Sebelum Mengkritik
Gereja masa kini mentautkan dirinya dengan dunia politik, ekonomi, dan sosial. Sikap gereja itu bersumber pada keprihatinan atas pencapaian visi keadilan dalam kerangka rencana keselamatan ilahi.
Sebagai nabi yang menyuarakan rencana keselamatan ilahi, gereja bersandar pada definisi already but not yet. Bahwa keselamatan itu mesti sudah dimaklumkan kepada segala bangsa melalui gerbang surga yang dibuka Yesus pada peristiwa golgota dan kebangkitan di hari ketiga, yang merupakan puncak dari pengalaman Bapa-Bapa Bangsa dan Bangsa Israel. Karena itu, keselamatan juga mesti dimaklumkan saat ini (in present), seperti nas yang digenapkan Sang Putera itu dengan berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Gereja juga selalu berpegang pada misterium lunae. Suara kenabian itu semestinya dibagi-bagikan secara cuma sebagai pancaran dari Sang Logos yang satu dan mahakuasa. Artinya, kebenaran yang terpancar itu (logos spermatoikos) tidak berasal dari diri gereja, melainkan merupakan pantulan dari Sang Guru. Gereja adalah bulan yang tidak bisa bersinar tanpa matahari, tanpa melekat, berguru, berdialog, dan mengambil bagian secara personal (ekaristi) bersama Sang Guru. Kebenaran gereja selalu bersumber pada kebenaran Sang Guru, tidak pada kemauan manusiawi, tetapi bersandar pada iluminasi dan prokreasi dengan Sang Guru.
Dalam terang itu, Gereja perlu merenungkan kembali arti inkarnasi. Bukan sebagai peristiwa Allah yang mendatangi manusia di Bethlemen, tetapi lebih kepada keyakinan membangun dialog melalui pikiran, peristiwa, dan denyut kehidupan manusia. Inkarnasi sebagian berarti inkulturasi, sosial karitatif, profetis, dan altar. Dalam semangat itu, gereja selalu berada dalam dua kutub. Pada satu sisi, gereja aktif berkiprah di tengah pergumulan, entah dalam komunitas, kerumunan, maupun chaos. Sedangkan sisi lainnya, yaitu kembali ke bukit, ke tengah kesunyian untuk berdoa dan bergumul pada persekolahan para murid.
Puncak dari kutub pertama adalah peristiwa perkawinan di Kana atau peristiwa roti dan ikan yang digandakan untuk memberi makan lima ribu orang. Peristiwa salib merupakan teladan spiritual yang heroik dan merupakan salah satu puncak dari karya profetis. Sementara itu, perjamuan malam terakhir adalah simbol perayaan umat, makan dan minum dari hasil kebun dan ternak.
Setelah Sang Guru mengajar dan ingin mengasingkan diri dengan perahu ke tempat sunyi, banyak orang malah mengikuti Dia. Hingga menjelang malam, orang banyak itu tidak juga beranjak pergi. Lalu, murid-murid Sang Guru meminta Dia untuk menyuruh banyak orang itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.
Namun, Sang Guru berkata lain, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Lalu para murid-Nya memberikan lima roti dan dua ikan kepada Dia, dan Dia pun memecahkan roti sehingga semua orang bisa makan.(bdk. Matius 14:13-21). Sang Guru telah memberikan contoh bahwa gereja tidak saja berkotbah, mengajar, mengkritik, tetapi wajib memberi makan banyak orang.
Puncak dari kutub kedua adalah peristiwa di Gunung Tabor, ketika Tuhan berubah rupa. Juga peristiwa Emaus. Ketika Yesus mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes ke Kemah Tabor dan berubah rupa di sana, mereka tidak menemukan Yesus yang mereka kenal di dunia. “Ini Elia, Musa, atau siapa?” Dalam kebingungan tersebut, mereka merasa ada satu suasana lain dari sisi keterbatasan kemanusiaan mereka. Ada rasa damai, nyaman, sebuah pengalaman kerohanian yang tinggi, yang dialami sebagai katarsis iman, melampaui pengalaman keseharian.
Akhir dari cerita itu, Yesus memberikan gambaran tentang masa depan menyangkut nasib-Nya. Ia akan menderita, mati, dan bangkit pada hari ketiga. Yesus berbicara apa adanya. Tidak juga memaksa ketiga rasul-Nya itu percaya. Dia membiarkan kemanusiaan Petrus, Yakobus, dan Yohanes mencerna sendiri. Tidak mudah untuk mengerti memang. Karena pikiran ketiga rasul itu sangat terbatas, atau terpenjara dalam keterbatasan pengetahuan dan kemauan untuk belajar. Padahal, pintu masuk dalam katarsis iman tersebut sudah tersembul dan ketiganya tinggal melangkah untuk menikmati pencerahan baru. Petrus, Yakobus, dan Yohanes lebih memilih memandang peristiwa tersebut dengan kaca mata budaya mereka. Ketiganya tidak berhasil masuk dalam “circumtance” kemah Tabor. Kemah Tabor, bagi mereka, adalah dunia hunian biasa yang juga terisi oleh pandangan lokal yang membudaya, mengakar kuat, dan sulit untuk dilepaskan.
Kalau pun Yesus berubah rupa di Kemah Tabor, melampaui raga manusiawi-Nya dan muncul dengan rupa baru yang suci, itu berarti Yesus mau supaya manusia menyelam ke dasar kemanusiawiannya. Mencoba menemukan sisi terdalam dari keterbatasan tersebut. Lantas, mengakui bahwa cita-cita ilahi sebenarnya yang terkandung di dalam raga yang rentan itu adalah berada dalam kondisi purna, yang ilahi dan yang tanpa batas. Sisi terdalam tersebut tidak pernah ditemukan dalam rupa pakaian modern yang gemerlapan, atau dalam suasana ad presens. Yang Yesus tunjukkan adalah sebuah kepekaan untuk “berganti, bertobat, menyadari keadaan lebih dari yang terjadi,” dari yang mudah rapuh, terpenggal, terbatas, pada sesuatu yang sifatnya tidak terbatas, lebih tahan lama, menuju sumber inspirasi baru. Atau dari lipstik pembicaraan, menuju pada berita yang layak untuk diwartakan. Dari yang tidak sekedar sensasional, meminjam Ratzinger, menuju pertobatan yang radikal.
Pewartaan di mimbar berbeda dengan media tulis. Mimbar sarat etika, post factum, bahkan bersifat eskatologis. Sementara itu, media tulis mengandalkan durasi in factum, tak harus bersentuhan dengan pesan moral, demi memenuhi hasrat ingin tahu sesaat. Boleh jadi media tulis memberi jejak pada ingatan, tetapi yang tersimpan hanyalah pesan pada sebuah kepentingan. Tidak lebih untuk mengklaim sebuah tujuan, atau tidak selamanya mengabdi pada kebenaran. Karena itu, media tulis selalu bertangan besi, atau menggembirakan atau menyakitkan. Tidak ada harapan untuk masa depan dengan hasil akhir yang melegakan.
Dalam buku Rapporto Sulla Fede, yang berisi wawancara wartawan Italia Vittorio Messori dengan Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) soal rahasia ketiga dari pesan Bunda Maria di Fatimah kepada tiga anak , Sang Kardinal mengatakan:
“Karena, menurut pertimbangan para Paus, isi rahasia tersebut sama sekali tidak menambah sesuatu yang baru bagi pewahyuan Kristen. Isi rahasia tersebut berupa seruan radikal kepada pertobatan, kesulitan berat dari sejarah, bahaya-bahaya yang mengancam iman dan hidup orang Kristen, dan juga kemudian bagi dunia. Jika tidak atau belum dipublikasikan, paling tidak untuk sementara waktu, semata-mata untuk menghindari orang beriman melihat secara membingungkan kenabian religius sebagai hal yang sensasional…”
Rahasia ketiga dari penampakan tersebut merupakan yang paling ditunggu banyak pihak. Keterpikatan tersebut hanya bertolak dari perasaan ingin tahu, dan cenderung melupakan latar belakang religius dari penampakan tersebut. Peralihan zaman telah menggeser persepsi manusia tentang arti kenabian. Dalam arti yang paling sempit, kenabian itu menjadi sekedar informasi tentang nasib duniawi dan bukan surgawi.
Materialisme telah mengubah kultur religius manusia menjadi sangat duniawi. Kiblat kerohanian yang sejak awal diharapkan lahir dari persemaian keluarga, telah bergeser pada isu relativisme. Pada sejarah keselamatan bangsa Israel, Musa mengukuhkan kenabiannya melalui tiang awan dan tiang api. Tanda-tanda duniawi tersebut tidak pernah dibaca secara harafiah. Tiang awan dan api tersebut hanya merupakan figurasi material dari iman akan keselamatan. Musalah tongkat di tangan Yahwe.
Imanensi yang berkulturasi pada materialisme yang humanis dan rohaniah berpuncak pada peristiwa inkarnasi Allah. Semua benda dalam jagat seolah-olah terserap dalam imanensi tersebut. Tanda-tanda kemahabesaran dalam jagat semesta itu seperti tidak berdaya, karena imanensi puncak tersebut menjelaskan secara sempurna awal dan akhir kehidupan. Tidak ada lagi pemberitaan yang sifatnya spekulatif. Semua pemberitaan dari Abraham, Ishak, Yakub, hingga Musa berakhir pada inkarnasi tersebut.
Namun, jauh sesudah pemakluman inkarnasi itu, manusia kembali terjebak pada arus formalisme yang material. Sesuatu yang imaterial, bahkan kerohanian sifatnya disisipkan sebagai pepesan. Kepentingan dan status quo lebih mendominasi daripada kerelaan untuk berbagi. Formalisme yang berujung pada materialisme absolut menisbikan religiositas menjadi berita sensasional. Karena segala sesuatu mesti dinyatakan dalam bentuk pada ruang dan waktu, dan bukan bersandar pada harapan yang belum pasti. Yang berharga adalah in factum, aktualitas, bukan post factum dan yang eskatologis.
Paus Yohanes Paulus II, dari sebelumnya Paus Pius IX dan berkelanjutan pada Paus Benedictus XVI saat ini, menyadari pentingnya menyampaikan informasi secara humanis, berkulturasi, dan beretika. Informasi tidak boleh berguguran seperti daun rontok, atau pada layang-layang yang menggantungkan panorama ketinggiannya pada ke mana arah angin. Bersamaan dengan itu, pandangan dunia yang lebih humanis dan kosmologis kembali memayungi cara dunia beraksi. Karena itu, informasi membutuhkan tubuh yang lebih terdidik, dan menjadi sarana penyampaian kabar gembira dan pewahyuan.
Gereja dan dunia berada dalam relasi yang unik. Gereja membutuhkan informasi untuk mendaratkan konsep teologisnya secara aktual. Liturgi inkulturasi di Gereja Asia-Afrika atau teologi pembebasan Amerika Latin merupakan contoh konkrit arus kuat desakan informasi. Sementara itu, dunia membutuhkan teologi sebagai langit pemikiran dan tubuh untuk aspek teleologis. Informasi tidak bisa lepas meluruh hanya sebagai informasi. Pada saat manusia membutuhkan pencernaan yang lebih matang, teologi merupakan cakrawala pandang yang memberikan etika penilaian. Model informasi yang terserap sudah merupakan hasil dari pencernaan lanjut di perut teologi.
Dalam relasi tersebut, menimbang Sang Guru pun tidak pernah mengabaikan kewajibannya pada dunia dan negara berilah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula, Gereja pun mestinya selalu peka terhadap tulisan, berita, dan informasi soal dunia. Dalam kepekaan tersebut, Gereja pun turut mengubah perwajahan dan pewartaannya menjadi lebih mendunia. Artinya, pertobatan tidak hanya sekedar monopoli ruang pengakuan. Inkarnasi hanya sebatas perayaan 25 Desember. Pertobatan mesti melampaui jeruji pengakuan dan menembus arti sempit yang semata-mata kultis. Pertobatan juga tidak sekedar mengakui dosa, tetapi juga mengakui keterbatasan cara pandang dan aksi. Karena itu, Gereja mesti tetap belajar, menjadi murid dari kesebelasan rasul menuju pada keterbukaan cara pandang yang baru.(*)