayan handal. Mendirikan koperasi simpan pinjam. Memberikan beasiswa. Menciptakan peluang usaha yang menjanjikan, seperti budidaya lebah madu, tripang, pohon jarak, jati putih, semua yang sudah tersedia berlimpah ruah di alam Flores.
Sama seperti Petrus dan Paulus, apakah nabi mimbar dan altar bisa sekaligus menjadi nabi pertanian, perikanan, perkebunan? Tahu dan mengerti seluk beluk pengolahan tanah, pembibitan, peternakan, perkebunan. Dan karena itu, menciptakan pastoral yang lebih kontekstual. Menjawabi kebutuhan masyarakat sesuai dengan denyut jantung kehidupan mereka. Bagaimana umat bisa menyumbang lebih, kalau mereka sendiri hidup selalu berkekurangan? Masih banyak umat Flores yang perlu dirangsang dengan pencerahan soal prospek menanam dan melaut yang profesional. Demi sebuah kemajuan riil di bidang ekonomi, kemakmuran, dan juga keimanan.
Quo vadis gereja
Kalau saja gereja tetap tidak beranjak dari dindingnya dan mulai masuk secara nyata ke pertanian, perkebunan, kelautan umat, gereja Flores akan tumbuh secara elitis. Bagaimana pun juga kemiskinan bukan merupakan pilihan hidup setiap manusia. Secara spontan, kemiskinan akan ditolak. Sekalipun dalam ruang gerak yang dibatasi. Sengaja dipaksa untuk mencintai kemiskinan. Karena atas usaha apa pun, gerak merangkak manusia selalu menjauhi keterbelakangan, ketertindasan, dan kemiskinan. Karena itu, kalau tidak dengan sengaja dan sadar, secara riil, aktual dan kontekstual menceburkan diri dalam dimensi kemiskinan itu, gereja akan mengecilkan dirinya menjadi kelompok yang berbeda dari akarnya.
Umat semakin miskin, gereja semakin elitis. Umat mundur, dan gereja mentereng. Kemudian muncul golongan mapan baru. Gereja sebagai kelompok yang mendominasi kemapanan. Berusaha mempertahankan status quo. Susah untuk diajak berubah. Kurang menguasai dinamika masyarakat dan denyut keprihatinan umatnya.
Petrus dan Paulus pernah tergoda dengan lingkungan yang elitis ini. Bahkan Petrus sudah mengiyakan untuk meninggalkan Roma dan umat yang dianiaya. Kemudian Tuhan menyadarkannya. “Engkau akan meninggalkan Aku dianiaya di Roma?” Quo Vadis, Petrus?” Kata Tuhan. Petrus langsung menyadari kekeliruannya. Ia lantas pulang ke Roma dan menjadi martir di sana.
Pertanyaan yang sama pula mesti dilontarkan buat gereja. Quo vadis gereja? Apakah engkau akan meninggalkan Aku di tengah kemiskinan ini?(*)
Gereja tanpa dinding
Sama seperti gurunya, kerasulan Petrus dan Paulus adalah membangun batu-batu hidup. Umat itu sendiri. Gereja yang berdinding tidak terlalu ditekankan. Bahkan sengaja untuk tidak dibicarakan. Karena misi gereja sesungguhnya adalah kekatolikan. Umum dan universal. Karena itu, gereja Petrus dan Paulus selalu tidak berdinding. Terbuka. Tidak dibatasi. Menyebar ke segala arah.
Berbeda dengan Petrus dan Paulus, rata-rata gereja dan kapela di Flores semuanya berdinding. Bahkan ada yang dibangun secara megah meriah. Kesannya sangat mewah. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah-rumah umat. Sebagian besarnya, beratap alang-alang, bambu, dinding kayu, setengah tembok, lantai tanah, atau semen halus. Ada yang masih tinggal di pondok-pondok, bahkan rumah tipe sederhana, dengan satu kamar “tidur rame-rame”.
Kalau mau dicari tahu, biaya untuk membangun sebuah gereja atau kapela pun tidak sedikit. Selain uang umat, para donatur pun ikut menyumbang. Hampir setiap minggu, iuran pembangunan gereja, renovasi, atau iuran-iuran lain selalu menjadi isu penting pengumuman di gereja. Ditambah dengan kolekte, uang pendaftaran sakramen, kursus, kunjungan pastoral, atau misa kelompok. Hampir tidak pernah terlewatkan, misa tanpa pengumuman tentang sumbangan atau iuran untuk gereja. Umat tertatih-tatih, gereja menjadi kolektor.
Bersikap lain dengan Petrus dan Paulus adalah sebuah tantangan. Mampukah gereja menjawab tantangan teologinya sendiri, berpihak pada yang miskin dan tertindas? Sebab gereja yang sesungguhnya adalah pergulatan batu-batu hidup. Bukan batu-batu mati. Denyut jantungnya seharusnya sama dengan irama denyut jantung umat. Penderitaan, salib, duka dan kecemasannya justru ada di kalangan umat.
Tuhan pun demikian. Ia tidak pernah hidup sendirian. Selalu dalam Trinitarisnya. Dalam kebersamaan di tengah komunitas. Artinya di tengah umat. Karena itu, Dia pun tahu segala kebutuhan, keprihatinan, dan penderitaan umat. Tuhan tidak bisa disendirikan dalam sebuah bangunan yang mewah, gagah, agung. Jangan sampai Tuhan disebut sebagai seorang pesolek, hanya mempercantik dirinya, dan lupa akan sesamanya. Dia justru telah berinkarnasi, lahir dan ada di antara kita, manusia, dan bukan di sebuah bangunan. Membangun pastoral yang kontekstual, seperti mengolah tanah, menyebarkan benih, panen, menangkap ikan, menyelesaikan masalah upah buruh, dan membayar pajak.
Menjawabi Tantangan Ekonomi
Hal menarik lainnya dari kerasulan Petrus dan Paulus adalah filosofi ekonomi kerakyatan yang dikembangkan. Menjawabi tantangan kemiskinan, keprihatinan terhadap para janda, yatim piatu, yang sakit dan miskin, Petrus dan Paulus memaklumkan gerakan “memberi bersama untuk semua”. Dalam Kisah Para Rasul, diceritakan mereka mengumpulkan milik pribadi dan membantu yang lemah. Kekayaan menjadi milik bersama. Bahu membahu dalam kesulitan hidup.
Ternyata gereja yang dibangun Petrus dan Paulus tidak imun soal ekonomi. Mereka malah turun tangan. Selain menjadi nabi mimbar dan altar, juga menjadi nabi ekonomi. Membentuk sebuah kelompok, mirip arisan bersama, koperasi simpan pinjam, mengorganisir penjualan dan pembelian, menghitung keuntungan, persentase pendapatan dan kas umum. Petrus dan Paulus tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang “tabu”, “tidak halal”. Atau takut dinilai “materialistik”, “kapitalistik”, dan karena itu tercela. Gereja Petrus dan Paulus tidak membiarkan umatnya mengurus perut sendiri dan terancam kelaparan.
Bukan rahasia lagi kalau Flores itu lekat dengan kemiskinan. Malah sudah menjadi ikon nasional dan dunia internasional. Ini menjadi menarik karena gereja justru yang paling berpengaruh di Flores. Sejauh mana gereja mampu menjawabi tantangan kemiskinan ini?
Dana besar yang sudah dikeluarkan untuk membangun sebuah gereja bisa menjadi lebih bermanfaat kalau diinvestasikan untuk membangun perekonomian rakyat. Tujuh sakramen, enam di antaranya dipestakan dengan biaya yang besar lebih berguna dialihkan untuk kebutuhan praktis umat. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh gereja. Membangun sekolah kejuruan, keterampilan seperti perikanan, pertanian, perkebunan. Mencetak putra-putra daerah menjadi petani, pelaut, nelayan handal. Mendirikan koperasi simpan pinjam. Memberikan beasiswa. Menciptakan peluang usaha yang menjanjikan, seperti budidaya lebah madu, tripang, pohon jarak, jati putih, semua yang sudah tersedia berlimpah ruah di alam Flores.
Sama seperti Petrus dan Paulus, apakah nabi mimbar dan altar bisa sekaligus menjadi nabi pertanian, perikanan, perkebunan? Tahu dan mengerti seluk beluk pengolahan tanah, pembibitan, peternakan, perkebunan. Dan karena itu, menciptakan pastoral yang lebih kontekstual. Menjawabi kebutuhan masyarakat sesuai dengan denyut jantung kehidupan mereka. Bagaimana umat bisa menyumbang lebih, kalau mereka sendiri hidup selalu berkekurangan? Masih banyak umat Flores yang perlu dirangsang dengan pencerahan soal prospek menanam dan melaut yang profesional. Demi sebuah kemajuan riil di bidang ekonomi, kemakmuran, dan juga keimanan.
Quo vadis gereja
Kalau saja gereja tetap tidak beranjak dari dindingnya dan mulai masuk secara nyata ke pertanian, perkebunan, kelautan umat, gereja Flores akan tumbuh secara elitis. Bagaimana pun juga kemiskinan bukan merupakan pilihan hidup setiap manusia. Secara spontan, kemiskinan akan ditolak. Sekalipun dalam ruang gerak yang dibatasi. Sengaja dipaksa untuk mencintai kemiskinan. Karena atas usaha apa pun, gerak merangkak manusia selalu menjauhi keterbelakangan, ketertindasan, dan kemiskinan. Karena itu, kalau tidak dengan sengaja dan sadar, secara riil, aktual dan kontekstual menceburkan diri dalam dimensi kemiskinan itu, gereja akan mengecilkan dirinya menjadi kelompok yang berbeda dari akarnya.
Umat semakin miskin, gereja semakin elitis. Umat mundur, dan gereja mentereng. Kemudian muncul golongan mapan baru. Gereja sebagai kelompok yang mendominasi kemapanan. Berusaha mempertahankan status quo. Susah untuk diajak berubah. Kurang menguasai dinamika masyarakat dan denyut keprihatinan umatnya.
Petrus dan Paulus pernah tergoda dengan lingkungan yang elitis ini. Bahkan Petrus sudah mengiyakan untuk meninggalkan Roma dan umat yang dianiaya. Kemudian Tuhan menyadarkannya. “Engkau akan meninggalkan Aku dianiaya di Roma?” Quo Vadis, Petrus?” Kata Tuhan. Petrus langsung menyadari kekeliruannya. Ia lantas pulang ke Roma dan menjadi martir di sana.
Pertanyaan yang sama pula mesti dilontarkan buat gereja. Quo vadis gereja? Apakah engkau akan meninggalkan Aku di tengah kemiskinan ini?(*)
Langganan:
Postingan (Atom)