
Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menjadikan hasil panen petani berlipat ganda. Namun ongkos yang harus dibayar pun mahal. Bahkan bersifat jangka panjang, seperti yang dirasakan sekarang. Bahan kimia sintetik seperti pupuk justru malah merusak struktur kimia dan biologi tanah. Beberapa agen peptisida hayati, seperti predator pemakan hama terancam punah. Malah terjadi imunitas pada beberapa hama.
Neo-Tradisional
Vandana Shiva, dalam konferensi internasional yang diselengarakan FAO, memprediksikan bahwa dalam lima tahun ke depan dunia akan mengalami ketidakamanan pangan oleh karena penyimpangan pasar pertanian kimia. Subsidi untuk pertanian kimia telah mengorbankan sumber alami. Lebih jauh Juma Further mengatakan bahwa motor penggerak pertanian konvensional sekarang terletak pada subsidi dan support dana. Further mengkritik sikap negara-negara Barat menyediakan uang untuk subsidi pupuk, tetapi tidak untuk pertanian organik.
Kesadaran untuk kembali ke pertanian organik sebenarnya muncul bersamaan dengan kesadaran ekologis dan kesehatan. Pencemaran pupuk kimia, peptisida dengan dosis yang berlebihan berdampak terhadap turunnya kualitas lingkungan dan kesehatan manusia. Keluhan atas berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran justru bersumber dari pola makan. Dengan mudahnya logam-logam berat dalam peptisida kimia masuk ke dalam aliran darah konsumen. Bahkan sayuran yang menyehatkan itu, kini harus diwaspadai sebagai biang penyakit.
Nadia El-Hage Scialabba menggambarkan pertanian organik sebagai sistem pangan neo-tradisional yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan praktik pertanian tradisional. Pertanian ini memberi kontribusi penting pada keberlanjutan ketahanan pangan. Mencakup, pemenuhan nutrisi rumah tangga, berkontribusi pada situasi darurat peralihan pangan, dan pola makan sehat. Pertanian ini juga melayani kebutuhan nasional melalui pengembangan pedesaan dan menyediakan pelayanan lingkungan global. Termasuk di dalamnya mengurangi perubahan iklim (climate change).
IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) sendiri menekankan pertanian organik sebagai cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Dengan begitu, biodiversif siklus biologi dan aktivitas biologi tanah pelahan-lahan dapat dipulihkan. Dalam hal ini, penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik, mulai dari produksi sampai pascapanen.
Nafas baru pertanian organik justru berkaitan erat dengan dunia penelitian. Petani tidak bisa lagi bergantung pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Cara-cara tradisional tersebut harus bersinggungan dengan uji coba berbasis ilmu pengetahuan. Mengandaikan pengenalan yang intens pada watak varietas unggul, tingkat kesuburan tanah, watak hama, dan dosis peptisida hayati yang benar. Alam sudah menyediakan segala hal. Termasuk solusi alami jenis pupuk dan obat tanaman. Tinggal bagaimana cara menemukannya.
Pertanian organik itu dapat terwujud kalau ada keterkaitan yang erat antara keanekaragaman hayati, pertanian ekologi, serta pengetahuan tradisional petani-petani di seluruh dunia. Tak pelak, pertanian organik dapat berkontribusi pada ketahanan pangan jika dikaitkan dengan budaya (wisdom local), hak atas tanah lokal, dan komunitas adat. Industrialisasi di bidang pertanian tidak boleh sampai meninggalkan bahkan memarginalkan komunitas adat. Karena itu, paradigma pertanian organik mesti juga menyentuh advokasi kebijakan untuk menggerakkan masyarakat adat dan petani kecil lokal. Termasuk di dalamnya, memikirkan keseimbangan antara ekspor impor pangan dan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Multikultur
Lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Filosofinya multikultur.
Tanaman ditanam pada bedeng-bedeng dengan ukuran bervariasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Di sekeliling bedeng di tanam strip rumput untuk mengurangi erosi. Dan di atas bedeng tersebut ditanami jenis tanaman tumpang sari. Seperti misalnya, lobak, bawang daun dengan kacang tanah dalam satu bedengan. Demi menjaga unsur hara, para petani perlu konsisten mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar atau kompos). Juga dengan memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang). Sistem pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedeng. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Teknologi Pertanian Organik
Masalah yang sering ditemui adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Teknologi penyiasatan masalah ini bertumpu pada peran mikroba tanah. Pertama, mikroba tanah itu berperan dalam mengikat dan mengubah unsur nitrogen (N) menjadi tersedia bagi tanaman. Kemudian mikroba-mikroba itu menjadi pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Mikroba juga berperan dalam mengendalikan organisme patogen. Ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya menjadikan tanah kehilangan mekanisme bela dirinya. Jika kondisi timpang ini dapat diseimbangkan populasinya, hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.
