Usia 62 tahun kemerdekaan Indonesia memang bukan waktu yang relatif tua. Masih ada negara-negara yang lebih tua dari Indonesia. Berumur seratus tahun atau mendekati seratus. Namun 62 tahun sudah cukup untuk menilai sikap bangsa dan negara Indonesia terhadap wilayah dan daerah yang menjadi kekuasaannya. Dan untuk daerah seperti Flores, perlu dipertanyakan: apa yang sudah dilakukan selama usia 62 tahun ini?
Flores dan kancah nasional
Krisis yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 hingga tahun 2001, dan imbasnya hingga kini memang memproduksi secara besar-besaran kemunduran di segala sektor kehidupan. Hal ini sebenarnya sudah bisa diramal dan tidak usah lagi dicari-cari alasannya. Kesenjangan sosial yang terus menanjak selama sepuluh tahun sebelum krisis, ketegangan politik antara masyarakat dan elit penguasa yang sudah di titik puncak, rapuhnya fundamental ekonomi, dan lemahnya mental, kesadaran moral bangsa adalah alasan-alasan yang memperparah krisis tersebut.
h Dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Filiphina, Indonesia justru yang terparah. Hal ini dapat dilihat dari indikasi Depresi Besar (Great Depression), yaitu kerugian-kerugian dalam bentuk kemerosotan daya beli masyarakat, hubungan sosial yang memburuk, menyusutnya modal-modal sosial, jatuhnya korban jiwa, dan negara yang paling rendah statusnya di bidang pendidikan, pemberantasan korupsi, risiko investasi, bangkitnya bentuk neoprimodialisme, banyaknya daerah-daerah yang makin tertinggal, dan kehilangan kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Krisis moneter, desakan IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank, jatuhnya Soeharto, dan dimulainya era reformasi sebenarnya merupakan penampakan keluar yang bisa dilihat dari gejolak krisis itu. Goncangan besar itu tidak bisa dijelaskan hanya dari rentetan peristiwa tersebut. Karena perang yang sesungguhnya justru ada di balik peristiwa-peristiwa itu, yaitu ketika semua orang melepaskan pelurunya dan merasa berkepentingan untuk menyampaikan aspirasinya yang selama itu terkungkung. Karena itu, krisis di era 1997 dan jatuhnya Orde Baru merupakan kekalahan negara terhadap rakyat. Juga merupakan bocornya kapasitas negara sebagai penjamin keseimbangan di masyarakat.
Kekuasaan negara menjadi terpencar-pencar. Masing-masing elemen mengaku sebagai negara di wilayahnya sendiri. Berikut balas dendam atas rasa ketidakpuasan selama masa dikungkung dan dipenjara. Reformasi pun kembali berjalan mundur. Bukan kepentingan rakyat yang diperjuangkan. Bukan juga kesejahteraan dan kebaikan bersama. Melainkan keuntungan pribadi dan golongan. Kesenjangan itu semakin menyakitkan, karena tidak dapat dipastikan siapa yang menjadi lawan dan siapa yang menjadi kawan. Tidak ada musuh dan kawan abadi. Tergantung kepentingan mana yang bisa diusung dan menguntungkan. Tidak juga ada kepedulian. Semua bergantung pada seberapa besar imbalan yang diperoleh.
Kesempatan seperti ini juga tidak disia-siakan oleh beberapa daerah. Ketidakpuasan terhadap Pusat sebagai representasi negara membuat daerah-daerah tertentu memilih untuk berpisah, atau sekurang-kurangnya berstatus otonomi khusus. Gejolak itu terasa begitu kencang untuk wilayah-wilayah Indonesia Timur, yang nota bene kebanyakan daerah-daerah tertinggal. Padahal kalau mau dilihat, potensi untuk maju dan meninggalkan status “tertinggal” itu boleh dikatakan mudah. Kalau saja, sumber daya alamnya tidak terus-terus dikeroyok oleh Pusat dan perusahaan asing. Pendapatan Kas Daerah sebenarnya bisa tinggi, mampu menjamin pembangunan yang adil dan makmur, kalau saja SDA daerah itu betul-betul menjadi aset daerah dan bukan “kue” untuk Pusat.
Pilihan pemekaran pun menjadi diskusi hangat. Upaya yang diambil bukan tanpa alasan. Menjadi lebih sempit, lebih kecil, dengan perampingan kekuasaan, birokrasi, dan demokrasi yang dekat dengan rakyat di tanahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, kesadaran memiliki tanah, sumber daya alam, dan potensi daerahnya semakin kuat. Daerah sepertinya trauma dengan sikap negara masa lalu yang memonopoli aset daerah. Karena itu, daerah menjadi lebih peduli dengan tanah kelahiran, harta bendanya, suku, dan rumah adatnya.
Kalau mau dilihat, Flores cenderung terlambat merespon reformasi. Lebih banyak menanti bola, dari pada menjemput bola. Tidak ada sebuah konsensus bersama, barangkali dalam bentuk kontrak politik untuk menyepakati langkah Flores ke depan. Masih sebatas isu politik. Seperti Propinsi Flores(?) Lebih ke dalam, mungkin Flores tidak memiliki kesatuan budaya. Masing-masing mendukung budayanya sendiri, sukunya sendiri. Memikirkan wilayah dan daerahnya sendiri. Manggarai, Ngada, Nagekeo, Larantuka, Lembata, berikut pecahan-pecahannya yang masih terus bergerak mencari bentuknya sendiri, seperti Manggarai Barat, Manggarai Timur, Riung, dan Adonara. Sentimen budaya dan daerah lebih kuat ketimbang mengedepankan sebuah langkah bersama.
Sikap ini didukung pula oleh dua sikap dasar yang cenderung kontradiktif. Di satu pihak, Flores masih sangat bergantung pada kebijakan Pusat, belum bisa mandiri. Tetapi di lain pihak, ada kebencian yang begitu melekat pada ketidakberpihakan Pusat pada daerah. Sayangnya, kebencian itu hanya tinggal sebagai sebuah kebencian. Tidak merupakan sebuah action yang secara sadar berusaha keluar dari ketergantungan tersebut. Flores terlalu berharap pada Pusat sampai-sampai membenci Pusat karena tidak berpihak pada dirinya.
Padahal seperti daerah-daerah lain, Flores punya potensi untuk mengembangkan dirinya sendiri. Hanya kelemahannya adalah gerak kemajuan itu sangat bergantung pada political will, yaitu sejauh mana elit penguasa daerah peduli dengan isu tertentu. Artinya, setelah Flores menanti Pusat turun tangan, sekarang giliran rakyat Flores yang menanti pemerintah berbuat sesuatu. Semua saling menanti. Pemerintah daerah pun bertindak “sesukanya”. Sesuai dengan “visi pribadi”, ke arah mana kecenderungan politik pribadi dan partai itu berhembus. Karena itu, pertimbangan yang lebih menyeluruh, strategis, menguntungkan, demi kebaikan bersama lebih banyak dikorbankan ketimbang kepentingan pribadi atau partai. Kalau boleh dikatakan, arah pembangunan di Flores sangat bergantung pada mood pemimpin dan bukan dari sebuah pertimbangan yang berjangka panjang dan menyentuh kepentingan umum.
Karena itu, tidaklah mengherankan kalau pembangunan di Flores itu berjalan mandek. Berbeda dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain. Kurang terpadu. Lebih banyak one man show atau power show. Satu pemimpin punya kebijakannya masing-masing, sistemnya sendiri-sendiri, mekanisme dan birokrasi eksklusif, metode dan cara sendiri, termasuk orang-orangnya sendiri. Sayangnya, birokrasi Flores pun terjebak dalam penyakit busuk Indonesia, seperti KKN dan peradilan hukum yang tidak berimbang.
Faktor lainnya adalah lemahnya pengaruh kaum murni intelektual dan praktisi ahli yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Birokrasi dan fungsi sosial lebih dilihat dari segi fungsionalnya saja dan bukan dari segi kualitas dan profesionalitas. Satu dua kaum murni intelektual yang tumbuh di Flores tapi tidak begitu dihargai dan didengarkan. Cuma corong tanpa sasar. Padahal, kehadiran mereka justru sangat dibutuhkan demi menjamin kualitas birokrasi, kebijakan publik, dan praktisi. Mereka diharapkan bisa menjadi think tank yang terus menerus secara jeli dan kritis berpikir soal langkah praktis dan formal dalam membangun wajah Flores.
Kalau mau dicatat, pentas nasional banyak melahirkan pemikir-pemikir ulung kelahiran Flores. Mereka dinilai cerdas dan mampu menghadirkan ide-ide brilian dalam lingkup kerja, dunia, dan masyarakat. Mereka justru tumbuh di luar Flores, memberikan “emas” untuk rakyat di luar Flores. Sebut saja nama-nama seperti Frans Seda, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Thoby Mutis, Blasius Bapa, dan segudang nama lain kelahiran Flores yang tidak diragukan lagi kapabilitasnya. Belum lagi mereka yang sekarang berkiprah di negeri asing dengan bidangnya masing-masing. Kalau mau dicatat, Flores menjadi tempat kelahiran para pakar nasional maupun internasional, tempat lahir para pemikir ulung dan cendekiawan sejati. Tetapi kenapa Flores tetap tidak pernah bisa maju?
Setelah 62 tahun merdeka
Setelah sekian lama merdeka bersama seluruh bangsa Indonesia, harus diakui Flores gagal dalam membangun basis. Tidak ada fundamen yang kuat untuk berharap. Baik di bidang pendidikan, ekonomi, hukum, maupun sosial budaya. Flores selalu menjadi kelinci percobaan yang gagal. Seperti nasib proyek sejuta kopi, ubi, jambu mente, kapas, jati putih, babi belanda, atau sapi import. Selalu semangat di awal, kemudian lesu dan mati dengan sendirinya.
Di bidang pendidikan, Flores kalah bersaing dengan daerah-daerah lain. Tidak dilirik oleh daerah dari dua segi yang sama-sama menguntungkan. Selain merupakan investasi yang menjanjikan, juga demi membangun basis SDM Flores. Tidak banyak sekolah unggul ada di Flores. Apalagi kalau yang berhubungan dengan sekolah keterampilan. Sebuah alternatif pendidikan yang diperlukan karena selain bisa lebih murah, juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah pertanian masih bergantung pada SPP Boawae. Pernah ada Lembaga Pemasyarakatan Usaha Tani (LPUT) di Maumere – Waigete, yang diprakarsai YASPEM, dengan siswa yang beragam dari ujung Timur sampai ujung Barat Flores, tetapi itu pun mati. Sekolah unggul setaraf SMU, hanya Syuradikara. Selain itu siswa keroyokan masuk Seminari. Ada juga STKIP Ruteng, Unflor, kemudian Unipa, disanding dengan STFK Ledalero, semua itu belum cukup memberikan andil buat kemajun pendidikan Flores. Padahal sudah 62 tahun.
Ekonomi yang lebih memprihatinkan. Pegawai negeri masih menjadi tujuan utama. Tidak berani berkecimpung di dunia bisnis dan wiraswasta. Dunia usaha swasta lebih banyak dikuasai oleh golongan Tionghoa, Padang, dan Jawa. Sedikit sekali kaum pribumi yang berani berwiraswasta. Orang Flores punya prinsip, yang penting cukup untuk makan hari ini. Yang lain-lainya tidak usah direpotkan. Sementara itu, penghargaan atas pekerjaan seperti petani, nelayan, peternak sudah mulai menurun. Bukan merupakan tujuan. Kalau tidak mau dikatakan, “terpaksa”. Karena itu, tidak heran kalau orang Flores berjiwa konsumtif. Kasarnya, “beli” dan “kredit”. Enggan untuk mengambil dan mengolah dari alam sendiri. Lagi pula Flores terlalu banyak disibukkan dengan urusan perebutan tanah. Selesai ngotot-ngototan tanah tersebut dibiarkan terbengkelai tanpa diolah.
Setelah 62 tahun, pertama, Flores harus berhenti mengutuki Pusat, atau terlalu berharap pada Pusat. Kembali pada alam terberi, potensi yang masih begitu perawan di daerah. Bukannya menanti dana, hibah, atau proyek desa tertinggal. Seharusnya Flores harus sudah memiliki rasa malu terus menerus dicap miskin dan tertinggal. Kedua, berhenti berspekulasi menjadi pegawai negeri, anggota DPR, atau tambang ini, tambang itu, gas ini gas itu. Berhenti juga dengan janji-janji politik. Semua itu hanya membentuk the bubble economy. Yaitu gelembung hampa ekonomi, yang pada akhirnya berujung pada “gigit jari”, tanpa ada kemajuan. Malah terus-terusan menjadi “sapi perah”. Ketiga, berilah kesempatan pada golongan cendekiawan sebagai think tank, yang secara terus menerus mengkaji prospek terbaik untuk membangun basis sosial budaya, hukum, dan ekonomi kerakyatan. Keempat, bukalah sekolah-sekolah keterampilan, selain STM, pelayaran, tetapi juga pertanian, peternakan. Kembalikan Flores ke wajah aslinya di ladang, kebun, sawah, laut, dan kandang. Kelima, profesionalisme birokrasi dengan lebih mementingkan kualitas, ketimbang bargaining politik dan fungsional semata. Sesuatu yang bukan konvensional dan fungsional belum tentu salah, sekalipun dibenci. Keenam, gerakan zionisme Flores, memanggil pulang putera-putera daerah terbaik untuk membangun Flores.
Ketertinggalan tidak pernah menguburkan mimpi untuk maju. Selain SDA, Flores juga kaya dengan idealisme. Semoga setelah 62 tahun, Flores dapat melihat dan bertindak yang terbaik untuk dirinya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar