Selasa, 25 Maret 2008

NEOTRADISIONAL PERTANIAN



Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menjadikan hasil panen petani berlipat ganda. Namun ongkos yang harus dibayar pun mahal. Bahkan bersifat jangka panjang, seperti yang dirasakan sekarang. Bahan kimia sintetik seperti pupuk justru malah merusak struktur kimia dan biologi tanah. Beberapa agen peptisida hayati, seperti predator pemakan hama terancam punah. Malah terjadi imunitas pada beberapa hama.

Neo-Tradisional

Vandana Shiva, dalam konferensi internasional yang diselengarakan FAO, memprediksikan bahwa dalam lima tahun ke depan dunia akan mengalami ketidakamanan pangan oleh karena penyimpangan pasar pertanian kimia. Subsidi untuk pertanian kimia telah mengorbankan sumber alami. Lebih jauh Juma Further mengatakan bahwa motor penggerak pertanian konvensional sekarang terletak pada subsidi dan support dana. Further mengkritik sikap negara-negara Barat menyediakan uang untuk subsidi pupuk, tetapi tidak untuk pertanian organik.

Kesadaran untuk kembali ke pertanian organik sebenarnya muncul bersamaan dengan kesadaran ekologis dan kesehatan. Pencemaran pupuk kimia, peptisida dengan dosis yang berlebihan berdampak terhadap turunnya kualitas lingkungan dan kesehatan manusia. Keluhan atas berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran justru bersumber dari pola makan. Dengan mudahnya logam-logam berat dalam peptisida kimia masuk ke dalam aliran darah konsumen. Bahkan sayuran yang menyehatkan itu, kini harus diwaspadai sebagai biang penyakit.

Nadia El-Hage Scialabba menggambarkan pertanian organik sebagai sistem pangan neo-tradisional yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan praktik pertanian tradisional. Pertanian ini memberi kontribusi penting pada keberlanjutan ketahanan pangan. Mencakup, pemenuhan nutrisi rumah tangga, berkontribusi pada situasi darurat peralihan pangan, dan pola makan sehat. Pertanian ini juga melayani kebutuhan nasional melalui pengembangan pedesaan dan menyediakan pelayanan lingkungan global. Termasuk di dalamnya mengurangi perubahan iklim (climate change).

IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) sendiri menekankan pertanian organik sebagai cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Dengan begitu, biodiversif siklus biologi dan aktivitas biologi tanah pelahan-lahan dapat dipulihkan. Dalam hal ini, penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik, mulai dari produksi sampai pascapanen.

Nafas baru pertanian organik justru berkaitan erat dengan dunia penelitian. Petani tidak bisa lagi bergantung pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Cara-cara tradisional tersebut harus bersinggungan dengan uji coba berbasis ilmu pengetahuan. Mengandaikan pengenalan yang intens pada watak varietas unggul, tingkat kesuburan tanah, watak hama, dan dosis peptisida hayati yang benar. Alam sudah menyediakan segala hal. Termasuk solusi alami jenis pupuk dan obat tanaman. Tinggal bagaimana cara menemukannya.

Pertanian organik itu dapat terwujud kalau ada keterkaitan yang erat antara keanekaragaman hayati, pertanian ekologi, serta pengetahuan tradisional petani-petani di seluruh dunia. Tak pelak, pertanian organik dapat berkontribusi pada ketahanan pangan jika dikaitkan dengan budaya (wisdom local), hak atas tanah lokal, dan komunitas adat. Industrialisasi di bidang pertanian tidak boleh sampai meninggalkan bahkan memarginalkan komunitas adat. Karena itu, paradigma pertanian organik mesti juga menyentuh advokasi kebijakan untuk menggerakkan masyarakat adat dan petani kecil lokal. Termasuk di dalamnya, memikirkan keseimbangan antara ekspor impor pangan dan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Multikultur

Lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Filosofinya multikultur.

Tanaman ditanam pada bedeng-bedeng dengan ukuran bervariasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Di sekeliling bedeng di tanam strip rumput untuk mengurangi erosi. Dan di atas bedeng tersebut ditanami jenis tanaman tumpang sari. Seperti misalnya, lobak, bawang daun dengan kacang tanah dalam satu bedengan. Demi menjaga unsur hara, para petani perlu konsisten mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar atau kompos). Juga dengan memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang). Sistem pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedeng. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Teknologi Pertanian Organik

Masalah yang sering ditemui adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Teknologi penyiasatan masalah ini bertumpu pada peran mikroba tanah. Pertama, mikroba tanah itu berperan dalam mengikat dan mengubah unsur nitrogen (N) menjadi tersedia bagi tanaman. Kemudian mikroba-mikroba itu menjadi pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Mikroba juga berperan dalam mengendalikan organisme patogen. Ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya menjadikan tanah kehilangan mekanisme bela dirinya. Jika kondisi timpang ini dapat diseimbangkan populasinya, hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.

Contoh sederhana, kotoran kambing yang dicampur dengan urine binatang tersebut tidak kalah dibanding urea. Kotoran kambing tersebut dihaluskan kemudian dicampur dengan urinenya. Setelah dua hari, kotoran kambing dan urine tersebut siap disiramkan ke tanaman. Atau untuk ulat pemakan daun, misalnya dapat diatasi dengan ramuan nabati dari lagundi (vitex trifolia) seberat 5 ons, bawang putih 2 ons, lengkuas 3 ons, brotoali (tinospora tuberculata) 4 ons, pinang (areca catechu) 1 buah, dan urine kambing 1 liter.

Di sini menjadi jelaslah sikap FAO dengan memberi tempat penting pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Bahwa pengetahuan para petani di seluruh dunia itu tidak kalah dari para peneliti berbasis perguruan tinggi. Sekalipun dengan catatan, perlunya penelitian yang intens dan lebih lanjut!

Hasil Penelitian

David Pimentel, guru besar pertanian dari Cornell University, Amerika Serikat menyimpulkan, “Pertanian organik menawarkan kelebihan nyata untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai.” Panen jagung dan kedelai untuk pertanian organik sama banyaknya dengan pertanian konvensional. Namun pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan lebih.

Untuk dua tanaman pangan ini, pertanian organik tidak hanya menggunakan energi fosil 30 persen lebih sedikit tetapi juga mengkonservasi lebih banyak air di tanah, mengakibatkan lebih sedikit erosi tanah, memelihara kualitas tanah, dan mengkonservasi sumber daya biologi, dibandingkan dengan pertanian konvensional. Kenyataan lain menunjukkan, sistem pertanian organik menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global di dalam tanah. Menguntungkan untuk sisi ekologis.

Dr. Ir. Mesak Tombe, melalui rekayasa Biotriba berhasil menaikkan produktivitas hasil panen. Pada Jagung, tanpa kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 2,28 ton per ha. Dengan kompos namun tanpa Biotriba, produksinya 5,04 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 5,58 ton per ha. Pada Bawang Merah, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 14,83 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 21,14 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya 23,97 ton per ha. Pada Petsai, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 3,42 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 8,79 ton per ha. Sedangkan dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 12,29 ton per ha.

Peluang dan Tantangan

Bertani organik perlu kesabaran serius. Tiga tahun pertama adalah masa transisi. Produksi akan turun. Kandungan hara pupuk organik jauh di bawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Perlu biaya cukup untuk usaha konversi.

Produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan produk nonorganik di pasar konvensional. Rata-rata harganya sekitar 100–300 persen lebih mahal dibanding produk pertanian non-organik. Hal ini amatlah wajar. Produsen pertanian organik di dunia masih belum banyak. Tidak hanya untuk sayuran dan buah-buahan, pasar organik rempah di luar negeri pun terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Harganya bisa mencapai Rp 25.000 s.d Rp 28.000 per kg.

Kendalanya adalah mahalnya biaya sertifikasi. Mayoritas petani Indonesia bermodal kecil dan berlahan sempit. Namun, hal ini tidaklah menjadi masalah bila petani dalam satu wilayah atau daerah dapat berkoordinasi untuk melakukan sertifikasi berbentuk kelompok usaha bersama. Tentunya melibatkan peran pemerintah dan sektor swasta, baik sebagai penyedia sumber permodalan maupun pembuka akses pasar.

Untuk NTT, pertanian organik sangat cocok untuk lahan kering. Hal ini kurang lebih cocok dengan kondisi dan potensi lahan NTT. Perbandingan potensi lahan basah 127.271 ha lebih sedikit dari potensi lahan kering 1.528.306 ha, dan padang seluas 1.939.801 ha. Bahkan pada masa-masa kering, pertanian organik mampu menghasilkan panen sama banyaknya pada masa basah.

Stigma kemiskinan dengan segala parameternya seperti rawan pangan, kurang gizi dapat diatasi dengan budi daya pertanian organik. Petani dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen, petani dan peternak. Arah pemikiran pertama dan utama harus ditujukan pada suplai makanan yang sehat dan bergizi untuk populasi masyarakat NTT. Sambil tidak melupakan industrialisasi pertanian.

Kalau pilihannya demikian, pertanyaannya adalah, seberapa besar dukungan untuk penelitian dan pengembanan pertanian organik? Dapatkah petani-petani secara kontinu dan intens diberi kesempatan mengikuti pelatihan, penyuluhan, pendampingan berkaitan dengan pertanian organik?(*)

YESUS, TOKOH SENTRAL ITU MATI DI SALIB


Setelah perarakan meriah daun Palma dan Perjamuan Malam Terakhir, Yesus bergelut dengan penderitaan sampai wafat di Golgota. Tiga hari kemudian, Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di Galilea. Sebelum akhirnya muncul lagi karena ketidakpercayaan Thomas.


Visualisasi Penderitaan Salib

Kisah penyaliban, seperti visualisasi Mel Gibson dalam ”Passion of the Christ” tidak lebih merupakan penggambaran dua realitas: antara kekejaman dan penderitaan. Sulit untuk menerima penganiayaan Yesus tersebut dalam batas nalar manusia. Bahwa ada ketubuhan sebentuk manusia Yesus bisa bertahan terhadap segala macam deraan itu. Sampai-sampai, Goenawan Mohamad, dalam salah satu tulisan ”catatan pinggir”-nya menyatakan ”kehilangan arti kemanusiaan dan makna ketubuhannya,” berhadapan dengan visualisasi Gibson tersebut.

Cara baca lain yang ditawarkan Gibson adalah memandang kemanusiaan dan ketubuhan Yesus melalui spektrum penderitaan dan usaha untuk mencapai tujuan. Bahwa manusia Yesus tidak punya pilihan lain, nampak dalam perenungan Taman Zaitun, selain harus meminum ”cawan” penderitaan. Bahwa penderitaan menjadi ongkos atas nilai ketubuhan dan kemanusiaan yang sedang dipertaruhkan. Dan salib merupakan konsistensi dari rencana besar yang sudah dirintis-Nya sejak dari Ia dilahirkan. Salib dan penderitaan memenangkan rencana keselamatan. Sehingga Yesus menjadi manusia “istimewa”, manusia “super”, yang melampaui kemanusiaan dan ketubuhan biasa.

Lain lagi kontroversi “The Last Temptation of Christ” yang dinahkodai Martin Scorsese, adaptasi dari novel karya Kazantzakis. Jelang wafat-Nya di salib, Yesus digodai untuk turun, menjalani kehidupan seperti orang Yahudi biasanya. Aras utama visualisasi ini terletak pada porsi “godaan”, seperti ketika Ia digodai di padang gurun, di taman getzemani untuk keluar dari porsi cawan penderitaan dan salib. Bahwa Ia bisa saja menyelamatkan manusia tanpa salib, karena Ia adalah Allah. Toh, sangat gampang turun dari salib, membatalkan prosesi penderitaan itu, karena Ia adalah Putera Allah. Namun akhirnya, Ia tetap berseru, “Eloi, Eloi Lamasabaktani”, dan kemudian wafat di salib.

Salib, kekuasaan, dan Kerekanan

Bersebelahan dengan cerita salib, dominasi kekuasaan birokratis Yahudi, kaum intelektual dan cerdik pandai, seperti Kaum Farisi dan Ahli Taurat mengambil bentuk citraan lain. Penyaliban dilihat secara politis sebagai bentuk hukuman atas “penjahat politik.” Kemenangan Kaum Farisi dan Ahli Taurat adalah kemenangan melobi, diplomasi, di balik kekuasaan yang sentralistik. Ketokohan Yesus sebagai penjaga moral dan pemimpin sejuta umat dilihat sebagai ancaman atas kemapanan, “kemakmuran” tokoh-tokoh kalangan atas. Selain sebagai “tumbal” yang harus dikorbankan demi kesenangan kolosalium masyarakat Yahudi.

Pasa sisi yang sama, Yesus pun selalu tergoda ke arah itu. Catatan “The Last Temptation” menggambarkan hal tersebut. Secara sentralistik, Yesus bisa saja meninggalkan salib dan menyelamatkan manusia melalui popularitas, kekuasaan, dan materi. Ia adalah Allah, segala sesuatu tidak ada yang mustahil. Kenapa harus dengan cara “salib”? Ini inti pertanyaan Martin Scorsese, atau boleh dibilang “godaan”.

Sementara pikiran para murid pun rupanya masih sejalan dengan “godaan” ini. Bahwa mereka betul-betul kebingungan, merasa salib hanya sebagai kekalahan seorang Allah, melecehkan misi kerasulan yang sudah dipikul bersama selama karya mereka. Salib adalah penghinaan total atas kenabian mereka. Mereka melihat Yesus sebagai tokoh sentral, yang tanpa-Nya misi keselamatan itu sepertinya menjadi sia-sia. Tidak ada yang bisa menggantikan peran Yesus. Apa mau dikata, Sang Tokoh Sentral itu sudah Mati di Salib!

Sudah selesai! Kata-kata ini sebenarnya ditujukan bukan hanya untuk mengakhiri perjalanan salib itu, tetapi terutama ditujukan pada para rasul dan gereja. “Ami ba’a, ge ata walong! “ kata bijak orang Maumere. Karena itu, kematian Yesus adalah upaya membuka pintu komunikasi yang luas terhadap misi keselamatan. Karena keselamatan bukan upaya yang sentralistik. Tidak bergantung pada satu tokoh, mengecilkan bahkan merendahkan peran sejuta umat. Yesus katakan, “Waktu-Nya sudah selesai”, kini yang ada adalah waktu gereja, para rasul dan sejuta umat. Secara terang, salib mencerminkan karakter keselamatan gereja. Yaitu, bertumpu pada komunikasi humanis, pada pandangan yang positif terhadap peran subjek. Bukan pada tokoh atau “dewa palsu”.

Cerminan Mel Gibson penuh dengan metafora keselamatan intersubjektif ini. Seorang Ibu digambarkan selalu membayangi penderitaan mahaberat Yesus. Yohanes sebagai tipe pengambil inisiatif reflektif, yang hanya bisa berkomunikasi melalui tatapan dan berada di sisi paling dekat dengan Sang Bunda. Seorang penjahat di salib bahkan lebih dulu mengerti tentang arti transformasi ketubuhan di balik nilai kerekanan dalam perjalanan penyaliban. Sementara Simon dari Kirene dengan tegas menyatakan keberpihakannya pada Yesus. Merangkul, menguatkan, bahkan memanggul salib Yesus, sambil seolah-olah mengatakan: “Yesus, Golgota sebentar lagi sampai, tinggal sedikit lagi, mari, kita bergegas ke Golgota. Saya bantu.”

Penderitaan sebagai jalan terjal kehidupan terlalu melelahkan untuk ketubuhan manusia. Bahkan Yesus pun tidak mampu menampung keluh kesah-Nya dan bersandar pada kebundaan Maria. Bunda sendiri tidak mampu menampung pilu tangisnya, kemudian memasrahkan kepiluannya pada sosok Yohanes. Sementara Simon, memandang salib sebagai bagian dari kesehariannya. Dari kebun berlelah, ia seharusnya mengambil waktu istirahat. Daripada berlelah membantu seorang tersalib. Pilihan itu tidak ia ambil. Ruang hidup sebagai petani memberikan pembelajaran semesta berarti, bahwa penderitaan, antara darah dan keringat adalah bagian dari proses menuju kemenangan. Ketubuhan yang fragil, yang rapuh tidak menjadi alasan bermalas, menyerah, dan mundur. Mengalahkan kebutuhan dan fragilitas kemudian melampaui penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kemenangan. Simon pantas membantu Yesus. Karena ia maklum, manusia Yesus mesti mencapai kemenangan dengan melampaui ketubuhan itu.

Bagian terpenting dari penggalan ini adalah, ruang hidup keselamatan itu merupakan proses belajar bersama. Pada sebuah kerekanan, Yesus menunjukkan kerendahan hati untuk belajar dari kebijaksanaan Simon. Yesus tidak pernah memilih rekan-rekan belajar-Nya. Sama halnya juga ketika Ia memilih para rasul-Nya. Bagi Yesus, dalam proses belajar bersama dan komunikasi keselamatan, tidak ada “satu helai rambut pun yang lepas.” Itu berarti, setiap individu adalah tokoh, aktor dalam rencana keselamatan. Tidak ada tuan atau hamba, perempuan atau laki-laki, besar atau kecil. Semua unik, khas, dan berharga.

Pendekatan ini jelas berbeda dengan perspektif Kaum Farisi, Ahli Taurat, dan birokrat Yahudi. Keselamatan dan upaya kemakmuran itu dilihat secara sentralistik, sangat bergantung pada popularitas, kekuasaan, dan materi. Antara individu yang satu dan yang lainnya, tidak ada hubungan yang berarti, jika dan hanya jika individu itu menjadi subordinat dari hierarki kekuasaan yang dibangun. Koneksi komunikasi berlangsung secara liar dengan kecenderungan “makan dan dimakan”.

Kebangkitan: Kubur Kosong dan Galilea

Dari kaca mata para rasul, kebangkitan Yesus hanya dilihat sebatas kubur kosong. Lagi-lagi mereka kecewa. Kebangkitan-Nya itu tidak menyisakan ketubuhan, dalam bentuk yang bisa dilihat dan diraba. Cuma kubur kosong. Tetapi lantas, Ia memunculkan diri-Nya dalam tiga dimensi di Galilea. Pada perjalanan. Kemudian pada Thomas, si peragu itu.

Sia-sianya para murid sudah seharusnya dikuburkan pada kubur kosong. Pandangan yang optimistik seharusnya diarahkan ke Galilea. Pada kubur kosong, tidak ada kehidupan. Bahkan tanpa jenasah. Karena itu, kubur kosong tidak perlu dirayakan. Tidak pantas untuk dikenang. Atau dikunjungi. Kubur kosong sebaiknya dipandang sebagai ajakan untuk meninggalkan pesimisme, mudah menyerah, mengaku kalah, dan kegagalan. Yesus tidak bangkit untuk sebuah kubur kosong. Untuk sesuatu yang tidak ada isinya, tidak ada dinamika, dan ruang hidup. Karena itu, Yesus mengajak para rasul-Nya ke Galilea, ke pusat kehidupan yang sebenarnya, ke misi penjala manusia, dari kehidupan seorang petani, nelayan, pemungut cukai menuju aktor keselamatan. Karena itu, mesti disimpulkan bahwa kebangkitan Yesus itu ada di tengah kehidupan, dalam realitas nyata, dalam personifikasi “orang kecil” para rasul-Nya.

Dia sebagai penginisiatif dan dulunya adalah tokoh sentral, kini mengajak para rasul mengenang kembali kenabiannya sebagai aktor keselamatan di Galilea. Para rasul dan kehidupan di Galilea adalah tokoh sentralnya sekarang. Demikian pun peran gereja dan sejuta umat sekarang. Betapa rendah hatinya seorang Yesus, dan betapa mahakuasa Dia, sampai-sampai Ia rela mengecilkan diri-Nya untuk memberikan keleluasaan bagi para rasul, gereja, dan sejuta umat menjadi aktor dalam misi keselamatan tersebut. Karena itu pulalah, ketubuhan Yesus hanya bisa dilihat dan dirasakan di Galilea, pada kehidupan, pada partisipasi sejuta umat, “di mana dua tiga orang berkumpul, di situ Aku hadir”.

Sekali lagi, kebangkitan Yesus itu dirasakan setiap hari pada dimensi kehidupan manusia. Dalam sebuah perjalanan, proses, dinamika, dialog, ruang hidup. Ketidakpercayaan Thomas menjadi kerangka ketidakpercayaan dan ketidaksadaran kita pada kebangkitan Yesus dalam kehidupan nyata. Thomas masih memandang Yesus sebagai tokoh sentral dan mengharapkan transformasi ajaib dari kefanaannya menuju kemuliaan. Ia sendiri merendahkan dirinya, ruang hidup, dan dialog bersama rekan-rekannya. Ini bisa terjadi kalau refleksi atas penderitaan, dialog, kerekanan diabaikan, dipandang rendah, tidak ada nilainya. Kecuali oleh jamahan langsung Yesus. Kalau mata kita terbuka, sedikit mengecilkan diri kita seperti Yesus, membiarkan ruang hidup dan dialog kerekanan itu menguncupkan nilai dan spiritualitas, pada saat itulah kebangkitan itu menjadi nyata buat kita. Karena itu, mari menghargai ruang hidup, alam semesta, orang lain. Dan hiduplah dalam dialog selaras alam dan penuh kemanusiaan.(*)