
Harga minyak dunia beranjak naik. Terakhir berkisar di harga US$ 126 per barrel. Pemerintah pun kebakaran jenggot. Terombang-ambing antara memaksakan subsidi atau menaikkan harga BBM. Tak kurang pula pertarungan politis yang melingkupi naik turunnya harga BBM tersebut. Sementara rakyat kecil menanti keputusan yang paling bijak. Bila perlu tanpa opsi menaikkan harga BBM.
Pada level US$ 100 per barrel
DPR dan pemerintah sudah punya keputusan sejak harga minyak berada di level US$ 100 per barrel. Kedua elemen negara ini menyepakati mengubah pos subsidi BBM menjadi Rp. 153 trilyun. Dengan terpaksa, pemerintah akan mengeluarkan uang tunai sebesar itu untuk menutup kerugian pertamina.
Dari manakah angka itu diperoleh? Harga minyak mentah US$ 100 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau diambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter. Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium, anggap saja dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.
Perhitungan ini benar. Namun perlulah diteliti lebih jauh asumsi yang digunakan. Pemerintah tidak cukup efisien dengan menyertakan minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia. Artinya, minyak mentah milik Indonesia itu harus dibeli pula. Termasuk hak pemerintah pada kilang-kilang minyak yang dikelola perusahaan minyak asing.
Kalau benar perlu tunai Rp. 153 trilyun plus tanpa dikurangi hak minyak pemerintah, berarti ada sejumlah uang yang lebih dari perhitungan itu. Kelebihan dana tunai ini patut dipertanyakan peruntukkannya. Dengan asumsi US$ 100 per barrel, ada sekitar Rp. 35 trilyun kelebihan dari dana yang dikucurkan tersebut.
Perhitungannya, produksi : 1 juta barrel per hari. 70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia. Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel 1 US $ = Rp. 10.000. Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel. 1 barrel = 159 liter. Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter Jika demikian, produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000. Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000 Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000. Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini (19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000=121,900,000,000,000. Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri 40,624,500,000 x Rp. 3.870= 157,216,815,000,000. Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,316,815,000,000 Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual. Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500. Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630. Kelebihan uang per liter 3,870. Ke mana kelebihan tersebut diperuntukkan?
BBM berarti (hanya) minyak
Politisasi minyak dimulai dengan istilah BBM. Dalam definisinya yang ketat antara kelangkaan, kenaikan harga di pasaran internasional, dan prediksi APBN, BBM sengaja tidak pernah dilepaskan dari “minyak”. “Bahan bakar” sendiri, yang menjadi kepentingan sejuta umat sepertinya diabaikan. Sengaja direduksi. Dengan “minyak” sebagai porsi terbesarnya.
Karena itu pulalah, minyak menjadi trend luar biasa selama ia masih bisa disedot dari perut bumi. Menciptakan ketergantungan. Mengelitiskan segelintir orang dengan kepentingan, kekuasaan, modal pada minyak. Melupakan potensi alam yang lain. Melupakan nilai-nilai yang lebih humanis dan selaras alam. Melupakan kaum terpinggir dan terpencil yang berharap tidak terjadi kenaikan harga BBM.
Pernah ada penemuan bahan bakar air. Lain waktu, kita didorong untuk menanam jarak. Di daerah-daerah terpencil, dengan potensi alam yang luar biasa, orang tergerak untuk menemukan sumber-sumber pasokan energi alternatif. Seperti, pembangkit tenaga air, tenaga uap, atau tenaga angin. Alternatif pasokan energi alam ini menjanjikan. Membangkitkan harapan. Dengan sejumlah nilai yang lebih humanis, selaras alam, seperti hemat energi, ramah lingkungan, dan bebas polusi. Namun ini hanya sebuah eforia awal. Kalah dengan kebijakan publik nasional yang selalu meleletkan lidah pada minyak.
Dari sini pulalah mesti mulai mengerti, bahwa ruang hidup yang diciptakan dari BBM ternyata mengambil bagian terpenting dari kehidupan manusia. Yaitu, energi kehidupan. Spirit kehidupan. Yang seharusnya dimiliki seimbang, seadil-adilnya, dan sederajat untuk semua orang. Dari sini pulalah, sebuah kesalahan pembacaan terhadap ruang hidup itu tercipta. Mulai dari istilah BBM. Sampai Benar-Benar Mabok!
Harga BBM Naik
Pilihan pemerintah kemudian merucut pada kenaikan harga BBM. Dari perhitungan di atas, juga reduksi istilah, mau tidak mau kenaikan harga BBM bukanlah telanjang sifatnya. Artinya, benar-benar didasarkan atas perhitungan kepentingan bersama. Lepas dari pengaruh invisible hand, yang menekan pemerintah untuk segera mengambil keputusan tersebut.
Dimulai dengan kontrak karya dengan pembagian keuntungan (split profit) yang kecil untuk pemerintah. Kemudian dari keuntungan yang kecil itu, pemerintah mesti harus melunaskan utang operasional (cost recovery). Maka, yang tersisa dari keuntungan BBM itu terbilang “sangat kecil”. Keuntungan lebih besar pada perusahaan-perusahaan minyak dan pelaku/pemain minyak Indonesia.
Konsumsi minyak yang melebihi produksi menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada import negara-negara produsen minyak. Mau tidak mau, negara pun bergantung pada distributor minyak.
Pemerintah cq Pertamina sesungguhnya bukan murni plat merah. Banyak plat hitam yang mempengaruhi kebijakan perminyakan di Indonesia. Dimulai dari klik yang berada di seputar kepala negara dan wakilnya. Orang-orang kunci di bidang ekonomi. Aparat ideologis negara. Aparat represif negara. Orang-orang kunci di bidang politik. Inilah yang disebut kelas komparador domestik menurut Biersteker (1981). Muaranya adalah kebijakan publik. Termasuk minyak dan kenaikan harga BBM.
Sementara kepentingan rakyat adalah bagian paling akhir dari hitung menghitung sampai pada tingkat aman untuk kelas di atas. Praktisnya, apa pun pertimbangan yang masuk akal, pilihan politislah yang menjadi penentunya. Harga BBM tentu saja naik!(*)
Artikel ini pernah dimuat di Harian Flores Pos, 21 Mei 2008
Pada level US$ 100 per barrel
DPR dan pemerintah sudah punya keputusan sejak harga minyak berada di level US$ 100 per barrel. Kedua elemen negara ini menyepakati mengubah pos subsidi BBM menjadi Rp. 153 trilyun. Dengan terpaksa, pemerintah akan mengeluarkan uang tunai sebesar itu untuk menutup kerugian pertamina.
Dari manakah angka itu diperoleh? Harga minyak mentah US$ 100 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau diambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter. Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium, anggap saja dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.
Perhitungan ini benar. Namun perlulah diteliti lebih jauh asumsi yang digunakan. Pemerintah tidak cukup efisien dengan menyertakan minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia. Artinya, minyak mentah milik Indonesia itu harus dibeli pula. Termasuk hak pemerintah pada kilang-kilang minyak yang dikelola perusahaan minyak asing.
Kalau benar perlu tunai Rp. 153 trilyun plus tanpa dikurangi hak minyak pemerintah, berarti ada sejumlah uang yang lebih dari perhitungan itu. Kelebihan dana tunai ini patut dipertanyakan peruntukkannya. Dengan asumsi US$ 100 per barrel, ada sekitar Rp. 35 trilyun kelebihan dari dana yang dikucurkan tersebut.
Perhitungannya, produksi : 1 juta barrel per hari. 70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia. Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel 1 US $ = Rp. 10.000. Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel. 1 barrel = 159 liter. Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter Jika demikian, produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000. Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000 Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000. Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini (19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000=121,900,000,000,000. Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri 40,624,500,000 x Rp. 3.870= 157,216,815,000,000. Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,316,815,000,000 Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual. Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500. Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630. Kelebihan uang per liter 3,870. Ke mana kelebihan tersebut diperuntukkan?
BBM berarti (hanya) minyak
Politisasi minyak dimulai dengan istilah BBM. Dalam definisinya yang ketat antara kelangkaan, kenaikan harga di pasaran internasional, dan prediksi APBN, BBM sengaja tidak pernah dilepaskan dari “minyak”. “Bahan bakar” sendiri, yang menjadi kepentingan sejuta umat sepertinya diabaikan. Sengaja direduksi. Dengan “minyak” sebagai porsi terbesarnya.
Karena itu pulalah, minyak menjadi trend luar biasa selama ia masih bisa disedot dari perut bumi. Menciptakan ketergantungan. Mengelitiskan segelintir orang dengan kepentingan, kekuasaan, modal pada minyak. Melupakan potensi alam yang lain. Melupakan nilai-nilai yang lebih humanis dan selaras alam. Melupakan kaum terpinggir dan terpencil yang berharap tidak terjadi kenaikan harga BBM.
Pernah ada penemuan bahan bakar air. Lain waktu, kita didorong untuk menanam jarak. Di daerah-daerah terpencil, dengan potensi alam yang luar biasa, orang tergerak untuk menemukan sumber-sumber pasokan energi alternatif. Seperti, pembangkit tenaga air, tenaga uap, atau tenaga angin. Alternatif pasokan energi alam ini menjanjikan. Membangkitkan harapan. Dengan sejumlah nilai yang lebih humanis, selaras alam, seperti hemat energi, ramah lingkungan, dan bebas polusi. Namun ini hanya sebuah eforia awal. Kalah dengan kebijakan publik nasional yang selalu meleletkan lidah pada minyak.
Dari sini pulalah mesti mulai mengerti, bahwa ruang hidup yang diciptakan dari BBM ternyata mengambil bagian terpenting dari kehidupan manusia. Yaitu, energi kehidupan. Spirit kehidupan. Yang seharusnya dimiliki seimbang, seadil-adilnya, dan sederajat untuk semua orang. Dari sini pulalah, sebuah kesalahan pembacaan terhadap ruang hidup itu tercipta. Mulai dari istilah BBM. Sampai Benar-Benar Mabok!
Harga BBM Naik
Pilihan pemerintah kemudian merucut pada kenaikan harga BBM. Dari perhitungan di atas, juga reduksi istilah, mau tidak mau kenaikan harga BBM bukanlah telanjang sifatnya. Artinya, benar-benar didasarkan atas perhitungan kepentingan bersama. Lepas dari pengaruh invisible hand, yang menekan pemerintah untuk segera mengambil keputusan tersebut.
Dimulai dengan kontrak karya dengan pembagian keuntungan (split profit) yang kecil untuk pemerintah. Kemudian dari keuntungan yang kecil itu, pemerintah mesti harus melunaskan utang operasional (cost recovery). Maka, yang tersisa dari keuntungan BBM itu terbilang “sangat kecil”. Keuntungan lebih besar pada perusahaan-perusahaan minyak dan pelaku/pemain minyak Indonesia.
Konsumsi minyak yang melebihi produksi menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada import negara-negara produsen minyak. Mau tidak mau, negara pun bergantung pada distributor minyak.
Pemerintah cq Pertamina sesungguhnya bukan murni plat merah. Banyak plat hitam yang mempengaruhi kebijakan perminyakan di Indonesia. Dimulai dari klik yang berada di seputar kepala negara dan wakilnya. Orang-orang kunci di bidang ekonomi. Aparat ideologis negara. Aparat represif negara. Orang-orang kunci di bidang politik. Inilah yang disebut kelas komparador domestik menurut Biersteker (1981). Muaranya adalah kebijakan publik. Termasuk minyak dan kenaikan harga BBM.
Sementara kepentingan rakyat adalah bagian paling akhir dari hitung menghitung sampai pada tingkat aman untuk kelas di atas. Praktisnya, apa pun pertimbangan yang masuk akal, pilihan politislah yang menjadi penentunya. Harga BBM tentu saja naik!(*)
Artikel ini pernah dimuat di Harian Flores Pos, 21 Mei 2008