Kamis, 27 Maret 2008

BUSUNG LAPAR: PADA RUANG HIDUP!


Gunung es kasus busung lapar dan gizi buruk itu kini dimulai lagi dari Rote. Kemudian wacana itu meluas ke wilayah-wilayah lain di NTT. Pemerintah pun mulai main hitung-hitungan. Dibutuhkan dana sebesar lima puluh miliar untuk menangani kasus tersebut. Diprediksi dari hitungan data Januari 2007 – Februari 2008, ada sekitar 81.380 balita gizi buruk, 68.873 balita kurang gizi, 12.340 balita gizi buruk dan komplikasi, dan 167 anak penderita busung lapar dari 497.777 balita di NTT.


Kemiskinan dan Ketergantungan


Tahun 2005, ketika kasus gizi buruk dan busung lapar itu ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp. 64.027.047.000. Yang diperkuat justru infrastruktur kesehatan, posyandu, pemberian makanan suplemen, dan penanganan dana insentif cepat. Itu artinya, dana sebesar enam puluh empat atau lima puluh miliar itu akan lari ke lembaga-lembaga pemerintah yang khusus menangani unit-unit penyelesaian itu. Menciptakan lahan subur korupsi. Dan melupakan tujuan sebenarnya dari dana tersebut.


Pembacaan kasus busung lapar dan gizi buruk selalu dimulai dengan kemiskinan dan kekurangan pangan. Tetapi sekian sering wilayah ini tidak disentuh, dalam penyelesaiannya. Tidak heran kalau kasus busung lapar dan gizi buruk terus menghantui masyarakat NTT dari tahun ke tahun. Di satu sisi, penyelesaian yang diambil hanya bersifat kuratif, emergensi, dan jangka pendek. Sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah. Hanya berusaha menimbun untuk sementara waktu. Dan sisi lainnya, menimbulkan konflik pengetahuan dan ketergantungan pola konsumtif baru dari masyarakat yang penghasilan rendah.


Terpantau misalnya, PMT mengubah paradigma pola konsumsi masyarakat menuju pada ketergantungan hegemoni yang materialistik. Pengetahuan akan makanan bergizi direduksi pada mie instant, biskuit, susu,dan daging kaleng. Sama seperti era “Revolusi Hijau” yang berhasil memberi stigma nomor satu untuk beras sebagai bahan makanan pokok, dan membuyarkan pola beragam pangan masyarakat dengan pertanian komoditi. Mie instant, biskuit, susu, daging kaleng adalah upaya memandang rendah food gathering yang dapat diambil secara mudah murah di kebun atau halaman rumah. Umbi-umbian, jagung, sayur-sayuran dianggap makanan kelas dua. Alhasil, sesudah proyek PMT itu selesai, masyarakat kembali kehilangan asupan gizi. Kembali kelaparan. Sumber pangan dan asupan gizi mereka tiba-tiba saja dihentikan.


Pola penyelesaian seperti ini lebih merupakan “mencekoki” daripada “membebaskan”. Sama seperti ketika KB-nisasi itu masuk NTT, dan warga masyarakat dipaksa secara militeristik. Demi suksesnya program, sekian persen ketercapaian, dan dana mesti habis (anggaran berimbang!).


Babak berikutnya, yang lebih menyakitkan dan mematikan, adalah berhentinya proses belajar bersama yang terjadi di masyarakat. Ruang hidup masyarakat dipasifkan. Dengan tidak dihargainya potensi lokal, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bahwa masyarakat selalu mampu mencukupi (self-sufficient) dan menyembuhkan (sanate in radix) dirinya sendiri.


Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”, sama dengan perlakuan kita terhadap seekor binatang. Bahkan binatang kadang lebih manusiawi daripada manusia. Pola belajar masyarakat mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif, yaitu bersumber pada naluri membebaskan manusia itu sendiri. Tidak ada yang mau menderita. Karena itu, manusia selalu mencari cara untuk menyelamatkan dirinya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada.


Belajar dari kegagalan penanganan proyek KLB pada tahun 2005, seperti yang diteliti oleh Institute for Ecosoc Rights, seperti: (1) sistem administrasi dan birokrasi yang lamban, (2) pemberian PMT tidak mempertimbangkan kondisi keluarga yang miskin dan lemah akses pangan. PMT tidak hanya dimakan anak gizi buruk, tetapi oleh seluruh anggota keluarga. PMT tidak juga mempertimbangkan penyakit penyerta yang diderita anak, (3) Pendekatannya cenderung personal dan kurang melibatkan peran aktif keluarg dan komunitas, (4) posyandu hanya dilihat sebagai kegiatan datang, timbang, lalu pulang, sebaiknya dana sekian miliar itu digunakan untuk memperluas proses belajar bersama di komunitas-komunitas lokal, yang dari hari ke hari justru sangat dekat dengan kejadian miris ini. (Ironi sebuah komunitas lokal adalah, dibiarkan oleh pemerintah pada kesehariannya, tetapi dibutuhkan pemerintah pada perlombaan kelompok usaha tani di tingkat nasional. Kalau juara, hadiahnya selalu dicatut!)


