Rabu, 26 Maret 2008

Mengembalikan Kemahakuasaan Tuhan


Beberapa waktu lalu, di Parung, Bogor sejumlah orang mengusir aktivitas perayaan paskah umat kristiani. Sebuah pertanyaan muncul di benak ketika menyaksikan pemeluk agama yang satu mengadili pemeluk agama lainnya di tanah air ini: Apakah di dunia ilahi, para Tuhan pun saling bertarung? Mungkinkah Tuhan berpikir untuk membumihanguskan pemeluk agama lain? Dan apakah Tuhan itu jamak?

Kesesatan Tuhan, agama, atau pemeluk

Sangat boleh jadi kemahakuasaan Tuhan itu ditafsirkan secara keliru dengan kemutlakan. Kemutlakan selalu berarti persis benar. Berarti pula, baik adanya. Karena itu, kemutlakan menandakan sebuah tatanan yang selalu benar. Ketika satu unsur sesat, kemutlakan itu serta merta runtuh. Ini terlalu riskan untuk arti kemahakuasaan Tuhan. Karena, pada saat kemutlakan itu gugur oleh sebuah kesesatan, kemahakuasaan Tuhan pun mengerut. Tuhan bisa saja dipersalahkan.

Kalau Tuhan salah, Ia tidak bisa dikatakan maha tahu. Tahu segalanya. Baik di masa lampau, masa kini, maupun masa depan. Dengan kecacatan seperti ini, bisa saja rencananya yang selalu “baik adanya” itu salah. Karena peluang kesesatan dari kemahakuasaan Tuhan itu bisa hadir sesewaktu. Tatatan dunia yang sempurna di bawah providentia ilahi pun patut dipertanyakan. Kekeliruan atas penciptaan dan penyelenggaraan ilahi bisa mengakibatkan dunia berjalan timpang. Menuju sebuah kesesatan.

Klaim antara yang sesat dan yang benar, antara yang jahat dan suci dari pemeluk agama seolah-olah membenarkan kesesatan Tuhan ini. Bahwa ada sebagian warga masyarakat di bumi nusantara ini yang berpihak pada Tuhan yang sesat dan sebagiannya lagi pada Tuhan yang suci. Dan seruan untuk memerangi para pemeluk dari Tuhan yang jahat itu seolah-olah datang dari perintah Tuhan yang suci.

Para Tuhan pun berperang. Lalu apakah pantas kalau Tuhan itu masih disebut Esa? Juga maha baik? Karena Tuhan yang suka berperang, menjatuhkan hukuman atas bangsa, suku bangsa, atau manusia justru mencurangi nilai holistik kemanusiaan.Tuhan lantas menjadi sangat kuno, rigoristik, banal, melegalkan segala cara termasuk sampai harus bersimbah darah. Dengan cara seperti ini justru Dia sendiri menurunkan derajat kemahakuasaannya. Mengakui keberadaan Tuhan-Tuhan lain. Alih-alih, menanggalkan atribut kemahabaikannya.

Whitehead, dalam filsafat prosesnya menggambarkan Tuhan itu selalu menjadi dan ikut berproses. Proses itu ditandai dengan daya mencintainya yang tiada terbatas. Sebegitu mencintainya Tuhan atas dunia dan segala isinya, Dia rela memberikan tempat di balik kemahakuasaannya itu untuk yang dicintainya. Dan oleh cintanya itu pula, Dia menarik diri sedemikian rupa sehingga manusia dan segala ciptaannya bisa bergerak secara bebas, sesuai dengan hati nuraninya. Dia seumpama sebuah kapal, dari sebuah awal keberangkatan menuju tujuan akhir, dan di atasnya manusia dan segala isinya bergerak seturut hati nuraninya. Dia sendiri mengikuti dinamika ombak dan cuaca. Ritme suka dan duka kehidupan manusia. Dia sepertinya luluh lantah di tengah bencana sekaligus memberikan harapan dan optimisme di tengah keluh kesah tak berdaya tersebut. Toh, Tuhan pun tidak pernah langsung mengadili manusia di tengah kehidupannya. Dengan serta merta menyatakan bahwa manusia itu sesat dalam perilaku dan tutur katanya. Dengan setia, Dia menunggu di sebuah akhir.

