Orang Korea selalu merasa waktu ada bersama dirinya. Setiap detik tidak
pernah dibuang percuma. Etos kerja yang mepet, hingga melupakan diri sendiri. Orang Tiongkok menghitung setiap sen duit dengan cermat. Tidak meremehkan dua puluh lima perak dalam kantung pundi-pundinya, karena berilmu pada semut yang mengumpulkan sedikit untuk banyak. Orang India menjadi tukang dunia, yang mengetahui detail setiap ruas pipa, kabel, dan ilmu teknis. Sementara itu, orang Padang merasa memiliki citarasa masakan Indonesia, karena berhasil merampok lidah Melayu dengan masakan Padang di segala penjuru nasional.

WS Rendra, Si Buruk Merak itu, pernah melontarkan pujian pada orang Flores. Dalam orasinya berjudul “Selamatkan Kekayaan Negara dengan Kedaulatan,” Rendra memuja Flores sebagai suku bangsa yang tidak pernah ditaklukkan di Tanah Air. ‘Begitu kuatnya budaya yang melasaki jiwa orang-orang Flores itu, sehingga mereka memiliki kedaulatan dalam dirinya sendiri,’ kata Rendra. ‘Yang terjadi di Flores adalah perpaduan yang kental antara budaya lokal dan budaya modern, antara agama dan kepercayaan tradisional, antara bumi, air, api, dan manusianya.’
Namun, apalah artinya kedaulatan tersebut, kalau hanya menjadi kebanggaan di masa lalu? Toh, orang Korea tetap merasa memiliki waktu, orang Tiongkok memiliki duit, orang India tetap menjadi tekhnokrat, dan orang Padang memiliki citarasa nasional. Di tambah pula imperialisme modern “The five sister,” Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, Flores sepertinya dihimpit dengan kekuatan-kekuatan yang mapan dan tak terkalahkan. Sebagai premis awal, sekarang bukan saatnya lagi mengatakan budaya atau suku bangsa itu kalah atawa dikalahkan, melainkan mampu atawa tidak mampu bersaing.
Pendidikan dan Persaingan
Cerita orang sukses dari Flores selalu dimulai dengan sebuah zaman antah berantah. Seorang wartawan sukses dari daerah yang kersang di Flores menceritakan kesuksesannya dari gaji Rp 150 ribu per bulan dengan menjadi satpam. Seorang business man dari Flores mengakhiri ceritanya dengan kata-kata kutipan peribahasa ‘bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.’ Seorang Marketing Manajer dari Flores mengibakan kisah hidupnya dengan menumpang tanpa sepeser duit dari kos ke kos, namun sukses karena ketekunannya.
Karakteristik Florenesis sudah sangat akrab di telinga para berduit di kota-kota besar. Mempekerjakan orang Flores sama sekali tidak merugi. Pekerja keras, jujur, dan dapat dipercaya. Attitude skill yang tidak diragukan. Karena keterampilan itu pula, orang Flores dikenal cerdas dan tangguh.
Namun, kekalahan telak bisa dirasakan kalau sudah masuk ke soal kecerdasan praktis, menjadi orang yang benar-benar spesial pada sebuah bidang. Persaingan akhirnya merucut pada spesialisasi, pada kejelimekan memahami ranah soal, dan budaya klik tanpa perlu menghabiskan waktu dengan mengandalkan solusi manual. Pada spesialisasi ini, orang Flores seperti baru belajar menyelam, atawa kembali menjadi kepompong dan menetek di dunia pengalaman.
Dasar orang Flores! Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo, sesulit apa pun spesialisasi tersebut, sang Flores tak kunjung menyerah. Tetes demi tetes air susu pengalaman itu diendapkan menjadi pengalaman berharga. Sama halnya dengan tantangan mendaki sebuah bukit untuk mendapatkan satu jerigen air bersih. Sama pula dengan bermain sepak bola di sebuah lapangan miring. Sama juga dengan berjalan kaki ke sekolah yang letaknya nun jauh di sana. Lantas, premis berikutnya adalah orang Flores mampu bersaing, dengan berkaca pada wajar kasar kehidupan ibunya.
Lalu, Apa?
Tentang segala sesuatu, hanya perubahanlah yang tetap. Perubahan hanya bisa melebarkan sebuah gelas menjadi mangkuk, mangkuk menjadi panci, dan panci menjadi gentong. Sekali aluminium, tetap aluminium, sekali Flores, tetap Flores. Namun, bukankah mangkuk lebih luas dari gelas, panci lebih lebar dari mangkuk, dan gentong terhadap panci. Bayangkan saja, kalau isinya adalah makanan, berapa banyak yang diperoleh dari setiap perluasan wadah tersebut?
Pendidikan meninggalkan bekas melentur pada inti diri. Melalui imajinasi, pendidikan meneguhkan kemauan dan otot-otot untuk bekerja. Pendidikan itu sumbu, sejauh mana api itu bisa menyala dan menerangi tubuh.
Namun, pendidikan tidak sama sekali berguru pada diktat. Diktat hanya membancikan kata dan mempermalukan pengalaman. Diktat mengurung roh hidup dan kemampuan mempelajari dinamika hidup di alam ruah.
Kisah sejati orang sukses bertumpu pada gigihnya orang Flores berjalan berkilo lamanya demi pelajaran membaca dan menulis, demi seteguk air bersih, dan sesuka hati menendang bola di tanah miring. Dari satpam menuju jutawan!(*)