Kamis, 09 Februari 2012

KAU TETAP HIDUP TUA ENGE

Sebuah Penghormatan untuk P Alfons Engels SVD

Saya mengenang Pater Alfons Engels SVD atau Tua Enge dari beberapa peristiwa. Pertama, Dia adalah guru bahasa Jerman kami. Dengan buku jilitan Wir Sprechen Deutsch yang nyaris usang, Tua Enge menulari kami bahasa ibunya itu. Kendati Bahasa Jerman baru mulai diajarkan pada kelas lima Seminari atau kelas dua di Sekolah Menengah Umum pada masa kami, Tua Enge tidak mau tahu. Dari jam pertama pelajaran hingga detik terakhir, Tua Enge tancap gas dengan Bahasa Jerman. Kami seperti diceplung Tua Enge pada kolam yang dalam, walau kami tidak bisa berenang. Lantas, sekuat tenaga kami harus menyelamatkan diri. Tetapi, lama kelamaan kami jadi tahu berenang (baca: Bahasa Jerman) karena belajar dari pengalaman.

Ada yang lucu selama Tua Enge jadi guru Bahasa Jerman. Tua Enge pernah kentut di depan kelas saat dirinya jongkok untuk menulis kata-kata pengecualian dari jenis kata Maskulin. Menyadari dirinya kentut, lantas Tua Enge berbalik, "Ups...tadi makan buncis!" Tua Enge yang terkenal konsisten dan disiplin itu pun melanggar peraturannya sendiri. Itu seruan Bahasa Indonesia pertama dan terakhir untuk kelas Bahasa Jerman.


Mungkin karena sudah terbilang tua, Tua Enge sering keceplosan menyebutkan kunci jawaban untuk soal ujian di depan kelas. Kami sungguh memanfaatkan kelemahan ini. Secara bergiliran kami akan bertanya, seolah-olah soal-soal itu tidak jelas. Lalu Tua Enge akan membaca ulang soal-soal itu dan diakhiri dengan menyebutkan kunci jawaban a,b,c, atau d. Lumayan kalau yang bertanya sekitar 10 orang.

Tentang orang sakit, Tua Enge yang paling bertanggung jawab. Romo Bernadus Sebho, seorang Kepala Sekolah bahkan mendapat tamparan dari Tua Enge karena kurang cekatan membantu meluruskan tangan seorang siswa yang patah. Namun, hal kedua ini yang saya ingat. Tua Enge tidak berdaya atas "kegilaan" Pater Elias Doni Seda.


Pater Elias adalah perfek SMP kala itu. Tidak sekali dua, Pater Elias mengusir kami dari kamar tidur pada malam hari atau jelang subuh karena ulah satu dua siswa yang ribut. Malam itu di tahun 1992 kami baru saja selesai berdoa. Tidak mau diusir lagi dan menginap di luar beratapkan langit, kami kunci mulut. Benar-benar silentium magnum karena memang tidak ingin tidur kami terusik lagi. Sebagian siswa malah sudah masuk dalam selimut.


Sekonyong-konyong Pater Elias membunyikan lonceng dan meminta kami untuk segera mengangkat tempat tidur keluar. Malam itu kami wajib mengosongkan kamar tidur. Kami diinstruksikan untuk slaber ruangan kamar tidur, mengeringkannya, dan memasukkan kembali tempat tidur. Sekitar Pukul 03.00 WITA barulah kami diizinkan tidur.


Malang bagi siswa yang sakit dan beristirahat di kamar tidur. Bagi Pater Elias, merekalah biang keladinya. Tongkol jagung sisa makan malam hari itu berserakan di bawah kolong tempat tidur. Hal ini yang menyebabkan "kegilaan" Pater Elias kambuh. Lantas sekitar 10 siswa yang sakit dan beristirahat di kamar tidur itu pun disuruh berlutut di halaman tengah, persisnya di halaman depan Aula SMP.

Beberapa Romo pembina sudah meminta supaya orang sakit jangan dihukum. Tetapi Pater Elias tak bergeming. Barangkali senioritas Tua Enge bisa melumpuhkan ketegaran hati Pater Elias. Sekali lagi Tua Enge meminta supaya Pater Elias membebaskan orang sakit dari hukuman itu. Malam dingin dan berkabut seperti Mataloko sangat tidak baik untuk orang sakit Malaria seperti 10 siswa itu dihukum berlutut. Namun, Pater Elias tetap tak bergeming.


Tua Enge hanya bisa mengurut dada dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia kembali ke kamar. Kabarnya, Tua Enge langsung berdoa.


Semula saya tidak mempercayai kalau Tua Enge itu bisa salah cabut gigi yang sakit. Tabib sekelas Tua Enge tidak mungkin salah. Tetapi, Pak Ambros Sina, guru musik angklung dan kulintang telah mencucukkan mata saya untuk percaya. Demikian halnya Mr Steve Sahaba, guru Inggris asal Manggarai. Ini hal ketiga yang melekat dalam ingatan saya.


“Pak Ambros kok dua pipi itu masih bengkak. Sudah ke Pater Engels?” tanya saya.
“Sudah. Tapi Pater salah cabut. Gigi saya yang sakit sebelah kanan, Pater cabut sebelah kiri.” Jawab dia.
“Kenapa tadi tidak mau bilang sama Pater?” tanya saya lagi.
“Saya takut Pater marah jadi saya tahan sakit saja.” Kata dia.
“Ke Pater lagi supaya cabut gigi yang sakit.” Anjur saya.
“Tidak mau lagi. Nanti salah cabut lagi.”


Dalam hati saya membatin, “Tuhan, tolong maafkan saya, sesungguhnya bukan kehendak saya.” Lalu membuncahlah tawa saya menyesaki lorong di antara Kamar Makan Unit C dan Polik Seminari.


2


Saya dan teman-teman angkatan yang masuk Seminari Mataloko pada 1992 atau yang lulus pada 1997/1998 sesungguhnya mengenal totalitas sosok Tua Enge pada periode usianya sekitar 73 hingga 79 tahun. Lalu saya berjumpa lagi dengan Tua Enge pada periode usia 84 hingga 86 tahun di Seminari Mataloko. Tepat ketika Seminari Mataloko tengah mendulang usia intannya pada 2005.


Ada warna yang berbeda dari totalitas Tua Enge pada dua periode tersebut. Pada usianya yang menginjak masa 70 tahun, Tua Enge masih menjadi guru Bahasa Jerman. Tetapi, Tua Enge sudah bukan lagi guru ilmu alam, olahraga, dan baris berbaris. Kendati masih sering terusik dengan baris berbaris siswa yang tidak rapi, Tua Enge sudah tidak bisa menipu usia. Namun kami tetap beruntung. Kami masih mengenyam gemblengan dari sisa kecil guru serba bisa hasil racikan pendidikan gymnasium tempo dulu. Sebab, di tangan mereka, apalah artinya sebuah profesi tanpa totalitas. Karena itu, kami tidak saja mempelajari Bahasa Jerman, tetapi juga menyerap sebuah peradaban, ilmu hidup, dan logika hati. Kecuali, mungkin soal buang angin di depan kelas.


Saat menjalani usianya di periode 80 tahun, Tua Enge sudah tidak mengajar sama sekali. Bahasa Jerman diambil alih mantan siswanya Romo Beni Lalo. Aktivitas di polik sudah mulai berkurang, sejak Tua Enge jatuh di tangga depan polik. Hidupnya praktis bersalin dari kamar pribadi, kapel, dan Biara Karmel.


Ruang geraknya yang mulai terbatas itu tidak pernah mengendurkan kurban dirinya bagi sesama dan Tuhan. Bagi Seminari Mataloko, semua mantan muridnya, anak-anak asuhnya di Polik, dan semua yang sudah sedang menetek dalam kurban dirinya, Tua Enge adalah elemen yang tak terpisahkan. Dia berdiri dan terhubung pada lingkaran komunitas itu. Tanpanya, individu dan kelompok dalam komunitas itu tidak akan pernah terhubung atau disebut lingkaran.


Jika kita percaya bahwa hidup, individu-individu, dan Tuhan adalah Providentia Dei. Lalu kita terhubung satu sama lain berkat pancaran dari logos Allah, yaitu sebuah persekutuan yang tak terpisahkan antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Lantas, posisi Tua Enge tidak berlebihan adalah personifikasi Bapa, yaitu Dia yang berdaya menciptakan dan mengilhami. Kita tidak lebih dari Putra yang hingga kini terus menerus dicobai dari Padang Gurun hingga ke Taman Getzemani hanya untuk sekedar mengiyakan Jalan Salib.


Bahkan saat ini, tatkala Tua Enge hanya bisa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Hidupnya bergantung pada tabung oksigen dan uluran tangan orang lain. Namun, sesungguhnya Roh Kudus yang meruah dalam diri Tua Enge, dalam perjalanan totalitas dirinya yang panjang, tengah hidup dan mendorong Putra-Putra di medan tempur untuk meneladaninya. Sebab, yang ditunjukkan Tua Enge sudah lebih dari cukup untuk tidak bisa dicapai, kecuali ketika terus menerus Putra-Putranya dicobai. Dan di sinilah posisi Tua Enge sebagai yang mencipta dan mengilhami, sebagai Bapa. Untuk itu, Tua Enge tidak bisa tergantikan. Dia akan terus hidup, bergerak, mencipta, dan mengilhami dalam ruang terbatasnya sekalipun.


3


Tua Enge dikabarkan dalam kondisi kritis dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum Bajawa pada 7 Februari, malam kemarin. Menempati salah satu tempat tidur di Ruangan ICU RSU tersebut. Itu berita yang kami dengar dari Almamater. Berita itu cepat tersebar ke segala penjuru dunia melalui jejaring sosial, poros kekuatan abad ini. Gelombang informasi itu membangunkan kembali memori Putra-Putranya di medan tempur. Putra-Putra kembali ke basis lingkarannya, kepada komunitas, dan asal muasal dirinya.


Serta merta doa pun terpanjatkan dari bibir sejumlah Putera di mana pun berada. Lingkaran, komunitas, dan persekutuan itu sepertinya mendapat api Roh Kudus baru. Lidah apinya menjilat dan membakar, terutama demi pembasuhan dan pembaruan.


“Terima kasih untuk kasih, teladan, dan kesetiaanmu merawat kami. Salam dan doa kami menyertaimu, semoga kasih-Nya menemanimu di usia senja ini,” ungkap salah satu mantan muridnya dari Roma.
“Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu. Turut mendoakan Pater mewakili teman-teman dari Surabaya. Teringat semangat kasih dari Pater yang tiada taranya merawat seminaris yang sakit. Viele Danke, God Bless You,” kicau alumni Seminari Mataloko dari Surabaya.
“Doa kita untuk Pater. Pribadi yang luar biasa, imam yang saleh dan suci, penolong banyak orang. Pater, Tuhan memberimu yang terbaik. Doa dan cinta kami,” ujar alumi Seminari Mataloko dari Jakarta.  
“Pater pribadi yang ulet, lincah, gesit, disiplin, serta sosok yang nyaris sempurna. Doa kami menyertai Pater.” Kata salah satu alumni Seminari Mataloko dari Depok, Jawa Barat.


Tidakkah kita menyadari ini, bahwa lingkaran doa dalam komunitas, sebagaimana layaknya sebuah perayaan ekaristi tengah terbentuk dari doa dan refleksi kita akan sosok Tua Enge? Dia sekali lagi menjadi tabib dan guru yang melampaui semua sekat dan batas dan mengajak kita untuk berdoa, refleksi, dan membarui diri tentang kurban kita.


Doa, refleksi, pembaruan diri, dan kurban. Rupanya inilah resep umur panjang Tua Enge. Seorang yang beruntung saya kenal di hari-hari terakhir hidupnya, yang menjalani hidupnya sama seperti Tua Enge mengatakan kepada saya. “Hidup, apa itu hidup kalau bukan pengabdian. Jika kita berhenti mengabdi dan merencanakan hidup, Tuhan pasti akan berkata untuk apa berlama-lama menahan orang ini. Lebih baik cepat Saya panggil orang ini sebelum dia berbuat dosa lagi.” Dan betapa bahagianya dia, “Orang yang saya kenal itu meninggal pada usia 77 tahun di saat dia sedang merencanakan hidup dan mengabdi kepada sesama.”


Benar. Bahkan rencana Tuhan pun dikudeta hanya oleh sebegitu berharganya pengabdian yang tuntas kepada sesama. Nabi Nuh dalam Kisah Air Bah begitu sulit mencari dua tiga orang yang mengabdi secara tuntas kepada sesama dan Tuhan, hanya supaya membujuk Tuhan untuk tidak menurunkan Air Bah.


Tua Enge dulu dan kini sudah melampaui dirinya dan keterbatasan ragawinya untuk mempersembahkan diri kepada sesama. Atas cara itu, Tua Enge sedang mengorbankan dirinya di atas altar untuk sebuah ekaristi dari perayaan persekutuan kepada Bapa Putera dan Roh Kudus. Dia selalu menjadi “roti” dan “anggur” yang menghidupkan dan menyalakan api, agar Putra-Putranya tidak jemu-jemu berdoa, refleksi, membarui diri, dan berkurban. Teladan hidupnya selalu akan menjadi mesin waktu untuk mengingatkan kita soal resep umur panjang dan cara mengkudeta rencana Tuhan.


Yah, benar. Tuhan telah membangunkan Tua Enge dari masa kritisnya karena Tuhan masih membutuhkan kehadiran Tua Enge untuk menghidupkan dan menyalakan api pada ekaristi komunitas. Karena Tua Enge telah menyulut bibir dan hati kita untuk berdoa, refleksi, membarui diri, dan berkurban. Dalam dan melalui Tua Enge, sebuah simbol tentang biji sesawi itu tengah berbuah lebat dan memetik panen di kebun Tuhan.


Tua Enge, kau akan tetap hidup dalam lingkaran hati, jiwaku, komunitasku, gereja, dan bangsaku.(*)