Kamis, 06 Desember 2007

SIAPA ITU “PEMIMPIN”

Kancah politik di Kota Maumere sepertinya memanas lagi. Isu santernya adalah gugatan Y.B. Semadu Sadipun terhadap I. A. Medah, Ketua Golkar NTT dan Melchias M. Mekeng, Ketua Golkar Sikka sekarang. Semadu menilai bahwa Melki Mekeng, selanjutnya I.A. Medah “bahu membahu” dalam sebuah kerjasama yang apik, menurunkan dirinya dari tampuk kepemimpinan Golkar Sikka. Pada sidang pertama, Semadu menyalahkan Musdalub, 27 Mei 2006. Menurutnya, Musdalub tersebut tidak sesuai alias “melanggar” AD/ART Partai Golkar, dan karena itu dikatakan tidak sah, dan dapat dibatalkan demi hukum. Sementara itu, pihak I.A. Medah dan Melki Mekeng menampik bahwa segala sesuatu berjalan sesuai prosedur dan merupakan keinginan arus bawah. Sidang berikut, Semadu “ngotot”. Ke-ngototannya itu disimpulkan dalam kata “KUDETA”, sebuah kata “sakral” untuk orang politik, atau orang yang memang sangat haus akan kekuasaan. Bahwa Semadu menilai perbuatan I. A. Medah dan Melki Mekeng terbilang sebagai tindakan “KUDETA” atas tampuk kepemimpinan Golkar Sikka yang didudukinya.
Persoalan sah atau tidaknya Musdalub 27 Mei 2006 sebenarnya merupakan hal internal Partai Golkar, menyangkut mekanisme dan peraturan keorganisasian. Karena itu, urusan ini sebenarnya merupakan pertanggungjawaban di “meja hijau” Partai Golkar sendiri. Menjadi soal, ketika harus ada yang diturunkan dan harus ada yang menggantikan. Prosesnya menjadi begitu rentan dengan ambisi, perasaan tidak mau kalah, tidak terima, baik dari pihak yang diturunkan, maupun dari orang-orang yang “bersedia atau tidak bersedia” menerima setelah terjadi proses pergantian tersebut. Dan sudah tentu, semua mata akan “menyalak”, secara jeli memastikan proses tersebut berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan aturan mainnya.
Kemudian hal yang seharusnya “internal” menjadi bias publik. Sesuatu yang seharusnya “lex specialis” menjadi “lex generalis”. Tanggung jawab morilnya pun jelas berbeda. Pada situasi seperti ini, yang diharapkan adalah terjadinya proses “pembelajaran” secara luas, terarah pada kesadaran reformasi publik, menjangkau masyarakat bawah, menyangkut hal yang seharusnya terjadi, sudah terjadi dan benar sesuai aturan main, dan hukuman atas illegalitas personal. Sederhananya, penguakan kembali persoalan internal ini wajib diberi isi pembelajaran politik bagi khayalak ramai dan masyarakat umumnya, apalagi merupakan persoalan Partai Golkar “Bersatu Untuk Maju”, yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat.
Isu yang diangkat sekarang, mungkin hanya soal sah atau tidaknya sebuah musdalub, atau dugaan ada atau tidaknya “KUDETA”. Itu artinya sebatas soal mekanisme dan peraturan partai. Kenapa tidak dipersoalkan hal yang lebih prinsipil, sesuatu yang menjadi esensi dari sebuah peraturan, yaitu soal kapasitas moral publik, kredibilitas personal dari seorang pemimpin partai, yang sudah tentu menjadi soal utama di balik AD/ART sebagai penyanggahnya?
Menyebut seorang pemimpin dengan jabatan di atas sebuah “cathedra”, berarti tidak lepas dari atribut yang paling hakiki, yaitu kredibilitas personalnya, dan kapasitas moral publiknya. Dan kursi seperti ketua sebuah partai politik merupakan sebuah “cathedra” yang seyogyanya dipegang oleh pemimpin dengan kapasitas moral publik yang tidak diragukan, mampu bertindak adil dan benar, dari dirinya sendiri tidak mengandung cacat personal, alias malum, tidak bercela di hadapan umum karena bukan merupakan tersangka, pelaku dari sebuah keburukan sosial, dan terutama berjiwa populis. Karena mau tidak mau, pemimpin sebuah partai politik adalah pengemban suara rakyat. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sebuah musdalub dilakukan tentu ada zit im leben-nya. Karena “luar biasanya” itu, musdalub menjadi sesuatu yang “ingin segera dilakukan” oleh karena desakan yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau tidak dilakukan, era baru tidak pernah ada dan wajah pembaruan mungkin hanya menjadi angan-angan. Kolaps. Dan desakan yang tidak bisa ditunda itu sudah tentu dari suara arus bawah, dari aspirasi bawah, dalam hal ini kader/anggota/simpatisan Golkar. Yang mereka tuntut adalah pergantian kepemimpinan dengan taruhan nama besar dan masa depan Partai Golkar. Pada titik ini, perlu dipertanyakan eksistensi kepemimpinan seorang yang memegang jabatan di era sebelum sampai sekurang-kurangnya musdalub itu terjadi. Ada apa dan mengapa sampai terjadi demikian?
Kalau musdalub dilihat sebagai aspirasi arus bawah, itu berarti salah alamat kalau hanya I. A. Medah atau Melki Mekeng yang digugat. Karena sesungguhnya kursi kepemimpinan sebuah partai itu hanya muncul dari suara hati rakyat, dan bukan dijadikan atau diciptakan. Kesadaran akan tanggung jawab moral populis ini seharusnya menjadi sebuah legitimasi absolut yang patut dicerna oleh seorang pemimpin. Karena betapa berdosanya pemimpin itu bila bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, dan bukan demi kebaikan umum. Bukankah hukum, demikian juga aturan tidak lain adalah perintah akal budi dan ditujukan demi kebaikan umum. Dan sesuatu yang timbul dari akal budi adalah sesuatu yang benar sesuai hati nurani, berarti merupakan suara Tuhan, dan juga suara rakyat (demi kebaikan umum).Musdalub juga ada karena ada “pelanggaran”, barangkali pelanggaran yang teramat besar sampai perlu harus segera dilakukan. Sudah tentu, pelanggaran terhadap mekanisme partai. Dalam hal ini, ada “kebingungan” yang harus dijelaskan di antara kedua belah pihak. Siapa sebenarnya yang “melanggar” aturan partai Golkar? Dan demi “kebaikan umum”, mana “pelanggaran” yang seharusnya “ditobatkan” dan mana “pelanggaran” yang seharusnya “dihukum”? Di sinilah justru letak pembelajaran politik tersebut. Salah mengambil keputusan berarti melangkahi kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Berarti pula mengantar partai Golkar Sikka ke ambang kehancuran, karena akan menjadi sulit untuk dipercayai lagi. Taruhannya bukan saja pribadi tertentu, melainkan nasib Golkar dan kepercayaan publik. Dan yang jauh lebih penting adalah, jangan sampai hati nurani rakyat terlukai lagi. Sebab “mata hati rakyat”, sekalipun nampaknya tersusun dari kebutaan akan organisasi, mekanisme partai, hukum, “main uang”, ia sekali-kali tidak bisa ditipu, karena ada yang bergerak melampaui hukum duniawi dan manusiawi itu, yaitu perasaan ilahi, atau kesadaran alamiah, spontan, dan sakral akan mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana kejujuran dan mana tipu muslihat.*)

Tidak ada komentar: