Jumat, 10 Desember 2010

Selamat Ulang Tahun Louiza

Teringat setahun pada 10 Desember yang lalu. Gerimis tidak berubah. Desember selalu menetaskan berkah di akhir tahun. Kendati dingin, 10 Desember selalu emosional. Hari ini, setahun dan berpuncak pada dua tahun yang lalu, anak kami Louiza Magnifica hadir sebagai buah cinta kami.

Setahun lalu, Louiza belum banyak bicara. Tangan mungilnya sudah pandai menggapai dan memeluk. Kegembiraan dan pesona jiwanya terpancar purna dari raut mukanya. Bila senang dia tertawa. Bila menangis dia menitikkan air matanya. Belum ada kata-kata yang terucap dari bibir mungilnya. Kecuali ciuman, pelukan, rengkuhan, dan kemanjaan. Demikian cara Louiza membahasakan isi hatinya.

Pada 10 Desember di tahun lalu. Tidak ada kue ulang tahun. Louiza pun belum mengerti apa artinya ulang tahun. Dia hanya bisa tertawa lebar, memeluk dan mencium, tatkala mata mungilnya menyambut pagi. Kecupan demi kecupan mendarat di pipi. Selamat ulang tahun, Louiza. 

Betapa senang hatinya. Di sudut kamar sebuah sepeda baru diletakkan. Serta merta Louiza turun dari tempat tidur. Dihampirinya sepeda baru itu dengan tertawa lebar. Berbinar-binar matanya menandakan keriangan hatinya. Dalam sepersekian detik, Louiza sudah berada di atas sepeda sambil memegang kedua setir. Itu hadingah pertama di hari ulang tahun yang pertama.

Hari itu Louiza tidak pernah lepas dari sepeda barunya. Entah di dalam atau di luar rumah, Louiza tetap ingin di atas sepeda. Semacam ada ketakutan hadiah itu cuma sementara. Sekedar menyenangkan hati, lantas dikembalikan. Dia tidak ingin kehilangan dunia anak-anaknya di sebuah tambatan hati atas sepeda baru.

Sehari menjelang ulang tahunnya di usianya yang menginjak dua tahun, Louiza ingin meniup lilin. Dia bernyanyi, “tiup lilinnya, tiup lilinnya” tatkala mamanya membisikkan bahwa hari ini Louiza berulang tahun. Louiza kini tidak lagi sekedar memeluk dan mencium. Kata-kata telah mampu mewakili isi hatinya. 

Sebuah lilin menyala hari ini, tepat ketika Louiza membuka matanya. Louiza menyadari lilin ulang tahunnnya telah menyala. Sejenak dia memandang lilin ulang tahun itu. Seolah Louiza sedang mendaraskan isi hati dan keinginannya. Kami menyanyikan selamat ulang tahun. Louiza tertawa lepas. Kami meminta Louiza meniup lilin di akhir nyanyian perayaan kecil itu. Sekali tiup masih gagal. Dua kali gagal. Dan kali ketiga, lilin itu benar-benar padam. Selamat ulang tahun Louiza.
                                                            ***
Seringkali ada perasaan bersalah. Setiap harinya Louiza hanya bisa berceloteh dengan kami pada pagi hari. Satu dua jam yang tidak efektif. Selanjutnya waktu kami habis dalam pekerjaan. Ketika kami kembali ke rumah, Louiza telah pulas. Kami cuma bisa memandang wajah pulasnya, sisa kegembiraan bermainnya, atau goretan kecil pada kulit akibat kenakalan sebagai anak.

Kadang Louiza bangun di tengah malam. Dia Nampak gembira mendapati dirinya diapati papa dan mamanya. Louiza mengajak kami bermain sepanjang malam. Bahkan hingga pagi menjelang. Kami mencoba meladeni rasa kangen dan kerinduan kasih sayang Louiza. Menemani Louiza bermain apa saja. 

Tetapi, kami bisa saja tertidur. Membiarkan Louiza sendiri mencengkeram malam. Pelupuk mata dan kerja pikiran yang sudah terkuras kadang tidak bisa berkompromi dengan rasa kangen Louiza. Atau, kami menjadi ‘terpaksa’ dan lebih berharap Louiza kembali tertidur. Nampak kami egois dan untuk itu kami mesti meminta maaf pada gadis kecil kami yang selalu membuat hati kami gembira di saat pulang ke rumah.

Hari Sabtu dan Minggu adalah jatah Louiza. Tetapi tidak selalu kami bisa menepati jatah itu. Sabtu dan Minggu bahkan kami disibukkan dengan pekerjaan. Louiza kembali kehilangan haknya bercengkrama bersama papa dan mamanya. Untuk itu pula, kami mesti meminta maaf pada Louiza.

Kami selalu ingin membahagiakan Louiza pada setiap kesempatan. Kami ingin memenuhi pengalaman eksistensialnya di masa kecil dengan cahaya kebahagiaan oleh kehangatan dan kasih sayang. Membahagiakan dan memanjakannnya kadang bedanya sangat tipis. Tetapi kami berupaya agar kebahagiaan yang terpancar itu bukan bersumber dari kemanjaan. Louiza mesti mandiri. Untuk mandiri, Louiza perlu bahagia dan menjadi percaya diri karena merasa didukung penuh oleh kehangatan dan kasih sayang.  

Satu dua kegagalan kadang kami sadari. Dengan begitu kami belajar menjadi dewasa sebagai orang tua. Louiza tampil sebagai guru, yang mengingat dan menegur kami melalui caranya mendekati dan berkomunikasi dengan kami. Untuk itu, kami perlu berterima kasih pada gadis mungil anugerah terbesar kami.

Pada ulang tahunnya yang kedua ini, kami mengajak Louiza ke sebuah panti asuhan. Louiza berbagi kebahagiaan bersama teman-temannya di panti asuhan. Bahwa dirinya sebagai Magnifica adalah anugerah bagi semua orang. Bahwa hidup itu tidak lain pemberian bagi sesama. Louiza telah menjadi anugerah, sebuah mukjizat bagi kami. Sekarang, Louiza adalah magnificat  bagi semua orang.(*)

Rabu, 01 Desember 2010

Melihat Indonesia dari kesultanan Jogja

Saya berkesempatan bertatap muka dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X (SHB) dalam acara serah terima sumbangan untuk korban bencana alam erupsi Gunung Merapi pekan lalu. Dalam benak saya semula SHB bakal hanya meluangkan waktu tidak lebih dari setengah jam untuk menerima kedatangan rombongan ini. Namun, perkiraan saya meleset. SHB berapi-api bercerita dan bertukar pikiran lebih dari dua jam, setelah diingatkan sekretarisnya jadwal acara selanjutnya.
Bertatap muka dengan SHB mengingatkan saya pada kisah betapa Jogja memainkan peran yang sentral di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ibu kota negara pernah dipindahkan ke Jogja. Lebih dari itu, setelah ambruknya Sriwijaya dan Majapahit, juga pengaruh raja-raja lainnya di Indonesia, Kesultanan Jogja akhirnya menjadi satu-satunya yang masih mempertahankan nilai-nilai kerajaan dalam tata kelola pemerintahan. Kesultanan Jogja menjadi peninggalan historis peran raja-raja zaman dulu dalam mengatur dan mengelola kehidupan bermasyarakat.
Saya membayangkan SHB tampil dengan kharisma feodalnya, seperti raja bahkan kepala suku di Indonesia. SHB akan sangat aristokrat dan mengeksploitasi eksistensi kami menjadi warga Jogja sementara waktu yang mau tidak mau "nrimo" kebesarannya. Namun, sekali lagi bayangan saya itu jauh terbalik. Banyak sekali yang dibicarakan SHB terutama tentang keprihatinannya terhadap tata kelola pemerintahan di daerah, pusat, dan negara ini. Kesimpulan saya, dari Jogja seharusnya bangsa ini perlu kembali merefleksikan arti kebangsaan dan kenegaraan.
Pertama, SHB begitu gusar dengan sikap menutup mata pemerintah Indonesia akan potensi maritim di negara kepulauan dan posisi strategis Indonesia sebagai negara maritim di dunia. Seharusnya Indonesia memetik banyak keuntungan dari posisi strategis sebagai negara maritim. Bukan Singapura, Australia, atau Malaysia. SHB mengatakan, nyanyian nenek moyangku seorang pelaut tinggal sebagai nyanyian, sedangkan warisan dan keahlian sebagai seorang pelaut sudah lama hilang dari bumi pertiwi. Indonesia sudah kehilangan banyak waktu dan kesempatan menangguk keuntungan dari keahlian warisan budaya nenek moyang sebagai seorang pelaut.
Kedua, beberapa investor dari luar negeri sulit mempercayai pejabat dan birokrat Indonesia. Banyak investor bahkan pejabat negara lain tidak sunkan-sunkan bertanya dan membuka komunikasi dengan SHB sebelum benar-benar ingin masuk ke Indonesia. Kata mereka, "kami hanya kenal dan percaya SHB di Indonesia." Betapa posisi tawar bangsa ini sudah rusak di mata internasional karena konsistensi baik moral, birokrasi, dan etika pergaulan sangat sulit diterapkan dan dipegang teguh di Indonesia. Atas inkonsistensi itu, keamanan dan kepastian hukum, berikut daya tarik investasi di Indonesia, khusunya di daerah menjadi harga yang mahal.
Ketiga, di era otonomi daerah saat ini, SHB mengingatkan bahwa daerah, terutama decision making di daerah mutlak memiliki jiwa entrepreneur. Pemda perlu meninggalkan mental birokratis dan harus pro aktif sebagai entrepreneur untuk menawarkan, mengelola, dan mengambil nilai tambah dari potensi alam di daerah. Semua potensi di daerah bisa memberikan nilai tambah, asalkan pemda peka secara entrepreneur mengubah potensi dan risiko dari potensi itu menjadi sumber penghasilan untuk daerah dan masyarakat. SHB lantas memberikan beberapa contoh upayanya di Jogja dalam meningkatkan dan memperbesar porsi nilai tambah tersebut.
Keempat, di mata SHB era kapitalisme Barat sudah pudar. Setelah perekonomian AS mengalami guncangan hingga merambah ke Eropa dan sekarang Yunani. Sementara itu, sosialisme di Rusia juga anjlok. Saatnya sekarang dunia berpaling ke Asia. Pelopor kebangkitan Asia adalah Cina dan India. Alasannya sederhana, Eropa dan Amerika tidak memiliki sumber daya alam. Namun, mereka sangat bergantung pada sumber daya alam itu. Asia sudah memiliki modal sendiri dan tidak lagi bergantung pada finansial Eropa dan Amerika. Sementara itu, teknologi dan ahli bisa dibeli. Asia memiliki semua itu dan sekarang saatnya potensi alam itu diberdayakan untuk memperbesar porsi nilai tambah bagi negara, daerah, dan masyarakat.
Indonesia adalah negara paling menjanjikan dari sisi potensi alam, tetapi salah kelola potensi itu menyebabkan negara itu kehilangan momentum dan nilai tambah. Karena itu, sekaranglah saatnya Indonesia harus berubah, pertama-tama dari sisi pola pikir, mental dan moral, birokrasi, lantas mengambil langkah kewirausahaan.
SHB sempat berceritera, Jogja tidak punya banyak potensi kekayaan alam. Sementara itu, permintaan di luar kekayaan yang dimiliki Jogja banyak. SHB tidak tinggal diam. SHB rela mencari sumber potensi alam, seperti ikan ke daerah lain untuk memenuhi permintaan pasokan. Prinsip SHB, yang penting kami bisa bertransaksi, nilai tambah itu pasti akan berdampak untuk Jogja.
SHB juga punya tambang pasir besi, PT Jogja Mangasa Iron, sebuah Kontrak Karya Pertambangan satu-satunya yang ditandatangani setelah masa pemerintahan Presiden Soeharto. Potensi alam, di mata SHB, merupakan jembatan untuk menggerakkan sumber daya manusia. Melalui investasi padat modal, menyerap banyak tenaga kerja akan memberikan nilai tambah yang signifikan untuk daerah dan masyarakat. Begini SHB mengelola tambang pasir besi itu. SHB mewajibkan transaksi sedapat mungkin menggunakan bank pembangunan daerah, kuota pemakaian produk dan barang dalam negeri diperbesar melalui pengalihan subkontraktor daerah, tenaga kerja lokal diprioritaskan, dan community development untuk masyarakat lingkar tambang. Selanjutnya, pemerintah akan mengawasi perusahaan tersebut demi memastikan operasionalisasi itu taat hukum, termasuk perpajakan dan royalti, juga ramah lingkungan. Investor hanya minta dua hal, keamanan dan jaminan kepastian hukum. Soal keuntungan dibagi secara proposional.
Dari perspektif lain, Jogja terkategori sebagai kota sehat layak huni. Sudah dua tahun, Jogja mendapat predikat kota sehat layak huni itu. Tentu saja bukan soal lingkungan, tetapi juga soal keadaban publik yang memungkinkan setiap warga menikmati kehidupan yang pantas. Ada regulasi yang taat asas yang dibangun SHB sehingga warganya mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sesamanya yang lain.
Dari semua itu, harus diakui bahwa SHB berhasil membawa roh kesultanan ke dalam tata kelola pemerintahan dan masyarakat. Fundamental keberhasilan SHB justru terletak di situ, yaitu benar-benar tampil sebagai seorang pemimpin yang dipercayai publik dan mengemban kepemimpinannya itu untuk kemakmuran masyarakat banyak. Pada satu sisi, SHB tetap mempertahankan visi kesultanan, yang gagal dilihat banyak orang sebagai monarki, supaya kemudi dari tata kelola pemerintahan dan masyarakat itu bisa dikendalikan dalam sebuah tujuan bersama. Setiap warganya "manut" pada sultan, bukan karena takut, bukan juga soal fungsional belaka, tetapi taat pada kewibaan kesultanan yang bekerja demi mewujudkan tujuan bersama.
Setelah "manut" sebagai mandat itu diterima SHB, sang "raja" itu tidak kalap mata untuk bertindak feodal dan birokratis. SHB berhasil keluar dari sikap kebanyakan darah biru dan beralih menjadi pemimpin keraton yang berjiwa wirausaha. Seperti raja-raja dulu yang wajib memakmurkan warganya, dengan entrepreneur SHB melandasi pola pikir masyarakat Jogja untuk mengambil kesempatan, peluang usaha yang datang dari penjuru manapun. SHB sendiri turun tangan dan memberikan contoh. Dia ada di medan tempur untuk memimpin dan menyemangati warganya.
Dengan cara demikian, pertumbuhan ekonomi Jogja lambat laun meningkat, dari 3% per tahun menjadi 4-5% tahun. SHB mengatakan, erupsi gunung Merapi kali ini memang yang terparah. Ekonomi sebagian besar masyarakat Jogja lumpuh. Pendapatan turun drastis dari sebelumnya 80% per hari menjadi 10% per hari. Pertumbuhan ekonomi bisa jadi melorot lagi ke 3%. Tetapi, di balik bencana itu ada hikmahnya. SHB percaya, di tengah bencana selalu ada berkah. Nampak secara spiritual, SHB tengah membangkitkan kembali semangat warganya untuk bangun dari keterpurukan.
Sekali lagi, Indonesia justru harus dilihat dari Jogja. Ketika saat ini ada beberapa pihak seolah-olah mempertanyakan keistimewaan Jogja sebagai pemerintahan monarki dan kelihatannya ingin menghilangkan keistimewaan itu, upaya itu sepertinya akan menghilangkan integritas dan ciri khas ke-Indonesia-an, juga kepercayaan publik internasional akan moral bangsa ini dari sudut kesultanan Jogja. Mereka gagal melihat kesultanan Jogja sebagai sebuah entitas lengkap yang berhasil memadukan prinsip kenegarawan, kebangsaan, kepemerintahan, dan entrepreneur dengan etika moral dan spiritualitas bermasyarakat.(*)

Selasa, 19 Oktober 2010

Upahmu Besar di Surga

Berhadapan dengan penderitaan dan keluh kesah tak berdaya umat, Gereja di Flores seringkali menghibur, ‘upahmu besar di surga.’ Gereja pun melitanikan posisi orang kaya yang seolah-olah tidak mendapat tempat di hati Sang Guru. Bahwa orang kaya itu susah masuk surga (Mat 19:23), sebaliknya orang miskin memiliki kerajaan surga (Mat 5:3). Sang Guru memuji janda miskin yang memberi dari kekurangan (Mrk 12-42-43), Lazarus si miskin yang diterima di sisi Bapa, sedangkan orang kaya menderita sengsara di alam maut (Luk 16:20-25).

Entah atas pembenaran apa, sebagian besar karyawan, guru, juru masak, pembantu pastoran, supir, koster yang bekerja di lingkungan gereja selalu meratapi nasib keekonomiannya. Mereka yang mengabdi sepenuhnya pada pendidikan, pertumbuhan, keamanan, dan kenyamanan gereja dari sisi yang paling dekat itu hidup pas-pasan, kalau tidak mau dikatakan di bawah standar upah nasional. Sementara itu, kebutuhan hidup terus menanjak. Dari hari ke hari, kebutuhan hidup itu seperti mengiris karena upah yang diperoleh tidaklah sebanding dengan kebutuhan riil.

Seorang guru senior pada salah satu sekolah yang sudah mencetak sekian ratus kader awam dan imam untuk gereja malah belum punya rumah karena ketidaksanggupannya membeli tanah dan material bangunan. Banyak penyimpangan yang mau tidak mau dilakukan di kebun-kebun, sekolah, bengkel, kandang peninggalan misi yang dilakukan karyawan keuskupan, yayasan, dan lembaga katolik karena ketidakcukupan tersebut. Anak-anak mereka, generasi penerus gereja bahkan tidak mampu mengenyam pendidikan yang pantas. 

Dari orang yang paling dekat dengan gereja itu, lahirlah kemiskinan dan keterbelakangan. 

Mereka pantas cemburu dengan orang-orang yang berada di sisi terluar gereja. Kebanyakan dari mereka hidup lebih beruntung secara ekonomi. Dedikasi dan pelayanan mereka lebih dihargai sesuai dengan tanggung jawab, tugas, dan dedikasi itu. Upah mereka pun selalu berubah sesuai dengan tingkat inflasi, nilai mata uang, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Mereka memiliki rumah, bahkan lebih dari satu. Anak-anak mereka mengeyam pendidikan lebih baik.

Nampak mereka pasrah. Gereja, lembaga atau yayasan Katolik selalu mengklaim bahwa kekurangan dari upah itu merupakan cinta kasih. Bahwa Tuhan akan melihat kekurangan itu sebagai bagian yang akan dilunaskan-Nya sendiri di surga kelak. Namun dalam kenyataan, akibat upah yang kurang itu, lingkaran setan pun menjebak orang, keluarga, dan masyarakat dalam kemiskinan dan keterbelakangan. 

Masyarakat dan umat sesungguhnya lapar setelah mendengarkan sabda Tuhan. Tetapi cinta kasih mengusir mereka untuk mencari makan sendiri. Gereja tidak mengindahkan perkataan Yesus, "Kamu harus memberi mereka makan."

Cinta kasih seharusnya tidak boleh bertentangan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Cinta kasih bukan perampokan hak dan pemiskinan. Setiap pekerja patut mendapat upah, sama seperti kemurahan Bapa memberikan upah sama besarnya bagi para pekerja yang datang lebih dulu dan yang kemudian (Mat 20:2-8). Dengan mengupah sesuai standar, gereja, yayasan, dan lembaga Katolik telah berbuat adil.

Setelah berbuat adil, gereja dan pengikut Kristus diajak untuk mengamalkan cinta kasih. Tiada cinta yang lebih besar daripada seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabat-Nya (Yoh 15:13). Sama seperti janda miskin yang rela hati menyerahkan pendapatan seharinya untuk menyumbang. Cinta kasih melampaui keadilan. Sebab cinta kasih itu berbuat lebih. Memberi lebih dari upah atau gaji yang seharusnya diterima. Sebab, upahmu besar di surga.

