Selasa, 19 Oktober 2010

Upahmu Besar di Surga

Berhadapan dengan penderitaan dan keluh kesah tak berdaya umat, Gereja di Flores seringkali menghibur, ‘upahmu besar di surga.’ Gereja pun melitanikan posisi orang kaya yang seolah-olah tidak mendapat tempat di hati Sang Guru. Bahwa orang kaya itu susah masuk surga (Mat 19:23), sebaliknya orang miskin memiliki kerajaan surga (Mat 5:3). Sang Guru memuji janda miskin yang memberi dari kekurangan (Mrk 12-42-43), Lazarus si miskin yang diterima di sisi Bapa, sedangkan orang kaya menderita sengsara di alam maut (Luk 16:20-25).

Entah atas pembenaran apa, sebagian besar karyawan, guru, juru masak, pembantu pastoran, supir, koster yang bekerja di lingkungan gereja selalu meratapi nasib keekonomiannya. Mereka yang mengabdi sepenuhnya pada pendidikan, pertumbuhan, keamanan, dan kenyamanan gereja dari sisi yang paling dekat itu hidup pas-pasan, kalau tidak mau dikatakan di bawah standar upah nasional. Sementara itu, kebutuhan hidup terus menanjak. Dari hari ke hari, kebutuhan hidup itu seperti mengiris karena upah yang diperoleh tidaklah sebanding dengan kebutuhan riil.

Seorang guru senior pada salah satu sekolah yang sudah mencetak sekian ratus kader awam dan imam untuk gereja malah belum punya rumah karena ketidaksanggupannya membeli tanah dan material bangunan. Banyak penyimpangan yang mau tidak mau dilakukan di kebun-kebun, sekolah, bengkel, kandang peninggalan misi yang dilakukan karyawan keuskupan, yayasan, dan lembaga katolik karena ketidakcukupan tersebut. Anak-anak mereka, generasi penerus gereja bahkan tidak mampu mengenyam pendidikan yang pantas. 

Dari orang yang paling dekat dengan gereja itu, lahirlah kemiskinan dan keterbelakangan. 

Mereka pantas cemburu dengan orang-orang yang berada di sisi terluar gereja. Kebanyakan dari mereka hidup lebih beruntung secara ekonomi. Dedikasi dan pelayanan mereka lebih dihargai sesuai dengan tanggung jawab, tugas, dan dedikasi itu. Upah mereka pun selalu berubah sesuai dengan tingkat inflasi, nilai mata uang, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Mereka memiliki rumah, bahkan lebih dari satu. Anak-anak mereka mengeyam pendidikan lebih baik.

Nampak mereka pasrah. Gereja, lembaga atau yayasan Katolik selalu mengklaim bahwa kekurangan dari upah itu merupakan cinta kasih. Bahwa Tuhan akan melihat kekurangan itu sebagai bagian yang akan dilunaskan-Nya sendiri di surga kelak. Namun dalam kenyataan, akibat upah yang kurang itu, lingkaran setan pun menjebak orang, keluarga, dan masyarakat dalam kemiskinan dan keterbelakangan. 

Masyarakat dan umat sesungguhnya lapar setelah mendengarkan sabda Tuhan. Tetapi cinta kasih mengusir mereka untuk mencari makan sendiri. Gereja tidak mengindahkan perkataan Yesus, "Kamu harus memberi mereka makan."

Cinta kasih seharusnya tidak boleh bertentangan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Cinta kasih bukan perampokan hak dan pemiskinan. Setiap pekerja patut mendapat upah, sama seperti kemurahan Bapa memberikan upah sama besarnya bagi para pekerja yang datang lebih dulu dan yang kemudian (Mat 20:2-8). Dengan mengupah sesuai standar, gereja, yayasan, dan lembaga Katolik telah berbuat adil.

Setelah berbuat adil, gereja dan pengikut Kristus diajak untuk mengamalkan cinta kasih. Tiada cinta yang lebih besar daripada seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:13). Sama seperti janda miskin yang rela hati menyerahkan pendapatan seharinya untuk menyumbang. Cinta kasih melampaui keadilan. Sebab cinta kasih itu berbuat lebih. Memberi lebih dari upah atau gaji yang seharusnya diterima. Sebab, upahmu besar di surga.

Jika gereja terus menerus merampok, dengan cara apa cinta kasih akan dihayati? Gereja seolah-olah tidak yakin dengan firman Tuhan soal besar upahmu besar di surga, karena takut memberi lebih, bahkan dengan sengaja mengurangi hak yang seharusnya diterima. Alhasil, ketakutan itu justru melahirkan kekerdilan, sebab Tuhan tidak mampu melipatgandakan kebaikan. Tangan gereja selalu menggenggam, sangat sulit untuk menengadah kepada Tuhannya.(*)

Tidak ada komentar: