
Setelah perarakan meriah daun Palma dan Perjamuan Malam Terakhir, Yesus bergelut dengan penderitaan sampai wafat di Golgota. Tiga hari kemudian, Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya di Galilea. Sebelum akhirnya muncul lagi karena ketidakpercayaan Thomas.
Visualisasi Penderitaan Salib
Kisah penyaliban, seperti visualisasi Mel Gibson dalam ”Passion of the Christ” tidak lebih merupakan penggambaran dua realitas: antara kekejaman dan penderitaan. Sulit untuk menerima penganiayaan Yesus tersebut dalam batas nalar manusia. Bahwa ada ketubuhan sebentuk manusia Yesus bisa bertahan terhadap segala macam deraan itu. Sampai-sampai, Goenawan Mohamad, dalam salah satu tulisan ”catatan pinggir”-nya menyatakan ”kehilangan arti kemanusiaan dan makna ketubuhannya,” berhadapan dengan visualisasi Gibson tersebut.
Cara baca lain yang ditawarkan Gibson adalah memandang kemanusiaan dan ketubuhan Yesus melalui spektrum penderitaan dan usaha untuk mencapai tujuan. Bahwa manusia Yesus tidak punya pilihan lain, nampak dalam perenungan Taman Zaitun, selain harus meminum ”cawan” penderitaan. Bahwa penderitaan menjadi ongkos atas nilai ketubuhan dan kemanusiaan yang sedang dipertaruhkan. Dan salib merupakan konsistensi dari rencana besar yang sudah dirintis-Nya sejak dari Ia dilahirkan. Salib dan penderitaan memenangkan rencana keselamatan. Sehingga Yesus menjadi manusia “istimewa”, manusia “super”, yang melampaui kemanusiaan dan ketubuhan biasa.
Lain lagi kontroversi “The Last Temptation of Christ” yang dinahkodai Martin Scorsese, adaptasi dari novel karya Kazantzakis. Jelang wafat-Nya di salib, Yesus digodai untuk turun, menjalani kehidupan seperti orang Yahudi biasanya. Aras utama visualisasi ini terletak pada porsi “godaan”, seperti ketika Ia digodai di padang gurun, di taman getzemani untuk keluar dari porsi cawan penderitaan dan salib. Bahwa Ia bisa saja menyelamatkan manusia tanpa salib, karena Ia adalah Allah. Toh, sangat gampang turun dari salib, membatalkan prosesi penderitaan itu, karena Ia adalah Putera Allah. Namun akhirnya, Ia tetap berseru, “Eloi, Eloi Lamasabaktani”, dan kemudian wafat di salib.
Salib, kekuasaan, dan Kerekanan
Bersebelahan dengan cerita salib, dominasi kekuasaan birokratis Yahudi, kaum intelektual dan cerdik pandai, seperti Kaum Farisi dan Ahli Taurat mengambil bentuk citraan lain. Penyaliban dilihat secara politis sebagai bentuk hukuman atas “penjahat politik.” Kemenangan Kaum Farisi dan Ahli Taurat adalah kemenangan melobi, diplomasi, di balik kekuasaan yang sentralistik. Ketokohan Yesus sebagai penjaga moral dan pemimpin sejuta umat dilihat sebagai ancaman atas kemapanan, “kemakmuran” tokoh-tokoh kalangan atas. Selain sebagai “tumbal” yang harus dikorbankan demi kesenangan kolosalium masyarakat Yahudi.
Pasa sisi yang sama, Yesus pun selalu tergoda ke arah itu. Catatan “The Last Temptation” menggambarkan hal tersebut. Secara sentralistik, Yesus bisa saja meninggalkan salib dan menyelamatkan manusia melalui popularitas, kekuasaan, dan materi. Ia adalah Allah, segala sesuatu tidak ada yang mustahil. Kenapa harus dengan cara “salib”? Ini inti pertanyaan Martin Scorsese, atau boleh dibilang “godaan”.
