Kamis, 27 Maret 2008

BUSUNG LAPAR: PADA RUANG HIDUP!


Gunung es kasus busung lapar dan gizi buruk itu kini dimulai lagi dari Rote. Kemudian wacana itu meluas ke wilayah-wilayah lain di NTT. Pemerintah pun mulai main hitung-hitungan. Dibutuhkan dana sebesar lima puluh miliar untuk menangani kasus tersebut. Diprediksi dari hitungan data Januari 2007 – Februari 2008, ada sekitar 81.380 balita gizi buruk, 68.873 balita kurang gizi, 12.340 balita gizi buruk dan komplikasi, dan 167 anak penderita busung lapar dari 497.777 balita di NTT.


Kemiskinan dan Ketergantungan


Tahun 2005, ketika kasus gizi buruk dan busung lapar itu ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp. 64.027.047.000. Yang diperkuat justru infrastruktur kesehatan, posyandu, pemberian makanan suplemen, dan penanganan dana insentif cepat. Itu artinya, dana sebesar enam puluh empat atau lima puluh miliar itu akan lari ke lembaga-lembaga pemerintah yang khusus menangani unit-unit penyelesaian itu. Menciptakan lahan subur korupsi. Dan melupakan tujuan sebenarnya dari dana tersebut.


Pembacaan kasus busung lapar dan gizi buruk selalu dimulai dengan kemiskinan dan kekurangan pangan. Tetapi sekian sering wilayah ini tidak disentuh, dalam penyelesaiannya. Tidak heran kalau kasus busung lapar dan gizi buruk terus menghantui masyarakat NTT dari tahun ke tahun. Di satu sisi, penyelesaian yang diambil hanya bersifat kuratif, emergensi, dan jangka pendek. Sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah. Hanya berusaha menimbun untuk sementara waktu. Dan sisi lainnya, menimbulkan konflik pengetahuan dan ketergantungan pola konsumtif baru dari masyarakat yang penghasilan rendah.


Terpantau misalnya, PMT mengubah paradigma pola konsumsi masyarakat menuju pada ketergantungan hegemoni yang materialistik. Pengetahuan akan makanan bergizi direduksi pada mie instant, biskuit, susu,dan daging kaleng. Sama seperti era “Revolusi Hijau” yang berhasil memberi stigma nomor satu untuk beras sebagai bahan makanan pokok, dan membuyarkan pola beragam pangan masyarakat dengan pertanian komoditi. Mie instant, biskuit, susu, daging kaleng adalah upaya memandang rendah food gathering yang dapat diambil secara mudah murah di kebun atau halaman rumah. Umbi-umbian, jagung, sayur-sayuran dianggap makanan kelas dua. Alhasil, sesudah proyek PMT itu selesai, masyarakat kembali kehilangan asupan gizi. Kembali kelaparan. Sumber pangan dan asupan gizi mereka tiba-tiba saja dihentikan.


Pola penyelesaian seperti ini lebih merupakan “mencekoki” daripada “membebaskan”. Sama seperti ketika KB-nisasi itu masuk NTT, dan warga masyarakat dipaksa secara militeristik. Demi suksesnya program, sekian persen ketercapaian, dan dana mesti habis (anggaran berimbang!).


Babak berikutnya, yang lebih menyakitkan dan mematikan, adalah berhentinya proses belajar bersama yang terjadi di masyarakat. Ruang hidup masyarakat dipasifkan. Dengan tidak dihargainya potensi lokal, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bahwa masyarakat selalu mampu mencukupi (self-sufficient) dan menyembuhkan (sanate in radix) dirinya sendiri.


Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”, sama dengan perlakuan kita terhadap seekor binatang. Bahkan binatang kadang lebih manusiawi daripada manusia. Pola belajar masyarakat mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif, yaitu bersumber pada naluri membebaskan manusia itu sendiri. Tidak ada yang mau menderita. Karena itu, manusia selalu mencari cara untuk menyelamatkan dirinya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada.


Belajar dari kegagalan penanganan proyek KLB pada tahun 2005, seperti yang diteliti oleh Institute for Ecosoc Rights, seperti: (1) sistem administrasi dan birokrasi yang lamban, (2) pemberian PMT tidak mempertimbangkan kondisi keluarga yang miskin dan lemah akses pangan. PMT tidak hanya dimakan anak gizi buruk, tetapi oleh seluruh anggota keluarga. PMT tidak juga mempertimbangkan penyakit penyerta yang diderita anak, (3) Pendekatannya cenderung personal dan kurang melibatkan peran aktif keluarg dan komunitas, (4) posyandu hanya dilihat sebagai kegiatan datang, timbang, lalu pulang, sebaiknya dana sekian miliar itu digunakan untuk memperluas proses belajar bersama di komunitas-komunitas lokal, yang dari hari ke hari justru sangat dekat dengan kejadian miris ini. (Ironi sebuah komunitas lokal adalah, dibiarkan oleh pemerintah pada kesehariannya, tetapi dibutuhkan pemerintah pada perlombaan kelompok usaha tani di tingkat nasional. Kalau juara, hadiahnya selalu dicatut!)


Persoalan gizi buruk dan busung lapar juga merupakan persoalan kultur, gender, hak anak, pengetahuan, pengembangan ekonomi kerakyatan, selain masalah kemiskinan dan akses terhadap pangan (Institute for Ecosoc Rights, 2007). Dimensinya yang luas seperti ini tidak bisa ditemukan dan diselesaikan hanya dengan logika proyek. Logika ini terbukti hanya menciptakan ketergantungan ekonomis dan konsumtif, juga mengeliminasi sejumlah potensi lokal. Lebih dari itu, masyarakat dan ruang belajarnya dipasifkan. Dididik untuk menerima nasib (Nasib Tidak Tentu) dan pasrah (Nanti Tuhan Tolong)! Sesungguhya, cakupan yang luas ini hanya bisa ditemukan dan diselesaikan dalam proses belajar bersama di sebuah ruang hidup masyarakat. Masyarakat tidak didikte. Masyarakatlah yang menentukan pendekatannya secara lebih strategis, preventif, dan jangka panjang.


Ruang Hidup


Sekian sering potensi ruang hidup dan proses belajar masyarakat itu diabaikan. Dikunci rapat-rapat, atau tidak diadudomba. Sekian sering pula potensi itu dikalahkan oleh kepentingan kapital, kekuasaan birokratis, dan legitimasi keagamaan. Kasus gizi buruk dan busung lapar itu berada pada himpitan ini. Lantas, siapa yang berani mengeluarkannya? Siapa yang berani menjadi superhero? Inilah persoalan berikutnya. Begitu susahnya mencari tipe kepemimpinan yang partisipatif. Yang tidak mengontrol dan menjerumuskan proses, namun bertindak sebagai mitra aktif yang memancing kecerdasan dan inisiatif masyarakat. Seorang seniman pemimpin yang membangkitkan cara berpikir, merefleksikan pengalaman-pengalaman, mencoba dan menguji berbagai ide, mempraktikan, memodifikasi, mengevaluasi, dan memonitoring untuk sebuah proses lanjutan. Sekian sering kita sudah terbiasa dengan mental top-down, sentralistik, reduksionistik, dan mengabaikan dinamika masyarakat. Keluaran dari mental ini adalah ketegangan yang berkepanjangan dan akut antara masyarakat dan pemimpinnya, curiga mencurigai, potong memotong. Masyarakat sekali lagi menjadi korban! Sudah jatuh ditimpa tangga!


Dalam konteks masalah gizi buruk dan busung lapar, pertanyaan partisipatif yang perlu dilontarkan pada kasus tersebut, pertama, apakah di rumah ada yang dapat dimakan atau tidak? Bukan apakah di rumah ada nasi, biskuit, susu, daging kaleng atau tidak? Karena dengan meluaskan cakupan asupan gizi, proses belajar bersama itu akan menemukan sekian jenis bahan makanan yang dapat dimakan. Dapat dipetakan sesuai musim, kandungan nutrisi, dan kebutuhan gizi perseorangan. Masyarakat memiliki pengetahuan akan hal tersebut. Tetapi tidak tahu bagaimana harus meramu pengetahuan tersebut menjadi menu sehat dan bergizi. Karena itu, proses belajar bersama tersebut tidak selesai pada pemetaan berbagai jenis bahan makanan. Tetapi kemudian berlanjut pada cara produksi, konsumsi, dan antisipasi stok. Pertanyaan seperti ini dan proses belajar bersama tersebut boleh jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap proyekisme, ketergantungan hegemoni konsumtif, dan keterbatasan akses terhadap pangan.


Kedua, apakah semua anak di Rote menderita gizi buruk dan busung lapar? Cukup dengan mempertanyakan hal ini, ruang belajar yang direduksi pada stigma kemiskinan, keterbatasan pangan dapat diobjektifkan, sejajar dengan kondisi riil yang ada. Artinya, ada beberapa anak yang bisa menjadi contoh dalam proses belajar tersebut, baik pola hidupnya, pola makannya, budaya, maupun kebiasaan-kebiasaannya, yang dapat ditemukenali sebagai cara mendekati dan menyembuhkan kasus di daerah tersebut. Bahwa ada anak-anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar, itu berita buruk. Tetapi ada anak-anak yang sehat, itu berita menggembirakan. Karena dari situ, ruang pembelajaran ke arah penyembuhan itu memperoleh pintu masuknya.(*)

PLTP di FLORES: Mimpi Kali Ya!


Tahun 2004, masalah kelistrikan di Ngada ditampik secara optimistik oleh Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DESDM). “Mataloko Menuju Terang 2004”. Jargon ini berawal dari hasil riset lima tahun. Bahwa uap kering berentalpi tinggi dari reservoir dominasi uap dapat diproduksi di sumur bor Mataloko. 2X2,5 MWe sudah cukup untuk menghadirkan sebuah PLTP untuk Mataloko, Ngada, dan Nagekeo.

Hal senada pun dipentalkan untuk telinga masyarakat Kabupaten Ende dan Manggarai. PLTP Mutubusa, di Desa Sokaria dapat menghasilkan daya 5 MW. Selain PLTP Mutubusa, ada juga PLTU berkapasitas 2 x 15 MW, di Ropa, PLTM Ndungga (2 x 0,9 MW), dan PLTP Ulumbu (3 x 3 MW) di Manggarai.

Namun apa boleh buat. Kesan optimistik itu perlahan-lahan tergerus oleh waktu. Nadanya semakin minor. Sangat pesimistik. Lokasi telanjang daerah eksplorasi itu hanya menyisakan “notice”, tidak boleh berada dekat di lokasi rawan longsor itu. Sementara di Mataloko sendiri, aktivitas para eksplorer berhenti total. Masyarakat hanya bisa menikmati semburan gas berbau belerang. Tapi tidak melihat satu pun PLTP yang dibangun di situ. Padahal tanah sudah dibebaskan (baca: direlakan). Mata pencaharian sudah diambil.

Terang atau Gelap

Dari “Mataloko Menuju Terang”, kini justru “Ngada Menuju Gelap”. Ketergantungan masyarakat terhadap listrik tenaga diesel yang seratus persen itu membuat mereka takluk. Satu PLTD dengan hanya 4.500 kilowatt tidak cukup untuk menerangi semua kecamatan. Beban puncaknya bisa mencapai 3.700 kilowatt. Karena itu, wajar kalau dari 14 kecamatan yang ada, 4 kecamatan masih harus gelap gulita (baca: tidak dialiri listrik). Kapasitas sebesar itu praktis hanya mampu mencapai rasio elekrifikasi sebesar 38,25%. Dihitung dari jumlah pelanggan 12.454 dibandingkan dengan 222.849 jumlah penduduk. Hanya sekitar 51,45% (89) desa yang teraliri listrik.

Drama ”Terang Gelap” itu pun terjadi di Kabupaten Ende. Desa berlistrik di Ende baru mencapai 49,76 % dari 211 desa/kelurahan. Ada 105 desa masih belum tersentuh. Daya mampu listrik di Ende hanya 3.850 KW, sementara beban puncaknya 5.598 KW. Kekurangan daya kurang lebih sekitar 1.748 KW.
PLN pun tidak mampu mungkin mengelak dari “dosa” mesin diesel. Beban operasional yang tinggi. Mahalnya bahan bakar diesel. Turunnya efisiensi mesin. Kurang lebih tiga jam. Dua kali seminggu. Ngada dan Ende, juga daerah-daerah lain di daratan Flores harus rela listriknya padam. Sengaja dipadamkan supaya tidak terjadi overloud. PLN dan masyarakat sama-sama tidak ada pilihan. Demikian pun berbagai peralatan elektronik. Kalau tidak mau mesin diesel itu benar-benar “matot” alias mati total. Dan warga harus kembali ke generasi lampu pelita.

Substansi masalah

Harapan optimistik memang pernah bahkan masih disandarkan pada nasib sumur-sumur bor tersebut. Namun rupanya Flores kembali harus berkutat dengan masalah klasik namun sangat urgent. Yaitu kepada siapa eksplorasi itu harus dibebankan? Atau bagaimana dengan cost recoverynya? Itu artinya nasib sumur-sumur bos itu sangat ditentukan oleh tender. Sementara iklim investasi untuk listrik geothermal ini dinilai belum bisa menarik investor.
Substansi masalahnya ada pada pertarungan antara biaya investasi dan hasil produksi dibandingkan dengan potensi panas bumi itu sendiri. Kondisi sumur-sumur bor di Flores itu bervariasi. Satu lapangan (field) eksplorasi bisa berbeda karakteristik dan kandungan gas pada sumur-sumurnya. Pilihan untuk mengoptimalkan produksi dari potensi yang ada itu memerlukan biaya yang sangat tinggi. Sumur-sumur boleh dibor tapi tidak semua berproduksi bagus. Gali lobang tutup lobang!

Investor jelas memilih menunggu sikap pemerintah. Apakah pemerintah bisa memberikan insentif yang menarik untuk investasi geothermal pada lapangan yang cukup sulit itu? Misalnya dengan cost recovery no limit, keringanan pajak, bea masuk barang, royalti, selisih biaya produksi dan harga jual yang bagus. Bagaimana dengan instalasi power plantnya? Potensi yang besar belum tentu bisa menarik investor kalau kondisi medannya sulit. Butuh biaya untuk pemasangan dan maintenance-nya.

Kemendesakan

Sangat disayangkan kalau akhirnya sumur-sumur bor di Flores itu tak berbekas. Bukan semata-mata karena tanah-tanah itu sudah dinormalisasi dari kepemilikan privat penduduk, tetapi terutama pada alasan kemendesakannya. Pertama, gencarnya berbagai eksplorasi berbasis energi alternatif, seperti panas bumi, air, angin, tenaga matahari membuktikan cadangan energi Indonesia di ambang krisis. Ketergantungan pada minyak yang tak terbarukan menyebabkan tersedotnya APBN dan APBD pada konsentrasi penyediaan pasokan minyak. Kita perlu berhenti berpikir bahwa Indonesia itu kaya sumber alamnya. Produksi minyak kita terus menurun dari tahun ke tahun. Kita di pihak mengimport minyak. Sangat terasa sekarang. Langkanya minyak tanah adalah bagian dari krisis tersebut. Pelita berbasis bahan bakar minyak sudah bukan pilihan terbaik.

Kedua, global warning adalah bagian dari keprihatinan kita. Namun atas cara tertentu kita pun turut menyumbangkan runtuhnya iklim yang ramah atas kehidupan. Akibatnya, dunia huni kita sepertinya sedang mengadili kita. Ancaman itu bukan lagi sebuah ramalan. Tetapi terjadi persis di depan mata kita. Kalau langkah jangka panjang tidak segera ditempuh, kita justru akan terus diadili alam huni kita. Salah satunya adalah dengan menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan. Seperti energi listrik tenaga air, panas bumi, angin, atau matahari. Kalau demikian pilihan kita. Hanya satu yang harus dilakukan, yaitu konservasi lingkungan alam. Pilihan menjaga dan melestarikan keseimbangan alam harus sudah menjadi keberpihakan semua orang.

Ketiga, kecemburuan pada kota-kota besar dan maju selalu saja menjadi alasan yang selalu dihelatkan. Kita lupa akan sejarah tumbuh kembang kota-kota besar dan maju itu. Tidak pernah berawal dari sebuah mimpi muluk. Mimpi semalam suntuk. Ketakutan pada kapitalisme dan neoliberalisme dengan masuknya para investor menjadi gaung yang begitu membahana. Mungkin juga bersumber pada pikiran yang sangat tradisional. Yaitu ”takut orang lain kaya”. Sambil bersembunyi pada kenyataan marginalisasi kepentingan publik dan rakyat miskin. Namun pola pikir kita semestinya bergeser lebih bijak. Keseimbangan ekonomi tidak bisa diukur dengan mengeluarkan ongkos sekecil-kecilnya. Atau seturut takaran dacing, fifty fifty. Akumulasi duit selalu memakmurkan segelintir orang. Tetapi ongkos yang seimbang atas ukuran tersebut mestinya dicari pada nilai utilitasnya. Seberapa bergunanya ongkos yang sudah dikeluarkan itu untuk sekian banyak orang. Untuk generasi yang akan datang. Untuk iklim dan lingkungan. Untuk biaya produksi yang lebih murah. Beban hidup yang lebih ringan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa ya di Flores tidak (jarang) ada pabriknya? Kenapa perusahaan dengan skala besar belum ada di Flores? Kenapa UGM, UI, Atmajaya belum mau membuka cabangnya di Flores? Kenapa sampai sekarang akses internet kok macet terus? Kenapa harus terus menerus bertumpu pada pegawai negeri? Kenapa harus kuliah ke Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta? Salah satu alasannya (mungkin) adalah voltase listrik kita belum siap ke arah itu. Kota besar dan maju adalah kota jaringan. Termasuk jaringan listrik terpadu.

Kalau begitu, mau merugi sekali untuk manfaat di jangka panjang, atau terus merugi (sampai ke bulu-bulu) sepanjang akhir hayat. Kembali pada pilihan pemerintah dan masyarakat Flores.(*)

Rabu, 26 Maret 2008

SEBENTUK CERMIN DALAM SEJARAH “SIKKA”

Nama Kabupaten Sikka bukan tanpa debat kusir. Suhu perpolitikan itu sudah bisa memanas hanya dengan menyebut “Sikka”. Sejarah Kabupaten Sikka itu tidak pernah diam dengan dialektika politik. Apalagi di tengah hiruk pikuk Pilkada sekarang. Kabupaten Sikka seolah melempeng untuk dibentuk kembali. Menanti kelahiran baru dalam tungku pembakaran sejarah dan politik menjadinya.


Ruas Perpolitikan Dari Sebuah Nama

Ata Sikka atau Sika, lebih pas marga Sikka sesungguhnya merupakan peleburan dari beberapa suku. Muhang, Krowin, Krowe, Palue, Mego-Nualolo, dan Bu-Mbengu. Tahun 1925, akibat politik konsentrasi kolonialisme Belanda, suku-suku tersebut, yang berada di bawah kekuasaan tiga kerajaan besar: Sikka, Kangae, dan Nita, “dipaksa” menyatu menjadi “Sikka”.

Mencuatnya nama Sikka sebagai identitas tunggal itu seolah-olah mencaplok kekuasaan dua kerajaan lainnya. Justru karena inilah, nama Sikka menjadi sangat kontroversial. Penuh perdebatan. Karena toh, Sikka sendiri hanya merupakan wilayah kecil dari “oderafdeling Maumere”. Sama sekali tidak mampu mewakili nama dan kekuasaan dari dua kerajaan lain. Sejarah lebih berpihak pada Raja Don Alessu, raja Sikka waktu itu, oleh kedekatannya terhadap pemerintah Belanda. Sementara dua kekuasaan lain yang sama sekali non-koperatif, memilih untuk melawan, ketimbang bekerja sama. Karena itu, Belanda lebih mudah memilih “Sikka” sebagai sebuah nama, ketimbang mengakui nama-nama lain untuk wilayah itu.

Sikka dibesarkan oleh waktu, dan bukan atas catatan sejarah yang rasional dan seimbang. Artinya, aroma persaingan, pertarungan, perebutan kekuasaan, termasuk dalam hal memprasastikan sebuah nama, begitu lekat dengan gerak menjadi Sikka. Kritik atas “Sikka” menjadi sangat dekat dengan aroma persaingan itu, kalau nama itu sengaja dibenturkan dengan nama “Maumere” yang sudah lebih populer dan merangkul. Tetapi berbagai argumentasi di balik perjuangan menggantikan nama Sikka menjadi Maumere itu tetap saja kandas. Sikka yang menjadi sasaran kritik karena sarat sentimen kewilayahan dan fanatisme kesukuan tersebut tetap tidak bisa menjadi Maumere yang lebih populer dan merangkul.

Kalau perdebatan tentang nama ini cuma sampai di sini, provokasi kebangkitan massa dan sektarian kesukuan akan semakin menguat. Perlulah pembacaan yang lebih positif, sesuai dengan karakter dan gerak menjadi orang Sikka itu sendiri. Bahwa antara Sikka dan Maumere, ada ruang, pilihan, konsistensi kemenjadian orang Sikka yang selalu bertarung di iklim percaturan perpolitikan. Sikka tidak pernah lahir dari kesetujuan massal. Dari kesepakatan semua suku atau kerajaraan. Nama itu muncul dari penaklukkan politis, yang justru menjadi pusar orang Sikka. Karena itu, hanya waktu yang bisa menjawab. Dalam gerak perpolitikan itu, konsensus rakyat dan para pemimpin di Kabupaten Sikka bisa memilih dengan kesadarannya untuk tetap menggunakan nama Sikka. Atau malah menggantikannya dengan Maumere.

Pemerintahan Populis Sikka

Dalam lintas sejarah perpolitikannya, Sikka pernah mengenal KANILIMA. Deklarasi KANILIMA dipelopori oleh tokoh dan cendekia masyarakat dari tiga wilayah: KAngae, NIta, dan LIo-Maumere. Didukung oleh massa luar biasa dari ketiga distrik itu, KANILIMA berhasil tampil menjadi oposan. Mereka gigih mengkritik dan mendobrak politik dominasi pemerintahan Sikka masa itu, di bawah Raja Don Thomas Ximenes da Silva.

Kelihatan sekali, “perseteruan” Raja Don Thomas sebagai pihak pemegang roda pemerintahan dan KANILIMA sebagai oposan menjadikan iklim demokrasi ala Sikka lebih hidup, menarik, dan dialektis. Pada perseteruan itu, KANILIMA bersuara cukup keras, sebagai corong dan pengemban amanat penderitaan rakyat. Sasarannya, supaya roda pemerintahan Sikka itu berjalan lebih seimbang, adil, menghargai nilai kemajemukan, meninggalkan tindakan-tindakan kekerasan, penindasan, pemerasan, dan politik KKN. Tampilnya KANILIMA justru menghidupkan lagi dialektika politik orang Sikka, dari dominasi sentralistik menuju pemerintahan demokratis.

Kalau mau disejajarkan, deklarasi KANILIMA pada tahun 1948 itu sama persisnya dengan gerakan mahasiswa tahun 1998. Iklim demokrasi yang sentralistik, penuh dengan tindakan monopoli, KKN, kekerasan, dan penindasan itu berhasil ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa. Indonesia mulai dengan pembabakan sejarah baru. Pada kelahiran era reformasi. Posisi KANILIMA sendiri tidak jauh berbeda dengan bentuk negara demokrasi milik negara-negara di Eropa yang hanya mengenal dua partai: pihak pemegang roda kepemerintahan dan pihak oposisi. Dan betapa membanggakan, gerakan reformasi seperti ini sudah bukan asing lagi untuk orang Sikka, sekurang-kurangnya sejak tahun 1948.

Pembejalaran atas catatan tinta emas deklarasi KANILIMA sebetulnya menjadi titik simpul dari pemaknaan pemerintahan populis, yang khas Sikka. Berikut ciri-ciri kepemimpinan yang berhak duduk di kursi panas kabupaten ini. Bahwa bentuk pemerintahan populis masyarakat Sikka itu selalu berada dalam dialektika tesis dan antithesis, antara pemerintah dan pihak oposisi. Dalam dialektika tersebut, yang dicapai adalah reformasi. Kelahiran baru. Yang ditandai dengan pembukaan ruang demokrasi yang luas, penghargaan pada nilai-nilai humanis, ekologis, dan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, tipe kepemimpinan yang selaras dengan aras dialektika ini adalah memberikan keleluasaan bagi banyak orang untuk berpartisipasi. Menghargai perbedaan pendapat. Akomodatif terhadap kritik dan masukan. Mengutamakan kepentingan masyarakat. Sensitif terhadap suara arus bawah. Menghormati ruang hidup, adat istiadat, dan kemajemukan. Serta memiliki kepatutan publik, seperti tidak terlibat dalam kasus asusila, KKN, kekerasan, dan penindasan. Pemimpin Sikka mesti selalu berjiwa reformis.

Sebentuk Cermin Sejarah Sikka

Dalam catatan pemberontakan Teka Iku yang ditulis Bruder Petrus Laan SVD, tertulis kutipan: “Tahukah kamu juga, tanya Kailola kepada Nurak, apa sebab Teka berontak melawan Raja?” Atas nama Nurak berkata, “Teka mengatakan ia berkelahi untuk orang kecil, bahwa belasting baru dari Raja, 4 buah kelapa dari tiap pohon, dan itu dari tiap panen, adalah terlalu tinggi”.

Kegerahan seorang Teka, mengawali pemberontakan Teka Iku yang panjang dan luar biasa itu adalah sobekan dari bagian yang utuh sejarah Sikka yang selalu “tidak tinggal diam”. Spirit yang sudah lama tumbuh, terpatri, dan mendarah daging di tubuh masyarakat Sikka adalah berani mereformasi diri. Berani melakukan otokritik. Siap berubah menuju kelahiran baru. Senantiasa menjadi lebih bersih dan cerlang. Gagah berani seperti tombak dan panah pada tangan, tetapi lembut bersih dalam jiwa dan hati. Inilah sebentuk cermin sejarah Sikka.

Karena itu, betapa memalukan pemimpin Sikka sekarang kalau terjerumus terus menerus dalam semangat yang sentralistik, haus kekuasaan, KKN, dan feodal. Betapa direndahkannya marga yang mulia ini, kalau spirit reformis dan ladang demokrasi itu kerdil, bahkan mati. Di sini pulalah letak tanggung jawab dan kadar penghormatan atas sejarah Niang Tawa Sikka, Tanah Maumere.

Semoga kristalisasi sejarah panjang Sikka menjadi cermin otokritik untuk Pilkada Sikka kali ini. Semoga pula, masyarakat Sikka terbuka matanya untuk memilih pemimpinnya dengan benar. Kalau tidak, mari kita menjadi oposisi sejati.(*)


Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org

Mengembalikan Kemahakuasaan Tuhan


Beberapa waktu lalu, di Parung, Bogor sejumlah orang mengusir aktivitas perayaan paskah umat kristiani. Sebuah pertanyaan muncul di benak ketika menyaksikan pemeluk agama yang satu mengadili pemeluk agama lainnya di tanah air ini: Apakah di dunia ilahi, para Tuhan pun saling bertarung? Mungkinkah Tuhan berpikir untuk membumihanguskan pemeluk agama lain? Dan apakah Tuhan itu jamak?

Kesesatan Tuhan, agama, atau pemeluk

Sangat boleh jadi kemahakuasaan Tuhan itu ditafsirkan secara keliru dengan kemutlakan. Kemutlakan selalu berarti persis benar. Berarti pula, baik adanya. Karena itu, kemutlakan menandakan sebuah tatanan yang selalu benar. Ketika satu unsur sesat, kemutlakan itu serta merta runtuh. Ini terlalu riskan untuk arti kemahakuasaan Tuhan. Karena, pada saat kemutlakan itu gugur oleh sebuah kesesatan, kemahakuasaan Tuhan pun mengerut. Tuhan bisa saja dipersalahkan.

Kalau Tuhan salah, Ia tidak bisa dikatakan maha tahu. Tahu segalanya. Baik di masa lampau, masa kini, maupun masa depan. Dengan kecacatan seperti ini, bisa saja rencananya yang selalu “baik adanya” itu salah. Karena peluang kesesatan dari kemahakuasaan Tuhan itu bisa hadir sesewaktu. Tatatan dunia yang sempurna di bawah providentia ilahi pun patut dipertanyakan. Kekeliruan atas penciptaan dan penyelenggaraan ilahi bisa mengakibatkan dunia berjalan timpang. Menuju sebuah kesesatan.

Klaim antara yang sesat dan yang benar, antara yang jahat dan suci dari pemeluk agama seolah-olah membenarkan kesesatan Tuhan ini. Bahwa ada sebagian warga masyarakat di bumi nusantara ini yang berpihak pada Tuhan yang sesat dan sebagiannya lagi pada Tuhan yang suci. Dan seruan untuk memerangi para pemeluk dari Tuhan yang jahat itu seolah-olah datang dari perintah Tuhan yang suci.

Para Tuhan pun berperang. Lalu apakah pantas kalau Tuhan itu masih disebut Esa? Juga maha baik? Karena Tuhan yang suka berperang, menjatuhkan hukuman atas bangsa, suku bangsa, atau manusia justru mencurangi nilai holistik kemanusiaan.Tuhan lantas menjadi sangat kuno, rigoristik, banal, melegalkan segala cara termasuk sampai harus bersimbah darah. Dengan cara seperti ini justru Dia sendiri menurunkan derajat kemahakuasaannya. Mengakui keberadaan Tuhan-Tuhan lain. Alih-alih, menanggalkan atribut kemahabaikannya.

Whitehead, dalam filsafat prosesnya menggambarkan Tuhan itu selalu menjadi dan ikut berproses. Proses itu ditandai dengan daya mencintainya yang tiada terbatas. Sebegitu mencintainya Tuhan atas dunia dan segala isinya, Dia rela memberikan tempat di balik kemahakuasaannya itu untuk yang dicintainya. Dan oleh cintanya itu pula, Dia menarik diri sedemikian rupa sehingga manusia dan segala ciptaannya bisa bergerak secara bebas, sesuai dengan hati nuraninya. Dia seumpama sebuah kapal, dari sebuah awal keberangkatan menuju tujuan akhir, dan di atasnya manusia dan segala isinya bergerak seturut hati nuraninya. Dia sendiri mengikuti dinamika ombak dan cuaca. Ritme suka dan duka kehidupan manusia. Dia sepertinya luluh lantah di tengah bencana sekaligus memberikan harapan dan optimisme di tengah keluh kesah tak berdaya tersebut. Toh, Tuhan pun tidak pernah langsung mengadili manusia di tengah kehidupannya. Dengan serta merta menyatakan bahwa manusia itu sesat dalam perilaku dan tutur katanya. Dengan setia, Dia menunggu di sebuah akhir.

Karena itu, sangat tidak mungkin menafsir secara benar eksistensi Tuhan dengan menggunakan akal pikiran manusia. Pikiran yang terbatas justru membelenggu Tuhan hanya pada halaman-halaman kitab suci. Agama dan kitab suci hanya merupakan isu kecil di jagad semesta yang maha luas. Agama dengan satu perspektif belum cukup untuk menilai seberapa adil, bijak, baik, suci untuk sebuah dunia dengan tatanan yang luas ini. Perlu ada sinergi, seberapa jauh kita merangkum keberagaman dan universalitas. Karena itu, egoisme, fundamentalisme, konservatisme hanya akan membuat kita kesulitan menilai dunia, orang lain, dan diri sendiri. Malah akan tercebak dalam penghayatan agama yang salah kaprah. Bukan agama dan Tuhannya yang sesat, tetapi kita salah menilai dan menafsirkannya.

Mengembalikan kemahakuasaan Tuhan

Sejenak Nietzche menjadi pahlawan manusia. Artikulasi kematian Tuhan sepertinya menjadi penyelesaian yang terbaik untuk membebaskan keterpasungan manusia. Di hadapan Tuhan, manusia tidak bisa berbuat banyak. Malah Tuhan menjadi penjara besar untuk gerak maju manusia. Dengan cara membunuh Tuhan, manusia bisa menjadi Tuhan. Atau Superman.

Membayangkan ketiadaan Tuhan di wilayah ciptaan Nietzche sama saja dengan menghadirkan perpecahan dan konflik. Kejahatan justru menjadi mutlak. Yang dapat dibayangkan adalah munculnya tuhan-tuhan baru, superman-superman baru dengan klaim kebenaran, wilayah, dan penganutnya masing-masing. Tidak ada rasa ketakutan, ketaatan, dan moralitas universal. Masing-masing berhak dengan segala macam cara mempertahankan kebenarannya. Tidak ada hukum. Tidak ada kekuasaan yang langgeng. Tidak ada kata hormat menghormati, toleransi, dan cinta damai. Karena itu, sangatlah mendasar kalau Tuhan itu dikatakan maha kuasa. Dia itu Esa. Tuhan tidak bisa jamak. Menyerahkan dunia dan penyelenggaraannya pada Tuhan yang jamak justru menghadirkan kekacauan dan konflik yang tiada habisnya.

Pada kenyataannya, keberagaman agama di nusantara ini tidak perlu dianggap sebagai saingan. Agama-agama tidak pernah mencari Tuhan lain selain Tuhan yang Esa itu. Tidak ada Tuhan stock baru. Munculnya aliran kepercayaan baru adalah bagian dari cara menafsirkan kemahakuasaan Tuhan yang Esa itu. Kemahakuasaannya yang sedemikian rupa itu tidak bisa dilembagakan dengan sebuah format baku dan siap pakai. Dia senantiasa berproses di kedalaman hati nurani manusia. Mengambil bagian secara personal dan kontekstual sesuai dengan hati nurani manusia. Tuhan itu selalu mengambil tempat yang nyaman di dalam hati manusia.

Mengadili sikap dan keberimanan manusia sama saja dengan mengadili kemahakuasaan Tuhan. Sesekali kita perlu bersikap adil terhadap Tuhan dengan cara mengembalikan kemahakuasaannya. Menetralkan kedudukan Tuhan dengan mengatakan Tuhan itu tidak pernah memiliki agama. Membebaskan klaim kepemilikan agama atas Tuhan. Biarlah Dia yang adil menilai perbuatan manusia. Kita hanya perlu bersikap toleransi atas keberagaman ini.(*)

Selasa, 25 Maret 2008

NEOTRADISIONAL PERTANIAN



Penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menjadikan hasil panen petani berlipat ganda. Namun ongkos yang harus dibayar pun mahal. Bahkan bersifat jangka panjang, seperti yang dirasakan sekarang. Bahan kimia sintetik seperti pupuk justru malah merusak struktur kimia dan biologi tanah. Beberapa agen peptisida hayati, seperti predator pemakan hama terancam punah. Malah terjadi imunitas pada beberapa hama.

Neo-Tradisional

Vandana Shiva, dalam konferensi internasional yang diselengarakan FAO, memprediksikan bahwa dalam lima tahun ke depan dunia akan mengalami ketidakamanan pangan oleh karena penyimpangan pasar pertanian kimia. Subsidi untuk pertanian kimia telah mengorbankan sumber alami. Lebih jauh Juma Further mengatakan bahwa motor penggerak pertanian konvensional sekarang terletak pada subsidi dan support dana. Further mengkritik sikap negara-negara Barat menyediakan uang untuk subsidi pupuk, tetapi tidak untuk pertanian organik.

Kesadaran untuk kembali ke pertanian organik sebenarnya muncul bersamaan dengan kesadaran ekologis dan kesehatan. Pencemaran pupuk kimia, peptisida dengan dosis yang berlebihan berdampak terhadap turunnya kualitas lingkungan dan kesehatan manusia. Keluhan atas berbagai penyakit seperti stroke, penyempitan pembuluh darah, pengapuran justru bersumber dari pola makan. Dengan mudahnya logam-logam berat dalam peptisida kimia masuk ke dalam aliran darah konsumen. Bahkan sayuran yang menyehatkan itu, kini harus diwaspadai sebagai biang penyakit.

Nadia El-Hage Scialabba menggambarkan pertanian organik sebagai sistem pangan neo-tradisional yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan praktik pertanian tradisional. Pertanian ini memberi kontribusi penting pada keberlanjutan ketahanan pangan. Mencakup, pemenuhan nutrisi rumah tangga, berkontribusi pada situasi darurat peralihan pangan, dan pola makan sehat. Pertanian ini juga melayani kebutuhan nasional melalui pengembangan pedesaan dan menyediakan pelayanan lingkungan global. Termasuk di dalamnya mengurangi perubahan iklim (climate change).

IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) sendiri menekankan pertanian organik sebagai cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Dengan begitu, biodiversif siklus biologi dan aktivitas biologi tanah pelahan-lahan dapat dipulihkan. Dalam hal ini, penggunaan GMOs (Genetically Modified Organisme) tidak diperbolehkan dalam setiap tahapan pertanian organik, mulai dari produksi sampai pascapanen.

Nafas baru pertanian organik justru berkaitan erat dengan dunia penelitian. Petani tidak bisa lagi bergantung pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Cara-cara tradisional tersebut harus bersinggungan dengan uji coba berbasis ilmu pengetahuan. Mengandaikan pengenalan yang intens pada watak varietas unggul, tingkat kesuburan tanah, watak hama, dan dosis peptisida hayati yang benar. Alam sudah menyediakan segala hal. Termasuk solusi alami jenis pupuk dan obat tanaman. Tinggal bagaimana cara menemukannya.

Pertanian organik itu dapat terwujud kalau ada keterkaitan yang erat antara keanekaragaman hayati, pertanian ekologi, serta pengetahuan tradisional petani-petani di seluruh dunia. Tak pelak, pertanian organik dapat berkontribusi pada ketahanan pangan jika dikaitkan dengan budaya (wisdom local), hak atas tanah lokal, dan komunitas adat. Industrialisasi di bidang pertanian tidak boleh sampai meninggalkan bahkan memarginalkan komunitas adat. Karena itu, paradigma pertanian organik mesti juga menyentuh advokasi kebijakan untuk menggerakkan masyarakat adat dan petani kecil lokal. Termasuk di dalamnya, memikirkan keseimbangan antara ekspor impor pangan dan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Multikultur

Lahan pertanian organik adalah lahan yang bebas cemaran bahan agrokimia dari pupuk dan pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang dikonversi untuk lahan pertanian organik. Filosofinya multikultur.

Tanaman ditanam pada bedeng-bedeng dengan ukuran bervariasi disesuaikan dengan kondisi lahan. Di sekeliling bedeng di tanam strip rumput untuk mengurangi erosi. Dan di atas bedeng tersebut ditanami jenis tanaman tumpang sari. Seperti misalnya, lobak, bawang daun dengan kacang tanah dalam satu bedengan. Demi menjaga unsur hara, para petani perlu konsisten mengembalikan sisa panen/serasah tanaman ke dalam tanah (bentuk segar atau kompos). Juga dengan memberikan pupuk organik (pupuk hijau, pupuk kandang). Sistem pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menanam kenikir, kemangi, tephrosia, lavender, dan mimba di antara bedeng. Penanganan pascapanen dan pengawetan bahan pangan menggunakan cara-cara yang alami.
Teknologi Pertanian Organik

Masalah yang sering ditemui adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Teknologi penyiasatan masalah ini bertumpu pada peran mikroba tanah. Pertama, mikroba tanah itu berperan dalam mengikat dan mengubah unsur nitrogen (N) menjadi tersedia bagi tanaman. Kemudian mikroba-mikroba itu menjadi pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Mikroba juga berperan dalam mengendalikan organisme patogen. Ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya menjadikan tanah kehilangan mekanisme bela dirinya. Jika kondisi timpang ini dapat diseimbangkan populasinya, hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.

Contoh sederhana, kotoran kambing yang dicampur dengan urine binatang tersebut tidak kalah dibanding urea. Kotoran kambing tersebut dihaluskan kemudian dicampur dengan urinenya. Setelah dua hari, kotoran kambing dan urine tersebut siap disiramkan ke tanaman. Atau untuk ulat pemakan daun, misalnya dapat diatasi dengan ramuan nabati dari lagundi (vitex trifolia) seberat 5 ons, bawang putih 2 ons, lengkuas 3 ons, brotoali (tinospora tuberculata) 4 ons, pinang (areca catechu) 1 buah, dan urine kambing 1 liter.

Di sini menjadi jelaslah sikap FAO dengan memberi tempat penting pada pengetahuan dan sistem pertanian tradisional. Bahwa pengetahuan para petani di seluruh dunia itu tidak kalah dari para peneliti berbasis perguruan tinggi. Sekalipun dengan catatan, perlunya penelitian yang intens dan lebih lanjut!

Hasil Penelitian

David Pimentel, guru besar pertanian dari Cornell University, Amerika Serikat menyimpulkan, “Pertanian organik menawarkan kelebihan nyata untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai.” Panen jagung dan kedelai untuk pertanian organik sama banyaknya dengan pertanian konvensional. Namun pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan lebih.

Untuk dua tanaman pangan ini, pertanian organik tidak hanya menggunakan energi fosil 30 persen lebih sedikit tetapi juga mengkonservasi lebih banyak air di tanah, mengakibatkan lebih sedikit erosi tanah, memelihara kualitas tanah, dan mengkonservasi sumber daya biologi, dibandingkan dengan pertanian konvensional. Kenyataan lain menunjukkan, sistem pertanian organik menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global di dalam tanah. Menguntungkan untuk sisi ekologis.

Dr. Ir. Mesak Tombe, melalui rekayasa Biotriba berhasil menaikkan produktivitas hasil panen. Pada Jagung, tanpa kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 2,28 ton per ha. Dengan kompos namun tanpa Biotriba, produksinya 5,04 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 5,58 ton per ha. Pada Bawang Merah, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 14,83 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 21,14 ton per ha. Namun dengan kompos dan Biotriba, produksinya 23,97 ton per ha. Pada Petsai, tanpa kompos dan Biotriba, produksinya 3,42 ton per ha. Dengan kompos dan tanpa Biotriba, produksinya 8,79 ton per ha. Sedangkan dengan kompos dan Biotriba, produksinya menjadi 12,29 ton per ha.

Peluang dan Tantangan

Bertani organik perlu kesabaran serius. Tiga tahun pertama adalah masa transisi. Produksi akan turun. Kandungan hara pupuk organik jauh di bawah realis hara yang dihasilkan oleh pupuk anorganik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman (minimum crop requirement) cukup membuat petani kewalahan. Perlu biaya cukup untuk usaha konversi.

Produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan produk nonorganik di pasar konvensional. Rata-rata harganya sekitar 100–300 persen lebih mahal dibanding produk pertanian non-organik. Hal ini amatlah wajar. Produsen pertanian organik di dunia masih belum banyak. Tidak hanya untuk sayuran dan buah-buahan, pasar organik rempah di luar negeri pun terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Harganya bisa mencapai Rp 25.000 s.d Rp 28.000 per kg.

Kendalanya adalah mahalnya biaya sertifikasi. Mayoritas petani Indonesia bermodal kecil dan berlahan sempit. Namun, hal ini tidaklah menjadi masalah bila petani dalam satu wilayah atau daerah dapat berkoordinasi untuk melakukan sertifikasi berbentuk kelompok usaha bersama. Tentunya melibatkan peran pemerintah dan sektor swasta, baik sebagai penyedia sumber permodalan maupun pembuka akses pasar.

Untuk NTT, pertanian organik sangat cocok untuk lahan kering. Hal ini kurang lebih cocok dengan kondisi dan potensi lahan NTT. Perbandingan potensi lahan basah 127.271 ha lebih sedikit dari potensi lahan kering 1.528.306 ha, dan padang seluas 1.939.801 ha. Bahkan pada masa-masa kering, pertanian organik mampu menghasilkan panen sama banyaknya pada masa basah.

Stigma kemiskinan dengan segala parameternya seperti rawan pangan, kurang gizi dapat diatasi dengan budi daya pertanian organik. Petani dapat sekaligus menjadi produsen dan konsumen, petani dan peternak. Arah pemikiran pertama dan utama harus ditujukan pada suplai makanan yang sehat dan bergizi untuk populasi masyarakat NTT. Sambil tidak melupakan industrialisasi pertanian.

Kalau pilihannya demikian, pertanyaannya adalah, seberapa besar dukungan untuk penelitian dan pengembanan pertanian organik? Dapatkah petani-petani secara kontinu dan intens diberi kesempatan mengikuti pelatihan, penyuluhan, pendampingan berkaitan dengan pertanian organik?(*)

YESUS, TOKOH SENTRAL ITU MATI DI SALIB


Setelah perarakan meriah daun Palma dan Perjamuan Malam Terakhir, Yesus bergelut dengan penderitaan sampai wafat di Golgota. Tiga hari kemudian, Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di Galilea. Sebelum akhirnya muncul lagi karena ketidakpercayaan Thomas.


Visualisasi Penderitaan Salib

Kisah penyaliban, seperti visualisasi Mel Gibson dalam ”Passion of the Christ” tidak lebih merupakan penggambaran dua realitas: antara kekejaman dan penderitaan. Sulit untuk menerima penganiayaan Yesus tersebut dalam batas nalar manusia. Bahwa ada ketubuhan sebentuk manusia Yesus bisa bertahan terhadap segala macam deraan itu. Sampai-sampai, Goenawan Mohamad, dalam salah satu tulisan ”catatan pinggir”-nya menyatakan ”kehilangan arti kemanusiaan dan makna ketubuhannya,” berhadapan dengan visualisasi Gibson tersebut.

Cara baca lain yang ditawarkan Gibson adalah memandang kemanusiaan dan ketubuhan Yesus melalui spektrum penderitaan dan usaha untuk mencapai tujuan. Bahwa manusia Yesus tidak punya pilihan lain, nampak dalam perenungan Taman Zaitun, selain harus meminum ”cawan” penderitaan. Bahwa penderitaan menjadi ongkos atas nilai ketubuhan dan kemanusiaan yang sedang dipertaruhkan. Dan salib merupakan konsistensi dari rencana besar yang sudah dirintis-Nya sejak dari Ia dilahirkan. Salib dan penderitaan memenangkan rencana keselamatan. Sehingga Yesus menjadi manusia “istimewa”, manusia “super”, yang melampaui kemanusiaan dan ketubuhan biasa.

Lain lagi kontroversi “The Last Temptation of Christ” yang dinahkodai Martin Scorsese, adaptasi dari novel karya Kazantzakis. Jelang wafat-Nya di salib, Yesus digodai untuk turun, menjalani kehidupan seperti orang Yahudi biasanya. Aras utama visualisasi ini terletak pada porsi “godaan”, seperti ketika Ia digodai di padang gurun, di taman getzemani untuk keluar dari porsi cawan penderitaan dan salib. Bahwa Ia bisa saja menyelamatkan manusia tanpa salib, karena Ia adalah Allah. Toh, sangat gampang turun dari salib, membatalkan prosesi penderitaan itu, karena Ia adalah Putera Allah. Namun akhirnya, Ia tetap berseru, “Eloi, Eloi Lamasabaktani”, dan kemudian wafat di salib.

Salib, kekuasaan, dan Kerekanan

Bersebelahan dengan cerita salib, dominasi kekuasaan birokratis Yahudi, kaum intelektual dan cerdik pandai, seperti Kaum Farisi dan Ahli Taurat mengambil bentuk citraan lain. Penyaliban dilihat secara politis sebagai bentuk hukuman atas “penjahat politik.” Kemenangan Kaum Farisi dan Ahli Taurat adalah kemenangan melobi, diplomasi, di balik kekuasaan yang sentralistik. Ketokohan Yesus sebagai penjaga moral dan pemimpin sejuta umat dilihat sebagai ancaman atas kemapanan, “kemakmuran” tokoh-tokoh kalangan atas. Selain sebagai “tumbal” yang harus dikorbankan demi kesenangan kolosalium masyarakat Yahudi.

Pasa sisi yang sama, Yesus pun selalu tergoda ke arah itu. Catatan “The Last Temptation” menggambarkan hal tersebut. Secara sentralistik, Yesus bisa saja meninggalkan salib dan menyelamatkan manusia melalui popularitas, kekuasaan, dan materi. Ia adalah Allah, segala sesuatu tidak ada yang mustahil. Kenapa harus dengan cara “salib”? Ini inti pertanyaan Martin Scorsese, atau boleh dibilang “godaan”.

Sementara pikiran para murid pun rupanya masih sejalan dengan “godaan” ini. Bahwa mereka betul-betul kebingungan, merasa salib hanya sebagai kekalahan seorang Allah, melecehkan misi kerasulan yang sudah dipikul bersama selama karya mereka. Salib adalah penghinaan total atas kenabian mereka. Mereka melihat Yesus sebagai tokoh sentral, yang tanpa-Nya misi keselamatan itu sepertinya menjadi sia-sia. Tidak ada yang bisa menggantikan peran Yesus. Apa mau dikata, Sang Tokoh Sentral itu sudah Mati di Salib!

Sudah selesai! Kata-kata ini sebenarnya ditujukan bukan hanya untuk mengakhiri perjalanan salib itu, tetapi terutama ditujukan pada para rasul dan gereja. “Ami ba’a, ge ata walong! “ kata bijak orang Maumere. Karena itu, kematian Yesus adalah upaya membuka pintu komunikasi yang luas terhadap misi keselamatan. Karena keselamatan bukan upaya yang sentralistik. Tidak bergantung pada satu tokoh, mengecilkan bahkan merendahkan peran sejuta umat. Yesus katakan, “Waktu-Nya sudah selesai”, kini yang ada adalah waktu gereja, para rasul dan sejuta umat. Secara terang, salib mencerminkan karakter keselamatan gereja. Yaitu, bertumpu pada komunikasi humanis, pada pandangan yang positif terhadap peran subjek. Bukan pada tokoh atau “dewa palsu”.

Cerminan Mel Gibson penuh dengan metafora keselamatan intersubjektif ini. Seorang Ibu digambarkan selalu membayangi penderitaan mahaberat Yesus. Yohanes sebagai tipe pengambil inisiatif reflektif, yang hanya bisa berkomunikasi melalui tatapan dan berada di sisi paling dekat dengan Sang Bunda. Seorang penjahat di salib bahkan lebih dulu mengerti tentang arti transformasi ketubuhan di balik nilai kerekanan dalam perjalanan penyaliban. Sementara Simon dari Kirene dengan tegas menyatakan keberpihakannya pada Yesus. Merangkul, menguatkan, bahkan memanggul salib Yesus, sambil seolah-olah mengatakan: “Yesus, Golgota sebentar lagi sampai, tinggal sedikit lagi, mari, kita bergegas ke Golgota. Saya bantu.”

Penderitaan sebagai jalan terjal kehidupan terlalu melelahkan untuk ketubuhan manusia. Bahkan Yesus pun tidak mampu menampung keluh kesah-Nya dan bersandar pada kebundaan Maria. Bunda sendiri tidak mampu menampung pilu tangisnya, kemudian memasrahkan kepiluannya pada sosok Yohanes. Sementara Simon, memandang salib sebagai bagian dari kesehariannya. Dari kebun berlelah, ia seharusnya mengambil waktu istirahat. Daripada berlelah membantu seorang tersalib. Pilihan itu tidak ia ambil. Ruang hidup sebagai petani memberikan pembelajaran semesta berarti, bahwa penderitaan, antara darah dan keringat adalah bagian dari proses menuju kemenangan. Ketubuhan yang fragil, yang rapuh tidak menjadi alasan bermalas, menyerah, dan mundur. Mengalahkan kebutuhan dan fragilitas kemudian melampaui penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kemenangan. Simon pantas membantu Yesus. Karena ia maklum, manusia Yesus mesti mencapai kemenangan dengan melampaui ketubuhan itu.

Bagian terpenting dari penggalan ini adalah, ruang hidup keselamatan itu merupakan proses belajar bersama. Pada sebuah kerekanan, Yesus menunjukkan kerendahan hati untuk belajar dari kebijaksanaan Simon. Yesus tidak pernah memilih rekan-rekan belajar-Nya. Sama halnya juga ketika Ia memilih para rasul-Nya. Bagi Yesus, dalam proses belajar bersama dan komunikasi keselamatan, tidak ada “satu helai rambut pun yang lepas.” Itu berarti, setiap individu adalah tokoh, aktor dalam rencana keselamatan. Tidak ada tuan atau hamba, perempuan atau laki-laki, besar atau kecil. Semua unik, khas, dan berharga.

Pendekatan ini jelas berbeda dengan perspektif Kaum Farisi, Ahli Taurat, dan birokrat Yahudi. Keselamatan dan upaya kemakmuran itu dilihat secara sentralistik, sangat bergantung pada popularitas, kekuasaan, dan materi. Antara individu yang satu dan yang lainnya, tidak ada hubungan yang berarti, jika dan hanya jika individu itu menjadi subordinat dari hierarki kekuasaan yang dibangun. Koneksi komunikasi berlangsung secara liar dengan kecenderungan “makan dan dimakan”.

Kebangkitan: Kubur Kosong dan Galilea

Dari kaca mata para rasul, kebangkitan Yesus hanya dilihat sebatas kubur kosong. Lagi-lagi mereka kecewa. Kebangkitan-Nya itu tidak menyisakan ketubuhan, dalam bentuk yang bisa dilihat dan diraba. Cuma kubur kosong. Tetapi lantas, Ia memunculkan diri-Nya dalam tiga dimensi di Galilea. Pada perjalanan. Kemudian pada Thomas, si peragu itu.

Sia-sianya para murid sudah seharusnya dikuburkan pada kubur kosong. Pandangan yang optimistik seharusnya diarahkan ke Galilea. Pada kubur kosong, tidak ada kehidupan. Bahkan tanpa jenasah. Karena itu, kubur kosong tidak perlu dirayakan. Tidak pantas untuk dikenang. Atau dikunjungi. Kubur kosong sebaiknya dipandang sebagai ajakan untuk meninggalkan pesimisme, mudah menyerah, mengaku kalah, dan kegagalan. Yesus tidak bangkit untuk sebuah kubur kosong. Untuk sesuatu yang tidak ada isinya, tidak ada dinamika, dan ruang hidup. Karena itu, Yesus mengajak para rasul-Nya ke Galilea, ke pusat kehidupan yang sebenarnya, ke misi penjala manusia, dari kehidupan seorang petani, nelayan, pemungut cukai menuju aktor keselamatan. Karena itu, mesti disimpulkan bahwa kebangkitan Yesus itu ada di tengah kehidupan, dalam realitas nyata, dalam personifikasi “orang kecil” para rasul-Nya.

Dia sebagai penginisiatif dan dulunya adalah tokoh sentral, kini mengajak para rasul mengenang kembali kenabiannya sebagai aktor keselamatan di Galilea. Para rasul dan kehidupan di Galilea adalah tokoh sentralnya sekarang. Demikian pun peran gereja dan sejuta umat sekarang. Betapa rendah hatinya seorang Yesus, dan betapa mahakuasa Dia, sampai-sampai Ia rela mengecilkan diri-Nya untuk memberikan keleluasaan bagi para rasul, gereja, dan sejuta umat menjadi aktor dalam misi keselamatan tersebut. Karena itu pulalah, ketubuhan Yesus hanya bisa dilihat dan dirasakan di Galilea, pada kehidupan, pada partisipasi sejuta umat, “di mana dua tiga orang berkumpul, di situ Aku hadir”.

Sekali lagi, kebangkitan Yesus itu dirasakan setiap hari pada dimensi kehidupan manusia. Dalam sebuah perjalanan, proses, dinamika, dialog, ruang hidup. Ketidakpercayaan Thomas menjadi kerangka ketidakpercayaan dan ketidaksadaran kita pada kebangkitan Yesus dalam kehidupan nyata. Thomas masih memandang Yesus sebagai tokoh sentral dan mengharapkan transformasi ajaib dari kefanaannya menuju kemuliaan. Ia sendiri merendahkan dirinya, ruang hidup, dan dialog bersama rekan-rekannya. Ini bisa terjadi kalau refleksi atas penderitaan, dialog, kerekanan diabaikan, dipandang rendah, tidak ada nilainya. Kecuali oleh jamahan langsung Yesus. Kalau mata kita terbuka, sedikit mengecilkan diri kita seperti Yesus, membiarkan ruang hidup dan dialog kerekanan itu menguncupkan nilai dan spiritualitas, pada saat itulah kebangkitan itu menjadi nyata buat kita. Karena itu, mari menghargai ruang hidup, alam semesta, orang lain. Dan hiduplah dalam dialog selaras alam dan penuh kemanusiaan.(*)