Persoalan gizi buruk dan busung lapar juga merupakan persoalan kultur, gender, hak anak, pengetahuan, pengembangan ekonomi kerakyatan, selain masalah kemiskinan dan akses terhadap pangan (Institute for Ecosoc Rights, 2007). Dimensinya yang luas seperti ini tidak bisa ditemukan dan diselesaikan hanya dengan logika proyek. Logika ini terbukti hanya menciptakan ketergantungan ekonomis dan konsumtif, juga mengeliminasi sejumlah potensi lokal. Lebih dari itu, masyarakat dan ruang belajarnya dipasifkan. Dididik untuk menerima nasib (Nasib Tidak Tentu) dan pasrah (Nanti Tuhan Tolong)! Sesungguhya, cakupan yang luas ini hanya bisa ditemukan dan diselesaikan dalam proses belajar bersama di sebuah ruang hidup masyarakat. Masyarakat tidak didikte. Masyarakatlah yang menentukan pendekatannya secara lebih strategis, preventif, dan jangka panjang.


Ruang Hidup


Sekian sering potensi ruang hidup dan proses belajar masyarakat itu diabaikan. Dikunci rapat-rapat, atau tidak diadudomba. Sekian sering pula potensi itu dikalahkan oleh kepentingan kapital, kekuasaan birokratis, dan legitimasi keagamaan. Kasus gizi buruk dan busung lapar itu berada pada himpitan ini. Lantas, siapa yang berani mengeluarkannya? Siapa yang berani menjadi superhero? Inilah persoalan berikutnya. Begitu susahnya mencari tipe kepemimpinan yang partisipatif. Yang tidak mengontrol dan menjerumuskan proses, namun bertindak sebagai mitra aktif yang memancing kecerdasan dan inisiatif masyarakat. Seorang seniman pemimpin yang membangkitkan cara berpikir, merefleksikan pengalaman-pengalaman, mencoba dan menguji berbagai ide, mempraktikan, memodifikasi, mengevaluasi, dan memonitoring untuk sebuah proses lanjutan. Sekian sering kita sudah terbiasa dengan mental top-down, sentralistik, reduksionistik, dan mengabaikan dinamika masyarakat. Keluaran dari mental ini adalah ketegangan yang berkepanjangan dan akut antara masyarakat dan pemimpinnya, curiga mencurigai, potong memotong. Masyarakat sekali lagi menjadi korban! Sudah jatuh ditimpa tangga!


Dalam konteks masalah gizi buruk dan busung lapar, pertanyaan partisipatif yang perlu dilontarkan pada kasus tersebut, pertama, apakah di rumah ada yang dapat dimakan atau tidak? Bukan apakah di rumah ada nasi, biskuit, susu, daging kaleng atau tidak? Karena dengan meluaskan cakupan asupan gizi, proses belajar bersama itu akan menemukan sekian jenis bahan makanan yang dapat dimakan. Dapat dipetakan sesuai musim, kandungan nutrisi, dan kebutuhan gizi perseorangan. Masyarakat memiliki pengetahuan akan hal tersebut. Tetapi tidak tahu bagaimana harus meramu pengetahuan tersebut menjadi menu sehat dan bergizi. Karena itu, proses belajar bersama tersebut tidak selesai pada pemetaan berbagai jenis bahan makanan. Tetapi kemudian berlanjut pada cara produksi, konsumsi, dan antisipasi stok. Pertanyaan seperti ini dan proses belajar bersama tersebut boleh jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap proyekisme, ketergantungan hegemoni konsumtif, dan keterbatasan akses terhadap pangan.


Kedua, apakah semua anak di Rote menderita gizi buruk dan busung lapar? Cukup dengan mempertanyakan hal ini, ruang belajar yang direduksi pada stigma kemiskinan, keterbatasan pangan dapat diobjektifkan, sejajar dengan kondisi riil yang ada. Artinya, ada beberapa anak yang bisa menjadi contoh dalam proses belajar tersebut, baik pola hidupnya, pola makannya, budaya, maupun kebiasaan-kebiasaannya, yang dapat ditemukenali sebagai cara mendekati dan menyembuhkan kasus di daerah tersebut. Bahwa ada anak-anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar, itu berita buruk. Tetapi ada anak-anak yang sehat, itu berita menggembirakan. Karena dari situ, ruang pembelajaran ke arah penyembuhan itu memperoleh pintu masuknya.(*)

PLTP di FLORES: Mimpi Kali Ya!


Tahun 2004, masalah kelistrikan di Ngada ditampik secara optimistik oleh Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DESDM). “Mataloko Menuju Terang 2004”. Jargon ini berawal dari hasil riset lima tahun. Bahwa uap kering berentalpi tinggi dari reservoir dominasi uap dapat diproduksi di sumur bor Mataloko. 2X2,5 MWe sudah cukup untuk menghadirkan sebuah PLTP untuk Mataloko, Ngada, dan Nagekeo.

Hal senada pun dipentalkan untuk telinga masyarakat Kabupaten Ende dan Manggarai. PLTP Mutubusa, di Desa Sokaria dapat menghasilkan daya 5 MW. Selain PLTP Mutubusa, ada juga PLTU berkapasitas 2 x 15 MW, di Ropa, PLTM Ndungga (2 x 0,9 MW), dan PLTP Ulumbu (3 x 3 MW) di Manggarai.

Namun apa boleh buat. Kesan optimistik itu perlahan-lahan tergerus oleh waktu. Nadanya semakin minor. Sangat pesimistik. Lokasi telanjang daerah eksplorasi itu hanya menyisakan “notice”, tidak boleh berada dekat di lokasi rawan longsor itu. Sementara di Mataloko sendiri, aktivitas para eksplorer berhenti total. Masyarakat hanya bisa menikmati semburan gas berbau belerang. Tapi tidak melihat satu pun PLTP yang dibangun di situ. Padahal tanah sudah dibebaskan (baca: direlakan). Mata pencaharian sudah diambil.

Terang atau Gelap

Dari “Mataloko Menuju Terang”, kini justru “Ngada Menuju Gelap”. Ketergantungan masyarakat terhadap listrik tenaga diesel yang seratus persen itu membuat mereka takluk. Satu PLTD dengan hanya 4.500 kilowatt tidak cukup untuk menerangi semua kecamatan. Beban puncaknya bisa mencapai 3.700 kilowatt. Karena itu, wajar kalau dari 14 kecamatan yang ada, 4 kecamatan masih harus gelap gulita (baca: tidak dialiri listrik). Kapasitas sebesar itu praktis hanya mampu mencapai rasio elekrifikasi sebesar 38,25%. Dihitung dari jumlah pelanggan 12.454 dibandingkan dengan 222.849 jumlah penduduk. Hanya sekitar 51,45% (89) desa yang teraliri listrik.

Drama ”Terang Gelap” itu pun terjadi di Kabupaten Ende. Desa berlistrik di Ende baru mencapai 49,76 % dari 211 desa/kelurahan. Ada 105 desa masih belum tersentuh. Daya mampu listrik di Ende hanya 3.850 KW, sementara beban puncaknya 5.598 KW. Kekurangan daya kurang lebih sekitar 1.748 KW.
PLN pun tidak mampu mungkin mengelak dari “dosa” mesin diesel. Beban operasional yang tinggi. Mahalnya bahan bakar diesel. Turunnya efisiensi mesin. Kurang lebih tiga jam. Dua kali seminggu. Ngada dan Ende, juga daerah-daerah lain di daratan Flores harus rela listriknya padam. Sengaja dipadamkan supaya tidak terjadi overloud. PLN dan masyarakat sama-sama tidak ada pilihan. Demikian pun berbagai peralatan elektronik. Kalau tidak mau mesin diesel itu benar-benar “matot” alias mati total. Dan warga harus kembali ke generasi lampu pelita.

Substansi masalah

Harapan optimistik memang pernah bahkan masih disandarkan pada nasib sumur-sumur bor tersebut. Namun rupanya Flores kembali harus berkutat dengan masalah klasik namun sangat urgent. Yaitu kepada siapa eksplorasi itu harus dibebankan? Atau bagaimana dengan cost recoverynya? Itu artinya nasib sumur-sumur bos itu sangat ditentukan oleh tender. Sementara iklim investasi untuk listrik geothermal ini dinilai belum bisa menarik investor.
Substansi masalahnya ada pada pertarungan antara biaya investasi dan hasil produksi dibandingkan dengan potensi panas bumi itu sendiri. Kondisi sumur-sumur bor di Flores itu bervariasi. Satu lapangan (field) eksplorasi bisa berbeda karakteristik dan kandungan gas pada sumur-sumurnya. Pilihan untuk mengoptimalkan produksi dari potensi yang ada itu memerlukan biaya yang sangat tinggi. Sumur-sumur boleh dibor tapi tidak semua berproduksi bagus. Gali lobang tutup lobang!

Investor jelas memilih menunggu sikap pemerintah. Apakah pemerintah bisa memberikan insentif yang menarik untuk investasi geothermal pada lapangan yang cukup sulit itu? Misalnya dengan cost recovery no limit, keringanan pajak, bea masuk barang, royalti, selisih biaya produksi dan harga jual yang bagus. Bagaimana dengan instalasi power plantnya? Potensi yang besar belum tentu bisa menarik investor kalau kondisi medannya sulit. Butuh biaya untuk pemasangan dan maintenance-nya.

Kemendesakan

Sangat disayangkan kalau akhirnya sumur-sumur bor di Flores itu tak berbekas. Bukan semata-mata karena tanah-tanah itu sudah dinormalisasi dari kepemilikan privat penduduk, tetapi terutama pada alasan kemendesakannya. Pertama, gencarnya berbagai eksplorasi berbasis energi alternatif, seperti panas bumi, air, angin, tenaga matahari membuktikan cadangan energi Indonesia di ambang krisis. Ketergantungan pada minyak yang tak terbarukan menyebabkan tersedotnya APBN dan APBD pada konsentrasi penyediaan pasokan minyak. Kita perlu berhenti berpikir bahwa Indonesia itu kaya sumber alamnya. Produksi minyak kita terus menurun dari tahun ke tahun. Kita di pihak mengimport minyak. Sangat terasa sekarang. Langkanya minyak tanah adalah bagian dari krisis tersebut. Pelita berbasis bahan bakar minyak sudah bukan pilihan terbaik.

Kedua, global warning adalah bagian dari keprihatinan kita. Namun atas cara tertentu kita pun turut menyumbangkan runtuhnya iklim yang ramah atas kehidupan. Akibatnya, dunia huni kita sepertinya sedang mengadili kita. Ancaman itu bukan lagi sebuah ramalan. Tetapi terjadi persis di depan mata kita. Kalau langkah jangka panjang tidak segera ditempuh, kita justru akan terus diadili alam huni kita. Salah satunya adalah dengan menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan. Seperti energi listrik tenaga air, panas bumi, angin, atau matahari. Kalau demikian pilihan kita. Hanya satu yang harus dilakukan, yaitu konservasi lingkungan alam. Pilihan menjaga dan melestarikan keseimbangan alam harus sudah menjadi keberpihakan semua orang.

Ketiga, kecemburuan pada kota-kota besar dan maju selalu saja menjadi alasan yang selalu dihelatkan. Kita lupa akan sejarah tumbuh kembang kota-kota besar dan maju itu. Tidak pernah berawal dari sebuah mimpi muluk. Mimpi semalam suntuk. Ketakutan pada kapitalisme dan neoliberalisme dengan masuknya para investor menjadi gaung yang begitu membahana. Mungkin juga bersumber pada pikiran yang sangat tradisional. Yaitu ”takut orang lain kaya”. Sambil bersembunyi pada kenyataan marginalisasi kepentingan publik dan rakyat miskin. Namun pola pikir kita semestinya bergeser lebih bijak. Keseimbangan ekonomi tidak bisa diukur dengan mengeluarkan ongkos sekecil-kecilnya. Atau seturut takaran dacing, fifty fifty. Akumulasi duit selalu memakmurkan segelintir orang. Tetapi ongkos yang seimbang atas ukuran tersebut mestinya dicari pada nilai utilitasnya. Seberapa bergunanya ongkos yang sudah dikeluarkan itu untuk sekian banyak orang. Untuk generasi yang akan datang. Untuk iklim dan lingkungan. Untuk biaya produksi yang lebih murah. Beban hidup yang lebih ringan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa ya di Flores tidak (jarang) ada pabriknya? Kenapa perusahaan dengan skala besar belum ada di Flores? Kenapa UGM, UI, Atmajaya belum mau membuka cabangnya di Flores? Kenapa sampai sekarang akses internet kok macet terus? Kenapa harus terus menerus bertumpu pada pegawai negeri? Kenapa harus kuliah ke Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta? Salah satu alasannya (mungkin) adalah voltase listrik kita belum siap ke arah itu. Kota besar dan maju adalah kota jaringan. Termasuk jaringan listrik terpadu.

Kalau begitu, mau merugi sekali untuk manfaat di jangka panjang, atau terus merugi (sampai ke bulu-bulu) sepanjang akhir hayat. Kembali pada pilihan pemerintah dan masyarakat Flores.(*)