Sementara pikiran para murid pun rupanya masih sejalan dengan “godaan” ini. Bahwa mereka betul-betul kebingungan, merasa salib hanya sebagai kekalahan seorang Allah, melecehkan misi kerasulan yang sudah dipikul bersama selama karya mereka. Salib adalah penghinaan total atas kenabian mereka. Mereka melihat Yesus sebagai tokoh sentral, yang tanpa-Nya misi keselamatan itu sepertinya menjadi sia-sia. Tidak ada yang bisa menggantikan peran Yesus. Apa mau dikata, Sang Tokoh Sentral itu sudah Mati di Salib!
Sudah selesai! Kata-kata ini sebenarnya ditujukan bukan hanya untuk mengakhiri perjalanan salib itu, tetapi terutama ditujukan pada para rasul dan gereja. “Ami ba’a, ge ata walong! “ kata bijak orang Maumere. Karena itu, kematian Yesus adalah upaya membuka pintu komunikasi yang luas terhadap misi keselamatan. Karena keselamatan bukan upaya yang sentralistik. Tidak bergantung pada satu tokoh, mengecilkan bahkan merendahkan peran sejuta umat. Yesus katakan, “Waktu-Nya sudah selesai”, kini yang ada adalah waktu gereja, para rasul dan sejuta umat. Secara terang, salib mencerminkan karakter keselamatan gereja. Yaitu, bertumpu pada komunikasi humanis, pada pandangan yang positif terhadap peran subjek. Bukan pada tokoh atau “dewa palsu”.
Cerminan Mel Gibson penuh dengan metafora keselamatan intersubjektif ini. Seorang Ibu digambarkan selalu membayangi penderitaan mahaberat Yesus. Yohanes sebagai tipe pengambil inisiatif reflektif, yang hanya bisa berkomunikasi melalui tatapan dan berada di sisi paling dekat dengan Sang Bunda. Seorang penjahat di salib bahkan lebih dulu mengerti tentang arti transformasi ketubuhan di balik nilai kerekanan dalam perjalanan penyaliban. Sementara Simon dari Kirene dengan tegas menyatakan keberpihakannya pada Yesus. Merangkul, menguatkan, bahkan memanggul salib Yesus, sambil seolah-olah mengatakan: “Yesus, Golgota sebentar lagi sampai, tinggal sedikit lagi, mari, kita bergegas ke Golgota. Saya bantu.”
Penderitaan sebagai jalan terjal kehidupan terlalu melelahkan untuk ketubuhan manusia. Bahkan Yesus pun tidak mampu menampung keluh kesah-Nya dan bersandar pada kebundaan Maria. Bunda sendiri tidak mampu menampung pilu tangisnya, kemudian memasrahkan kepiluannya pada sosok Yohanes. Sementara Simon, memandang salib sebagai bagian dari kesehariannya. Dari kebun berlelah, ia seharusnya mengambil waktu istirahat. Daripada berlelah membantu seorang tersalib. Pilihan itu tidak ia ambil. Ruang hidup sebagai petani memberikan pembelajaran semesta berarti, bahwa penderitaan, antara darah dan keringat adalah bagian dari proses menuju kemenangan. Ketubuhan yang fragil, yang rapuh tidak menjadi alasan bermalas, menyerah, dan mundur. Mengalahkan kebutuhan dan fragilitas kemudian melampaui penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kemenangan. Simon pantas membantu Yesus. Karena ia maklum, manusia Yesus mesti mencapai kemenangan dengan melampaui ketubuhan itu.
Bagian terpenting dari penggalan ini adalah, ruang hidup keselamatan itu merupakan proses belajar bersama. Pada sebuah kerekanan, Yesus menunjukkan kerendahan hati untuk belajar dari kebijaksanaan Simon. Yesus tidak pernah memilih rekan-rekan belajar-Nya. Sama halnya juga ketika Ia memilih para rasul-Nya. Bagi Yesus, dalam proses belajar bersama dan komunikasi keselamatan, tidak ada “satu helai rambut pun yang lepas.” Itu berarti, setiap individu adalah tokoh, aktor dalam rencana keselamatan. Tidak ada tuan atau hamba, perempuan atau laki-laki, besar atau kecil. Semua unik, khas, dan berharga.
Pendekatan ini jelas berbeda dengan perspektif Kaum Farisi, Ahli Taurat, dan birokrat Yahudi. Keselamatan dan upaya kemakmuran itu dilihat secara sentralistik, sangat bergantung pada popularitas, kekuasaan, dan materi. Antara individu yang satu dan yang lainnya, tidak ada hubungan yang berarti, jika dan hanya jika individu itu menjadi subordinat dari hierarki kekuasaan yang dibangun. Koneksi komunikasi berlangsung secara liar dengan kecenderungan “makan dan dimakan”.
Kebangkitan: Kubur Kosong dan Galilea
Dari kaca mata para rasul, kebangkitan Yesus hanya dilihat sebatas kubur kosong. Lagi-lagi mereka kecewa. Kebangkitan-Nya itu tidak menyisakan ketubuhan, dalam bentuk yang bisa dilihat dan diraba. Cuma kubur kosong. Tetapi lantas, Ia memunculkan diri-Nya dalam tiga dimensi di Galilea. Pada perjalanan. Kemudian pada Thomas, si peragu itu.
Sia-sianya para murid sudah seharusnya dikuburkan pada kubur kosong. Pandangan yang optimistik seharusnya diarahkan ke Galilea. Pada kubur kosong, tidak ada kehidupan. Bahkan tanpa jenasah. Karena itu, kubur kosong tidak perlu dirayakan. Tidak pantas untuk dikenang. Atau dikunjungi. Kubur kosong sebaiknya dipandang sebagai ajakan untuk meninggalkan pesimisme, mudah menyerah, mengaku kalah, dan kegagalan. Yesus tidak bangkit untuk sebuah kubur kosong. Untuk sesuatu yang tidak ada isinya, tidak ada dinamika, dan ruang hidup. Karena itu, Yesus mengajak para rasul-Nya ke Galilea, ke pusat kehidupan yang sebenarnya, ke misi penjala manusia, dari kehidupan seorang petani, nelayan, pemungut cukai menuju aktor keselamatan. Karena itu, mesti disimpulkan bahwa kebangkitan Yesus itu ada di tengah kehidupan, dalam realitas nyata, dalam personifikasi “orang kecil” para rasul-Nya.
Dia sebagai penginisiatif dan dulunya adalah tokoh sentral, kini mengajak para rasul mengenang kembali kenabiannya sebagai aktor keselamatan di Galilea. Para rasul dan kehidupan di Galilea adalah tokoh sentralnya sekarang. Demikian pun peran gereja dan sejuta umat sekarang. Betapa rendah hatinya seorang Yesus, dan betapa mahakuasa Dia, sampai-sampai Ia rela mengecilkan diri-Nya untuk memberikan keleluasaan bagi para rasul, gereja, dan sejuta umat menjadi aktor dalam misi keselamatan tersebut. Karena itu pulalah, ketubuhan Yesus hanya bisa dilihat dan dirasakan di Galilea, pada kehidupan, pada partisipasi sejuta umat, “di mana dua tiga orang berkumpul, di situ Aku hadir”.
Sekali lagi, kebangkitan Yesus itu dirasakan setiap hari pada dimensi kehidupan manusia. Dalam sebuah perjalanan, proses, dinamika, dialog, ruang hidup. Ketidakpercayaan Thomas menjadi kerangka ketidakpercayaan dan ketidaksadaran kita pada kebangkitan Yesus dalam kehidupan nyata. Thomas masih memandang Yesus sebagai tokoh sentral dan mengharapkan transformasi ajaib dari kefanaannya menuju kemuliaan. Ia sendiri merendahkan dirinya, ruang hidup, dan dialog bersama rekan-rekannya. Ini bisa terjadi kalau refleksi atas penderitaan, dialog, kerekanan diabaikan, dipandang rendah, tidak ada nilainya. Kecuali oleh jamahan langsung Yesus. Kalau mata kita terbuka, sedikit mengecilkan diri kita seperti Yesus, membiarkan ruang hidup dan dialog kerekanan itu menguncupkan nilai dan spiritualitas, pada saat itulah kebangkitan itu menjadi nyata buat kita. Karena itu, mari menghargai ruang hidup, alam semesta, orang lain. Dan hiduplah dalam dialog selaras alam dan penuh kemanusiaan.(*)
Visualisasi Penderitaan Salib
Kisah penyaliban, seperti visualisasi Mel Gibson dalam ”Passion of the Christ” tidak lebih merupakan penggambaran dua realitas: antara kekejaman dan penderitaan. Sulit untuk menerima penganiayaan Yesus tersebut dalam batas nalar manusia. Bahwa ada ketubuhan sebentuk manusia Yesus bisa bertahan terhadap segala macam deraan itu. Sampai-sampai, Goenawan Mohamad, dalam salah satu tulisan ”catatan pinggir”-nya menyatakan ”kehilangan arti kemanusiaan dan makna ketubuhannya,” berhadapan dengan visualisasi Gibson tersebut.
Cara baca lain yang ditawarkan Gibson adalah memandang kemanusiaan dan ketubuhan Yesus melalui spektrum penderitaan dan usaha untuk mencapai tujuan. Bahwa manusia Yesus tidak punya pilihan lain, nampak dalam perenungan Taman Zaitun, selain harus meminum ”cawan” penderitaan. Bahwa penderitaan menjadi ongkos atas nilai ketubuhan dan kemanusiaan yang sedang dipertaruhkan. Dan salib merupakan konsistensi dari rencana besar yang sudah dirintis-Nya sejak dari Ia dilahirkan. Salib dan penderitaan memenangkan rencana keselamatan. Sehingga Yesus menjadi manusia “istimewa”, manusia “super”, yang melampaui kemanusiaan dan ketubuhan biasa.
Lain lagi kontroversi “The Last Temptation of Christ” yang dinahkodai Martin Scorsese, adaptasi dari novel karya Kazantzakis. Jelang wafat-Nya di salib, Yesus digodai untuk turun, menjalani kehidupan seperti orang Yahudi biasanya. Aras utama visualisasi ini terletak pada porsi “godaan”, seperti ketika Ia digodai di padang gurun, di taman getzemani untuk keluar dari porsi cawan penderitaan dan salib. Bahwa Ia bisa saja menyelamatkan manusia tanpa salib, karena Ia adalah Allah. Toh, sangat gampang turun dari salib, membatalkan prosesi penderitaan itu, karena Ia adalah Putera Allah. Namun akhirnya, Ia tetap berseru, “Eloi, Eloi Lamasabaktani”, dan kemudian wafat di salib.
Salib, kekuasaan, dan Kerekanan
Bersebelahan dengan cerita salib, dominasi kekuasaan birokratis Yahudi, kaum intelektual dan cerdik pandai, seperti Kaum Farisi dan Ahli Taurat mengambil bentuk citraan lain. Penyaliban dilihat secara politis sebagai bentuk hukuman atas “penjahat politik.” Kemenangan Kaum Farisi dan Ahli Taurat adalah kemenangan melobi, diplomasi, di balik kekuasaan yang sentralistik. Ketokohan Yesus sebagai penjaga moral dan pemimpin sejuta umat dilihat sebagai ancaman atas kemapanan, “kemakmuran” tokoh-tokoh kalangan atas. Selain sebagai “tumbal” yang harus dikorbankan demi kesenangan kolosalium masyarakat Yahudi.
Pasa sisi yang sama, Yesus pun selalu tergoda ke arah itu. Catatan “The Last Temptation” menggambarkan hal tersebut. Secara sentralistik, Yesus bisa saja meninggalkan salib dan menyelamatkan manusia melalui popularitas, kekuasaan, dan materi. Ia adalah Allah, segala sesuatu tidak ada yang mustahil. Kenapa harus dengan cara “salib”? Ini inti pertanyaan Martin Scorsese, atau boleh dibilang “godaan”.
Sementara pikiran para murid pun rupanya masih sejalan dengan “godaan” ini. Bahwa mereka betul-betul kebingungan, merasa salib hanya sebagai kekalahan seorang Allah, melecehkan misi kerasulan yang sudah dipikul bersama selama karya mereka. Salib adalah penghinaan total atas kenabian mereka. Mereka melihat Yesus sebagai tokoh sentral, yang tanpa-Nya misi keselamatan itu sepertinya menjadi sia-sia. Tidak ada yang bisa menggantikan peran Yesus. Apa mau dikata, Sang Tokoh Sentral itu sudah Mati di Salib!
Sudah selesai! Kata-kata ini sebenarnya ditujukan bukan hanya untuk mengakhiri perjalanan salib itu, tetapi terutama ditujukan pada para rasul dan gereja. “Ami ba’a, ge ata walong! “ kata bijak orang Maumere. Karena itu, kematian Yesus adalah upaya membuka pintu komunikasi yang luas terhadap misi keselamatan. Karena keselamatan bukan upaya yang sentralistik. Tidak bergantung pada satu tokoh, mengecilkan bahkan merendahkan peran sejuta umat. Yesus katakan, “Waktu-Nya sudah selesai”, kini yang ada adalah waktu gereja, para rasul dan sejuta umat. Secara terang, salib mencerminkan karakter keselamatan gereja. Yaitu, bertumpu pada komunikasi humanis, pada pandangan yang positif terhadap peran subjek. Bukan pada tokoh atau “dewa palsu”.
Cerminan Mel Gibson penuh dengan metafora keselamatan intersubjektif ini. Seorang Ibu digambarkan selalu membayangi penderitaan mahaberat Yesus. Yohanes sebagai tipe pengambil inisiatif reflektif, yang hanya bisa berkomunikasi melalui tatapan dan berada di sisi paling dekat dengan Sang Bunda. Seorang penjahat di salib bahkan lebih dulu mengerti tentang arti transformasi ketubuhan di balik nilai kerekanan dalam perjalanan penyaliban. Sementara Simon dari Kirene dengan tegas menyatakan keberpihakannya pada Yesus. Merangkul, menguatkan, bahkan memanggul salib Yesus, sambil seolah-olah mengatakan: “Yesus, Golgota sebentar lagi sampai, tinggal sedikit lagi, mari, kita bergegas ke Golgota. Saya bantu.”
Penderitaan sebagai jalan terjal kehidupan terlalu melelahkan untuk ketubuhan manusia. Bahkan Yesus pun tidak mampu menampung keluh kesah-Nya dan bersandar pada kebundaan Maria. Bunda sendiri tidak mampu menampung pilu tangisnya, kemudian memasrahkan kepiluannya pada sosok Yohanes. Sementara Simon, memandang salib sebagai bagian dari kesehariannya. Dari kebun berlelah, ia seharusnya mengambil waktu istirahat. Daripada berlelah membantu seorang tersalib. Pilihan itu tidak ia ambil. Ruang hidup sebagai petani memberikan pembelajaran semesta berarti, bahwa penderitaan, antara darah dan keringat adalah bagian dari proses menuju kemenangan. Ketubuhan yang fragil, yang rapuh tidak menjadi alasan bermalas, menyerah, dan mundur. Mengalahkan kebutuhan dan fragilitas kemudian melampaui penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kemenangan. Simon pantas membantu Yesus. Karena ia maklum, manusia Yesus mesti mencapai kemenangan dengan melampaui ketubuhan itu.
Bagian terpenting dari penggalan ini adalah, ruang hidup keselamatan itu merupakan proses belajar bersama. Pada sebuah kerekanan, Yesus menunjukkan kerendahan hati untuk belajar dari kebijaksanaan Simon. Yesus tidak pernah memilih rekan-rekan belajar-Nya. Sama halnya juga ketika Ia memilih para rasul-Nya. Bagi Yesus, dalam proses belajar bersama dan komunikasi keselamatan, tidak ada “satu helai rambut pun yang lepas.” Itu berarti, setiap individu adalah tokoh, aktor dalam rencana keselamatan. Tidak ada tuan atau hamba, perempuan atau laki-laki, besar atau kecil. Semua unik, khas, dan berharga.
Pendekatan ini jelas berbeda dengan perspektif Kaum Farisi, Ahli Taurat, dan birokrat Yahudi. Keselamatan dan upaya kemakmuran itu dilihat secara sentralistik, sangat bergantung pada popularitas, kekuasaan, dan materi. Antara individu yang satu dan yang lainnya, tidak ada hubungan yang berarti, jika dan hanya jika individu itu menjadi subordinat dari hierarki kekuasaan yang dibangun. Koneksi komunikasi berlangsung secara liar dengan kecenderungan “makan dan dimakan”.
Kebangkitan: Kubur Kosong dan Galilea
Dari kaca mata para rasul, kebangkitan Yesus hanya dilihat sebatas kubur kosong. Lagi-lagi mereka kecewa. Kebangkitan-Nya itu tidak menyisakan ketubuhan, dalam bentuk yang bisa dilihat dan diraba. Cuma kubur kosong. Tetapi lantas, Ia memunculkan diri-Nya dalam tiga dimensi di Galilea. Pada perjalanan. Kemudian pada Thomas, si peragu itu.
Sia-sianya para murid sudah seharusnya dikuburkan pada kubur kosong. Pandangan yang optimistik seharusnya diarahkan ke Galilea. Pada kubur kosong, tidak ada kehidupan. Bahkan tanpa jenasah. Karena itu, kubur kosong tidak perlu dirayakan. Tidak pantas untuk dikenang. Atau dikunjungi. Kubur kosong sebaiknya dipandang sebagai ajakan untuk meninggalkan pesimisme, mudah menyerah, mengaku kalah, dan kegagalan. Yesus tidak bangkit untuk sebuah kubur kosong. Untuk sesuatu yang tidak ada isinya, tidak ada dinamika, dan ruang hidup. Karena itu, Yesus mengajak para rasul-Nya ke Galilea, ke pusat kehidupan yang sebenarnya, ke misi penjala manusia, dari kehidupan seorang petani, nelayan, pemungut cukai menuju aktor keselamatan. Karena itu, mesti disimpulkan bahwa kebangkitan Yesus itu ada di tengah kehidupan, dalam realitas nyata, dalam personifikasi “orang kecil” para rasul-Nya.
Dia sebagai penginisiatif dan dulunya adalah tokoh sentral, kini mengajak para rasul mengenang kembali kenabiannya sebagai aktor keselamatan di Galilea. Para rasul dan kehidupan di Galilea adalah tokoh sentralnya sekarang. Demikian pun peran gereja dan sejuta umat sekarang. Betapa rendah hatinya seorang Yesus, dan betapa mahakuasa Dia, sampai-sampai Ia rela mengecilkan diri-Nya untuk memberikan keleluasaan bagi para rasul, gereja, dan sejuta umat menjadi aktor dalam misi keselamatan tersebut. Karena itu pulalah, ketubuhan Yesus hanya bisa dilihat dan dirasakan di Galilea, pada kehidupan, pada partisipasi sejuta umat, “di mana dua tiga orang berkumpul, di situ Aku hadir”.
Sekali lagi, kebangkitan Yesus itu dirasakan setiap hari pada dimensi kehidupan manusia. Dalam sebuah perjalanan, proses, dinamika, dialog, ruang hidup. Ketidakpercayaan Thomas menjadi kerangka ketidakpercayaan dan ketidaksadaran kita pada kebangkitan Yesus dalam kehidupan nyata. Thomas masih memandang Yesus sebagai tokoh sentral dan mengharapkan transformasi ajaib dari kefanaannya menuju kemuliaan. Ia sendiri merendahkan dirinya, ruang hidup, dan dialog bersama rekan-rekannya. Ini bisa terjadi kalau refleksi atas penderitaan, dialog, kerekanan diabaikan, dipandang rendah, tidak ada nilainya. Kecuali oleh jamahan langsung Yesus. Kalau mata kita terbuka, sedikit mengecilkan diri kita seperti Yesus, membiarkan ruang hidup dan dialog kerekanan itu menguncupkan nilai dan spiritualitas, pada saat itulah kebangkitan itu menjadi nyata buat kita. Karena itu, mari menghargai ruang hidup, alam semesta, orang lain. Dan hiduplah dalam dialog selaras alam dan penuh kemanusiaan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar