Rabu, 09 April 2008

Busung Lapar: Dari Virtualisasi Menuju Kampung


Mengumpulkan satu per satu data korban dari media tracking soal busung lapar, sama juga dengan mengamini fenomena gunung es. Namun, di lain sisi, ada hal yang menarik, yang dapat disimpulkan dari kerja virtual itu. Lagi-lagi pemerintah yang diharapkan mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lagi-lagi, hanya langkah prosedural: kuratif-emergensi-jangka pendek, yang bisa dilakukan pemerintah. Dan terakhir, menanti lagi media massa mengangkat kasus gizi buruk itu di kemudian hari.

Virtualisasi dan kesalahan mengingat

Kenyataan pertama yang harus diakui. Busung lapar itu baru disebut kasus, kalau berhasil keluar dari bidikan lensa, diproduksi sebagai berita pada stasiun-stasiun televisi, dan makanan empuk para juru tulis. Selebihnya, berapa pun korban berjatuhan, intensionalitas pada kosmologi pemikiran bangsa ini, lebih tersedot pada hiruk pikuk dunia politik. Pada sejumlah pilkada, pilgub, dan pilpres. Busung lapar seolah-olah menjadi “timeless” pada berita-berita politik.

Betapa tergantungnya persepsi, imajinasi, dan pragmatisme kita pada dunia virtual tersebut. Dan tanpa disadari, virtualisasi tersebut justru mematok pemikiran kita dalam batas-batas tiga dimensi, sejauh kamera itu mampu menyajikan horizonnya. Spasialitas yang bergerak di bentangan ruang hidup, dengan segala dinamikanya lantas terabaikan. Fenomena busung lapar pun kemudian menjadi kisah ketidakberdayaan sekumpulan manusia pada sebuah bidikan.

Virtualisasi cenderung menciptakan fenomena dari akibatnya. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi dari sebuah peristiwa. Pada “pedih perihnya” busung lapar. Pada seorang anak yang tinggal “kulit pada tulang”. Pada rumah sakit-rumah sakit dengan berjubel penderita gizi buruk. Dan tidak pada keseluruhan peristiwa, dalam kontinuitas waktunya, dengan melibatkan tradisi, dinamika, dan etika. Karena itu, busung lapar pada bidikan kamera merupakan fagmen, potongan kejadian pada gambar semata. Bukan pada realitas terdalam, yang sesungguhnya. Celakanya, justru inilah yang diingat oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini.

Kesalahan mengingat pada gilirannya mengantar kita pada kesalahan bertindak. Paul Ricoeur (1999) menandaskan, ingatan selalu berkaitan dengan dua relasi. Yaitu, relasi pengetahuan dan relasi tindakan. Sejauh mana ingatan itu membentuk pengetahuan dan mendorong lahirnya sebuah tindakan. Ingatan yang salah, membentuk pengetahuan yang salah. Berikut, tindakan pun cenderung salah. Lebih parah lagi kalau gejala ini menjangkit sampai pada ingatan kolektif. Visualisasi virtual itu secara signifikan mampu meninggalkan goresan pekat dan dalam pada sejumlah orang. Disertai perubahan karakter kepribadian, seperti saling mencurigai, melemparkan tanggung jawab, mencari kambing hitam, dan melihat korban semata-mata sebagai objek penderita.

Finalisasi dari babak visualisasi ini berakhir dengan fenomena gunung es. Setelah tercerai berai dengan perspektif yang keliru, langkah “bijak” yang diambil adalah penimbunan kasus demi kasus busung lapar tersebut, supaya tidak lagi diekspose. Sejalan, logika penanganannya berupa: memberi makan untuk yang lapar, mengobati yang sakit, dan menguburkan yang mati. Prosedural kampanye digalakkan. Masyarakat serta merta dijejali dengan sosialiasi hidup sehat, gizi seimbang, dan menu makan sehat. Seminggu dua, virtualisasi media elektronik dan media massa pun mengamini. “Angka gizi buruk dan busung lapar menurun, kesehatan masyarakat mulai membaik!” Dengan catatan, “nanti tunggu pemberitaan busung lapar lagi!”.

Deregulasi

Terlalu sempit mengartikan deregulasi dengan melepaskan sejumlah aturan atau regulasi demi kebebasan bergeraknya modal, barang, dan jasa. Pencangkokan istilah deregulasi pada kepentingan ekonomi menciptakan kesalahan dalam pembacaan relasi antara pemerintah dan rakyatnya. Dalam arti sebenarnya, deregulasi adalah ketidaktergantungan nyawa masyarakat pada kekuasaan negara, atau rezim yang berkuasa. Bukan pula pada otonomi daerah, tetapi pada individu terhadap pemimpin lokalnya. Dari state-regulation menjadi self-regulation.

Kaitannya dengan kasus busung lapar, self-regulation mengandung beberapa pengertian. Pertama, menyimak, menilai, membedah kasus busung lapar tersebut dari sebabnya, dan bukan dari akibatnya. Penuntasan masalah busung lapar harus dicari sampai ke akar persoalan (sanate in radix). Tidak bisa hanya sekedar menimbun di permukaan. Fakta berjubel anak di rumah sakit, yang tinggal kulit pada tulang, tak ada makanan di rumah, ini cuma akibatnya. Perlu menelusuri sebab mulanya, yang menjadi inti soalnya.
Kedua, perlu pula mempelajari ruang hidup, local resources, dalam bentuk pengetahuan, tradisi, perilaku yang dapat menjadi landasan perbaikan taraf hidup dan kesehatan masyarakat. Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”. Karena menjadi warga negara bukan sebuah status pasif tetapi sebuah keterlibatan aktif dalam komunitas, apapun wujudnya. Pola belajar masyarakat juga mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif. Bersumber pada naluri bebas manusia, yang terus berjuang untuk meneriakkan dan mengorganisir dirinya sedemikian rupa agar tidak tersingkirkan dan mampu memberi sumbangan yang diakui. Dengan memusatkan perhatian pada berbagai aspek dan hubungan yang dimiliki semua anak terhadap anggota masyarakat lainnya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Mengenali pengertian hak, kesejahteraan, dan keadilan, serta perjuangan untuk mencapai ketiganya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Dan yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada dan membiasakannya dalam pola perilaku tertentu.
Ketiga, memperkecil intervensi pemerintah dan lembaga terkait sebagai pemangku kewajiban dari pemenuhan kesejahteraan rakyat yang sentralistik, prosedural, dan birokratis. Ketergantungan terhadap pemerintah dan lembaga terkait dengan penanganan yang prosedural dan birokratis justru malah melemahkan self-regulation. Pemerintah dan lembaga terkait tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Etika deregulasi menghendaki manajemen masyarakat, komunitas, dan individu. Bertumpu pada kesadaran kritis masyarakat untuk menyelesaikan seturut mekanisme mereka. Karena, betapa pun ilmiahnya sebuah ilmu, ia tidak mungkin jatuh gratis dari langit. Tetapi senantiasa tumbuh dari penelitian di tengah masyarakat. Pada ruang belajar dan dinamika hidup masyarakat.

Kembali ke Kampung

Peter Sloterdijk dalam salah satu simposium filsafat internasional di Bavaria, Juli 1999 mengejek modernitas di bawah kekuasaan sainstik yang gagal merekayasa manusia dan dunia menjadi lebih unggul, sejahtera, dan damai. Ia malah mengatakan, humanisme benar-benar sudah mati di abad modern ini. Karena semakin banyak manusia yang tersingkir, tertindas, menjadi korban dari kekejaman, kejahatan, kemiskinan, dan konflik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Pertanyaannya: benarkah era modernitas membawa peradaban ke arah yang lebih baik?

Titik sasar Sloterdijk adalah kaum positivistik. Kelihatan sekali humanisme itu diabaikan. Yang ada cuma sebuah ladang exercise yang besar atas manusia. Manusia selalu menjadi kelinci percobaan. Senantiasa menjadi korban, objek, yang selalu bergantung pada kekuatan di luar dirinya sendiri. Lebih dari itu, dunia cuma menjadi ladang bisnis. Perkampungan jual beli. Perang, bencana, wabah, kemiskinan dilihat sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan. Tidak peduli dengan dampak yang ditimpakan pada manusia dan dunia. Klaim ekonomi-bisnis, yang berakar pada penerapan teknologi telah menciptakan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Susah untuk dilepaskan. Menjerat. Mencekik masyarakat.

Betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk tidak bergantung. Betapa berharganya pula menerima aspek kontinuitas, aktualitas pada genre kampung. Kenyataannya, “kekampungan” itu tidak selamanya identik dengan busung lapar. Justru, ketika “kekampungan” itu dilupakan, anatomi antroposentris yang berpihak pada nilai positif manusia berjalan pincang. Kekampungan hanya dinilai sebatas “ketertinggalan”, “ketidakberdayaan”, “kekolotan”. Lantas relasi pragmatis pun turut pincang. Yang satu memaksa, yang lainnya berlaku surut. Yang satu unjuk cerdas, yang lainnya tampil mundur. Yang satu di atas, yang lainnya di bawah. Yang satu menang, yang lainnya jadi korban. Kampung dilecehkan tanpa meninggalkan jejak watak yang positif pada ruang belajarnya sendiri. Ia hanya kebodohan dan kebergantungan.

Era modernitas, apa membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk kampung? Busung lapar, apa kampung kita yang salah? Mari, lihat, dan cermati!!! (*)
Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org (9 April 2008)