Jika gereja terus menerus merampok, dengan cara apa cinta kasih akan dihayati? Gereja seolah-olah tidak yakin dengan firman Tuhan soal besar upahmu besar di surga, karena takut memberi lebih, bahkan dengan sengaja mengurangi hak yang seharusnya diterima. Alhasil, ketakutan itu justru melahirkan kekerdilan, sebab Tuhan tidak mampu melipatgandakan kebaikan. Tangan gereja selalu menggenggam, sangat sulit untuk menengadah kepada Tuhannya.(*)

Selasa, 05 Oktober 2010

Resensi Film Darah Garuda: Biarkan Sayap Garuda itu Terbang

Sebuah pesawat terbang pada 1947, dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Marius (Darius Sinathrya), perwira geblengan Tentara Rakyat Indonesia dan jebolan sekolah Belanda itu menjadi pilotnya. Sementara itu, Amir (Lukman Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Dayan (T Rifnu Wikana), dan Senja (Rahayu Saraswati) adalah penumpangnya. Demikian cuplikan akhir cerita Darah Garuda, film kedua berdurasi 100 menit dari sekuel Merah Putih.

Pasukan penyusup yang terbang di bawah pimpinan Kapten Amir itu sebelumnya bertempur hidup mati demi meledakkan pangkalan udara milik Belanda di Jawa Barat. Keberanian meledakkan pangkalan udara itu adalah sebuah keharusan. Rencana penyerangan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia bakal sulit apabila pangkalan udara itu diledakkan.

Kendati kekuatan dan persenjataan yang sama sekali tidak seimbang, Kapten Amir bersama tiga perwira lainnya berhasil meledakkan pangkalan udara tersebut. Sebuah pesawat Belanda mereka curi. Pesawat itu akhirnya terbang bersama luka dan darah yang dibawa pergi. Tidak ada lagi sakit pedih perih. Kecuali rasa purna diri karena berhasil mempersembahkan kegigihan dan jati diri untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI.

Darah prajurit perempuan laki beda agama itu adalah Darah Garuda. Pesawat yang melayang itu bak Garuda yang mengepakkan sayapnya. Lepas dari cengkeraman dan terbang sebagai makhluk bebas demi menentukan nasibnya sendiri. Kini, dunia tahu bahwa garuda itu telah merdeka walau luka mesti dibawa berlari.

Sulit untuk membumikan kembali semangat perjuangan kemerdekaan dan pascakemerdekaan kepada generasi saat ini. Semangat perjuangan itu kian lama kian terkikis dengan hanya menyisakan suara bisu Sang Proklamator, Soekarno dan Hatta pada setiap perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus. Penghormatan atas para pahlawan hanya sekedar lalu lalang manusia di Taman Makam Pahlawan. Selanjutnya, kisah kepahlawanan itu terbawa oleh berita penggusuran rumah para purnawirawan, janda pahlawan, atau getir pahitnya kehidupan mantan pejuang di sebuah perkampungan kumuh.

Darah Garuda yang disutradarai Yadi Sugandi dan Conor Alyyn merupakan karya cetusan hati seorang Hashim Djojohadikusumo. Berkat polesan dua sutradara kondang tersebut, cetusan hati Hashim itu berhasil keluar dari penghormatan kepada para pahlawan yang berbau kultis, tahunan, atau bahkan hiperbola.

Kisah heroik dan kolosal sengaja ditinggalkan. Yang ditekankan dari cetusan hati Hashim itu adalah ziarah bangsa. Bahwa perjuangan yang sesungguhnya bukan terletak pada pengkultusan, perayaan tahunan, dan gambaran hiperbola. Penghormatan pada para pahlawan justru terletak pada upaya menerbangkan Garuda berpenumpang perempuan laki beda agama, suku, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang keluarga.

Cetusan hati Hashim lebih tepat disebut pemintalan perjuangan kemerdekaan dan pascakemerdekaan menjadi satu benang merah dengan perjuangan riil bangsa saat ini. Belanda sudah diusir. Tetapi perjuangan dan semangat untuk melepaskan Garuda dari cengkraman keterjajahan tidak boleh padam. Ziarah bangsa ialah medan tempur baru. Karena banyak air mata dan darah yang sudah tumpah karena ziarah bangsa ini tidak pernah luput dari pertempuran akibat beda genital perempuan laki, beda suku, agama, ras, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang keluarga.

Seharusnya Senja dan Surono (Zumi Zola) membenci negeri ini karena negeri ini membantai keluarganya karena berdarah Belanda. Namun, Senja dan Surono mampu melewati konflik pribadi itu dan bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Surono bahkan mati di depan pertempuran, sedangkan Senja menjadi satu-satunya perempuan di antara empat perwira yang menggempur pangkalan udara Belanda.

Tomas si petani, asal dari Sulawesi. Berbeda dengan Marius dari keluarga Jawa berada. Keduanya memang selalu bersitegang, susah untuk diajak kompromi. Latar belakang keduanya terlampau keras dan sensitif untuk diajak bekerja sama dalam tim. Namun, ketegangan itu tidak lantas menyebabkan Tomas memilih berpisah dari Republik untuk mendirikan negara sendiri. Sementara itu, Marius pada akhirnya maklum bahwa Indonesia itu bukan saja Jawa. Setiap perbedaan mengandung kekuatan apabila perbedaan itu dihargai sesuai karakternya tanpa memandang suku, agama, ras, latar belakang pendidikan dan keluarga.

Dayan dari Bali, seorang Budha. Dayan membisu selamanya karena penganiayaan dirinya di kamp Belanda. Dia sepertinya memilih jalan keyakinannya untuk memuji dan memuliakan negara ini dalam kesunyian, tanpa suara. Tidak banyak bicara, malah lebih banyak diam dalam melakukan perbuatan terpuji.

Sementara itu, Amir sang pemimpin adalah muslim. Dia tampil sebagai muslim yang saleh, juga sebagai pemimpin yang bijaksana. Amir menembus batas-batas perbedaan itu dan melihat perbedaan itu sesuai karakter. Amir seorang negosiator, mampu menyatukan perbedaan itu sebagai sebuah kekuatan yang membangkitkan dan memerdekakan. Dia menjadi roh dari Garuda yang terbang, dari Republik yang lepas dari cengkraman Belanda, dari Indonesia yang berziarah menentukan nasib sendiri.

Di tengah perbedaan suku, agama, ras, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan keluarga yang terus disulut dan dibakar, Darah Garuda adalah sebuah kritik. Ziarah bangsa dalam mengisi kemerdekaan sebagai penghormatan kepada para pahlawan saat ini masih dimiskinkan dengan keterjajahan akibat perang antarsuku, agama, ras, mata pencaharian, tingkat perekonomian, kecerdasan, dan latar belakang keluarga. Perang itu tidak mempunyai tujuan yang jelas, kecuali memenjarakan kembali bangsa ini pada visi yang kerdil. Perang itu hanya meluluhlantahkan kekuatan yang tersembunyi dari perbedaan tersebut. Perang tersebut menyebabkan sayap Garuda tidak bisa terbang lebih tinggi.

Sersan Yanto (Ario Bayu) telah menunjukkan bahwa pilihan mengkhianati perjuangan bangsa justru berakhir bumerang. Betapa lelahnya sayap Garuda ini terbang dengan diikat oleh berbagai perbedaan yang terus dibakar. Bumerang itu akan datang, tatkala sayap Garuda itu akhirnya patah karena kelebihan beban oleh ongkos menyeberangi jurang perbedaan yang makin terjal. Lalu, harus berapa banyak lagi Darah Garuda yang ditumpahkan untuk meyakinkan bahwa sayap itu perlu bebas dari pengkotak-kotakan tersebut?

“Darah Garuda akan memberikan gambaran perjuangan generasi muda dalam kemerdekaan pada waktu itu. Berbagai ras dan agama semuanya berjuang dengan satu tujuan yang mulia yaitu kemerdekaan Indonesia. Mereka semua berjuang tanpa pamrih, tidak untuk materi atau harta,” ujar Hashim Djojohadikusumo sebagai produser eksekutif dalam acara perilisan trailer Darah Garuda di Lounge Plaza Senayan XXI, Jakarta (15/06).

Kalau boleh, biarkan sayap Garuda itu terbang bebas, melalui kepuasan yang purna akibat perjuangan meretas perbedaan demi kebaikan bersama. Inilah yang patut diteladani dari lima orang beda jenis kelamin, suku, agama, ras, mata pencaharian, ekonomi, pendidikan, dan keluarga yang terbang pada 1947.(*)

Rabu, 29 September 2010

Pengadilan Moral di Mata Ibunda Susno Duadji

Sebuah stasiun televisi sempat mewawancarai ibunda Susno Duadji sebelum memulai persidangan pada Rabu (29/9). Dari pengakuannya, ibunda Susno Duadji sangat sedih dengan kondisi carut marut masalah yang membelit anaknya. Susno Duadji, sesuai pengakuan ibundanya, merupakan anak yang sangat baik di mata keluarga.

Lantas doa sang ibunda pun keluar. “Saya berdoa mudah-mudahan Allah memberi jalan yang terbaik buat ananda. Sekarang ananda sedang diuji. Mudah-mudahan ananda diselamatkan Allah dan menjadi semakin beriman terhadap Allah. Mudah-mudahan Allah menyelesaikan semua masalah ini dengan baik,” ujar ibunda Susno Duadji.

Ibunda Susno Duadji tidak sedang membohongi publik tatkala mendaraskan doa untuk anaknya. Dari aura wajahnya, dia tidak sedang berkepentingan untuk menarik perhatian publik supaya merasa senasib sepenanggungan, bahkan mengharapkan dukungan atas penghakiman Susno Duadji. Ibunda Susno juga tidak sedang bertindak sebagai ‘penyapu halaman’ yang menjustifikasi keberadaan dan ucapannya untuk memberi citra positif terhadap Susno Duadji pada persidangan tersebut. Kehadirannya semata-mata untuk memberikan dukungan moril pada anaknya.

Kendati demikian, doa yang mengalir dari bibir ibunda Susno Duadji serentak mengalirkan gelombang besar terhadap sisi keberimanan dan moralitas bangsa ini. Ketakutannya terhadap Allah menunjukkan betapa dalamnya keberimanan dan moralitas ibunda Susno Duadji. Pada satu sisi, dalam pandangan keberimanan ibu, Susno saat ini sedang diuji. Ujian itu mesti dilalui Susno. Lantas, (mudah-mudahan) Susno menjadi semakin beriman terhadap Allah. Karena Allah akan menyelesaikan masalah ini dengan baik.

Allah seperti yang ditampilkan pada rangkaian doa ibunda Susno Duadji tidak lain adalah Allah yang mahakuasa, maha adil, dan maha baik. Kekuasannya yang maha besar itu seharusnya menisbikan semua kekuasaan lain, allah-allah lain, karena hanya satu Allah yang mahakuasa. Artinya, keberhalaan pada kekuasaan yang lain melampaui kekuasaan Allah merupakan perbuatan tercela, terutama ketika dengan sengaja dilakukan bertentangan dengan buah keberimanan dari ajaran dan perintah Allah.

Keberhalaan itu bisa muncul akibat manusia haus akan kekuasaan, materi, dan kehormatan sehingga kepatuhan dalam keberimanan yang mutlak dan satu-satunya dipasrahkan pada Allah yang mahakuasa itu akhirnya disingkirkan. Keberhalaan itu pun terang-terangan melawan kemahakuasaan Allah, karena mementingkan diri sendiri, kelompok, atau golongan demi kepentingan tertentu.

Ada rangkaian paralel antara Allah yang diimani Ibunda Susno Duadji sebagai Allah yang maha baik dengan sosok Susno Duadji di mata ibundanya. “Susno Duadji itu anak yang baik di mata keluarga.” Arti baik dalam kategori profil Susno yang diungkapkan ibundanya tidak lain bersumber pada keberimanan ibunda akan Allah yang maha baik. Artinya, Susno bukanlah kejelekan absolut, yang sejak awal adanya selalu menjadi biang kerok kejahatan. Susno itu baik, sudah pernah, sekarang, dan yakin akan baik di masa mendatang. Hidup dan kebaktian Susno, termasuk hati dan pikiran kemanusiawian Susno tidak semata-mata terdiri atas kejahatan.

Jika saat ini Susno tengah diadili, ibundanya menyakini bahwa Susno sedang diuji. (Mudah-mudahan) Susno semakin beriman dengan kejadian ini, karena Allah akan menyelesaikan masalah ini dengan baik.

Bagi ibu, Allah itu maha adil. Pengadilan Allah selalu bukan menghukum tetapi dalam arti diuji. Pengujian itu bermaksud menarik kembali sisi spiritual Susno supaya kembali beriman pada Allah. Dalam masa pengujian itu, Allah akan menunjukkan sifat-Nya yang maha adil dan memulihkan kembali citra dan kemakhlukan Susno. Karena itu, Susno diajak untuk keluar dari berhala, dari perhambaan pada allah-allah lain, untuk tunduk pasrah pada keberimanan pada Allah yang mahakuasa, mahabaik, dan maha adil tersebut.

Pengadilan manusia cenderung berlawanan dengan motivasi, keberimanan, dan moralitas ilahi. Pengadilan manusia sering menghadirkan stigma dan mematikan pucuk harapan manusia untuk bertumbuh kembali setelah berguguran. Pengadilan manusia mendakwa, memidanakan, menjatuhkan hukuman, dan memenjarakan. Sementara itu, pengadilan ilahi menobatkan untuk membebaskan. Pengadilan manusia memecat, sedangkan pengadilan ilahi menjadi manusia baru.

Harapan ibu, Susno bisa keluar dari pengadilan manusia melihat kejadian dirinya sebagai pengadilan moral, pengadilan ilahi. Dalam dirinya, Susno hanya perlu membebaskan prasangka sendiri sehingga pucuk harapan yang pernah hidup dan kini meredup layu, kembali menemukan tanah suburnya sehingga bertumbuh lagi menjadi manusia baru. Penjara manusia hanyalah jebakan dengan seutas tali pada leher. Tetapi, jika berhasil keluar dari prasangka penjara manusia itu, setiap orang yang terpenjara akan terlahir baru sebagai manusia yang bertunas.

Harapan ibu juga menjadi harapan semua orang. Sebenarnya. Karena semua orang tidak ingin dihakimi, dipenjara, melainkan dibebaskan dan memperoleh pertobatan.(*)


Rabu, 08 September 2010

Gereja Perlu Bertobat

Sebelum Mengkritik

Gereja masa kini mentautkan dirinya dengan dunia politik, ekonomi, dan sosial. Sikap gereja itu bersumber pada keprihatinan atas pencapaian visi keadilan dalam kerangka rencana keselamatan ilahi.

Sebagai nabi yang menyuarakan rencana keselamatan ilahi, gereja bersandar pada definisi already but not yet. Bahwa keselamatan itu mesti sudah dimaklumkan kepada segala bangsa melalui gerbang surga yang dibuka Yesus pada peristiwa golgota dan kebangkitan di hari ketiga, yang merupakan puncak dari pengalaman Bapa-Bapa Bangsa dan Bangsa Israel. Karena itu, keselamatan juga mesti dimaklumkan saat ini (in present), seperti nas yang digenapkan Sang Putera itu dengan berpihak pada keadilan dan kebenaran.

Gereja juga selalu berpegang pada misterium lunae. Suara kenabian itu semestinya dibagi-bagikan secara cuma sebagai pancaran dari Sang Logos yang satu dan mahakuasa. Artinya, kebenaran yang terpancar itu (logos spermatoikos) tidak berasal dari diri gereja, melainkan merupakan pantulan dari Sang Guru. Gereja adalah bulan yang tidak bisa bersinar tanpa matahari, tanpa melekat, berguru, berdialog, dan mengambil bagian secara personal (ekaristi) bersama Sang Guru. Kebenaran gereja selalu bersumber pada kebenaran Sang Guru, tidak pada kemauan manusiawi, tetapi bersandar pada iluminasi dan prokreasi dengan Sang Guru.

Dalam terang itu, Gereja perlu merenungkan kembali arti inkarnasi. Bukan sebagai peristiwa Allah yang mendatangi manusia di Bethlemen, tetapi lebih kepada keyakinan membangun dialog melalui pikiran, peristiwa, dan denyut kehidupan manusia. Inkarnasi sebagian berarti inkulturasi, sosial karitatif, profetis, dan altar. Dalam semangat itu, gereja selalu berada dalam dua kutub. Pada satu sisi, gereja aktif berkiprah di tengah pergumulan, entah dalam komunitas, kerumunan, maupun chaos. Sedangkan sisi lainnya, yaitu kembali ke bukit, ke tengah kesunyian untuk berdoa dan bergumul pada persekolahan para murid.

Puncak dari kutub pertama adalah peristiwa perkawinan di Kana atau peristiwa roti dan ikan yang digandakan untuk memberi makan lima ribu orang. Peristiwa salib merupakan teladan spiritual yang heroik dan merupakan salah satu puncak dari karya profetis. Sementara itu, perjamuan malam terakhir adalah simbol perayaan umat, makan dan minum dari hasil kebun dan ternak.

Setelah Sang Guru mengajar dan ingin mengasingkan diri dengan perahu ke tempat sunyi, banyak orang malah mengikuti Dia. Hingga menjelang malam, orang banyak itu tidak juga beranjak pergi. Lalu, murid-murid Sang Guru meminta Dia untuk menyuruh banyak orang itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.

Namun, Sang Guru berkata lain, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Lalu para murid-Nya memberikan lima roti dan dua ikan kepada Dia, dan Dia pun memecahkan roti sehingga semua orang bisa makan.(bdk. Matius 14:13-21). Sang Guru telah memberikan contoh bahwa gereja tidak saja berkotbah, mengajar, mengkritik, tetapi wajib memberi makan banyak orang.

Puncak dari kutub kedua adalah peristiwa di Gunung Tabor, ketika Tuhan berubah rupa. Juga peristiwa Emaus. Ketika Yesus mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes ke Kemah Tabor dan berubah rupa di sana, mereka tidak menemukan Yesus yang mereka kenal di dunia. “Ini Elia, Musa, atau siapa?” Dalam kebingungan tersebut, mereka merasa ada satu suasana lain dari sisi keterbatasan kemanusiaan mereka. Ada rasa damai, nyaman, sebuah pengalaman kerohanian yang tinggi, yang dialami sebagai katarsis iman, melampaui pengalaman keseharian.

Akhir dari cerita itu, Yesus memberikan gambaran tentang masa depan menyangkut nasib-Nya. Ia akan menderita, mati, dan bangkit pada hari ketiga. Yesus berbicara apa adanya. Tidak juga memaksa ketiga rasul-Nya itu percaya. Dia membiarkan kemanusiaan Petrus, Yakobus, dan Yohanes mencerna sendiri. Tidak mudah untuk mengerti memang. Karena pikiran ketiga rasul itu sangat terbatas, atau terpenjara dalam keterbatasan pengetahuan dan kemauan untuk belajar. Padahal, pintu masuk dalam katarsis iman tersebut sudah tersembul dan ketiganya tinggal melangkah untuk menikmati pencerahan baru. Petrus, Yakobus, dan Yohanes lebih memilih memandang peristiwa tersebut dengan kaca mata budaya mereka. Ketiganya tidak berhasil masuk dalam “circumtance” kemah Tabor. Kemah Tabor, bagi mereka, adalah dunia hunian biasa yang juga terisi oleh pandangan lokal yang membudaya, mengakar kuat, dan sulit untuk dilepaskan.

Kalau pun Yesus berubah rupa di Kemah Tabor, melampaui raga manusiawi-Nya dan muncul dengan rupa baru yang suci, itu berarti Yesus mau supaya manusia menyelam ke dasar kemanusiawiannya. Mencoba menemukan sisi terdalam dari keterbatasan tersebut. Lantas, mengakui bahwa cita-cita ilahi sebenarnya yang terkandung di dalam raga yang rentan itu adalah berada dalam kondisi purna, yang ilahi dan yang tanpa batas. Sisi terdalam tersebut tidak pernah ditemukan dalam rupa pakaian modern yang gemerlapan, atau dalam suasana ad presens. Yang Yesus tunjukkan adalah sebuah kepekaan untuk “berganti, bertobat, menyadari keadaan lebih dari yang terjadi,” dari yang mudah rapuh, terpenggal, terbatas, pada sesuatu yang sifatnya tidak terbatas, lebih tahan lama, menuju sumber inspirasi baru. Atau dari lipstik pembicaraan, menuju pada berita yang layak untuk diwartakan. Dari yang tidak sekedar sensasional, meminjam Ratzinger, menuju pertobatan yang radikal.

Pewartaan di mimbar berbeda dengan media tulis. Mimbar sarat etika, post factum, bahkan bersifat eskatologis. Sementara itu, media tulis mengandalkan durasi in factum, tak harus bersentuhan dengan pesan moral, demi memenuhi hasrat ingin tahu sesaat. Boleh jadi media tulis memberi jejak pada ingatan, tetapi yang tersimpan hanyalah pesan pada sebuah kepentingan. Tidak lebih untuk mengklaim sebuah tujuan, atau tidak selamanya mengabdi pada kebenaran. Karena itu, media tulis selalu bertangan besi, atau menggembirakan atau menyakitkan. Tidak ada harapan untuk masa depan dengan hasil akhir yang melegakan.

Dalam buku Rapporto Sulla Fede, yang berisi wawancara wartawan Italia Vittorio Messori dengan Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) soal rahasia ketiga dari pesan Bunda Maria di Fatimah kepada tiga anak , Sang Kardinal mengatakan:

“Karena, menurut pertimbangan para Paus, isi rahasia tersebut sama sekali tidak menambah sesuatu yang baru bagi pewahyuan Kristen. Isi rahasia tersebut berupa seruan radikal kepada pertobatan, kesulitan berat dari sejarah, bahaya-bahaya yang mengancam iman dan hidup orang Kristen, dan juga kemudian bagi dunia. Jika tidak atau belum dipublikasikan, paling tidak untuk sementara waktu, semata-mata untuk menghindari orang beriman melihat secara membingungkan kenabian religius sebagai hal yang sensasional…”

Rahasia ketiga dari penampakan tersebut merupakan yang paling ditunggu banyak pihak. Keterpikatan tersebut hanya bertolak dari perasaan ingin tahu, dan cenderung melupakan latar belakang religius dari penampakan tersebut. Peralihan zaman telah menggeser persepsi manusia tentang arti kenabian. Dalam arti yang paling sempit, kenabian itu menjadi sekedar informasi tentang nasib duniawi dan bukan surgawi.

Materialisme telah mengubah kultur religius manusia menjadi sangat duniawi. Kiblat kerohanian yang sejak awal diharapkan lahir dari persemaian keluarga, telah bergeser pada isu relativisme. Pada sejarah keselamatan bangsa Israel, Musa mengukuhkan kenabiannya melalui tiang awan dan tiang api. Tanda-tanda duniawi tersebut tidak pernah dibaca secara harafiah. Tiang awan dan api tersebut hanya merupakan figurasi material dari iman akan keselamatan. Musalah tongkat di tangan Yahwe.

Imanensi yang berkulturasi pada materialisme yang humanis dan rohaniah berpuncak pada peristiwa inkarnasi Allah. Semua benda dalam jagat seolah-olah terserap dalam imanensi tersebut. Tanda-tanda kemahabesaran dalam jagat semesta itu seperti tidak berdaya, karena imanensi puncak tersebut menjelaskan secara sempurna awal dan akhir kehidupan. Tidak ada lagi pemberitaan yang sifatnya spekulatif. Semua pemberitaan dari Abraham, Ishak, Yakub, hingga Musa berakhir pada inkarnasi tersebut.

Namun, jauh sesudah pemakluman inkarnasi itu, manusia kembali terjebak pada arus formalisme yang material. Sesuatu yang imaterial, bahkan kerohanian sifatnya disisipkan sebagai pepesan. Kepentingan dan status quo lebih mendominasi daripada kerelaan untuk berbagi. Formalisme yang berujung pada materialisme absolut menisbikan religiositas menjadi berita sensasional. Karena segala sesuatu mesti dinyatakan dalam bentuk pada ruang dan waktu, dan bukan bersandar pada harapan yang belum pasti. Yang berharga adalah in factum, aktualitas, bukan post factum dan yang eskatologis.

Paus Yohanes Paulus II, dari sebelumnya Paus Pius IX dan berkelanjutan pada Paus Benedictus XVI saat ini, menyadari pentingnya menyampaikan informasi secara humanis, berkulturasi, dan beretika. Informasi tidak boleh berguguran seperti daun rontok, atau pada layang-layang yang menggantungkan panorama ketinggiannya pada ke mana arah angin. Bersamaan dengan itu, pandangan dunia yang lebih humanis dan kosmologis kembali memayungi cara dunia beraksi. Karena itu, informasi membutuhkan tubuh yang lebih terdidik, dan menjadi sarana penyampaian kabar gembira dan pewahyuan.

Gereja dan dunia berada dalam relasi yang unik. Gereja membutuhkan informasi untuk mendaratkan konsep teologisnya secara aktual. Liturgi inkulturasi di Gereja Asia-Afrika atau teologi pembebasan Amerika Latin merupakan contoh konkrit arus kuat desakan informasi. Sementara itu, dunia membutuhkan teologi sebagai langit pemikiran dan tubuh untuk aspek teleologis. Informasi tidak bisa lepas meluruh hanya sebagai informasi. Pada saat manusia membutuhkan pencernaan yang lebih matang, teologi merupakan cakrawala pandang yang memberikan etika penilaian. Model informasi yang terserap sudah merupakan hasil dari pencernaan lanjut di perut teologi.

Dalam relasi tersebut, menimbang Sang Guru pun tidak pernah mengabaikan kewajibannya pada dunia dan negara berilah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula, Gereja pun mestinya selalu peka terhadap tulisan, berita, dan informasi soal dunia. Dalam kepekaan tersebut, Gereja pun turut mengubah perwajahan dan pewartaannya menjadi lebih mendunia. Artinya, pertobatan tidak hanya sekedar monopoli ruang pengakuan. Inkarnasi hanya sebatas perayaan 25 Desember. Pertobatan mesti melampaui jeruji pengakuan dan menembus arti sempit yang semata-mata kultis. Pertobatan juga tidak sekedar mengakui dosa, tetapi juga mengakui keterbatasan cara pandang dan aksi. Karena itu, Gereja mesti tetap belajar, menjadi murid dari kesebelasan rasul menuju pada keterbukaan cara pandang yang baru.(*)



Jumat, 03 September 2010

Jangan Ceburkan Harmonika Beta!

Harmonika yang tercebur ke sungai menjadi puncak kemarahan Merry (Griffit Patricia) atas kenakalan Carlo (Yehuda Rumbini). Alat musik tiup itu menjadi melodi kedekatan Merry terhadap kakak tersayangnya Mauro (Marcel Raymond) yang sudah terpisah dalam rimba tak tentu. Tidak ada lagi harmonika yang menjadi jembatan kerinduan Merry atas Mauro. Carlo pantas dibenci karena memutuskan jembatan kerinduan Merry atas kakaknya Mauro.
Peristiwa revolusi kemerdekaan tanah Timor Timur atau yang lebih dikenal sebagai Timor Leste yang resmi memisahkan diri dari bumi pertiwi menyebabkan keluarga bahagia Tatiana (Alexandra Gottardo) tercerai berai. Sesungguhnya Tatiana, Merry, dan Mauro tidak pernah memilih menjadi pengungsian. Predikat itu dengan serta merta melekat pada diri keluarga itu setelah mereka memilih setia pada Indonesia. Ironis memang, karena sebelumnya mereka adalah warga negara Indonesia, hidup nyaman dan bahagia. Namun, ketika mereka kembali menegaskan dirinya sebagai warga negara Indonesia, memilih setiap pada Pancasila dan Merah Putih, mereka menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri.  
Nasib Carlo sebenarnya tidak lebih tragis dari kehidupan Tatiana, Merry, dan Mauro. Kalau Merry masih memiliki Tatiana dan Mauro, Carlo adalah sebatang kara. Ayahnya mati dalam perang revolusi, sedangkan ibunya meninggal oleh minimnya perhatian dan kepedulian bangsa ini terhadap nasib saudara seatapnya sendiri. Hidup di bawah standar kesehatan, miskin pendidikan, miskin sandang, pangan, dan papan adalah gambaran dari ongkos yang mesti diterima mereka yang memilih setia pada negara itu di barak pengungsian. Bahkan untuk sebuah cita-cita pun, Carlo tidak sanggup menyebutkan jati dirinya di masa depan karena tenggelam dalam depresi luar biasa atas nasib sebatang kara dirinya itu. “Saya punya cita-cita hanya mau supaya saya berkumpul dengan bapa dan mama,” ujar Carlo.
Film Tanah Air Beta garapan sutradara Ari Sihasale sekurang-kurangnya sedang mengurai dua harmonika yang tercerai berai. Tidak ada lagi lagu Tanah Air Beta. Tidak pula untuk Kasih Ibu. Harmonika itu telah tercebur, karena kecintaan para pengungsi diperbatasan itu tengah dikianati oleh saudara sebangsanya sendiri, bahkan oleh negaranya sendiri. Mereka memilih tetap tinggal di rumahnya Indonesia sebagai Tanah Air Beta, tetapi Indonesia malah memberi mereka identitas baru sebagai pengungsi.
Pilihan untuk kembali ke Indonesia menyebabkan Ayah, Ibu, dan anak-anaknya tercerai berai. Kebahagiaan sebagai satu keluarga serta merta dicabut dan dicabik-cabik. Ayah mencari ibu dan ibu mencari anak-anaknya. Sementara itu, Merry, Mauro, dan Carlo kehilangan masa ditimang dan dipeluk kedua orang tuanya, kehilangan pengalaman eksistensialnya sebagai kuncup yang baru tumbuh yang seyogyanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Demikian nyanyian Kasih Ibu tidak lagi harmonis, bahkan sulit untuk diperdengungkan karena harmonika itu telah tercebur.
Benar bahwa Ari Sihasale tidak berani mengeksplorasi terlalu jauh soal tragis dan pahitnya memilih pulang ke Indonesia sebagai Tanah Air Beta, ketimbang berdiam di Timor Lorosae. Atau, adakah kekecewaan para pengungsi itu memilih pulang ke Indonesia tetapi toh menjadi pengungsi. Benar bahwa film ini seolah cerita pendek yang tidak cukup durasi, dengan cerita yang mudah habis dan sederhana. Seperti sebuah dokumenter, laporan apa adanya yang diberi sinopsis.
Tetapi tindakan Ari Sihasale tersebut sangat humanis. Penceritaan ulang atas nasib tragis dan pahitnya sebuah pengalaman manusia bisa berubah menjadi penghakiman kedua yang memosisikan tokoh dari cerita yang diangkat itu sebagai korban. Penggal kisah terkait pengalaman pahit dan getir manusia yang diceritakan ulang sifatnya mesti membebaskan dan jangan sampai didramatisir sehingga mereka yang berada dalam kisah itu kembali merasa kecewa, dikhianati, rendah diri, dan menyerah dalam hidup. Karena alasan itulah, Ari Sahasale lebih memilih ‘mudah habis’ dan ‘sederhana’ ketimbang mesti harus memberi tangis dan darah kesekian kalinya pada para pengungsi.    
Tujuan Ari Sahasale adalah, Merry mesti mendapatkan kembali harmonika yang sudah tercebur. Tanah Air Beta mesti dinyanyikan dengan harmonika yang indah, penuh kebanggaan. Sementara itu, Kasih Ibu menjadi melodi kasih dari bahagianya sebuah keluarga dengan kelahiran baru setelah khaos.
Kalau Carlo, dalam tragis dan keterbatasannya bisa menghadirkan kembali harmonika Merry, menemani dan membebaskan Merry dari kedukaan dan nasib tragisnya dengan melupakan diri sendiri, mengapa bangsa ini tidak bisa berlaku yang sama? Kalau Carlo dengan sepenuh hati menyanyikan Kasih Ibu untuk perjumpaan Merry dan Mauro, selanjutnya membebaskan Tatiana dari rasa bersalah sebagai ibu, mengapa bangsa ini tidak demikian?
Carlo sebenarnya tidak mengharapkan apa-apa dari keikhlasannya menemani Merry, kecuali untuk mengembalikan harmonika yang sudah tercebur. Tetapi yang diperoleh Carlo dari Merry adalah baju baru, dari celengan Merry. Sebuah celengan dari kamp pengungsian dan baju yang sudah disudah dipersiapkan Merry sebagai hadiah terindah untuk kakak tersayang.
Pemberian diri Carlo dibalas Merry dengan kerelaan untuk memberi identitas baru pada Carlo. Secara tidak langsung Merry ingin mengatakan, “Carlo, kau juga orang yang saya kasihi sama seperti saya mengasihi kakak saya Mauro. Kenakan baju baru ini dan kau menjadi kakak saya juga.” Carlo tidak sebatang kara lagi. Dia sudah menemukan keluarga barunya. Harmonika yang tercebur itu kini ditemukan kembali.(*)