
1
Seorang Socrates, sang pencari kebenaran dari Yunani itu, begitu yakin dengan kekuatan orang muda. Pada setiap kesempatan, ia mengajak orang muda untuk berpikir secara kritis. Menempatkan mereka sebagai subjek. Dengan pandangan tajam dan lurus, mencoba melihat dan menilai secara kritis roda pemerintahan berjalan. Sedapat mungkin, Socrates berusaha menanggalkan baju kemapanan, ikut arus, tenggelam dalam massa. Ia mengajak orang muda Yunani berpijak pada kebenaran, keyakinan, dan prinsip. Menjadi otonom. Sambil menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih estafet kepemimpinan.
Sebegitu gigihnya ia mendaur pikiran kritis kaum muda, Socrates kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Untuk pemerintah Yunani saat itu, Socrates adalah racun untuk kaum muda. Gerakan pembebasannya membahayakan pemerintahan. Sekali waktu, bisa muncul dengan kobar api yang besar. Menghanguskan kemapanan yang ada. Karena itu, Socrates dikurung. Dipaksa untuk mengakui kesalahannya. Kemurtatannya. Supaya pasal bisa mendefinisikan jenis hukumannya. Bila perlu, hukuman mati. Namun, Sorates lebih memilih meminum racun ketimbang mengikuti skenario pemerintah.
Ekspresi seorang Chairil Anwar dalam puisi “Aku” tidak jauh beda dengan bingkai cerita Socrates. “Aku” yang binatang jalang itu memilih untuk ditembusi peluru. Ketimbang harus menyerahkan pemberontakannya pada penguasa yang lalim. Pada waktunya, “Aku” tidak bisa dirayu. Ia berhak memilih dan menentukan sikapnya. Tanpa perlu sedu sedan, kalau pun “Aku” harus terbuang dari kumpulan. Dari masyarakat sosial. Dari negaranya. Menjadi sekian “si gila”, yang berbeda dari batas-batas kewajaran, kenormalan. Bersuara tegas terhadap kemapanan. Karena hanya dengan demikianlah, bangsa dan masyarakatnya dapat hidup seribu tahun lagi.
Rupa pikir layaknya seorang gila itu justru mendapat apresiasi yang tinggi dari permenungan seorang Kahlil Gibran. Untuk Gibran, kegilaan adalah sebuah metode. Cara berpikir dan bersikap lain, tidak biasa dari kenormalan. Kegilaan itu sebuah jalan pembebasan. Karena kegilaan itu netral, tidak berpihak, tidak mau dirayu, ia tampil sebagai jembatan yang baik untuk menemukan kebenaran. Tampil kritis dan profetik. Kegilaan kemudian menjadi tidak sekedar metode, melainkan pula kehormatan dan martabat.
Pada karakteristik ketegasan yang berani bersuara seperti ini, orang muda merupakan halte usia yang cocok. Mengingat mereka belum terikat pada lembaga dan fungsi sosial tertentu. Dalam kedudukannya di masyarakat, mereka berada di pihak tengah. Yang bebas bergerak. Mampu menemukan ruang baru, menjadi fenomenal dengan memastikan momentum, dalam sebentuk pemikiran atau tindakan. Mereka bisa menjadi penggonggong, yang menarik perhatian banyak orang, menyendul dengan kekuatan kencang, dan corong untuk menyatakan rintih keprihatinan. Pada mereka, perhatian selalu beralih ke sebuah “dunia lain”, “dunia kegilaan”, untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi dari batas-batas kemapanan dan kenormalan.
2

Dalam sejarahnya, macam organisasi, perkumpulan, perserikatan, solidaritas orang Flores itu tidak bertahan lama. Pertama sekali, kelahirannya begitu menggebu-gebu. Menyeruduk seperti banteng liar. Nampak kokoh yang bisa bernapas panjang. Baik dari segi keanggotaannya, maupun program-program kerjanya.
Namun kedua, bersamaan dengan waktu berjalan, pelahan-lahan semangat yang menggebu-gebu itu memudar. Satu per satu anggota mulai mengundurkan diri. Enggan mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah-edukatif-sosialisasi. Tetapi akan banyak berdatangan, seperti semut pada gula, kalau ada kegiatan-kegiatan seremonial, eforia nyanyian dan tarian, pesta dalam berbagai macam tema, atau solidaritas untuk mempertahankan gengsi dalam bentuk tawuran. Solidaritas moke (arak) dan jenis B1, B2 lebih kencang ketimbang diskusi dan rekomendasi.
Internal pelik, orang Flores termasuk orang mudanya sama-sama tidak mau mengalah. Susah mengakui keunggulan, menghargai pendapat, sportif, dan kompak. Yang sering terjadi, ada kelompok di dalam kelompok. Teman makan teman. Tergantung mood, dan enak sama enak. Dan persoalan mood itu, sangat erat kaitannya dengan mata, mulut, perut, dan kaki. Jarang fokus pada solidaritas otak kiri dan otak kanan, atau akal budi dan hati. Finalitasnya ada pada hasil dan bukan pada proses. Selesai sebuah kegiatan, makan selesailah pula sebuah solidaritas. Termasuk, dana! Tidak pada sebuah proses, yang selalu bergerak secara dialektik, masa lalu, kini, dan yang akan datang. Kerja keras, hasil, dan kerja keras.
Warisan stigma ini pun menjadi palu justifikasi untuk kelompok atau organisasi kaum muda Flores yang baru lahir. Kemudian tidak lepas pula kesulitannya pada, siapa yang harus menjadi inspirator, pendamping, atau sejenis moderator. Yang bisa menjadi “kakak” senior untuk orang-orang muda ini. Berikut, sulitnya pula mengumpulkan dana operasional. Karena, siapa yang akan nyakin betul, uang sisihannya itu digunakan untuk sebuah kegiatan yang benar-benar efektif, bernilai, bermartabat. Dan bukan untuk sebuah seremonial yang protokoler, dengan musik hip hop dan hidangan arak, B1 atau B2. Ini masalah kepercayaan, keyakinan, persepsi orang Flores terhadap perkumpulan orang muda Flores!

3
SPMNJ: ke mana anda harus memilih? Yang pasti, fenomena melahirkan itu selalu disertai rasa sakit. Tidak pernah dengan sebuntal kegembiraan. Pedih perih karena berbagai macam komentar. Sinisan. Tanpa melupakan pujian tulus dari sekelompok kecil orang.
Menjadi konsisten seperti seorang Socrates, dengan ketidakpedulian binatang jalangnya Chairil Anwar, dengan metode kegilaan seorang Gibran, merupakan pilihan paling radikal. Tetapi justru dengan pilihan-pilihan itulah, mereka menjadi besar. Menjadi bermartabat. Mereka belajar berproses, menghormati proses, tanpa mempedulikan hasil. Dunia yang memberikan hasilnya buat mereka. Sementara mereka tidak pernah menikmati hasilnya secara maksimal.
Hal ini erat pula kaitannya dengan jebakan-jebakan yang sudah sering terjadi untuk sebuah organisasi orang muda. Hanya mengejar kekayaan (uang), kekuasaan (jabatan), dan popularitas, organisasi-organisasi kaum muda itu turun kelasnya menjadi organisasi tempe. Padahal, emas sudah ditangan. Tetapi dengan mudahnya emas itu dirupakan secara murah, seperti kisah “Anak Yang Hilang”. Setelah semuanya habis terkuras, martabat orang muda itu dinilai hanya seharga makanan babi. Perlulah sikap konsisten, seperti teladan seorang Socrates, Chairil Anwar, dan Gibran.
Mata orang muda adalah mata zaman. Pada posisinya yang di tengah, ia mampu memandang tajam ke masa silam dan masa depan. Bahkan mampu menentukan masa depannya sendiri. Memegang kendali pada ruang dan waktu. Karena itu, tidak cukup hanya menjadi fenomenal. Tetapi perlu pula menciptakan momentum. Merebut momentum. Dan menulis sejarah dengan tangan sendiri. Sekalipun baru sampai pada tahap catatan kaki. Karena dengan begitu, masa lalu dapat dipurifikasi. Dinilai ulang. Dibaca secara baru. Diterjemahkan secara kontekstual.
Teks-teks yang dibaca dibangku kuliah tidak sekedar kata, atau huruf pada catatan. Ia merupakan batu-batu hidup yang bercahaya kalau didedikasikan secara sosial pada masyarakat. Masa lalu pada bacaan orang tua sudah terlalu kaku dan tidak update. Pikiran mereka boleh saja selalu baru, tetapi ketubuhan mereka sudah luluh di makan waktu. Karena itu, antara teks, konteks, tubuh, dan jiwa adalah purna bentuk dari sebuah dedikasi sosial. Masyarakat yang hidup tidak pernah mencari batu-batu mati. Masyarakat selalu mencari batu-batu hidup yang kokoh. Demi membangun struktur, jejaring sosial yang dinamis dan kontekstual. Karena itu, orang muda menjadi kelas istimewa. Pada mereka, masyarakat mengharapkan batu-batu hidup itu.
4
SPMNJ, tidak sekedar berhenti pada sebuah deklarasi. Mereka sendiri sudah mengizinkan dirinya, teks, tubuh, jiwa mereka menjadi batu-batu hidup. Waktu sudah diberikan. Kesempatan sudah datang. Tinggal bagaimana mereka mendefinisikan tanggung jawabnya. Mari kita dukung mereka. Orang muda yang selalu punya bisa!(*)
Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org