Rabu, 22 April 2009

Divestasi Newmont, How Long With You?

Tiga pekan sudah putusan arbitrase kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) berlalu. Pemerintah dinyatakan menang, dan NNT wajib mendivestasikan sahamnya sebesar 17% atau senilai US$ 391 juta. Kewajiban tersebut juga disertai keharusannya lainnya. NNT mesti membersihkan status gadai dari saham yang dijual kepada pemerintah tersebut.

Lepas dari kewajiban itu, pemerintah sebagai pembeli belum menunjukkan tanda akan mengambil alih saham tersebut. Samar terdengar dari mulut Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, bahwa pemerintah siap membeli saham tersebut melalui BUMN. Namun, sikap tegas dan resmi pemerintah itu tak kunjung terlontar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebagai palang pintu pengambil keputusan, masih bungkam. Yang terlontar dari mulut Plt Menteri Koordinator Perekonomian itu hanyalah kajian demi kajian segi ekonomis, kesinambungan investasi, dan nilai strategis NNT. “Hingga saat ini belum ada keputusan dari pemerintah untuk membeli saham tersebut,” ujar Sri Mulyani, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sikap lamban pemerintah tersebut sangat tidak sinkron dengan semangat mengadukan NNT ke sidang arbitrase. Pekan terakhir jelang putusan arbitrase tersebut diumumkan, pemerintah bahkan sesumbar akan langsung menterminasi NNT jika dinyatakan sebagai pemenang. Pemerintah juga mengaku telah menyiapkan skenario untuk membeli saham divestasi tersebut. Dana bisa dicari, yang penting saham tersebut mesti didivestasikan.

BUMN pada galibnya juga membentuk sebuah konsorsium untuk membeli saham divestasi tersebut. Hanya untuk saham 17% senilai US$ 391 tersebut, BUMN merasa tidak percaya diri dengan dana internal yang mengendap di kas perseroan. Alhasil, Sofyan Djalil mencanangkan upaya menggandeng pihak ketiga sebagai sumber pendanaan. Sayangnya, corong resmi pemerintah, seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sama sekali bungkam soal kemampuan pemerintah dan pembeli potensial tersebut. Purnomo hanya taktis menjawab, kalau pemerintah tidak bisa beli, saham divestasi tersebut akan ditawarkan ke pihak swasta nasional.

Lepas dari ketertarikannya pada 17% saham divestasi NNT, pemilik utama PT Pukuafu Indah sekaligus pemegang saham 20% NNT Jusuf Merukh mengingatkan, tujuan divestasi adalah agar pemerintah daerah dan swasta nasional beralih memegang kendali di rumah tambangnya sendiri. Divestasi tersebut mesti mengarah pada kristalisasi kesejahteraan rakyat, atau memanfaatkan sumber kekayaan alam untuk hajat hidup orang banyak. Karena itu, sangatlah tidak masuk akal, jika saham divestasi NNT itu jatuh ke pihak yang sahamnya sudah tergadai secara publik. Divestasi saham NNT itu tidak boleh jatuh ke portofolio orang-orang berdasi.

Secara legitim, parameter divestasi tersebut menggugurkan beberapa BUMN yang sudah terdaftar di lantai bursa, seperti PT Aneka Tambang, PT Tambang Batubara Bukit Asam, dan PT Timah. Ironisnya, BUMN tersebut justru yang menjadi pilar keminatan BUMN pada saham divestasi NNT tersebut. Sementara itu, perusahaan swasta nasional lainnya juga terdepak oleh parameter tersebut. Sebut saja, PT Bumi Resourches, yang kabarnya meminati juga saham divestasi itu, juga kandas oleh kriteria tersebut.

Pemerintah daerah (pemda) seharusnya punya wewenang dominan dalam mengambil alih saham divestasi itu. Sebagai ‘tuan tanah’ yang tinggal bertetangga dengan NNT, hak pembelian tersebut seharusnya otomatis jatuh ke tangan pemda. Namun, berdasarkan Kontrak Karya, pemda adalah tangan kedua, setelah pemerintah pusat menolak. Hak pemda sesuai putusan arbitrase hanya 10% saham, dari divestasi periode 2006 dan 2007. Selebihnya, pemerintah pusat bertindak sebagai pemegang hak pertama membeli saham divestasi tersebut.

Penyakit linear pun berulang. Pemda tidak punya dana untuk membeli saham divestasi tersebut. Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) KH Zulkifli Muhadli dengan terang mengakui akan membentuk konsorsium dan melaksanakan tender terbuka (beauty contest) untuk menggandeng swasta dalam mengeksekusi putusan arbitrase itu.

Sinyalemen saham divestasi NNT itu jatuh ke tangan swasta semakin menggejala. Tarik ulur pemerintah pusat dan ketidaksanggupan pemda menyebabkan pilihan ketiga kemungkinan besar akan digunakan. Ini bola liar yang akan terus memanas, mengingat pembelian saham divestasi NNT tersebut ibarat makanan empuk, yang siap dikunyah. Perusahaan swasta itu tidak lagi perlu eksplorasi dan eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan. Hanya dengan membeli saham tersebut dan mengumpulkan deviden dari tahun ke tahun. Siapa yang tidak mau?

Sesungguhnya sikap kenegaraan pemerintah sedang diuji. Dalam hal ini, pemerintah perlu mencermati nasihat Biersteker (1981). Menurut dia, keputusan soal hajat hidup orang banyak baru dikatakan adil kalau terbebaskan dari belenggu kelas komprador. Artinya, keputusan pembelian saham divestasi NNT mesti bisa lepas dari klik yang berada di seputar kepala negara dan wakilnya. Orang-orang kunci di bidang ekonomi. Aparat ideologis negara. Aparat represif negara. Orang-orang kunci di bidang politik. Muara dari keputusan itu tidak boleh dilihat sebagai kemenangan kelas kepentingan tertentu. Sementara itu, kepentingan rakyat adalah bagian paling akhir yang sengaja ditonjolkan untuk retorika, tetapi tidak dalam implementasinya. Pembelian divestasi saham NNT itu seharusnya bisa mencerminkan siapakah pemilik sumber kekayaan alam yang sebenarnya. Rakyat butuh pemerintah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Strategis dan ekonomisnya pertimbangan pembelian saham divestasi itu mestinya tidak mengabaikan hajat hidup dari pemilik sah kekayaan alam tersebut. Divestasi saham NNT, berapa lama lagi?

-------------------

Diterbitkan Investor Daily, 20 April 2009

Tidak ada komentar: