
Gunung es kasus busung lapar dan gizi buruk itu kini dimulai lagi dari Rote. Kemudian wacana itu meluas ke wilayah-wilayah lain di NTT. Pemerintah pun mulai main hitung-hitungan. Dibutuhkan dana sebesar lima puluh miliar untuk menangani kasus tersebut. Diprediksi dari hitungan data Januari 2007 – Februari 2008, ada sekitar 81.380 balita gizi buruk, 68.873 balita kurang gizi, 12.340 balita gizi buruk dan komplikasi, dan 167 anak penderita busung lapar dari 497.777 balita di NTT.
Kemiskinan dan Ketergantungan
Tahun 2005, ketika kasus gizi buruk dan busung lapar itu ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp. 64.027.047.000. Yang diperkuat justru infrastruktur kesehatan, posyandu, pemberian makanan suplemen, dan penanganan dana insentif cepat. Itu artinya, dana sebesar enam puluh empat atau lima puluh miliar itu akan lari ke lembaga-lembaga pemerintah yang khusus menangani unit-unit penyelesaian itu. Menciptakan lahan subur korupsi. Dan melupakan tujuan sebenarnya dari dana tersebut.
Pembacaan kasus busung lapar dan gizi buruk selalu dimulai dengan kemiskinan dan kekurangan pangan. Tetapi sekian sering wilayah ini tidak disentuh, dalam penyelesaiannya. Tidak heran kalau kasus busung lapar dan gizi buruk terus menghantui masyarakat NTT dari tahun ke tahun. Di satu sisi, penyelesaian yang diambil hanya bersifat kuratif, emergensi, dan jangka pendek. Sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah. Hanya berusaha menimbun untuk sementara waktu. Dan sisi lainnya, menimbulkan konflik pengetahuan dan ketergantungan pola konsumtif baru dari masyarakat yang penghasilan rendah.
Terpantau misalnya, PMT mengubah paradigma pola konsumsi masyarakat menuju pada ketergantungan hegemoni yang materialistik. Pengetahuan akan makanan bergizi direduksi pada mie instant, biskuit, susu,dan daging kaleng. Sama seperti era “Revolusi Hijau” yang berhasil memberi stigma nomor satu untuk beras sebagai bahan makanan pokok, dan membuyarkan pola beragam pangan masyarakat dengan pertanian komoditi. Mie instant, biskuit, susu, daging kaleng adalah upaya memandang rendah food gathering yang dapat diambil secara mudah murah di kebun atau halaman rumah. Umbi-umbian, jagung, sayur-sayuran dianggap makanan kelas dua. Alhasil, sesudah proyek PMT itu selesai, masyarakat kembali kehilangan asupan gizi. Kembali kelaparan. Sumber pangan dan asupan gizi mereka tiba-tiba saja dihentikan.
Pola penyelesaian seperti ini lebih merupakan “mencekoki” daripada “membebaskan”. Sama seperti ketika KB-nisasi itu masuk NTT, dan warga masyarakat dipaksa secara militeristik. Demi suksesnya program, sekian persen ketercapaian, dan dana mesti habis (anggaran berimbang!).
Babak berikutnya, yang lebih menyakitkan dan mematikan, adalah berhentinya proses belajar bersama yang terjadi di masyarakat. Ruang hidup masyarakat dipasifkan. Dengan tidak dihargainya potensi lokal, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bahwa masyarakat selalu mampu mencukupi (self-sufficient) dan menyembuhkan (sanate in radix) dirinya sendiri.
Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”, sama dengan perlakuan kita terhadap seekor binatang. Bahkan binatang kadang lebih manusiawi daripada manusia. Pola belajar masyarakat mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif, yaitu bersumber pada naluri membebaskan manusia itu sendiri. Tidak ada yang mau menderita. Karena itu, manusia selalu mencari cara untuk menyelamatkan dirinya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada.
Belajar dari kegagalan penanganan proyek KLB pada tahun 2005, seperti yang diteliti oleh Institute for Ecosoc Rights, seperti: (1) sistem administrasi dan birokrasi yang lamban, (2) pemberian PMT tidak mempertimbangkan kondisi keluarga yang miskin dan lemah akses pangan. PMT tidak hanya dimakan anak gizi buruk, tetapi oleh seluruh anggota keluarga. PMT tidak juga mempertimbangkan penyakit penyerta yang diderita anak, (3) Pendekatannya cenderung personal dan kurang melibatkan peran aktif keluarg dan komunitas, (4) posyandu hanya dilihat sebagai kegiatan datang, timbang, lalu pulang, sebaiknya dana sekian miliar itu digunakan untuk memperluas proses belajar bersama di komunitas-komunitas lokal, yang dari hari ke hari justru sangat dekat dengan kejadian miris ini. (Ironi sebuah komunitas lokal adalah, dibiarkan oleh pemerintah pada kesehariannya, tetapi dibutuhkan pemerintah pada perlombaan kelompok usaha tani di tingkat nasional. Kalau juara, hadiahnya selalu dicatut!)
Persoalan gizi buruk dan busung lapar juga merupakan persoalan kultur, gender, hak anak, pengetahuan, pengembangan ekonomi kerakyatan, selain masalah kemiskinan dan akses terhadap pangan (Institute for Ecosoc Rights, 2007). Dimensinya yang luas seperti ini tidak bisa ditemukan dan diselesaikan hanya dengan logika proyek. Logika ini terbukti hanya menciptakan ketergantungan ekonomis dan konsumtif, juga mengeliminasi sejumlah potensi lokal. Lebih dari itu, masyarakat dan ruang belajarnya dipasifkan. Dididik untuk menerima nasib (Nasib Tidak Tentu) dan pasrah (Nanti Tuhan Tolong)! Sesungguhya, cakupan yang luas ini hanya bisa ditemukan dan diselesaikan dalam proses belajar bersama di sebuah ruang hidup masyarakat. Masyarakat tidak didikte. Masyarakatlah yang menentukan pendekatannya secara lebih strategis, preventif, dan jangka panjang.
Ruang Hidup
Sekian sering potensi ruang hidup dan proses belajar masyarakat itu diabaikan. Dikunci rapat-rapat, atau tidak diadudomba. Sekian sering pula potensi itu dikalahkan oleh kepentingan kapital, kekuasaan birokratis, dan legitimasi keagamaan. Kasus gizi buruk dan busung lapar itu berada pada himpitan ini. Lantas, siapa yang berani mengeluarkannya? Siapa yang berani menjadi superhero? Inilah persoalan berikutnya. Begitu susahnya mencari tipe kepemimpinan yang partisipatif. Yang tidak mengontrol dan menjerumuskan proses, namun bertindak sebagai mitra aktif yang memancing kecerdasan dan inisiatif masyarakat. Seorang seniman pemimpin yang membangkitkan cara berpikir, merefleksikan pengalaman-pengalaman, mencoba dan menguji berbagai ide, mempraktikan, memodifikasi, mengevaluasi, dan memonitoring untuk sebuah proses lanjutan. Sekian sering kita sudah terbiasa dengan mental top-down, sentralistik, reduksionistik, dan mengabaikan dinamika masyarakat. Keluaran dari mental ini adalah ketegangan yang berkepanjangan dan akut antara masyarakat dan pemimpinnya, curiga mencurigai, potong memotong. Masyarakat sekali lagi menjadi korban! Sudah jatuh ditimpa tangga!
Dalam konteks masalah gizi buruk dan busung lapar, pertanyaan partisipatif yang perlu dilontarkan pada kasus tersebut, pertama, apakah di rumah ada yang dapat dimakan atau tidak? Bukan apakah di rumah ada nasi, biskuit, susu, daging kaleng atau tidak? Karena dengan meluaskan cakupan asupan gizi, proses belajar bersama itu akan menemukan sekian jenis bahan makanan yang dapat dimakan. Dapat dipetakan sesuai musim, kandungan nutrisi, dan kebutuhan gizi perseorangan. Masyarakat memiliki pengetahuan akan hal tersebut. Tetapi tidak tahu bagaimana harus meramu pengetahuan tersebut menjadi menu sehat dan bergizi. Karena itu, proses belajar bersama tersebut tidak selesai pada pemetaan berbagai jenis bahan makanan. Tetapi kemudian berlanjut pada cara produksi, konsumsi, dan antisipasi stok. Pertanyaan seperti ini dan proses belajar bersama tersebut boleh jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap proyekisme, ketergantungan hegemoni konsumtif, dan keterbatasan akses terhadap pangan.
Kedua, apakah semua anak di Rote menderita gizi buruk dan busung lapar? Cukup dengan mempertanyakan hal ini, ruang belajar yang direduksi pada stigma kemiskinan, keterbatasan pangan dapat diobjektifkan, sejajar dengan kondisi riil yang ada. Artinya, ada beberapa anak yang bisa menjadi contoh dalam proses belajar tersebut, baik pola hidupnya, pola makannya, budaya, maupun kebiasaan-kebiasaannya, yang dapat ditemukenali sebagai cara mendekati dan menyembuhkan kasus di daerah tersebut. Bahwa ada anak-anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar, itu berita buruk. Tetapi ada anak-anak yang sehat, itu berita menggembirakan. Karena dari situ, ruang pembelajaran ke arah penyembuhan itu memperoleh pintu masuknya.(*)