Contoh sederhana, kotoran kambing yang dicampur dengan urine binatang tersebut tidak kalah dibanding urea. Kotoran kambing tersebut dihaluskan kemudian dicampur dengan urinenya. Setelah dua hari, kotoran kambing dan urine tersebut siap disiramkan ke tanaman. Atau untuk ulat pemakan daun, misalnya dapat diatasi dengan ramuan nabati dari lagundi (vitex trifolia) seberat 5 ons, bawang putih 2 ons, lengkuas 3 ons, brotoali (tinospora tuberculata) 4 ons, pinang (areca catechu) 1 buah, dan urine kambing 1 liter.
Di sini menjadi jelaslah sikap FAO dengan memberi tempat penting pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Bahwa pengetahuan para petani di seluruh dunia itu tidak kalah dari para peneliti berbasis perguruan tinggi. Sekalipun dengan catatan, perlunya penelitian yang intens dan lebih lanjut!
Hasil Penelitian

David Pimentel, guru besar pertanian dari Cornell University, Amerika Serikat menyimpulkan, “Pertanian organik menawarkan kelebihan nyata untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai.” Panen jagung dan kedelai untuk pertanian organik sama banyaknya dengan pertanian konvensional. Namun pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan lebih.
Untuk dua tanaman pangan ini, pertanian organik tidak hanya menggunakan energi fosil 30 persen lebih sedikit tetapi juga mengkonservasi lebih banyak air di tanah, mengakibatkan lebih sedikit erosi tanah, memelihara kualitas tanah, dan mengkonservasi sumber daya biologi, dibandingkan dengan pertanian konvensional. Kenyataan lain menunjukkan, sistem pertanian organik menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global di dalam tanah. Menguntungkan untuk sisi ekologis.
Dr. Ir. Mesak Tombe, melalui rekayasa Biotriba berhasil menaikkan produktivitas hasil panen. Pada Jagung, tanpa kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 2,28 ton per ha. Dengan kompos namun tanpa Biotriba, produksinya 5,04 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 5,58 ton per ha. Pada Bawang Merah, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 14,83 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 21,14 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya 23,97 ton per ha. Pada Petsai, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 3,42 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 8,79 ton per ha. Sedangkan dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 12,29 ton per ha.
Peluang dan Tantangan
Bertani organik perlu kesabaran serius. Tiga tahun pertama adalah masa transisi. Produksi akan turun. Kandungan hara pupuk organik jauh di bawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Perlu biaya cukup untuk usaha konversi.
Produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan produk nonorganik di pasar konvensional. Rata-rata harganya sekitar 100–300 persen lebih mahal dibanding produk pertanian non-organik. Hal ini amatlah wajar. Produsen pertanian organik di dunia masih belum banyak. Tidak hanya untuk sayuran dan buah-buahan, pasar organik rempah di luar negeri pun terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Harganya bisa mencapai Rp 25.000 s.d Rp 28.000 per kg.
Kendalanya adalah mahalnya biaya sertifikasi. Mayoritas petani Indonesia bermodal kecil dan berlahan sempit. Namun, hal ini tidaklah menjadi masalah bila petani dalam satu wilayah atau daerah dapat berkoordinasi untuk melakukan sertifikasi berbentuk kelompok usaha bersama. Tentunya melibatkan peran pemerintah dan sektor swasta, baik sebagai penyedia sumber permodalan maupun pembuka akses pasar.
Untuk NTT, pertanian organik sangat cocok untuk lahan kering. Hal ini kurang lebih cocok dengan kondisi dan potensi lahan NTT. Perbandingan potensi lahan basah 127.271 ha lebih sedikit dari potensi lahan kering 1.528.306 ha, dan padang seluas 1.939.801 ha. Bahkan pada masa-masa kering, pertanian organik mampu menghasilkan panen sama banyaknya pada masa basah.
Stigma kemiskinan dengan segala parameternya seperti rawan pangan, kurang gizi dapat diatasi dengan budi daya pertanian organik. Petani dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen, petani dan peternak. Arah pemikiran pertama dan utama harus ditujukan pada suplai makanan yang sehat dan bergizi untuk populasi masyarakat NTT. Sambil tidak melupakan industrialisasi pertanian.
Kalau pilihannya demikian, pertanyaannya adalah, seberapa besar dukungan untuk penelitian dan pengembanan pertanian organik? Dapatkah petani-petani secara kontinu dan intens diberi kesempatan mengikuti pelatihan, penyuluhan, pendampingan berkaitan dengan pertanian organik?(*)
Neo-Tradisional
Vandana Shiva, dalam konferensi internasional yang diselengarakan FAO, memprediksikan bahwa dalam lima tahun ke depan dunia akan mengalami ketidakamanan pangan oleh karena penyimpangan pasar pertanian kimia. Subsidi untuk pertanian kimia telah mengorbankan sumber alami. Lebih jauh Juma Further mengatakan bahwa motor penggerak pertanian konvensional sekarang terletak pada subsidi dan support dana. Further mengkritik sikap negara-negara Barat menyediakan uang untuk subsidi pupuk, tetapi tidak untuk pertanian organik.
Kesadaran untuk kembali ke pertanian organik sebenarnya muncul bersamaan dengan kesadaran ekologis dan kesehatan. Pencemaran pupuk kimia, peptisida dengan dosis yang berlebihan berdampak terhadap turunnya kualitas lingkungan dan kesehatan manusia. Keluhan atas berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran justru bersumber dari pola makan. Dengan mudahnya logam-logam berat dalam peptisida kimia masuk ke dalam aliran darah konsumen. Bahkan sayuran yang menyehatkan itu, kini harus diwaspadai sebagai biang penyakit.
Nadia El-Hage Scialabba menggambarkan pertanian organik sebagai sistem pangan neo-tradisional yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan praktik pertanian tradisional. Pertanian ini memberi kontribusi penting pada keberlanjutan ketahanan pangan. Mencakup, pemenuhan nutrisi rumah tangga, berkontribusi pada situasi darurat peralihan pangan, dan pola makan sehat. Pertanian ini juga melayani kebutuhan nasional melalui pengembangan pedesaan dan menyediakan pelayanan lingkungan global. Termasuk di dalamnya mengurangi perubahan iklim (climate change).
IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) sendiri menekankan pertanian organik sebagai cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Dengan begitu, biodiversif siklus biologi dan aktivitas biologi tanah pelahan-lahan dapat dipulihkan. Dalam hal ini, penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik, mulai dari produksi sampai pascapanen.
Nafas baru pertanian organik justru berkaitan erat dengan dunia penelitian. Petani tidak bisa lagi bergantung pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Cara-cara tradisional tersebut harus bersinggungan dengan uji coba berbasis ilmu pengetahuan. Mengandaikan pengenalan yang intens pada watak varietas unggul, tingkat kesuburan tanah, watak hama, dan dosis peptisida hayati yang benar. Alam sudah menyediakan segala hal. Termasuk solusi alami jenis pupuk dan obat tanaman. Tinggal bagaimana cara menemukannya.
Pertanian organik itu dapat terwujud kalau ada keterkaitan yang erat antara keanekaragaman hayati, pertanian ekologi, serta pengetahuan tradisional petani-petani di seluruh dunia. Tak pelak, pertanian organik dapat berkontribusi pada ketahanan pangan jika dikaitkan dengan budaya (wisdom local), hak atas tanah lokal, dan komunitas adat. Industrialisasi di bidang pertanian tidak boleh sampai meninggalkan bahkan memarginalkan komunitas adat. Karena itu, paradigma pertanian organik mesti juga menyentuh advokasi kebijakan untuk menggerakkan masyarakat adat dan petani kecil lokal. Termasuk di dalamnya, memikirkan keseimbangan antara ekspor impor pangan dan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Multikultur
Lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Filosofinya multikultur.
Tanaman ditanam pada bedeng-bedeng dengan ukuran bervariasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Di sekeliling bedeng di tanam strip rumput untuk mengurangi erosi. Dan di atas bedeng tersebut ditanami jenis tanaman tumpang sari. Seperti misalnya, lobak, bawang daun dengan kacang tanah dalam satu bedengan. Demi menjaga unsur hara, para petani perlu konsisten mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar atau kompos). Juga dengan memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang). Sistem pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedeng. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Teknologi Pertanian Organik
Masalah yang sering ditemui adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Teknologi penyiasatan masalah ini bertumpu pada peran mikroba tanah. Pertama, mikroba tanah itu berperan dalam mengikat dan mengubah unsur nitrogen (N) menjadi tersedia bagi tanaman. Kemudian mikroba-mikroba itu menjadi pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Mikroba juga berperan dalam mengendalikan organisme patogen. Ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya menjadikan tanah kehilangan mekanisme bela dirinya. Jika kondisi timpang ini dapat diseimbangkan populasinya, hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.
Contoh sederhana, kotoran kambing yang dicampur dengan urine binatang tersebut tidak kalah dibanding urea. Kotoran kambing tersebut dihaluskan kemudian dicampur dengan urinenya. Setelah dua hari, kotoran kambing dan urine tersebut siap disiramkan ke tanaman. Atau untuk ulat pemakan daun, misalnya dapat diatasi dengan ramuan nabati dari lagundi (vitex trifolia) seberat 5 ons, bawang putih 2 ons, lengkuas 3 ons, brotoali (tinospora tuberculata) 4 ons, pinang (areca catechu) 1 buah, dan urine kambing 1 liter.
Di sini menjadi jelaslah sikap FAO dengan memberi tempat penting pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Bahwa pengetahuan para petani di seluruh dunia itu tidak kalah dari para peneliti berbasis perguruan tinggi. Sekalipun dengan catatan, perlunya penelitian yang intens dan lebih lanjut!
Hasil Penelitian

David Pimentel, guru besar pertanian dari Cornell University, Amerika Serikat menyimpulkan, “Pertanian organik menawarkan kelebihan nyata untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai.” Panen jagung dan kedelai untuk pertanian organik sama banyaknya dengan pertanian konvensional. Namun pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan lebih.
Untuk dua tanaman pangan ini, pertanian organik tidak hanya menggunakan energi fosil 30 persen lebih sedikit tetapi juga mengkonservasi lebih banyak air di tanah, mengakibatkan lebih sedikit erosi tanah, memelihara kualitas tanah, dan mengkonservasi sumber daya biologi, dibandingkan dengan pertanian konvensional. Kenyataan lain menunjukkan, sistem pertanian organik menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global di dalam tanah. Menguntungkan untuk sisi ekologis.
Dr. Ir. Mesak Tombe, melalui rekayasa Biotriba berhasil menaikkan produktivitas hasil panen. Pada Jagung, tanpa kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 2,28 ton per ha. Dengan kompos namun tanpa Biotriba, produksinya 5,04 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 5,58 ton per ha. Pada Bawang Merah, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 14,83 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 21,14 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya 23,97 ton per ha. Pada Petsai, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 3,42 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 8,79 ton per ha. Sedangkan dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 12,29 ton per ha.
Peluang dan Tantangan
Bertani organik perlu kesabaran serius. Tiga tahun pertama adalah masa transisi. Produksi akan turun. Kandungan hara pupuk organik jauh di bawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Perlu biaya cukup untuk usaha konversi.
Produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan produk nonorganik di pasar konvensional. Rata-rata harganya sekitar 100–300 persen lebih mahal dibanding produk pertanian non-organik. Hal ini amatlah wajar. Produsen pertanian organik di dunia masih belum banyak. Tidak hanya untuk sayuran dan buah-buahan, pasar organik rempah di luar negeri pun terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Harganya bisa mencapai Rp 25.000 s.d Rp 28.000 per kg.
Kendalanya adalah mahalnya biaya sertifikasi. Mayoritas petani Indonesia bermodal kecil dan berlahan sempit. Namun, hal ini tidaklah menjadi masalah bila petani dalam satu wilayah atau daerah dapat berkoordinasi untuk melakukan sertifikasi berbentuk kelompok usaha bersama. Tentunya melibatkan peran pemerintah dan sektor swasta, baik sebagai penyedia sumber permodalan maupun pembuka akses pasar.
Untuk NTT, pertanian organik sangat cocok untuk lahan kering. Hal ini kurang lebih cocok dengan kondisi dan potensi lahan NTT. Perbandingan potensi lahan basah 127.271 ha lebih sedikit dari potensi lahan kering 1.528.306 ha, dan padang seluas 1.939.801 ha. Bahkan pada masa-masa kering, pertanian organik mampu menghasilkan panen sama banyaknya pada masa basah.
Stigma kemiskinan dengan segala parameternya seperti rawan pangan, kurang gizi dapat diatasi dengan budi daya pertanian organik. Petani dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen, petani dan peternak. Arah pemikiran pertama dan utama harus ditujukan pada suplai makanan yang sehat dan bergizi untuk populasi masyarakat NTT. Sambil tidak melupakan industrialisasi pertanian.
Kalau pilihannya demikian, pertanyaannya adalah, seberapa besar dukungan untuk penelitian dan pengembanan pertanian organik? Dapatkah petani-petani secara kontinu dan intens diberi kesempatan mengikuti pelatihan, penyuluhan, pendampingan berkaitan dengan pertanian organik?(*)