Kamis, 27 Maret 2008

PLTP di FLORES: Mimpi Kali Ya!


Tahun 2004, masalah kelistrikan di Ngada ditampik secara optimistik oleh Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DESDM). “Mataloko Menuju Terang 2004”. Jargon ini berawal dari hasil riset lima tahun. Bahwa uap kering berentalpi tinggi dari reservoir dominasi uap dapat diproduksi di sumur bor Mataloko. 2X2,5 MWe sudah cukup untuk menghadirkan sebuah PLTP untuk Mataloko, Ngada, dan Nagekeo.

Hal senada pun dipentalkan untuk telinga masyarakat Kabupaten Ende dan Manggarai. PLTP Mutubusa, di Desa Sokaria dapat menghasilkan daya 5 MW. Selain PLTP Mutubusa, ada juga PLTU berkapasitas 2 x 15 MW, di Ropa, PLTM Ndungga (2 x 0,9 MW), dan PLTP Ulumbu (3 x 3 MW) di Manggarai.

Namun apa boleh buat. Kesan optimistik itu perlahan-lahan tergerus oleh waktu. Nadanya semakin minor. Sangat pesimistik. Lokasi telanjang daerah eksplorasi itu hanya menyisakan “notice”, tidak boleh berada dekat di lokasi rawan longsor itu. Sementara di Mataloko sendiri, aktivitas para eksplorer berhenti total. Masyarakat hanya bisa menikmati semburan gas berbau belerang. Tapi tidak melihat satu pun PLTP yang dibangun di situ. Padahal tanah sudah dibebaskan (baca: direlakan). Mata pencaharian sudah diambil.

Terang atau Gelap

Dari “Mataloko Menuju Terang”, kini justru “Ngada Menuju Gelap”. Ketergantungan masyarakat terhadap listrik tenaga diesel yang seratus persen itu membuat mereka takluk. Satu PLTD dengan hanya 4.500 kilowatt tidak cukup untuk menerangi semua kecamatan. Beban puncaknya bisa mencapai 3.700 kilowatt. Karena itu, wajar kalau dari 14 kecamatan yang ada, 4 kecamatan masih harus gelap gulita (baca: tidak dialiri listrik). Kapasitas sebesar itu praktis hanya mampu mencapai rasio elekrifikasi sebesar 38,25%. Dihitung dari jumlah pelanggan 12.454 dibandingkan dengan 222.849 jumlah penduduk. Hanya sekitar 51,45% (89) desa yang teraliri listrik.

Drama ”Terang Gelap” itu pun terjadi di Kabupaten Ende. Desa berlistrik di Ende baru mencapai 49,76 % dari 211 desa/kelurahan. Ada 105 desa masih belum tersentuh. Daya mampu listrik di Ende hanya 3.850 KW, sementara beban puncaknya 5.598 KW. Kekurangan daya kurang lebih sekitar 1.748 KW.
PLN pun tidak mampu mungkin mengelak dari “dosa” mesin diesel. Beban operasional yang tinggi. Mahalnya bahan bakar diesel. Turunnya efisiensi mesin. Kurang lebih tiga jam. Dua kali seminggu. Ngada dan Ende, juga daerah-daerah lain di daratan Flores harus rela listriknya padam. Sengaja dipadamkan supaya tidak terjadi overloud. PLN dan masyarakat sama-sama tidak ada pilihan. Demikian pun berbagai peralatan elektronik. Kalau tidak mau mesin diesel itu benar-benar “matot” alias mati total. Dan warga harus kembali ke generasi lampu pelita.

Substansi masalah

Harapan optimistik memang pernah bahkan masih disandarkan pada nasib sumur-sumur bor tersebut. Namun rupanya Flores kembali harus berkutat dengan masalah klasik namun sangat urgent. Yaitu kepada siapa eksplorasi itu harus dibebankan? Atau bagaimana dengan cost recoverynya? Itu artinya nasib sumur-sumur bos itu sangat ditentukan oleh tender. Sementara iklim investasi untuk listrik geothermal ini dinilai belum bisa menarik investor.
Substansi masalahnya ada pada pertarungan antara biaya investasi dan hasil produksi dibandingkan dengan potensi panas bumi itu sendiri. Kondisi sumur-sumur bor di Flores itu bervariasi. Satu lapangan (field) eksplorasi bisa berbeda karakteristik dan kandungan gas pada sumur-sumurnya. Pilihan untuk mengoptimalkan produksi dari potensi yang ada itu memerlukan biaya yang sangat tinggi. Sumur-sumur boleh dibor tapi tidak semua berproduksi bagus. Gali lobang tutup lobang!

Investor jelas memilih menunggu sikap pemerintah. Apakah pemerintah bisa memberikan insentif yang menarik untuk investasi geothermal pada lapangan yang cukup sulit itu? Misalnya dengan cost recovery no limit, keringanan pajak, bea masuk barang, royalti, selisih biaya produksi dan harga jual yang bagus. Bagaimana dengan instalasi power plantnya? Potensi yang besar belum tentu bisa menarik investor kalau kondisi medannya sulit. Butuh biaya untuk pemasangan dan maintenance-nya.

Kemendesakan

Sangat disayangkan kalau akhirnya sumur-sumur bor di Flores itu tak berbekas. Bukan semata-mata karena tanah-tanah itu sudah dinormalisasi dari kepemilikan privat penduduk, tetapi terutama pada alasan kemendesakannya. Pertama, gencarnya berbagai eksplorasi berbasis energi alternatif, seperti panas bumi, air, angin, tenaga matahari membuktikan cadangan energi Indonesia di ambang krisis. Ketergantungan pada minyak yang tak terbarukan menyebabkan tersedotnya APBN dan APBD pada konsentrasi penyediaan pasokan minyak. Kita perlu berhenti berpikir bahwa Indonesia itu kaya sumber alamnya. Produksi minyak kita terus menurun dari tahun ke tahun. Kita di pihak mengimport minyak. Sangat terasa sekarang. Langkanya minyak tanah adalah bagian dari krisis tersebut. Pelita berbasis bahan bakar minyak sudah bukan pilihan terbaik.

Kedua, global warning adalah bagian dari keprihatinan kita. Namun atas cara tertentu kita pun turut menyumbangkan runtuhnya iklim yang ramah atas kehidupan. Akibatnya, dunia huni kita sepertinya sedang mengadili kita. Ancaman itu bukan lagi sebuah ramalan. Tetapi terjadi persis di depan mata kita. Kalau langkah jangka panjang tidak segera ditempuh, kita justru akan terus diadili alam huni kita. Salah satunya adalah dengan menggunakan energi alternatif yang ramah lingkungan. Seperti energi listrik tenaga air, panas bumi, angin, atau matahari. Kalau demikian pilihan kita. Hanya satu yang harus dilakukan, yaitu konservasi lingkungan alam. Pilihan menjaga dan melestarikan keseimbangan alam harus sudah menjadi keberpihakan semua orang.

Ketiga, kecemburuan pada kota-kota besar dan maju selalu saja menjadi alasan yang selalu dihelatkan. Kita lupa akan sejarah tumbuh kembang kota-kota besar dan maju itu. Tidak pernah berawal dari sebuah mimpi muluk. Mimpi semalam suntuk. Ketakutan pada kapitalisme dan neoliberalisme dengan masuknya para investor menjadi gaung yang begitu membahana. Mungkin juga bersumber pada pikiran yang sangat tradisional. Yaitu ”takut orang lain kaya”. Sambil bersembunyi pada kenyataan marginalisasi kepentingan publik dan rakyat miskin. Namun pola pikir kita semestinya bergeser lebih bijak. Keseimbangan ekonomi tidak bisa diukur dengan mengeluarkan ongkos sekecil-kecilnya. Atau seturut takaran dacing, fifty fifty. Akumulasi duit selalu memakmurkan segelintir orang. Tetapi ongkos yang seimbang atas ukuran tersebut mestinya dicari pada nilai utilitasnya. Seberapa bergunanya ongkos yang sudah dikeluarkan itu untuk sekian banyak orang. Untuk generasi yang akan datang. Untuk iklim dan lingkungan. Untuk biaya produksi yang lebih murah. Beban hidup yang lebih ringan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa ya di Flores tidak (jarang) ada pabriknya? Kenapa perusahaan dengan skala besar belum ada di Flores? Kenapa UGM, UI, Atmajaya belum mau membuka cabangnya di Flores? Kenapa sampai sekarang akses internet kok macet terus? Kenapa harus terus menerus bertumpu pada pegawai negeri? Kenapa harus kuliah ke Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta? Salah satu alasannya (mungkin) adalah voltase listrik kita belum siap ke arah itu. Kota besar dan maju adalah kota jaringan. Termasuk jaringan listrik terpadu.

Kalau begitu, mau merugi sekali untuk manfaat di jangka panjang, atau terus merugi (sampai ke bulu-bulu) sepanjang akhir hayat. Kembali pada pilihan pemerintah dan masyarakat Flores.(*)

Tidak ada komentar: