Minggu, 12 April 2009

Yang Mencurigakan Dari Memoar Sintong

SESUNGGUHNYA Letjen TNI (purn) Prabowo Subianto adalah pelaku utama memoar Sintong Panjaitan berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Buku setebal 520 halaman yang ditulis Hendro Subroto tersebut mengawali dan mengakhiri kisahnya dengan peristiwa Mei 1998. Prabowo menjadi ‘terdakwa’ dalam dua hal, yaitu actor intellectual dari rencana coup dan dalang penculikan sejumlah mahasiswa.

Sayangnya, versi Prabowo tidak pernah muncul dalam buku tersebut. Prabowo tidak pernah diberi kapasitas membela diri, layaknya seorang terdakwa dalam sebuah persidangan. Padahal, buku adalah sidang pembaca. Penulis dan pencerita dalam buku bahkan tidak lagi berhak memiliki kisah tersebut, ketika sebuah buku sudah dilempar ke pasaran publik. Hanya publik yang layak menilai. Ketiadaan versi Prabowo dalam penceritaan yang tendensius tersebut telah membunuh karakter seorang Prabowo.

Kisah Sintong nyaris tenggelam justru karena kehadiran bab 1 dan bab 13 dalam buku tersebut. Ketokohan Sintong malah hanya menjadi jembatan untuk mengisahkan Prabowo, mantan-mantan murid lainnya di Baret Merah, dan sepak terjangnya. Penempatan kisah Prabowo pada awal dan akhir buku itu dengan jenius mampu memanipulasi kesan dan pesan. Pembaca sengaja diingatkan dua kali, pada saat memasuki gerbang memoar itu dan ketika hendak meninggalkan sidang pembacaan kitab tersebut. Sintong, dalam hal ini, adalah pembaca peringatan itu.

Tautan kisah dalam memoar tersebut pun patut dicurigai. Cerita G30S/PKI yang disebut Sintong sebagai ‘pemberontakan’ dan bukan ‘peristiwa’ merupakan premis, alias gerbang masuk untuk mendakwa Prabowo. Sintong menyebut counter coup d’ etat yang dilakukan Prabowo dalam peristiwa Maret 1993 terhadap LB Moerdani adalah rekayasa yang mirip Letkol Untung. Selanjutnya, Prabowo dalam beberapa kali pencitraan disebut ‘sedang stres berat.’

Pencitraan tersebut menyebabkan kapasitas ketentaraan dan intelegensia Prabowo sebagai seorang terdidik dan pemimpin setaraf wakil komandan Detasemen 81/Antiteror sedang diremehkan pada titik terendah. Namun, sangat tidak masuk akal kalau Sintong selalu menyebut Den 81/Antiteror adalah pasukan terbaik dari yang terbaik, atau terpilih dari anggota Koppassandha terbaik. Sintong bahkan menyebutkan Den 81/Antiteror merupakan piramida puncak dari pasukan inti Koppassandha dan ABRI. Luhut Pandjaitan dan Prabowo, sekalipun yang satu komandan dan yang lainnnya wakil, adalah pemimpin dari pasukan terbaik dari yang terbaik. Sintong sedang menyangkal Den 81/Antiteror yang dibidaninya sebagai satuan yang terbaik dari yang terbaik.

Sintong hanya ‘merasa’ hormat kepada beberapa seniornya seperti Ijon Jambi, Slamet Riyadi, Alex Kawilarang dan kemudian kepada Widjojo Soejono dan LB Moerdani. Dia juga mengatakan Prabowo, Luhut, AM Hendropriyono, Agum Gumelar, Sutiyoso, Syafrie Sjamsoeddin, Tarub, Muchdi Pr sebagai anak didiknya di warga baret merah. Berbeda dengan Prabowo yang disebut sedang stress berat, melalui mulut LB Moerdani, Try Sutrisno, Rudini, maupun Edi Sudradjat, Sintong memuji Luhut sebagai perwira terbaik di angkatan darat.

Namun, Sintong salah menilai kebangsawanan Almarhum Mantan Presiden RI Soeharto dengan mengusulkan status daerah istimewa untuk Timor Timur. Merasa tepat sesuai konsep ‘bapak’, Sintong malah melangkahi LB Moerdani sebagai atasannya, yang sesuai hierarki seharusnya yang menyampaikan usulan tersebut. Usulan daerah istimewa tersebut lebih etis disampaikan Sintong pada LB Moerdani, dan kemudian Moerdani kepada Soeharto. Padahal, Sintong tahu dari Moerdani bahwa Soeharto perlu dibela mati-matian sampai kapanpun, karena beliau adalah seorang Pancasilais sejati. Ucapan tersebut diulang kembali Moerdani dalam rapat para perwira tinggi ABRI.

Dalam kedekatannya bersama BJ Habibie, Sintong juga pernah dibentak soal keputusan presiden pengganti Soeharto yang terus mengusulkan pemisahan jabatan Menteri Hankam dan Panglima ABRI. Dia mengusulkan Hendropriyono diangkat menjadi Panglima ABRI dan menteri Hankam diberikan pada Wiranto. “Pak Sintong, saya tidak mau seperti itu!” Akhirnya Sintong menyadari bahwa dirinya merupakan pembantu Presiden yang jangan sampai malah merecokinya. Baru kemudian Sintong menyadari pilihan Habibie tersebut berdasarkan pertimbangan pribadi yang menilai Wiranto sebagai sosok yang jujur, bermoral, beretika, serta setia pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Dalam usulannya kepada BJ Habibie soal pemisahan kekuasaan tersebut, Prabowo juga menyebut Wiranto pantas menjadi Menteri Hankam. Namun, Prabowo tidak sependapat dengan Sintong soal Hendropriyono sebagai Panglima ABRI. Dia malah mengusulkan Subagyo HS, dan Sintong menganggap usulan itu belum tentu kejelekan. Namun, Sintong justru yang berperan aktif dalam proses pergantian Prabowo dari Panglima Kostrad. Dia menginterpretasikan, pasukan yang berjejal di luar kediaman Presiden dan bersiaganya satuan Kostrad dari luar Jakarta ke Jakarta sebagai upaya coup yang hendak dilancarkan Prabowo. Karena itu, Prabowo pantas dilengserkan karena berbahaya. Padahal, Sintong sendiri mengakui Prabowo tidak mempunyai pengaruh di sebagian besar anggota ABRI, sehingga tidak ada gerakan penolakan pascapencopotan Prabowo. Namun, Prabowo tidak diadili oleh tuduhannya terhadap Moerdani yang akan melakukan coup terhadap Soeharto. Pasalnya, kedekatannya sebagai mantu presiden menyebabkan Prabowo kebal hukum.

Menurut Sintong, alangkah tidak masuk akal (sampai hari ini), mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang, pada saat terjadi peristiwa liar Mei 1998. Padahal, Soeharto sudah mempercayakan masalah keamanan dan ketertiban kepada ABRI melalui Inpres No 16 Tahun 1998. Wiranto sebagai Panglima ABRI dan Subayo sebagai KSAD diminta membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tidak ada Prabowo saat Inpres tersebut dikeluarkan.

Sementara itu, Sintong saat itu adalah penasihat bidang pertahanan keamanan wakil presiden Habibie. Dia mengusulkan agar Habibie mengeluarkan suatu pernyataan guna menenangkan masyarakat dan membentuk instruksi yang dianggap perlu. Soeharto masih di Kairo. Namun, Habibie tahu diri. Dia tidak mau mendahului Soeharto, dan bahwa langkah tersebut harus ada izin dari presiden. Sintong bahkan bertanya, mengapa harus ada izin dari presiden yang sedang berada di luar negeri?

Memoar Sintong ini sebenarnya merupakan kisah soal ‘kedekatan’, entah orang per orang atau kedekatan pada peristiwa. Dalam kedekatan tersebut, ada yang merasa sangat dekat, hingga yakin dan pasti tahu soal seluk beluk peristiwa dan isi kepala seseorang. Kedekatan itu pula yang menimbulkan perasaan gengsi, persaingan jabatan, dan sikut menyikut. Dalam kedekatan itu, persoalan etis tidak etis, loyal tidak loyal, hierarki menjadi sesuatu yang gamang.

Kalau Soeharto sudah merasa tidak percaya dengan ABRI, kepada siapa lagi dia mengadu untuk mempertahankan visi kebangsaan dan pancasilaisnya? Prabowo dengan pasukan di sekitar istana? Ini soal kedekatan sebagai mantu. Setelah Soeharto lengser, Prabowo pun dengan segala cara ikut dilengserkan. Bukan kebetulan, Sintong dekat dengan Prabowo dan Hendripriyono karena mantan murid. Tetapi, Sintong menjadi tidak dekat dengan Prabowo setelah karier anak didiknya itu melejit. Hendripriyono direkomendasi menjadi Panglima ABRI dan bukan Wiranto karena merasa dekat dengan Habibie. Lantas, Sintong melangkahi Moerdani soal daerah istimewa Timor Timur karena merasa sudah dekat dengan Soeharto. Sintong juga salah menilai Habibie soal Wiranto. Tetapi, Prabowo benar soal Wiranto. Itu artinya, intelegentia Prabowo justru lebih dekat daripada Sintong. Memang, yang mencurigakan dari memoar Sintong adalah tentara tidak boleh terjebak nepotisme.(*)

--------

pernah dimuat di Investor Daily, Maret 2009