Mungkin agak terlambat tulisan ini. Tetapi sebuah tulisan bukan soal peruntungan. Apalagi yang ditulis bersifat “memoria,” atau “catatan di sebuah jejak sejarah”, atas ketokohan seseorang. Kepergian dua “beliau”, yang satunya sudah 70-an tahun yang lalu dan yang lainnya “menyentak kalbu” karena baru saja berlalu, mungkin adalah sejarah yang ditulis secara konsisten di tengah arus gelombang kehidupan, dan juga “dalam” berkat penghayatan personal yang mengagumkan.
Tidak semua orang seperti itu. Terutama ketika berada dalam dunia dengan dua wajah yang selalu berbeda, bertentangan, bahkan bertarung untuk saling mengalahkan. Being and Nothingness. Dan dua tokoh ini begitu konsisten, bergerak “menjadi” dan menjadi “model” dari “being”, mengajak semua orang yang mereka jumpai di dunia ini untuk meninggalkan “nothingness”-nya. Mereka juga menunjukkan “ketegasan”, “penghayatan”, “keberimanan”, dan “sosialitas” lawan “anonimitas dalam antinomi”, “tenggelam dalam massa”, “spiritualitas konteks alias relativisme absolut”, “terjun bebas dimangsa hedonisme”, “formalisme yang membungkuk kepada tuan”, dan “untung rugi di tangan kanan maupun kiri”. Dalam dunia yang berbeda tersebut, mereka menjadi “the way”, cermin perjalanan seseorang, dan “the ligth”, terang yang meniadakan kegelapan bagi generasi berikutnya. Ringkasnya, dua tokoh ini adalah “sumbu” yang meretas pencerahan, kemudian mengajak sekian banyak orang menyanyikan “hosana” kebangkitan, dan bukannya “lenguh” duka di keranda kematian. Dan pada tapak itu, mereka sepertinya mengalirkan “keajaiban”, “mujizat” secara nyata, seperti mengubah “air” menjadi “anggur”, dari “wajah lama” menjadi “wajah baru”.
Tipikal duet pribadi dalam persenyawaan personalitas yang cerah itu merupakan kerinduan banyak orang. Memori akan ketokohannya menguakkan batas kemanusiawian kita menjadi sedemikian “jalang” akibat perbedaan mendasar yang ditoreh pada masa kini kita. Itu berarti, kepergian mereka sepantasnya menjadi kepergian seorang “nabi”, yang jasadnya terkubur dalam tanah tetapi “ajaran”, “tutur kata”, dan “penghayatannya” menjadi pitutur masa kini dan suri teladan generasi selanjutnya. Giliran berikut mereka menjadi “otokritik” yang menyediakan ruang bagi semua orang “memukul-mukul dirinya sendiri” dan pulang dalam penyesalan “kenapa tidak seperti mereka?”. Di sini pula, selaput “katarak” kita menjadi luluh dan “efata” (baca: terbukalah) mata kita tentang apa yang seharusnya dikerjakan, dipertahankan, dan apa yang seharusnya dilepas, diluluhlantahkan.
Menyebut dua tokoh ini pula berarti menyinggung soal pilihan hidup dan konsekuensinya. Kawin atau tidak kawin dan bukan tidak kawin sekaligus kawin. Biarawan atau awam dan bukan awam sekaligus biarawan. Namun tidak demikian jadinya. Biarawan atau awam adalah suci atau tidak suci, sakral atau tidak sakral, ilahi atau tidak ilahi. Dalam dimensi ini, baik biarawan maupun awam adalah sama-sama suci, sakral, ilahi dalam sebuah “ruah” (baca: nafas) dan wadah yang tidak lagi menjadi beda, antara yang ada dan yang tiada. Sebab secara sakral, ilahi, dan yang suci tersembunyi makna terdalam kehidupan, ada-nya secara penuh dalam ketiadaan yang sunyi, seperti Sang Pencipta, yang (dirasakan) Ada-Nya, sekaligus (dirasakan) Tiada-Nya. Juga begitu, tidak ada lagi perpisahan, perbedaan antara yang biarawan dan yang awam, tidak ada lagi ruang vakum, sebab semua sudah terisi oleh Yang Ada dan Yang Tiada.
Dalam pandangan ini, patut kita berterima kasih pada dua tokoh ini. Mereka sudah menunjukkan bagaimana semua orang harus memandang kehidupan ini. Yang paling penting adalah mencintai kehidupan ini karena bersumber dan berakhir pada yang suci, sakral, dan ilahi, berikut konsisten terhadap pilihan hidup yang sudah diputuskan. Mereka menjadi sedemikian pro life, karena melihat kehidupan itu secara suci, sakral, dan ilahi, tetapi juga pro choice, karena konsisten pada keputusan yang sudah diambil. Dan justru di situlah, pertanyaan terbesar untuk apa kehidupan itu terlunaskan sudah dalam kepasrahan total di sebuah tarikan nafas terakhir.
Pertengahan April kemarin, apa yang sudah dimulai oleh Sang Maha Guru, Petrus, dan kawan-kawannya diteruskan secara sakral melalui pentahbisan “yang terpilih dari yang dipanggil” para diakon. Beruntung bahwa saya mengenal mereka secara lebih dekat. Karena mereka pernah menjadi kawan-kawan kelas saya. Tetapi lebih beruntung bagi mereka yang tidak mengenalnya. Sebab justru dari bumi Flobamora ini, dunia berharap banyak mendapat “murid”-Nya. Ini sebuah kebanggaan. “Wajah Flobamora muncul di mana-mana”. Dan berharap, semoga kebanggaan yang sama pada dua tokoh di atas juga disematkan di hati dan pundak mereka. Lebih beruntung lagi, sebab mereka juga pernah merasakan tempaan tangan mulia, alm. P. Niko Hayon. Dia dikenal sebagai dosen Liturgi, Pelawak Kondang “nyaris” Tukul, tetapi terutama karena “kapasitas kerohanian dan penghayatan imamatnya yang purna”. Bersama sejarah yang terentang pada kayu salib Sang Guru, oleh pengabdian darah para martir, dan dijiwai semangat imamat Mgr. Gabriel Manek, P. Niko Hayon, ada sebuah titisan yang mengalir dari jantung iman itu, demikian bunyinya: “Apa yang ada pada saya hanya sebagian kecil dari generasi pendahulu dan generasi sesudah saya. Sejarah itu terus berlanjut, dan tidak berhenti di sebuah titik, pada sebuah pribadi. Ia senantiasa harus dikembalikan ke titik nol, supaya ada pencerahan, dan refleksi, ada pembaruan, dan ada kemajuan. Kebanggaan pada seseorang hanya merupakan nyanyi merdu ucapan bibir, pemanis mulut, dan tidak merupakan titik akhir dari sebuah perjalanan panjang. Tokoh-tokoh itu hanya hadir sebagai sebuah reffrein, sebuah chorus, yang harus diulang terus menerus dalam sejarah, dengan kekuatan, makna, yang seharusnya lebih dasyat dari itu.” Kenapa tidak!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar