Petrus dan Paulus bukan duet cendekiawan yang cerdas. Mereka muncul dari kalangan biasa. Bahkan yang satunya mantan penganiaya. Yang lainnya, keras seperti wadas. Namun berkat ketokohan mereka, Gereja berkembang menjalar. Selalu berfragmentasi secara kontekstual. Tidak pernah putus harapan. Dan tidak imun terhadap ekonomi kerakyatan.
Gereja tanpa dinding
Sama seperti gurunya, kerasulan Petrus dan Paulus adalah membangun batu-batu hidup. Umat itu sendiri. Gereja yang berdinding tidak terlalu ditekankan. Bahkan sengaja untuk tidak dibicarakan. Karena misi gereja sesungguhnya adalah kekatolikan. Umum dan universal. Karena itu, gereja Petrus dan Paulus selalu tidak berdinding. Terbuka. Tidak dibatasi. Menyebar ke segala arah.
Berbeda dengan Petrus dan Paulus, rata-rata gereja dan kapela di Flores semuanya berdinding. Bahkan ada yang dibangun secara megah meriah. Kesannya sangat mewah. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah-rumah umat. Sebagian besarnya, beratap alang-alang, bambu, dinding kayu, setengah tembok, lantai tanah, atau semen halus. Ada yang masih tinggal di pondok-pondok, bahkan rumah tipe sederhana, dengan satu kamar “tidur rame-rame”.
Kalau mau dicari tahu, biaya untuk membangun sebuah gereja atau kapela pun tidak sedikit. Selain uang umat, para donatur pun ikut menyumbang. Hampir setiap minggu, iuran pembangunan gereja, renovasi, atau iuran-iuran lain selalu menjadi isu penting pengumuman di gereja. Ditambah dengan kolekte, uang pendaftaran sakramen, kursus, kunjungan pastoral, atau misa kelompok. Hampir tidak pernah terlewatkan, misa tanpa pengumuman tentang sumbangan atau iuran untuk gereja. Umat tertatih-tatih, gereja menjadi kolektor.
Bersikap lain dengan Petrus dan Paulus adalah sebuah tantangan. Mampukah gereja menjawab tantangan teologinya sendiri, berpihak pada yang miskin dan tertindas? Sebab gereja yang sesungguhnya adalah pergulatan batu-batu hidup. Bukan batu-batu mati. Denyut jantungnya seharusnya sama dengan irama denyut jantung umat. Penderitaan, salib, duka dan kecemasannya justru ada di kalangan umat.
Tuhan pun demikian. Ia tidak pernah hidup sendirian. Selalu dalam Trinitarisnya. Dalam kebersamaan di tengah komunitas. Artinya di tengah umat. Karena itu, Dia pun tahu segala kebutuhan, keprihatinan, dan penderitaan umat. Tuhan tidak bisa disendirikan dalam sebuah bangunan yang mewah, gagah, agung. Jangan sampai Tuhan disebut sebagai seorang pesolek, hanya mempercantik dirinya, dan lupa akan sesamanya. Dia justru telah berinkarnasi, lahir dan ada di antara kita, manusia, dan bukan di sebuah bangunan. Membangun pastoral yang kontekstual, seperti mengolah tanah, menyebarkan benih, panen, menangkap ikan, menyelesaikan masalah upah buruh, dan membayar pajak.
Menjawabi Tantangan Ekonomi
Hal menarik lainnya dari kerasulan Petrus dan Paulus adalah filosofi ekonomi kerakyatan yang dikembangkan. Menjawabi tantangan kemiskinan, keprihatinan terhadap para janda, yatim piatu, yang sakit dan miskin, Petrus dan Paulus memaklumkan gerakan “memberi bersama untuk semua”. Dalam Kisah Para Rasul, diceritakan mereka mengumpulkan milik pribadi dan membantu yang lemah. Kekayaan menjadi milik bersama. Bahu membahu dalam kesulitan hidup.