Karena itu, sangat tidak mungkin menafsir secara benar eksistensi Tuhan dengan menggunakan akal pikiran manusia. Pikiran yang terbatas justru membelenggu Tuhan hanya pada halaman-halaman kitab suci. Agama dan kitab suci hanya merupakan isu kecil di jagad semesta yang maha luas. Agama dengan satu perspektif belum cukup untuk menilai seberapa adil, bijak, baik, suci untuk sebuah dunia dengan tatanan yang luas ini. Perlu ada sinergi, seberapa jauh kita merangkum keberagaman dan universalitas. Karena itu, egoisme, fundamentalisme, konservatisme hanya akan membuat kita kesulitan menilai dunia, orang lain, dan diri sendiri. Malah akan tercebak dalam penghayatan agama yang salah kaprah. Bukan agama dan Tuhannya yang sesat, tetapi kita salah menilai dan menafsirkannya.

Mengembalikan kemahakuasaan Tuhan

Sejenak Nietzche menjadi pahlawan manusia. Artikulasi kematian Tuhan sepertinya menjadi penyelesaian yang terbaik untuk membebaskan keterpasungan manusia. Di hadapan Tuhan, manusia tidak bisa berbuat banyak. Malah Tuhan menjadi penjara besar untuk gerak maju manusia. Dengan cara membunuh Tuhan, manusia bisa menjadi Tuhan. Atau Superman.

Membayangkan ketiadaan Tuhan di wilayah ciptaan Nietzche sama saja dengan menghadirkan perpecahan dan konflik. Kejahatan justru menjadi mutlak. Yang dapat dibayangkan adalah munculnya tuhan-tuhan baru, superman-superman baru dengan klaim kebenaran, wilayah, dan penganutnya masing-masing. Tidak ada rasa ketakutan, ketaatan, dan moralitas universal. Masing-masing berhak dengan segala macam cara mempertahankan kebenarannya. Tidak ada hukum. Tidak ada kekuasaan yang langgeng. Tidak ada kata hormat menghormati, toleransi, dan cinta damai. Karena itu, sangatlah mendasar kalau Tuhan itu dikatakan maha kuasa. Dia itu Esa. Tuhan tidak bisa jamak. Menyerahkan dunia dan penyelenggaraannya pada Tuhan yang jamak justru menghadirkan kekacauan dan konflik yang tiada habisnya.

Pada kenyataannya, keberagaman agama di nusantara ini tidak perlu dianggap sebagai saingan. Agama-agama tidak pernah mencari Tuhan lain selain Tuhan yang Esa itu. Tidak ada Tuhan stock baru. Munculnya aliran kepercayaan baru adalah bagian dari cara menafsirkan kemahakuasaan Tuhan yang Esa itu. Kemahakuasaannya yang sedemikian rupa itu tidak bisa dilembagakan dengan sebuah format baku dan siap pakai. Dia senantiasa berproses di kedalaman hati nurani manusia. Mengambil bagian secara personal dan kontekstual sesuai dengan hati nurani manusia. Tuhan itu selalu mengambil tempat yang nyaman di dalam hati manusia.

Mengadili sikap dan keberimanan manusia sama saja dengan mengadili kemahakuasaan Tuhan. Sesekali kita perlu bersikap adil terhadap Tuhan dengan cara mengembalikan kemahakuasaannya. Menetralkan kedudukan Tuhan dengan mengatakan Tuhan itu tidak pernah memiliki agama. Membebaskan klaim kepemilikan agama atas Tuhan. Biarlah Dia yang adil menilai perbuatan manusia. Kita hanya perlu bersikap toleransi atas keberagaman ini.(*)

Tidak ada komentar: