Senin, 03 Desember 2007

62 TAHUN FLORES BERSAMA INDONESIA

Usia 62 tahun kemerdekaan Indonesia memang bukan waktu yang relatif tua. Masih ada negara-negara yang lebih tua dari Indonesia. Berumur seratus tahun atau mendekati seratus. Namun 62 tahun sudah cukup untuk menilai sikap bangsa dan negara Indonesia terhadap wilayah dan daerah yang menjadi kekuasaannya. Dan untuk daerah seperti Flores, perlu dipertanyakan: apa yang sudah dilakukan selama usia 62 tahun ini?
Flores dan kancah nasional
Krisis yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 hingga tahun 2001, dan imbasnya hingga kini memang memproduksi secara besar-besaran kemunduran di segala sektor kehidupan. Hal ini sebenarnya sudah bisa diramal dan tidak usah lagi dicari-cari alasannya. Kesenjangan sosial yang terus menanjak selama sepuluh tahun sebelum krisis, ketegangan politik antara masyarakat dan elit penguasa yang sudah di titik puncak, rapuhnya fundamental ekonomi, dan lemahnya mental, kesadaran moral bangsa adalah alasan-alasan yang memperparah krisis tersebut.
h Dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Filiphina, Indonesia justru yang terparah. Hal ini dapat dilihat dari indikasi Depresi Besar (Great Depression), yaitu kerugian-kerugian dalam bentuk kemerosotan daya beli masyarakat, hubungan sosial yang memburuk, menyusutnya modal-modal sosial, jatuhnya korban jiwa, dan negara yang paling rendah statusnya di bidang pendidikan, pemberantasan korupsi, risiko investasi, bangkitnya bentuk neoprimodialisme, banyaknya daerah-daerah yang makin tertinggal, dan kehilangan kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Krisis moneter, desakan IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank, jatuhnya Soeharto, dan dimulainya era reformasi sebenarnya merupakan penampakan keluar yang bisa dilihat dari gejolak krisis itu. Goncangan besar itu tidak bisa dijelaskan hanya dari rentetan peristiwa tersebut. Karena perang yang sesungguhnya justru ada di balik peristiwa-peristiwa itu, yaitu ketika semua orang melepaskan pelurunya dan merasa berkepentingan untuk menyampaikan aspirasinya yang selama itu terkungkung. Karena itu, krisis di era 1997 dan jatuhnya Orde Baru merupakan kekalahan negara terhadap rakyat. Juga merupakan bocornya kapasitas negara sebagai penjamin keseimbangan di masyarakat.
Kekuasaan negara menjadi terpencar-pencar. Masing-masing elemen mengaku sebagai negara di wilayahnya sendiri. Berikut balas dendam atas rasa ketidakpuasan selama masa dikungkung dan dipenjara. Reformasi pun kembali berjalan mundur. Bukan kepentingan rakyat yang diperjuangkan. Bukan juga kesejahteraan dan kebaikan bersama. Melainkan keuntungan pribadi dan golongan. Kesenjangan itu semakin menyakitkan, karena tidak dapat dipastikan siapa yang menjadi lawan dan siapa yang menjadi kawan. Tidak ada musuh dan kawan abadi. Tergantung kepentingan mana yang bisa diusung dan menguntungkan. Tidak juga ada kepedulian. Semua bergantung pada seberapa besar imbalan yang diperoleh.
Kesempatan seperti ini juga tidak disia-siakan oleh beberapa daerah. Ketidakpuasan terhadap Pusat sebagai representasi negara membuat daerah-daerah tertentu memilih untuk berpisah, atau sekurang-kurangnya berstatus otonomi khusus. Gejolak itu terasa begitu kencang untuk wilayah-wilayah Indonesia Timur, yang nota bene kebanyakan daerah-daerah tertinggal. Padahal kalau mau dilihat, potensi untuk maju dan meninggalkan status “tertinggal” itu boleh dikatakan mudah. Kalau saja, sumber daya alamnya tidak terus-terus dikeroyok oleh Pusat dan perusahaan asing. Pendapatan Kas Daerah sebenarnya bisa tinggi, mampu menjamin pembangunan yang adil dan makmur, kalau saja SDA daerah itu betul-betul menjadi aset daerah dan bukan “kue” untuk Pusat.
Pilihan pemekaran pun menjadi diskusi hangat. Upaya yang diambil bukan tanpa alasan. Menjadi lebih sempit, lebih kecil, dengan perampingan kekuasaan, birokrasi, dan demokrasi yang dekat dengan rakyat di tanahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, kesadaran memiliki tanah, sumber daya alam, dan potensi daerahnya semakin kuat. Daerah sepertinya trauma dengan sikap negara masa lalu yang memonopoli aset daerah. Karena itu, daerah menjadi lebih peduli dengan tanah kelahiran, harta bendanya, suku, dan rumah adatnya.
Kalau mau dilihat, Flores cenderung terlambat merespon reformasi. Lebih banyak menanti bola, dari pada menjemput bola. Tidak ada sebuah konsensus bersama, barangkali dalam bentuk kontrak politik untuk menyepakati langkah Flores ke depan. Masih sebatas isu politik. Seperti Propinsi Flores(?) Lebih ke dalam, mungkin Flores tidak memiliki kesatuan budaya. Masing-masing mendukung budayanya sendiri, sukunya sendiri. Memikirkan wilayah dan daerahnya sendiri. Manggarai, Ngada, Nagekeo, Larantuka, Lembata, berikut pecahan-pecahannya yang masih terus bergerak mencari bentuknya sendiri, seperti Manggarai Barat, Manggarai Timur, Riung, dan Adonara. Sentimen budaya dan daerah lebih kuat ketimbang mengedepankan sebuah langkah bersama.
Sikap ini didukung pula oleh dua sikap dasar yang cenderung kontradiktif. Di satu pihak, Flores masih sangat bergantung pada kebijakan Pusat, belum bisa mandiri. Tetapi di lain pihak, ada kebencian yang begitu melekat pada ketidakberpihakan Pusat pada daerah. Sayangnya, kebencian itu hanya tinggal sebagai sebuah kebencian. Tidak merupakan sebuah action yang secara sadar berusaha keluar dari ketergantungan tersebut. Flores terlalu berharap pada Pusat sampai-sampai membenci Pusat karena tidak berpihak pada dirinya.
Padahal seperti daerah-daerah lain, Flores punya potensi untuk mengembangkan dirinya sendiri. Hanya kelemahannya adalah gerak kemajuan itu sangat bergantung pada political will, yaitu sejauh mana elit penguasa daerah peduli dengan isu tertentu. Artinya, setelah Flores menanti Pusat turun tangan, sekarang giliran rakyat Flores yang menanti pemerintah berbuat sesuatu. Semua saling menanti. Pemerintah daerah pun bertindak “sesukanya”. Sesuai dengan “visi pribadi”, ke arah mana kecenderungan politik pribadi dan partai itu berhembus. Karena itu, pertimbangan yang lebih menyeluruh, strategis, menguntungkan, demi kebaikan bersama lebih banyak dikorbankan ketimbang kepentingan pribadi atau partai. Kalau boleh dikatakan, arah pembangunan di Flores sangat bergantung pada mood pemimpin dan bukan dari sebuah pertimbangan yang berjangka panjang dan menyentuh kepentingan umum.
Karena itu, tidaklah mengherankan kalau pembangunan di Flores itu berjalan mandek. Berbeda dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Kurang terpadu. Lebih banyak one man show atau power show. Satu pemimpin punya kebijakannya masing-masing, sistemnya sendiri-sendiri, mekanisme dan birokrasi eksklusif, metode dan cara sendiri, termasuk orang-orangnya sendiri. Sayangnya, birokrasi Flores pun terjebak dalam penyakit busuk Indonesia, seperti KKN dan peradilan hukum yang tidak berimbang.
Faktor lainnya adalah lemahnya pengaruh kaum murni intelektual dan praktisi ahli yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Birokrasi dan fungsi sosial lebih dilihat dari segi fungsionalnya saja dan bukan dari segi kualitas dan profesionalitas. Satu dua kaum murni intelektual yang tumbuh di Flores tapi tidak begitu dihargai dan didengarkan. Cuma corong tanpa sasar. Padahal, kehadiran mereka justru sangat dibutuhkan demi menjamin kualitas birokrasi, kebijakan publik, dan praktisi. Mereka diharapkan bisa menjadi think tank yang terus menerus secara jeli dan kritis berpikir soal langkah praktis dan formal dalam membangun wajah Flores.
Kalau mau dicatat, pentas nasional banyak melahirkan pemikir-pemikir ulung kelahiran Flores. Mereka dinilai cerdas dan mampu menghadirkan ide-ide brilian dalam lingkup kerja, dunia, dan masyarakat. Mereka justru tumbuh di luar Flores, memberikan “emas” untuk rakyat di luar Flores. Sebut saja nama-nama seperti Frans Seda, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Thoby Mutis, Blasius Bapa, dan segudang nama lain kelahiran Flores yang tidak diragukan lagi kapabilitasnya. Belum lagi mereka yang sekarang berkiprah di negeri asing dengan bidangnya masing-masing. Kalau mau dicatat, Flores menjadi tempat kelahiran para pakar nasional maupun internasional, tempat lahir para pemikir ulung dan cendekiawan sejati. Tetapi kenapa Flores tetap tidak pernah bisa maju?
Setelah 62 tahun merdeka
Setelah sekian lama merdeka bersama seluruh bangsa Indonesia, harus diakui Flores gagal dalam membangun basis. Tidak ada fundamen yang kuat untuk berharap. Baik di bidang pendidikan, ekonomi, hukum, maupun sosial budaya. Flores selalu menjadi kelinci percobaan yang gagal. Seperti nasib proyek sejuta kopi, ubi, jambu mente, kapas, jati putih, babi belanda, atau sapi import. Selalu semangat di awal, kemudian lesu dan mati dengan sendirinya.
Di bidang pendidikan, Flores kalah bersaing dengan daerah-daerah lain. Tidak dilirik oleh daerah dari dua segi yang sama-sama menguntungkan. Selain merupakan investasi yang menjanjikan, juga demi membangun basis SDM Flores. Tidak banyak sekolah unggul ada di Flores. Apalagi kalau yang berhubungan dengan sekolah keterampilan. Sebuah alternatif pendidikan yang diperlukan karena selain bisa lebih murah, juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah pertanian masih bergantung pada SPP Boawae. Pernah ada Lembaga Pemasyarakatan Usaha Tani (LPUT) di Maumere – Waigete, yang diprakarsai YASPEM, dengan siswa yang beragam dari ujung Timur sampai ujung Barat Flores, tetapi itu pun mati. Sekolah unggul setaraf SMU, hanya Syuradikara. Selain itu siswa keroyokan masuk Seminari. Ada juga STKIP Ruteng, Unflor, kemudian Unipa, disanding dengan STFK Ledalero, semua itu belum cukup memberikan andil buat kemajun pendidikan Flores. Padahal sudah 62 tahun.
Ekonomi yang lebih memprihatinkan. Pegawai negeri masih menjadi tujuan utama. Tidak berani berkecimpung di dunia bisnis dan wiraswasta. Dunia usaha swasta lebih banyak dikuasai oleh golongan Tionghoa, Padang, dan Jawa. Sedikit sekali kaum pribumi yang berani berwiraswasta. Orang Flores punya prinsip, yang penting cukup untuk makan hari ini. Yang lain-lainya tidak usah direpotkan. Sementara itu, penghargaan atas pekerjaan seperti petani, nelayan, peternak sudah mulai menurun. Bukan merupakan tujuan. Kalau tidak mau dikatakan, “terpaksa”. Karena itu, tidak heran kalau orang Flores berjiwa konsumtif. Kasarnya, “beli” dan “kredit”. Enggan untuk mengambil dan mengolah dari alam sendiri. Lagi pula Flores terlalu banyak disibukkan dengan urusan perebutan tanah. Selesai ngotot-ngototan tanah tersebut dibiarkan terbengkelai tanpa diolah.
Setelah 62 tahun, pertama, Flores harus berhenti mengutuki Pusat, atau terlalu berharap pada Pusat. Kembali pada alam terberi, potensi yang masih begitu perawan di daerah. Bukannya menanti dana, hibah, atau proyek desa tertinggal. Seharusnya Flores harus sudah memiliki rasa malu terus menerus dicap miskin dan tertinggal. Kedua, berhenti berspekulasi menjadi pegawai negeri, anggota DPR, atau tambang ini, tambang itu, gas ini gas itu. Berhenti juga dengan janji-janji politik. Semua itu hanya membentuk the bubble economy. Yaitu gelembung hampa ekonomi, yang pada akhirnya berujung pada “gigit jari”, tanpa ada kemajuan. Malah terus-terusan menjadi “sapi perah”. Ketiga, berilah kesempatan pada golongan cendekiawan sebagai think tank, yang secara terus menerus mengkaji prospek terbaik untuk membangun basis sosial budaya, hukum, dan ekonomi kerakyatan. Keempat, bukalah sekolah-sekolah keterampilan, selain STM, pelayaran, tetapi juga pertanian, peternakan. Kembalikan Flores ke wajah aslinya di ladang, kebun, sawah, laut, dan kandang. Kelima, profesionalisme birokrasi dengan lebih mementingkan kualitas, ketimbang bargaining politik dan fungsional semata. Sesuatu yang bukan konvensional dan fungsional belum tentu salah, sekalipun dibenci. Keenam, gerakan zionisme Flores, memanggil pulang putera-putera daerah terbaik untuk membangun Flores.
Ketertinggalan tidak pernah menguburkan mimpi untuk maju. Selain SDA, Flores juga kaya dengan idealisme. Semoga setelah 62 tahun, Flores dapat melihat dan bertindak yang terbaik untuk dirinya.(*)

NGADA SETELAH NAGEKEO

Nagekeo resmi menjadi kabupaten baru, Ngada mesti berbagi wilayah dan praktis menjadi sempit. Kenyataan ini tidak boleh dianggap sepele. Perubahan batas wilayah turut juga mengubah potensi, peluang, dan arah strategi pembangunan. Karena itu, perlu ada wawasan dan alternatif pengembangan baru yang efektif. Sejauh mana?
Dilema Kota Bajawa
Ngada tidak bisa semata-mata bergantung pada kota Bajawa. Sulit untuk diperluas karena kontur wilayahnya yang berbukit-bukit. Cuacanya pun kurang mendukung. Orang tidak bisa betah beraktivitas. Semua lebih memilih masuk rumah, ketimbang berinteraksi. Baik secara sosial budaya, maupun secara ekonomi politik.. Kalau tidak punya daya tarik lebih, kota Bajawa menjadi lebih cepat sepi.
Ngada dan Bajawa letaknya strategis. Sekurang-kurangnya karena berada di tengah. Antara Manggarai, Nagekeo, bahkan Ende, Maumere, dan Larantuka. Jalur transportasi yang sudah semakin lancar memungkinkan Ngada dan Bajawa menjadi singgahan. Persoalannya, kurangnya penciptaan peluang usaha dan waktu yang terbatas karena cuaca membuat Bajawa tidak optimal. Dari Manggarai atau Labuan, orang mungkin baru sampai Bajawa di sore hari. Demikian pun perjalanan dari Larantuka dan Maumere. Sampai di Bajawa, biasanya aktivitas ekonomi sudah selesai. Satu dua toko mungkin masih dibuka. Selebihnya semuanya tutup.
Kondisi seperti ini justru melemahkan nilai strategis dan denyut ekonomi Ngada. Harapannya Bajawa bukan hanya sekedar singgahan untuk menginap. Melainkan juga melakukan berbagai aktivitas, terutama yang berkaitan dengan ekonomi. Praktis hal itu tidak bisa dilakukan. Peredaran uang sudah telanjur “membeku” dalam dingin.
Memang sudah tidak mungkin memindahkan ibu kota ke tempat lain. Pusat perkantoran, persekolahan, dan pasar sudah telanjur dibangun di situ. Lagi pula secara sosial antropologis, Bajawa menjadi tempat yang tepat. Lebih mewakili identitas kultural dan karakter antropologis ras Ngada. Sama seperti Betawi untuk Jakarta. Atau Keraton untuk Jogya.
Pilihan satu-satunya adalah optimalisasi potensi, tata ruang, dan konsep ekonomi. Katakanlah, ada program membuka toko sampai jam sembilan malam. Sehingga orang tidak takut untuk pulang lebih awal. Atau ketinggalan angkot, karena pada jam itu semua sudah sepi. Bisa juga dibuat program, sekolah malam, pusat hiburan malam, hanya supaya memancing aktivitas dengan jam yang lebih panjang. Tidak cepat tutup buku kas. Memacu peredaran uang. Jual beli. Dan kesadaran untuk berbuat lebih. Lebih gigih. Ulet. Tidak dimanjakan oleh situasi.
Golewa sebagai Kota Alternatif
Kalau mau dilihat, sudah saatnya Golewa (Mataloko) menjadi kota alternatif. Golewa tidak kalah ramainya dengan Bajawa. Lagi pula Golewa dengan Mataloko sebagai pusatnya merupakan titik perjumpaan orang Rowa, Maumbawa, Laja, dan Zepe. Berbatasan dengan Nagekeo. Dan merupakan wisata budaya lain yang unik.
Laja dan Maumbawa merupakan perpaduan Maritim dan Agrikultur. Sementara Mataloko merupakan daerah lintasan jalan utama Flores. Alasan ini membuat orang Laja dan Maumbawa, mau tidak mau, harus ke Mataloko. Kemudian baru ke daerah-daerah lain. Orang Laja dan Maumbawa memang butuh akses. Dan kesempatan pertama itu diperoleh melalui Mataloko.
Mataloko juga punya akses yang cukup terbuka dengan lumbung padi Soa. Jalur Mataloko, Zepe, Soa sekalipun belum dikenal secara luas, masih merupakan jalan berbatu-batu, tidak cukup ramai, melintasi daerah persawahan, cukup menjanjikan untuk sebuah pengembangan kota alternatif. Dengan akses yang lebih menjanjikan. Selain melalui Bajawa dan Naru. Orang Soa bisa langsung ke Nageko melalui jalur Mataloko dan Zepe. Barangkali lebih singkat. Tidak makan ongkos dan energi. Sebaliknya, orang Nagekeo, dan bukan tidak mungkin orang Ende, Maumere, Larantuka bisa langsung mengakses ke Soa melalui jalur ini.
Kehadiran kota alternatif Golewa ini merupakan langkah pembendungan. Jangan sampai kabupaten tetangga lebih menarik perhatian ketimbang ibu kota sendiri. Juga demi pemerataan perhatian, pembangunan, dan pembukaan akses. Kalau Ngada tidak pintar-pintar membaca peluang ini, justru Ngada akan tenggelam dalam ketertutupannya. Risikonya jauh lebih merugi. Yaitu hijrahnya sebagian pendapatan daerah ke kabupaten lain. Inilah juga yang disebutkan dengan memanfaatkan peluang yang sudah diberikan alam. Tinggal kemampuan untuk menatanya menjadi sebuah potensi yang efektif. Salah satunya adalah mempercepat proses Mataloko menjadi sebuah kota alternatif.
Riung seperti Aimere
Riung separuh sudah tersentuh dan sebagiannya belum optimal. Daerah tanah subur dengan status ulayat (kebanyakan) itu tidak kalah potensialnya juga dengan Soa, Maumbawa, dan Laja. Kalau bukan persawahan bisa juga prospeknya ke arah perkebunan dan hortikultura. Kalau tidak salah, kontur Riung hampir sama dengan Aimere. Hanya saja Aimere sedikit berdebu. Sedang Riung lebih liat dan subur.
Bisnis pariwisata bisa menjadi alternatif lain. Riung bisa menjadi alternatif peristirahatan dan tour. Potensi wisata tujuh pulau dan komodo menjadikan daerah ini unik untuk sebuah tujuan wisata. Tempat berlibur.
Sebuah pelabuhan translokal bisa dibangun di Riung. Isu ini sejalan dengan ide transportasi air dan laut untuk daratan Flores, yang justru akan menjadi alternatif yang lebih baik ketimbang jalan darat. Persandingannya dengan Mbay, menjadikan Riung berpotensi sebagai daerah bongkar muatan. Pelabuhan jasa dagang. Karena Mbay mungkin saja lebih berkosentrasi ke pelabuhan penumpang.
Lepas dari Ngada, Mbay akan memacu wajah pembangunannya. Riung sebagai kembarannya, karena menyebut Mbay rasanya tidak lengkap tanpa menyebut Riung, seharusnya tidak boleh kalah. Jalan di tempat pun rasanya tidak mungkin. Sekurang-kurangnya Riung harus bisa menarik keuntungan dari geliat pembangunan kota Mbay. Harus sama-sama maju dan tidak boleh ketinggalan. Karena risikonya akan besar kalau saja ada ketimpangan pembangunan. Pemerintah boleh saja ngotot. Tetapi yang akan terjadi adalah pengalihan sejumlah besar potensi daerahnya ke daerah lain tanpa bisa dicegah. SDA, SDM, dan sejumlah potensi yang tentunya memacu pendapatan daerah bisa hilang begitu saja.
Itu artinya, prospek Riung adalah menggandeng Mbay. Orang akan merasa kurang kalau ke Mbay tanpa menginjak Riung. Penciptaan sejumlah “branch” alias kapitalisasi diri melalui produk-produk lokal, wisata kuliner, wisata flora fauna, sampai pada hasil-hasil perkebunan, pertanian, dan perikanan semestinya menjadi program jangka pendek, sejalan dengan pengembangan kawasan perkotaan di Mbay.
Siapa Yang harus Mulai
Selain Riung, Aimere dan Maumbawa adalah politik interlokal bahkan mungkin internasional Ngada. Dari tempat ini, Ngada “menjual diri”-nya. Ke Kupang, Sumbawa, Makasar, dan bisa jadi ke daerah-daerah lain di seputaran Indonesia dan kancah internasional. Bukan tidak mungkin, mengingat dunia sudah semakin sempit. Sementara Soa, Jerebuu, Mataloko adalah lumbung Ngada. Daerah-daerah ini menjadi penyedia berbagai jasa layanan dan kebutuhan ke dalam.
Umumnya yang terjadi sekarang adalah Bajawa “digebuk” dari segala arah. Mataloko, Soa, Aimere, Riung, dan Jerebuu. Konsentrasi ini kelihatannya tidak menguntungkan. Birokrasinya pun terlalu bertingkat. Waktunya terbatas. Dan cost menjadi lebih besar. Penyempitan ini seharusnya dibuka. Arus perputaran lebih diperlebar dengan cara meluaskan akses dan pembangunan pusat-pusat distribusi baru. Mataloko menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan. Selain optimalisasi potensi Riung, Maumbawa, dan Aimere.
Pertanyaan sekarang, siapa yang harus mulai? Konsentrasi pemerintah mungkin sedang terpecah. Dua kabupaten sama-sama menuntut perhatian penuh. Kalau Nagekeo masih menjadi prioritas, Ngada jangan sampai dilupakan. Ruang yang semakin sempit ini selalu mengundang tantangan optimalisasi. Kalau tidak Ngada tinggal menjadi sebutan di sebuah persinggahan.(*)

COPA FLORETE: LAUDATE PATRIAM!

susah mencari alasan yang sepadan dengan kecintaan masyarakat Flores terhadap bola. Olah kulit bundar itu bukan kultur asli masyarakat Flores. Lebih merupakan produk jiplakan. Tetapi seni atraktif menendang bola di lapangan hijau itu seakan-akan sudah bukan monopoli negara-negara daratan Eropa dan Amerika Latin lagi. Milik penonton, official, pemain, dan masyarakat Flores sesungguhnya. Kerumunan, histeria, eforia antargenerasi versus liukan pemain, strategi, dan derby adalah gambaran menarik dari lapangan Rawamangun, tempat berlangsung Copa Florete. Pesta sepak bola antardaerah sedaratan Flores.
Memang yang disebut asli Flores begitu sulit dicari. Termasuk Karakteristik antropologis sosiologis. Katanya, nenek moyang orang Flores itu asalnya dari Srilangka dan India. Sebagian bercampur dengan darah para pelaut handal, seperti Portugis dan ekspedisi Melayu, Bugis Makasar, Gowa Tallo, dan daerah pesisir pantai dalam jazirah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit. Karena itu, hampir pasti bahwa sebagian besar kultur Flores, juga karakteristik fisik bawaan merupakan warisan dari perluasan dan penyebaran kekuasaan, budaya, dan kepercayaan suku (bangsa) asing.
Namun kalau bicara soal bola, demikian pun sebuah budaya, mesti ada hal baru yang dilahirkan. Tidak semata-mata merupakan murni jiplakan tanpa ada kekhasan. Karena itu pula Flores dikenal dengan keunikan budayanya, ragam adat istiadatnya, juga bahasa dan sistem nilai. Kesemuanya itu bergantung dari lingkungan alam, kontur wilayah, sejauh mana masyarakat Flores bersaing untuk mempertahankan hidup di tanah kecintaannya.
Bola dan Flores, pertama, lingkungan alam yang tidak bersahabat dengan wilayah perbukitan, hutan belukar, kerikil dan debu, menciptakan karakteristik permainan yang ulet, tangguh, ngotot, dan keras. Tidak ada alasan untuk tidak bermain bola di tanah miring, berbukit-bukit, atau berkerikil. Dan bukan bola Flores kalau tidak ada tackle men-tackle, “sleding tidur alias gunting tidur”, atau prinsip “bola boleh lewat asal pemain tidak”. Indahnya permainan sepak bola Flores terletak pada umpan-umpan panjang, memanfaatkan sayap kiri dan kanan, dengan sesekali umpan terobos melalui lini tengah. Bola dibiarkan menggelinding ke depan, penyerang sayap atau penyerang utama beradu ngotot, kejar mengejar dengan pemain bertahan lawan. Kalau sudah dengan taktik sentuhan dari kaki ke kaki, rasanya bukan sepak bola alamiah Flores. Karena itu, sepak bola Flores mirip sekali dengan tradisi permainan Inggris, yang ngotot sampai akhir pertandingan. Malah kalau keliwatan seru, penonton, suporter, official, dan para pemain bisa beradu mulut dan fisik, selain uji strategi.
Kedua, bedanya sangat tipis antara fanatisme dan persaudaraan. Kecintaan terhadap bola sekaligus melahirkan persaudaraan dan fanatisme. Karena itu, sepak bola Flores tidak bertuan. Tidak ada kawan atau lawan abadi. Karena persaudaraan Flores itu seperti arang. Nampak bersatu tetapi rapuh. Kalau sudah dibakar mudah sekali membara. Atau seperti periuk tanah. Tampak kokoh, namun mudah pecah, dan paling baik sebagai penyalur panah (emosi). Sebelum pluit dibunyikan, semua datang ke stadion sebagai satu saudara. Ketika pluit dibunyikan, senyum dari kedua kesebelasan masih saling membekas. Kalau keadaan tetap draw, persaudaraan itu masih nampak akur. Cuma mungkin pemain dan official yang kena getahnya. Tetapi kalau keadaan sudah berubah dalam posisi menang dan kalah. Cerita persaudaraan itu sudah mulai lain. Aroma persaingan, tidak mau kalah, ngotot, harus menang memacu emosi ke puncak adrenalin. Perbedaan pun semakin ditegaskan. Ini kawan dan itu lawan. Itu daerahku dan ini daerahmu. Itu sukuku dan ini sukumu. Fanatisme muncul karena ada bara yang belum selesai dipadamkan.
Ketiga, bola Flores adalah kegembiraan massal. Tontonan semua usia. Dan berpadu bersama musikalitas asli niang tawa tana atau nua sare. Dibuat seperti sebuah pesta adat. Artinya bola hanya sebagai jembatan keledai untuk merayakan kecintaan terhadap tanah air, pada budaya dan adat istiadat. Karena itu, bukan bola Flores, kalau tanpa disertai histeria nyanyian dan tarian. Juga pesta rakyat. Bola bukan tujuan yang sebenarnya. Ia tidak bisa berdiri sendiri tanpa tanah air, rumah adat, dan tradisi. Karena itu, bola Flores adalah nyanyian dan pujian pada tanah air, rumah adat, budaya, dan tradisinya. Laudate patriam omnes!
Memindahkan tempat pertandingan sekelas Copa Florete dari tanah airnya di Flores menuju Jakarta sama sekali tidak berpengaruh pada maknanya. Bola Flores tetap pada bentuk dan gayanya. Sebuah seni olah permainan dan apresiasi kepada tanah airnya di tanah rantau. Cuma ada dua hal yang menonjol, yaitu mengenang dan pujian. Mengenang dan memuji tanah air, rumah adat, budaya, keluarga, sanak saudara, dan sahabat kenalan.
Hanya sayang, kekuatan dan potensi seperti ini hanya dihargai sebatas mengenang dan memuji. Tidak ada kesinambungannya. Inilah kelemahan orang Flores. Terlalu terpaku pada masa lalu, menjadi begitu feodal, sampai-sampai melupakan masa depan dan generasi berikut. Saking feodalnya, masa lalu dianggap sebagai takdir dan bukan sebuah estafet, permulaan dari sebuah kebangkitan generasi berikut. Karena itu, sepak bola Flores bisa menjadi cermin sejauh mana orang Flores menjadi peduli dengan masa depan dan generasi berikutnya. Keahlian, keterampilan, kesempatan dan peluang hanya dilihat dari aspek individualitasnya saja dan bukan merupakan keunggulan dan kekayaan bersama, komunitas. Justru karena itu, tidak ada komunitas Flores yang bisa bertahan lama. Termasuk sebuah komunitas bola. Copa Florete kemudian berubah menjadi sebuah otokritik. Untuk Flores, terutama expatriae Flores di Jakarta. Quo vadis?(*)