Rabu, 22 April 2009

Dari Batubara Sampai Panas Bumi

Krisis listrik nasional bukanlah sebuah keniscayaan. Sekurang-kurangnya itulah yang terbetik dari upaya PT PLN mengurai benang kusut tersebut. Awalnya PLN mencanangkan proyek 10.000 megawatt (MW) dengan dominasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Tidak tanggung-tanggung, sekitar 34 proyek PLTU yang tersebar di Pulau Jawa dan luar Jawa tersebut dipaparkan. PLN bersiteguh, proyek listrik tersebut akan menyumbang kapasitas daya terpasang sekitar 9.475 MW pada 2010. Untuk Pulau Jawa sekitar 7.430 MW dan 2.045 MW untuk luar Jawa.

Optimisme PLN tersebut terbetik terutama dari meledaknya produksi batubara nasional. Batubara memang menjadi pilihan utama PLN. Harga batubara relatif lebih rendah daripada bahan bakar minyak (BBM). Bandingkan saja, PLN bisa menghemat anggaran sekitar Rp 28 triliun, dari Rp 165 triliun menjadi Rp 137 triliun tahun ini. Penekanan biaya tersebut terjadi karena belanja BBM PLN turun drastis sekitar Rp 33 triliun, dari Rp 112 triliun menjadi Rp 79 triliun. Penggunaan porsi batubara dalam jumlah besar justru akan mengefisienkan kinerja perusahaan setrum nasional tersebut. 

Pengalihan ke batubara tersebut tidak sekedar soal efisiensi. Secara teknis, pembangkit berbahan bakar batubara lebih responsif sebagai pemikul beban dasar untuk mengatasi krisis listrik. Dengan kondisi pasokan dan ketersediaan cadangan listrik yang tipis sebesar 4.400 MW, atau sekitar 26 – 27% dari total kapasitas, PLN tidak bisa berbuat banyak seandainya terjadi kerusakan pada salah satu pembangkit utama. Batubara justru hadir karena tidak ada pilihan lain yang lebih responsif. 

Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan, PLN membutuhkan dana, khususnya mata uang dolar AS, sekitar US$ 4,9 miliar untuk pembangunan proyek 10.000 tahap-I. Sebanyak US$ 1,9 miliar sudah diteken perjanjiannya, US$ 2,1 miliar sedang dalam negosiasi dengan perbankan asal Tiongkok, dan US$ 1 miliar ditargetkan selesai pada 2009. Sementara itu, PLN juga membutuhkan pendanaan rupiah sebesar Rp 19,2 triliun. Sekitar Rp 15,3 triliun sudah diteken dan sisanya sekitar Rp 2 triliun diharapkan bisa selesai pada tahun ini. 

November tahun lalu tercium bau tak sedap bahwa target realisasi dari proyek 10.000 MW tersebut bakal molor. Tidak mudah memang membangun membangun megaproyek listrik itu dalam sekejab. Penderaan utama dari molornya proyek tersebut bermula dari tersendatnya pencairan dana oleh beberapa lembaga keuangan asal Tiongkok. Boleh saja PLN tersenyum karena sebagaian besar dana tersebut sudah disetujui. Namun, mangkirnya lembaga keuangan asal Tiongkok itu membuat PLN mesti realistis. 

Alhasil, hanya tiga pembangkit dengan total kapasitas 1.890 MW, yaitu PLTU Labuan, PLTU Indramayu, dan PLTU Rembang yang akan masuk dalam sistem distribusi jaringan tahun ini. Sekitar 31 pembangkit lainnya masih terkatung menanti pencairan dari komitmen pendanaan. Namun, kehadiran tiga pembangkit itu hanya mampu menambah ketersediaan cadangan hingga 30% sampai akhir tahun. Krisis listrik yang berujung pada byar pett masih tetap menjadi momok. 

Sedikit mengherankan, PLN malah berani mencanangkan proyek 10.000 MW tahap kedua. Di tengah kesulitan pendanaan dan ketidakyakinan investor terhadap kredibilitas keuangan PLN, proyek 10.000 MW itu mengambil risiko dengan memasukkan panas bumi sebagai salah satu tulang punggung. Benar bahwa cadangan panas bumi nasional sekitar 27.510 MWe atau 40% dari potensi panas bumi dunia. PLN mengalokasikan pertumbuhan PLTP sebesar 4.733 MW pada 2014 dan 5.785 MW pada 2016. Sementara itu, kapasitas terpasang hingga tahun lalu masih sekitar 1.052 MWe. 

Jika dikaitkan dengan biaya investasi sebuah pembangkit listrik panas bumi (PLTP), PLN perlu berpikir panjang. Pasalnya, Jika 1 MW diasumsikan sekitar US$ 2,5 – 3 juta, maka PLN membutuhkan US$ 50 – 60 juta untuk merampungkan PLTP berkapasitas 20 MW. Total investasi tersebut di luar pembangunan pembangkit yang mencapai US$ 1,5 juta per MW. “PLN sebaiknya tidak usah memperiodisasi pembangunan pembangkit dengan sebutan 10.000 MW tahap I dan II, jika tidak mampu merealisasikannya. Sebaiknya PLN realistis untuk merealisasikan pembangkit yang bisa dibangun,” ujar Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, beberapa waktu lalu. 

Belum juga selesai pencairan pendanaan dari proyek 10.000 MW, PLN sudah menimpali bebannya sendiri dengan komitmen mengejar investasi listrik pada proyek 10.000 MW tahap kedua. PLN sekurang-kurangnya membutuhkan investasi sekitar US$ 8 miliar per tahun untuk investasi listrik. Kebutuhan pendanaan PLN hingga 2018 sekitar US$ 83,69 miliar. Sekitar US$ 56,57 miliar untuk pembangkit, US$ 14,10 miliar untuk transmisi, dan US$ 12,38 miliar untuk kebutuhan distribusi. 

PLN berdalih, masalah kelistrikan bukan cuma tanggung jawab PLN. Mekanisme perampungan proyek listrik itu bisa bergandengan dengan pihak swasta. Dalih PLN tersebut bertumpu pada tawaran harga jual listrik yang lebih bankable, karena disesuaikan dengan tingkat pengembalian modal untuk jenis pembangkit. Namun, apakah garansi tersebut bisa memecahkan kebuntuan dari tersendatnya realisasi proyek listrik yang masih terbengkelai tersebut? Pasalnya, swasta cenderung menganggap harga jual pembangkit listrik ke PLN masih tetap rendah. 

Tetap Berharap 

Kendati belepotan masalah, upaya PLN tetap perlu diacungkan jempol. Boleh dibilang upaya pengentasan krisis listrik tersebut terbilang radikal. PLN memilih menutup mata terhadap tantangan, dan berani mengambil risiko tanpa pamrih. Toh, kerja keras PLN mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi nasional dan menjamin pasokan listrik itu tetap tersedia. Upaya tersebut bukan saja ditempuh melalui jalur batubara dan panas bumi, melainkan juga dari reinkarnasi penggunaan BBM menuju gasifikasi. Beberapa PLTGU, seperti PLTU Muara Karang, Priok, Labuhan Angin, Apung, Grati justru menjadi nyawa kedua PLN tahun ini. Pada PLTGU tersebut, PLN menemukan jati dirinya sebagai penjamin kebutuhan listrik nasional dan partner pemerintah dalam memajukan ekonomi bangsa. Masyarakat tetap menanti dan berharap, agar PLN menemukan kanal yang pas dalam menuntaskan proyek kelistrikan tersebut. Bagaimana pun juga, hidup dalam kegelapan di abad ini sudah bukan zamannya lagi!

---------------

Investor Daily, 22 April 2009

Divestasi Newmont, How Long With You?

Tiga pekan sudah putusan arbitrase kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) berlalu. Pemerintah dinyatakan menang, dan NNT wajib mendivestasikan sahamnya sebesar 17% atau senilai US$ 391 juta. Kewajiban tersebut juga disertai keharusannya lainnya. NNT mesti membersihkan status gadai dari saham yang dijual kepada pemerintah tersebut.

Lepas dari kewajiban itu, pemerintah sebagai pembeli belum menunjukkan tanda akan mengambil alih saham tersebut. Samar terdengar dari mulut Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, bahwa pemerintah siap membeli saham tersebut melalui BUMN. Namun, sikap tegas dan resmi pemerintah itu tak kunjung terlontar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebagai palang pintu pengambil keputusan, masih bungkam. Yang terlontar dari mulut Plt Menteri Koordinator Perekonomian itu hanyalah kajian demi kajian segi ekonomis, kesinambungan investasi, dan nilai strategis NNT. “Hingga saat ini belum ada keputusan dari pemerintah untuk membeli saham tersebut,” ujar Sri Mulyani, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sikap lamban pemerintah tersebut sangat tidak sinkron dengan semangat mengadukan NNT ke sidang arbitrase. Pekan terakhir jelang putusan arbitrase tersebut diumumkan, pemerintah bahkan sesumbar akan langsung menterminasi NNT jika dinyatakan sebagai pemenang. Pemerintah juga mengaku telah menyiapkan skenario untuk membeli saham divestasi tersebut. Dana bisa dicari, yang penting saham tersebut mesti didivestasikan.

BUMN pada galibnya juga membentuk sebuah konsorsium untuk membeli saham divestasi tersebut. Hanya untuk saham 17% senilai US$ 391 tersebut, BUMN merasa tidak percaya diri dengan dana internal yang mengendap di kas perseroan. Alhasil, Sofyan Djalil mencanangkan upaya menggandeng pihak ketiga sebagai sumber pendanaan. Sayangnya, corong resmi pemerintah, seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sama sekali bungkam soal kemampuan pemerintah dan pembeli potensial tersebut. Purnomo hanya taktis menjawab, kalau pemerintah tidak bisa beli, saham divestasi tersebut akan ditawarkan ke pihak swasta nasional.

Lepas dari ketertarikannya pada 17% saham divestasi NNT, pemilik utama PT Pukuafu Indah sekaligus pemegang saham 20% NNT Jusuf Merukh mengingatkan, tujuan divestasi adalah agar pemerintah daerah dan swasta nasional beralih memegang kendali di rumah tambangnya sendiri. Divestasi tersebut mesti mengarah pada kristalisasi kesejahteraan rakyat, atau memanfaatkan sumber kekayaan alam untuk hajat hidup orang banyak. Karena itu, sangatlah tidak masuk akal, jika saham divestasi NNT itu jatuh ke pihak yang sahamnya sudah tergadai secara publik. Divestasi saham NNT itu tidak boleh jatuh ke portofolio orang-orang berdasi.

Secara legitim, parameter divestasi tersebut menggugurkan beberapa BUMN yang sudah terdaftar di lantai bursa, seperti PT Aneka Tambang, PT Tambang Batubara Bukit Asam, dan PT Timah. Ironisnya, BUMN tersebut justru yang menjadi pilar keminatan BUMN pada saham divestasi NNT tersebut. Sementara itu, perusahaan swasta nasional lainnya juga terdepak oleh parameter tersebut. Sebut saja, PT Bumi Resourches, yang kabarnya meminati juga saham divestasi itu, juga kandas oleh kriteria tersebut.

Pemerintah daerah (pemda) seharusnya punya wewenang dominan dalam mengambil alih saham divestasi itu. Sebagai ‘tuan tanah’ yang tinggal bertetangga dengan NNT, hak pembelian tersebut seharusnya otomatis jatuh ke tangan pemda. Namun, berdasarkan Kontrak Karya, pemda adalah tangan kedua, setelah pemerintah pusat menolak. Hak pemda sesuai putusan arbitrase hanya 10% saham, dari divestasi periode 2006 dan 2007. Selebihnya, pemerintah pusat bertindak sebagai pemegang hak pertama membeli saham divestasi tersebut.

Penyakit linear pun berulang. Pemda tidak punya dana untuk membeli saham divestasi tersebut. Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) KH Zulkifli Muhadli dengan terang mengakui akan membentuk konsorsium dan melaksanakan tender terbuka (beauty contest) untuk menggandeng swasta dalam mengeksekusi putusan arbitrase itu.

Sinyalemen saham divestasi NNT itu jatuh ke tangan swasta semakin menggejala. Tarik ulur pemerintah pusat dan ketidaksanggupan pemda menyebabkan pilihan ketiga kemungkinan besar akan digunakan. Ini bola liar yang akan terus memanas, mengingat pembelian saham divestasi NNT tersebut ibarat makanan empuk, yang siap dikunyah. Perusahaan swasta itu tidak lagi perlu eksplorasi dan eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan. Hanya dengan membeli saham tersebut dan mengumpulkan deviden dari tahun ke tahun. Siapa yang tidak mau?

Sesungguhnya sikap kenegaraan pemerintah sedang diuji. Dalam hal ini, pemerintah perlu mencermati nasihat Biersteker (1981). Menurut dia, keputusan soal hajat hidup orang banyak baru dikatakan adil kalau terbebaskan dari belenggu kelas komprador. Artinya, keputusan pembelian saham divestasi NNT mesti bisa lepas dari klik yang berada di seputar kepala negara dan wakilnya. Orang-orang kunci di bidang ekonomi. Aparat ideologis negara. Aparat represif negara. Orang-orang kunci di bidang politik. Muara dari keputusan itu tidak boleh dilihat sebagai kemenangan kelas kepentingan tertentu. Sementara itu, kepentingan rakyat adalah bagian paling akhir yang sengaja ditonjolkan untuk retorika, tetapi tidak dalam implementasinya. Pembelian divestasi saham NNT itu seharusnya bisa mencerminkan siapakah pemilik sumber kekayaan alam yang sebenarnya. Rakyat butuh pemerintah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Strategis dan ekonomisnya pertimbangan pembelian saham divestasi itu mestinya tidak mengabaikan hajat hidup dari pemilik sah kekayaan alam tersebut. Divestasi saham NNT, berapa lama lagi?

-------------------

Diterbitkan Investor Daily, 20 April 2009

Minggu, 12 April 2009

Yang Mencurigakan Dari Memoar Sintong

SESUNGGUHNYA Letjen TNI (purn) Prabowo Subianto adalah pelaku utama memoar Sintong Panjaitan berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Buku setebal 520 halaman yang ditulis Hendro Subroto tersebut mengawali dan mengakhiri kisahnya dengan peristiwa Mei 1998. Prabowo menjadi ‘terdakwa’ dalam dua hal, yaitu actor intellectual dari rencana coup dan dalang penculikan sejumlah mahasiswa.

Sayangnya, versi Prabowo tidak pernah muncul dalam buku tersebut. Prabowo tidak pernah diberi kapasitas membela diri, layaknya seorang terdakwa dalam sebuah persidangan. Padahal, buku adalah sidang pembaca. Penulis dan pencerita dalam buku bahkan tidak lagi berhak memiliki kisah tersebut, ketika sebuah buku sudah dilempar ke pasaran publik. Hanya publik yang layak menilai. Ketiadaan versi Prabowo dalam penceritaan yang tendensius tersebut telah membunuh karakter seorang Prabowo.

Kisah Sintong nyaris tenggelam justru karena kehadiran bab 1 dan bab 13 dalam buku tersebut. Ketokohan Sintong malah hanya menjadi jembatan untuk mengisahkan Prabowo, mantan-mantan murid lainnya di Baret Merah, dan sepak terjangnya. Penempatan kisah Prabowo pada awal dan akhir buku itu dengan jenius mampu memanipulasi kesan dan pesan. Pembaca sengaja diingatkan dua kali, pada saat memasuki gerbang memoar itu dan ketika hendak meninggalkan sidang pembacaan kitab tersebut. Sintong, dalam hal ini, adalah pembaca peringatan itu.

Tautan kisah dalam memoar tersebut pun patut dicurigai. Cerita G30S/PKI yang disebut Sintong sebagai ‘pemberontakan’ dan bukan ‘peristiwa’ merupakan premis, alias gerbang masuk untuk mendakwa Prabowo. Sintong menyebut counter coup d’ etat yang dilakukan Prabowo dalam peristiwa Maret 1993 terhadap LB Moerdani adalah rekayasa yang mirip Letkol Untung. Selanjutnya, Prabowo dalam beberapa kali pencitraan disebut ‘sedang stres berat.’

Pencitraan tersebut menyebabkan kapasitas ketentaraan dan intelegensia Prabowo sebagai seorang terdidik dan pemimpin setaraf wakil komandan Detasemen 81/Antiteror sedang diremehkan pada titik terendah. Namun, sangat tidak masuk akal kalau Sintong selalu menyebut Den 81/Antiteror adalah pasukan terbaik dari yang terbaik, atau terpilih dari anggota Koppassandha terbaik. Sintong bahkan menyebutkan Den 81/Antiteror merupakan piramida puncak dari pasukan inti Koppassandha dan ABRI. Luhut Pandjaitan dan Prabowo, sekalipun yang satu komandan dan yang lainnnya wakil, adalah pemimpin dari pasukan terbaik dari yang terbaik. Sintong sedang menyangkal Den 81/Antiteror yang dibidaninya sebagai satuan yang terbaik dari yang terbaik.

Sintong hanya ‘merasa’ hormat kepada beberapa seniornya seperti Ijon Jambi, Slamet Riyadi, Alex Kawilarang dan kemudian kepada Widjojo Soejono dan LB Moerdani. Dia juga mengatakan Prabowo, Luhut, AM Hendropriyono, Agum Gumelar, Sutiyoso, Syafrie Sjamsoeddin, Tarub, Muchdi Pr sebagai anak didiknya di warga baret merah. Berbeda dengan Prabowo yang disebut sedang stress berat, melalui mulut LB Moerdani, Try Sutrisno, Rudini, maupun Edi Sudradjat, Sintong memuji Luhut sebagai perwira terbaik di angkatan darat.

Namun, Sintong salah menilai kebangsawanan Almarhum Mantan Presiden RI Soeharto dengan mengusulkan status daerah istimewa untuk Timor Timur. Merasa tepat sesuai konsep ‘bapak’, Sintong malah melangkahi LB Moerdani sebagai atasannya, yang sesuai hierarki seharusnya yang menyampaikan usulan tersebut. Usulan daerah istimewa tersebut lebih etis disampaikan Sintong pada LB Moerdani, dan kemudian Moerdani kepada Soeharto. Padahal, Sintong tahu dari Moerdani bahwa Soeharto perlu dibela mati-matian sampai kapanpun, karena beliau adalah seorang Pancasilais sejati. Ucapan tersebut diulang kembali Moerdani dalam rapat para perwira tinggi ABRI.

Dalam kedekatannya bersama BJ Habibie, Sintong juga pernah dibentak soal keputusan presiden pengganti Soeharto yang terus mengusulkan pemisahan jabatan Menteri Hankam dan Panglima ABRI. Dia mengusulkan Hendropriyono diangkat menjadi Panglima ABRI dan menteri Hankam diberikan pada Wiranto. “Pak Sintong, saya tidak mau seperti itu!” Akhirnya Sintong menyadari bahwa dirinya merupakan pembantu Presiden yang jangan sampai malah merecokinya. Baru kemudian Sintong menyadari pilihan Habibie tersebut berdasarkan pertimbangan pribadi yang menilai Wiranto sebagai sosok yang jujur, bermoral, beretika, serta setia pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Dalam usulannya kepada BJ Habibie soal pemisahan kekuasaan tersebut, Prabowo juga menyebut Wiranto pantas menjadi Menteri Hankam. Namun, Prabowo tidak sependapat dengan Sintong soal Hendropriyono sebagai Panglima ABRI. Dia malah mengusulkan Subagyo HS, dan Sintong menganggap usulan itu belum tentu kejelekan. Namun, Sintong justru yang berperan aktif dalam proses pergantian Prabowo dari Panglima Kostrad. Dia menginterpretasikan, pasukan yang berjejal di luar kediaman Presiden dan bersiaganya satuan Kostrad dari luar Jakarta ke Jakarta sebagai upaya coup yang hendak dilancarkan Prabowo. Karena itu, Prabowo pantas dilengserkan karena berbahaya. Padahal, Sintong sendiri mengakui Prabowo tidak mempunyai pengaruh di sebagian besar anggota ABRI, sehingga tidak ada gerakan penolakan pascapencopotan Prabowo. Namun, Prabowo tidak diadili oleh tuduhannya terhadap Moerdani yang akan melakukan coup terhadap Soeharto. Pasalnya, kedekatannya sebagai mantu presiden menyebabkan Prabowo kebal hukum.

Menurut Sintong, alangkah tidak masuk akal (sampai hari ini), mengapa sebagian besar pimpinan ABRI pada waktu itu berada di Malang, pada saat terjadi peristiwa liar Mei 1998. Padahal, Soeharto sudah mempercayakan masalah keamanan dan ketertiban kepada ABRI melalui Inpres No 16 Tahun 1998. Wiranto sebagai Panglima ABRI dan Subayo sebagai KSAD diminta membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tidak ada Prabowo saat Inpres tersebut dikeluarkan.

Sementara itu, Sintong saat itu adalah penasihat bidang pertahanan keamanan wakil presiden Habibie. Dia mengusulkan agar Habibie mengeluarkan suatu pernyataan guna menenangkan masyarakat dan membentuk instruksi yang dianggap perlu. Soeharto masih di Kairo. Namun, Habibie tahu diri. Dia tidak mau mendahului Soeharto, dan bahwa langkah tersebut harus ada izin dari presiden. Sintong bahkan bertanya, mengapa harus ada izin dari presiden yang sedang berada di luar negeri?

Memoar Sintong ini sebenarnya merupakan kisah soal ‘kedekatan’, entah orang per orang atau kedekatan pada peristiwa. Dalam kedekatan tersebut, ada yang merasa sangat dekat, hingga yakin dan pasti tahu soal seluk beluk peristiwa dan isi kepala seseorang. Kedekatan itu pula yang menimbulkan perasaan gengsi, persaingan jabatan, dan sikut menyikut. Dalam kedekatan itu, persoalan etis tidak etis, loyal tidak loyal, hierarki menjadi sesuatu yang gamang.

Kalau Soeharto sudah merasa tidak percaya dengan ABRI, kepada siapa lagi dia mengadu untuk mempertahankan visi kebangsaan dan pancasilaisnya? Prabowo dengan pasukan di sekitar istana? Ini soal kedekatan sebagai mantu. Setelah Soeharto lengser, Prabowo pun dengan segala cara ikut dilengserkan. Bukan kebetulan, Sintong dekat dengan Prabowo dan Hendripriyono karena mantan murid. Tetapi, Sintong menjadi tidak dekat dengan Prabowo setelah karier anak didiknya itu melejit. Hendripriyono direkomendasi menjadi Panglima ABRI dan bukan Wiranto karena merasa dekat dengan Habibie. Lantas, Sintong melangkahi Moerdani soal daerah istimewa Timor Timur karena merasa sudah dekat dengan Soeharto. Sintong juga salah menilai Habibie soal Wiranto. Tetapi, Prabowo benar soal Wiranto. Itu artinya, intelegentia Prabowo justru lebih dekat daripada Sintong. Memang, yang mencurigakan dari memoar Sintong adalah tentara tidak boleh terjebak nepotisme.(*)

--------

pernah dimuat di Investor Daily, Maret 2009