Ternyata gereja yang dibangun Petrus dan Paulus tidak imun soal ekonomi. Mereka malah turun tangan. Selain menjadi nabi mimbar dan altar, juga menjadi nabi ekonomi. Membentuk sebuah kelompok, mirip arisan bersama, koperasi simpan pinjam, mengorganisir penjualan dan pembelian, menghitung keuntungan, persentase pendapatan dan kas umum. Petrus dan Paulus tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang “tabu”, “tidak halal”. Atau takut dinilai “materialistik”, “kapitalistik”, dan karena itu tercela. Gereja Petrus dan Paulus tidak membiarkan umatnya mengurus perut sendiri dan terancam kelaparan.
Bukan rahasia lagi kalau Flores itu lekat dengan kemiskinan. Malah sudah menjadi ikon nasional dan dunia internasional. Ini menjadi menarik karena gereja justru yang paling berpengaruh di Flores. Sejauh mana gereja mampu menjawabi tantangan kemiskinan ini?
Dana besar yang sudah dikeluarkan untuk membangun sebuah gereja bisa menjadi lebih bermanfaat kalau diinvestasikan untuk membangun perekonomian rakyat. Tujuh sakramen, enam di antaranya dipestakan dengan biaya yang besar lebih berguna dialihkan untuk kebutuhan praktis umat. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh gereja. Membangun sekolah kejuruan, keterampilan seperti perikanan, pertanian, perkebunan. Mencetak putra-putra daerah menjadi petani, pelaut, nelayan handal. Mendirikan koperasi simpan pinjam. Memberikan beasiswa. Menciptakan peluang usaha yang menjanjikan, seperti budidaya lebah madu, tripang, pohon jarak, jati putih, semua yang sudah tersedia berlimpah ruah di alam Flores.
Sama seperti Petrus dan Paulus, apakah nabi mimbar dan altar bisa sekaligus menjadi nabi pertanian, perikanan, perkebunan? Tahu dan mengerti seluk beluk pengolahan tanah, pembibitan, peternakan, perkebunan. Dan karena itu, menciptakan pastoral yang lebih kontekstual. Menjawabi kebutuhan masyarakat sesuai dengan denyut jantung kehidupan mereka. Bagaimana umat bisa menyumbang lebih, kalau mereka sendiri hidup selalu berkekurangan? Masih banyak umat Flores yang perlu dirangsang dengan pencerahan soal prospek menanam dan melaut yang profesional. Demi sebuah kemajuan riil di bidang ekonomi, kemakmuran, dan juga keimanan.
Quo vadis gereja
Kalau saja gereja tetap tidak beranjak dari dindingnya dan mulai masuk secara nyata ke pertanian, perkebunan, kelautan umat, gereja Flores akan tumbuh secara elitis. Bagaimana pun juga kemiskinan bukan merupakan pilihan hidup setiap manusia. Secara spontan, kemiskinan akan ditolak. Sekalipun dalam ruang gerak yang dibatasi. Sengaja dipaksa untuk mencintai kemiskinan. Karena atas usaha apa pun, gerak merangkak manusia selalu menjauhi keterbelakangan, ketertindasan, dan kemiskinan. Karena itu, kalau tidak dengan sengaja dan sadar, secara riil, aktual dan kontekstual menceburkan diri dalam dimensi kemiskinan itu, gereja akan mengecilkan dirinya menjadi kelompok yang berbeda dari akarnya.
Umat semakin miskin, gereja semakin elitis. Umat mundur, dan gereja mentereng. Kemudian muncul golongan mapan baru. Gereja sebagai kelompok yang mendominasi kemapanan. Berusaha mempertahankan status quo. Susah untuk diajak berubah. Kurang menguasai dinamika masyarakat dan denyut keprihatinan umatnya.
Petrus dan Paulus pernah tergoda dengan lingkungan yang elitis ini. Bahkan Petrus sudah mengiyakan untuk meninggalkan Roma dan umat yang dianiaya. Kemudian Tuhan menyadarkannya. “Engkau akan meninggalkan Aku dianiaya di Roma?” Quo Vadis, Petrus?” Kata Tuhan. Petrus langsung menyadari kekeliruannya. Ia lantas pulang ke Roma dan menjadi martir di sana.
Pertanyaan yang sama pula mesti dilontarkan buat gereja. Quo vadis gereja? Apakah engkau akan meninggalkan Aku di tengah kemiskinan ini?(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar