Selasa, 05 Oktober 2010

Resensi Film Darah Garuda: Biarkan Sayap Garuda itu Terbang

Sebuah pesawat terbang pada 1947, dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Marius (Darius Sinathrya), perwira geblengan Tentara Rakyat Indonesia dan jebolan sekolah Belanda itu menjadi pilotnya. Sementara itu, Amir (Lukman Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Dayan (T Rifnu Wikana), dan Senja (Rahayu Saraswati) adalah penumpangnya. Demikian cuplikan akhir cerita Darah Garuda, film kedua berdurasi 100 menit dari sekuel Merah Putih.

Pasukan penyusup yang terbang di bawah pimpinan Kapten Amir itu sebelumnya bertempur hidup mati demi meledakkan pangkalan udara milik Belanda di Jawa Barat. Keberanian meledakkan pangkalan udara itu adalah sebuah keharusan. Rencana penyerangan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia bakal sulit apabila pangkalan udara itu diledakkan.

Kendati kekuatan dan persenjataan yang sama sekali tidak seimbang, Kapten Amir bersama tiga perwira lainnya berhasil meledakkan pangkalan udara tersebut. Sebuah pesawat Belanda mereka curi. Pesawat itu akhirnya terbang bersama luka dan darah yang dibawa pergi. Tidak ada lagi sakit pedih perih. Kecuali rasa purna diri karena berhasil mempersembahkan kegigihan dan jati diri untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI.

Darah prajurit perempuan laki beda agama itu adalah Darah Garuda. Pesawat yang melayang itu bak Garuda yang mengepakkan sayapnya. Lepas dari cengkeraman dan terbang sebagai makhluk bebas demi menentukan nasibnya sendiri. Kini, dunia tahu bahwa garuda itu telah merdeka walau luka mesti dibawa berlari.

Sulit untuk membumikan kembali semangat perjuangan kemerdekaan dan pascakemerdekaan kepada generasi saat ini. Semangat perjuangan itu kian lama kian terkikis dengan hanya menyisakan suara bisu Sang Proklamator, Soekarno dan Hatta pada setiap perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus. Penghormatan atas para pahlawan hanya sekedar lalu lalang manusia di Taman Makam Pahlawan. Selanjutnya, kisah kepahlawanan itu terbawa oleh berita penggusuran rumah para purnawirawan, janda pahlawan, atau getir pahitnya kehidupan mantan pejuang di sebuah perkampungan kumuh.

Darah Garuda yang disutradarai Yadi Sugandi dan Conor Alyyn merupakan karya cetusan hati seorang Hashim Djojohadikusumo. Berkat polesan dua sutradara kondang tersebut, cetusan hati Hashim itu berhasil keluar dari penghormatan kepada para pahlawan yang berbau kultis, tahunan, atau bahkan hiperbola.

Kisah heroik dan kolosal sengaja ditinggalkan. Yang ditekankan dari cetusan hati Hashim itu adalah ziarah bangsa. Bahwa perjuangan yang sesungguhnya bukan terletak pada pengkultusan, perayaan tahunan, dan gambaran hiperbola. Penghormatan pada para pahlawan justru terletak pada upaya menerbangkan Garuda berpenumpang perempuan laki beda agama, suku, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang keluarga.

Cetusan hati Hashim lebih tepat disebut pemintalan perjuangan kemerdekaan dan pascakemerdekaan menjadi satu benang merah dengan perjuangan riil bangsa saat ini. Belanda sudah diusir. Tetapi perjuangan dan semangat untuk melepaskan Garuda dari cengkraman keterjajahan tidak boleh padam. Ziarah bangsa ialah medan tempur baru. Karena banyak air mata dan darah yang sudah tumpah karena ziarah bangsa ini tidak pernah luput dari pertempuran akibat beda genital perempuan laki, beda suku, agama, ras, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang keluarga.

Seharusnya Senja dan Surono (Zumi Zola) membenci negeri ini karena negeri ini membantai keluarganya karena berdarah Belanda. Namun, Senja dan Surono mampu melewati konflik pribadi itu dan bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Surono bahkan mati di depan pertempuran, sedangkan Senja menjadi satu-satunya perempuan di antara empat perwira yang menggempur pangkalan udara Belanda.

Tomas si petani, asal dari Sulawesi. Berbeda dengan Marius dari keluarga Jawa berada. Keduanya memang selalu bersitegang, susah untuk diajak kompromi. Latar belakang keduanya terlampau keras dan sensitif untuk diajak bekerja sama dalam tim. Namun, ketegangan itu tidak lantas menyebabkan Tomas memilih berpisah dari Republik untuk mendirikan negara sendiri. Sementara itu, Marius pada akhirnya maklum bahwa Indonesia itu bukan saja Jawa. Setiap perbedaan mengandung kekuatan apabila perbedaan itu dihargai sesuai karakternya tanpa memandang suku, agama, ras, latar belakang pendidikan dan keluarga.

Dayan dari Bali, seorang Budha. Dayan membisu selamanya karena penganiayaan dirinya di kamp Belanda. Dia sepertinya memilih jalan keyakinannya untuk memuji dan memuliakan negara ini dalam kesunyian, tanpa suara. Tidak banyak bicara, malah lebih banyak diam dalam melakukan perbuatan terpuji.

Sementara itu, Amir sang pemimpin adalah muslim. Dia tampil sebagai muslim yang saleh, juga sebagai pemimpin yang bijaksana. Amir menembus batas-batas perbedaan itu dan melihat perbedaan itu sesuai karakter. Amir seorang negosiator, mampu menyatukan perbedaan itu sebagai sebuah kekuatan yang membangkitkan dan memerdekakan. Dia menjadi roh dari Garuda yang terbang, dari Republik yang lepas dari cengkraman Belanda, dari Indonesia yang berziarah menentukan nasib sendiri.

Di tengah perbedaan suku, agama, ras, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan keluarga yang terus disulut dan dibakar, Darah Garuda adalah sebuah kritik. Ziarah bangsa dalam mengisi kemerdekaan sebagai penghormatan kepada para pahlawan saat ini masih dimiskinkan dengan keterjajahan akibat perang antarsuku, agama, ras, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang keluarga. Perang itu tidak mempunyai tujuan yang jelas, kecuali memenjarakan kembali bangsa ini pada visi yang kerdil. Perang itu hanya meluluhlantahkan kekuatan yang tersembunyi dari perbedaan tersebut. Perang tersebut menyebabkan sayap Garuda tidak bisa terbang lebih tinggi.

Sersan Yanto (Ario Bayu) telah menunjukkan bahwa pilihan mengkhianati perjuangan bangsa justru berakhir bumerang. Betapa lelahnya sayap Garuda ini terbang dengan diikat oleh berbagai perbedaan yang terus dibakar. Bumerang itu akan datang, tatkala sayap Garuda itu akhirnya patah karena kelebihan beban oleh ongkos menyeberangi jurang perbedaan yang makin terjal. Lalu, harus berapa banyak lagi Darah Garuda yang ditumpahkan untuk meyakinkan bahwa sayap itu perlu bebas dari pengkotak-kotakan tersebut?

“Darah Garuda akan memberikan gambaran perjuangan generasi muda dalam kemerdekaan pada waktu itu. Berbagai ras dan agama semuanya berjuang dengan satu tujuan yang mulia yaitu kemerdekaan Indonesia. Mereka semua berjuang tanpa pamrih, tidak untuk materi atau harta,” ujar Hashim Djojohadikusumo sebagai produser eksekutif dalam acara perilisan trailer Darah Garuda di Lounge Plaza Senayan XXI, Jakarta (15/06).

Kalau boleh, biarkan sayap Garuda itu terbang bebas, melalui kepuasan yang purna akibat perjuangan meretas perbedaan demi kebaikan bersama. Inilah yang patut diteladani dari lima orang beda jenis kelamin, suku, agama, ras, mata pencaharian, ekonomi, pendidikan, dan keluarga yang terbang pada 1947.(*)

Tidak ada komentar: