Tanggal 20 Desember nanti, NTT menginjak usia 49 tahun. Selangkah lagi akan berumur emas. Seharusnya, pada tingkat usia seperti ini, ada hal yang patut dibanggakan. Misalnya, soal kemajuan pembangunan atau tingkat kesejahteraan tertentu. Yang terjadi justru sebaliknya. Wajah NTT di usia ke-49 tahun ini tidak jauh dari stigma kemiskinan dan gizi buruk. Mengapa bisa begini jadinya?
Kompleksnya masalah gizi buruk
Persoalan pertama yang mendasari masalah gizi buruk di NTT adalah kemiskinan. Menyempitkan arti, ketiadaan atau keterbatasan akses keluarga terhadap pangan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa alasan mendasar. Kategori alasan pertama, sebagian besar anak-anak gizi buruk berasal dari keluarga miskin yang tidak punya lahan atau lahannya sempit atau pekerjaannya tidak menentu. Pangan merupakan sesuatu yang sulit. Dalam kondisi ini, anak-anak tidak mendapatkan makanan bergizi. Mereka lebih sering makan nasi, bubur, jagung tanpa sayur. Tanpa lauk. Atau ubi, ya ubi terus. Makannya pun tidak tiga kali sehari. Dua kali sehari, siang dan malam. Atau sekali sehari. Memang untuk tingkat keluarga seperti ini, rata-rata mereka memiliki ternak. Tetapi percuma. Ternak-ternak itu bukan diperuntukkan sebagai penyeimbang gizi, melainkan dijual atau ditukarkan untuk membeli pangan pokok, seperti beras, minyak tanah, minyak kelapa. Untuk keperluan mendesak dan kepentingan adat. Dengan pola makan seperti ini, bisa dibayangkan anak-anak kehilangan gizi yang seharusnya dibutuhkan.
Kondisi ini diperberat lagi dengan jumlah anak yang banyak. Jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran yang lain terlalu dekat. Pola makan keluarga pun turut disesuaikan. Jatah pertama diberikan pada anak-anak dan bapa, kemudian baru mama. Atau bapa yang pertama, anak-anak, kemudian baru mama. Mama bahkan tidak kebagian, atau mendapat sisa dari jatah makanan bapa dan anak-anak. Hal seperti ini sangat tidak menguntungkan untuk ibu yang sedang mengandung. Pasokan gizi untuk ibu hamil sangat terbatas. Gizi anak dalam kandungan pun tidak terjamin.
Kategori alasan berikut, keluarga miskin dengan pendidikan rendah sangat minim pengetahuan akan makanan bergizi. Prinsipnya, yang penting bisa kenyang. Tidak peduli bergizi atau tidak. Selagi anak-anak tidak panas dingin, muntah, menceret, anak itu dipandang sehat dan bergizi. Perut buncit sebagai ciri-ciri gizi buruk belum menjadi pertanda yang mengejutkan. Baru sesudah kaki mulai mengecil, berat badan menurun drastis, dan lesu lemas, orang tua kemudian membawa anak tersebut ke puskesmas. Dari situ, keluarga yang minim pengetahuan itu baru menyadari anaknya menderita gizi buruk.
Ketika ditanya soal pengetahuan tentang makanan yang bergizi, orang tua selalu berasumsi soal nasi, daging, sayur yang dijual di pasar atau toko/kios. Dan mereka menyerah soal itu. Bagi mereka, hal tersebut merupakan sebuah pemborosan. Uang lebih baik digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih penting, seperti biaya sekolah, kebutuhan pokok pangan, kepentingan adat, dan bukan untuk sayur atau lauk. Untuk sebagian keluarga, harus diakui mereka sama sekali tidak mampu menyediakan menu makanan sehat itu karena miskin finansial.
Sosialisasi yang tidak tepat sasar turut juga mempengaruhi kondisi ini. Ada yang tidak mengerti, kenapa terus-terus ke posyandu tetapi tetap saja gizi buruk. Kalau dicermati secara kritis, pada saat ke posyandu, anak-anak justru tidak didampingi oleh orang tua mereka, ayah atau ibu. Banyak diwakili oleh nenek, kakak, saudari perempuan. Karena itu, informasi yang berkaitan dengan kesehatan bayi/anak tidak sampai ke ranah pengetahuan dan kesadaran orang tua. Putus sampai di telinga nenek, kakak, atau saudari perempuan.
Sementara sebagian tidak mengerti penyuluhan yang disampaikan petugas kesehatan. Pertama karena materi yang disampaikan kurang relevan dengan kondisi riil yang dihadapi keluarga-keluarga miskin. Dan kedua karena memang tidak mampu menangkap. Posyandu kemudian berubah menjadi kegiatan daftar-timbang-catat, selebihnya tidak ada manfaatnya.
Pemerintah dan program bantuan
Pertengahan tahun 2005, kasus gizi buruk dan busung lapar di NTT ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten mengucurkan dana senilai Rp. 64.027.047.000 untuk penanganan KLB gizi tersebut. Tujuannya untuk pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P), revitalisasi posyandu, dan kegiatan penunjang lainnya. Namun upaya ini tidak bisa memulihkan kondisi keterpurukan tersebut secara signifikan. Kalau tidak bisa disebut gagal, berarti rendah. Karena hanya mampu menyumbang 24% dari kondisi semula.
Gagalnya penanganan KLB gizi ini disebabkan oleh beberapa alasan mendasar dan substansial. Penanganan yang birokratis pada situasi emergensi tersebut justru memperlambat bantuan. Atau bahkan tidak sampai ke keluarga miskin dan gizi buruk. PMT sendiri tidak hanya dimakan anak gizi buruk yang menjadi sasaran, tetapi juga oleh anak-anak lain, atau seluruh keluarga. Sementara penanganan gizi buruk dan busung lapar itu hanya terfokus pada pemberian PMT tanpa mempedulikan penyakit lain yang diderita anak. Karena itu, PMT menjadi percuma karena sakit yang diderita anak tidak tersentuh.
Kelemahan logika bantuan di NTT adalah menciptakan ketergantungan. Tidak ada jaminan bahwa setelah program PMT selesai, keluarga gizi buruk dan busung lapar jadi melek gizi. Justru hidup mereka bergantung pada bantuan tersebut. Karena dengan begitu, kebutuhan akan pangan tetap terjamin. Lebih parah lagi, ketergantungan tersebut justru berakibat pada terasingnya menu makan lokal. Keluarga lebih memilih mie instant, susu dan makanan kaleng, biskuit, ketimbang alpukat, susu kedele, pucuk labu, daun singkong, umbi-umbian, atau ikan segar. Makanan bergizi identik dengan biskuit dan makanan kaleng.
Langkah berbenah
Persoalan gizi buruk dan busung lapar tidak bisa dikatakan berdiri sendiri. Cakupannya justru sangat luas. Baik menyangkut kondisi perekonomian, SDM, mental masyarakat, paradigma membangun, maupun soal tradisi dan budaya. Semua itu membentuk rantai masalah yang kompleks dan akut. Penanganannya pun tidak semudah seperti yang dibayangkan.
Saya sendiri lebih setuju kalau penyelesaian masalah ini dilakukan dengan pendekatan penguatan komunitas lokal. Cakupan yang terlalu luas justru melebarkan masalah dan tidak fokus. Tanggung jawabnya pun menjadi anonim. Mengapa demikian?
Salah satu kegagalan posyandu adalah karena penyuluhan itu tidak aktual menjawab kebutuhan riil keluarga. Penguatan komunitas lokal yang terbatas mampu mengatasi masalah tersebut. Identifikasi masalahnya lebih jelas. Dan kebutuhan akan penyuluhan selalu bisa berangkat dari akar masalah dalam keluarga. Dengan cara seperti ini pula, masyarakat punya mekanisme kontrol yang lebih kuat. Sistem pengawasan bisa dilaksanakan secara terpadu, melalui pemimpin-pemimpin lokal yang sudah ada. Petugas bisa mengenali orang tua dari masing-masing anak.
Harus diakui, gizi buruk dan busung lapar di NTT berwajah perempuan dan anak-anak. Ketidaksetaraan gender dengan keterbatasan akses perempuan dan anak-anak terhadap pangan bergizi salah satunya disebabkan oleh dominasi budaya patriarkat. Ayah yang pertama, kemudian anak-anak, dan yang terakhir perempuan. Karena itu, penguatan komunitas lokal dengan upaya kesetaraan gender wajib dilakukan. Faktor keterbatasan pendidikan perempuan menjadi penyebab seorang ibu buta akan pangan bergizi. Tidak tahu cara mengolah dan mengatur bahan makanan lokal menjadi makanan sehat bergizi. Tidak tahu juga cara merawat dan membesarkan anak secara sehat dan bergizi. Faktor keterbatasan akses pangan menyebabkan perempuan kehilangan kebutuhan akan makanan bergizi. Gizi anak yang dikandung pun tidak terjamin. Dan faktor ketidaksetaraan pengambilan keputusan di keluarga menyebabkan perempuan tidak mampu mengatur kesejahteraan dan kesehatan rumah tangga secara seimbang.
Kebutuhan di tingkat lokal sekarang adalah bagaimana keluarga-keluarga itu mampu menyediakan bagi diri sendiri pangan yang sehat dan bergizi. Hal ini tidak bisa diharapkan tanpa adanya pendidikan, penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan. Basisnya adalah perempuan dan anak-anak. Semoga ide penguatan komunitas lokal berbasis perempuan dan anak menjadi solusi jangka panjang, preventif, dan strategis.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar