Krisis listrik nasional bukanlah sebuah keniscayaan. Sekurang-kurangnya itulah yang terbetik dari upaya PT PLN mengurai benang kusut tersebut. Awalnya PLN mencanangkan proyek 10.000 megawatt (MW) dengan dominasi pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Tidak tanggung-tanggung, sekitar 34 proyek PLTU yang tersebar di Pulau Jawa dan luar Jawa tersebut dipaparkan. PLN bersiteguh, proyek listrik tersebut akan menyumbang kapasitas daya terpasang sekitar 9.475 MW pada 2010. Untuk Pulau Jawa sekitar 7.430 MW dan 2.045 MW untuk luar Jawa.
Optimisme PLN tersebut terbetik terutama dari meledaknya produksi batubara nasional. Batubara memang menjadi pilihan utama PLN. Harga batubara relatif lebih rendah daripada bahan bakar minyak (BBM). Bandingkan saja, PLN bisa menghemat anggaran sekitar Rp 28 triliun, dari Rp 165 triliun menjadi Rp 137 triliun tahun ini. Penekanan biaya tersebut terjadi karena belanja BBM PLN turun drastis sekitar Rp 33 triliun, dari Rp 112 triliun menjadi Rp 79 triliun. Penggunaan porsi batubara dalam jumlah besar justru akan mengefisienkan kinerja perusahaan setrum nasional tersebut.
Pengalihan ke batubara tersebut tidak sekedar soal efisiensi. Secara teknis, pembangkit berbahan bakar batubara lebih responsif sebagai pemikul beban dasar untuk mengatasi krisis listrik. Dengan kondisi pasokan dan ketersediaan cadangan listrik yang tipis sebesar 4.400 MW, atau sekitar 26 – 27% dari total kapasitas, PLN tidak bisa berbuat banyak seandainya terjadi kerusakan pada salah satu pembangkit utama. Batubara justru hadir karena tidak ada pilihan lain yang lebih responsif.
Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan, PLN membutuhkan dana, khususnya mata uang dolar AS, sekitar US$ 4,9 miliar untuk pembangunan proyek 10.000 tahap-I. Sebanyak US$ 1,9 miliar sudah diteken perjanjiannya, US$ 2,1 miliar sedang dalam negosiasi dengan perbankan asal Tiongkok, dan US$ 1 miliar ditargetkan selesai pada 2009. Sementara itu, PLN juga membutuhkan pendanaan rupiah sebesar Rp 19,2 triliun. Sekitar Rp 15,3 triliun sudah diteken dan sisanya sekitar Rp 2 triliun diharapkan bisa selesai pada tahun ini.
November tahun lalu tercium bau tak sedap bahwa target realisasi dari proyek 10.000 MW tersebut bakal molor. Tidak mudah memang membangun membangun megaproyek listrik itu dalam sekejab. Penderaan utama dari molornya proyek tersebut bermula dari tersendatnya pencairan dana oleh beberapa lembaga keuangan asal Tiongkok. Boleh saja PLN tersenyum karena sebagaian besar dana tersebut sudah disetujui. Namun, mangkirnya lembaga keuangan asal Tiongkok itu membuat PLN mesti realistis.
Alhasil, hanya tiga pembangkit dengan total kapasitas 1.890 MW, yaitu PLTU Labuan, PLTU Indramayu, dan PLTU Rembang yang akan masuk dalam sistem distribusi jaringan tahun ini. Sekitar 31 pembangkit lainnya masih terkatung menanti pencairan dari komitmen pendanaan. Namun, kehadiran tiga pembangkit itu hanya mampu menambah ketersediaan cadangan hingga 30% sampai akhir tahun. Krisis listrik yang berujung pada byar pett masih tetap menjadi momok.
Sedikit mengherankan, PLN malah berani mencanangkan proyek 10.000 MW tahap kedua. Di tengah kesulitan pendanaan dan ketidakyakinan investor terhadap kredibilitas keuangan PLN, proyek 10.000 MW itu mengambil risiko dengan memasukkan panas bumi sebagai salah satu tulang punggung. Benar bahwa cadangan panas bumi nasional sekitar 27.510 MWe atau 40% dari potensi panas bumi dunia. PLN mengalokasikan pertumbuhan PLTP sebesar 4.733 MW pada 2014 dan 5.785 MW pada 2016. Sementara itu, kapasitas terpasang hingga tahun lalu masih sekitar 1.052 MWe.
Jika dikaitkan dengan biaya investasi sebuah pembangkit listrik panas bumi (PLTP), PLN perlu berpikir panjang. Pasalnya, Jika 1 MW diasumsikan sekitar US$ 2,5 – 3 juta, maka PLN membutuhkan US$ 50 – 60 juta untuk merampungkan PLTP berkapasitas 20 MW. Total investasi tersebut di luar pembangunan pembangkit yang mencapai US$ 1,5 juta per MW. “PLN sebaiknya tidak usah memperiodisasi pembangunan pembangkit dengan sebutan 10.000 MW tahap I dan II, jika tidak mampu merealisasikannya. Sebaiknya PLN realistis untuk merealisasikan pembangkit yang bisa dibangun,” ujar Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, beberapa waktu lalu.
Belum juga selesai pencairan pendanaan dari proyek 10.000 MW, PLN sudah menimpali bebannya sendiri dengan komitmen mengejar investasi listrik pada proyek 10.000 MW tahap kedua. PLN sekurang-kurangnya membutuhkan investasi sekitar US$ 8 miliar per tahun untuk investasi listrik. Kebutuhan pendanaan PLN hingga 2018 sekitar US$ 83,69 miliar. Sekitar US$ 56,57 miliar untuk pembangkit, US$ 14,10 miliar untuk transmisi, dan US$ 12,38 miliar untuk kebutuhan distribusi.
PLN berdalih, masalah kelistrikan bukan cuma tanggung jawab PLN. Mekanisme perampungan proyek listrik itu bisa bergandengan dengan pihak swasta. Dalih PLN tersebut bertumpu pada tawaran harga jual listrik yang lebih bankable, karena disesuaikan dengan tingkat pengembalian modal untuk jenis pembangkit. Namun, apakah garansi tersebut bisa memecahkan kebuntuan dari tersendatnya realisasi proyek listrik yang masih terbengkelai tersebut? Pasalnya, swasta cenderung menganggap harga jual pembangkit listrik ke PLN masih tetap rendah.
Tetap Berharap
Kendati belepotan masalah, upaya PLN tetap perlu diacungkan jempol. Boleh dibilang upaya pengentasan krisis listrik tersebut terbilang radikal. PLN memilih menutup mata terhadap tantangan, dan berani mengambil risiko tanpa pamrih. Toh, kerja keras PLN mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi nasional dan menjamin pasokan listrik itu tetap tersedia. Upaya tersebut bukan saja ditempuh melalui jalur batubara dan panas bumi, melainkan juga dari reinkarnasi penggunaan BBM menuju gasifikasi. Beberapa PLTGU, seperti PLTU Muara Karang, Priok, Labuhan Angin, Apung, Grati justru menjadi nyawa kedua PLN tahun ini. Pada PLTGU tersebut, PLN menemukan jati dirinya sebagai penjamin kebutuhan listrik nasional dan partner pemerintah dalam memajukan ekonomi bangsa. Masyarakat tetap menanti dan berharap, agar PLN menemukan kanal yang pas dalam menuntaskan proyek kelistrikan tersebut. Bagaimana pun juga, hidup dalam kegelapan di abad ini sudah bukan zamannya lagi!
Optimisme PLN tersebut terbetik terutama dari meledaknya produksi batubara nasional. Batubara memang menjadi pilihan utama PLN. Harga batubara relatif lebih rendah daripada bahan bakar minyak (BBM). Bandingkan saja, PLN bisa menghemat anggaran sekitar Rp 28 triliun, dari Rp 165 triliun menjadi Rp 137 triliun tahun ini. Penekanan biaya tersebut terjadi karena belanja BBM PLN turun drastis sekitar Rp 33 triliun, dari Rp 112 triliun menjadi Rp 79 triliun. Penggunaan porsi batubara dalam jumlah besar justru akan mengefisienkan kinerja perusahaan setrum nasional tersebut.
Pengalihan ke batubara tersebut tidak sekedar soal efisiensi. Secara teknis, pembangkit berbahan bakar batubara lebih responsif sebagai pemikul beban dasar untuk mengatasi krisis listrik. Dengan kondisi pasokan dan ketersediaan cadangan listrik yang tipis sebesar 4.400 MW, atau sekitar 26 – 27% dari total kapasitas, PLN tidak bisa berbuat banyak seandainya terjadi kerusakan pada salah satu pembangkit utama. Batubara justru hadir karena tidak ada pilihan lain yang lebih responsif.
Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan, PLN membutuhkan dana, khususnya mata uang dolar AS, sekitar US$ 4,9 miliar untuk pembangunan proyek 10.000 tahap-I. Sebanyak US$ 1,9 miliar sudah diteken perjanjiannya, US$ 2,1 miliar sedang dalam negosiasi dengan perbankan asal Tiongkok, dan US$ 1 miliar ditargetkan selesai pada 2009. Sementara itu, PLN juga membutuhkan pendanaan rupiah sebesar Rp 19,2 triliun. Sekitar Rp 15,3 triliun sudah diteken dan sisanya sekitar Rp 2 triliun diharapkan bisa selesai pada tahun ini.
November tahun lalu tercium bau tak sedap bahwa target realisasi dari proyek 10.000 MW tersebut bakal molor. Tidak mudah memang membangun membangun megaproyek listrik itu dalam sekejab. Penderaan utama dari molornya proyek tersebut bermula dari tersendatnya pencairan dana oleh beberapa lembaga keuangan asal Tiongkok. Boleh saja PLN tersenyum karena sebagaian besar dana tersebut sudah disetujui. Namun, mangkirnya lembaga keuangan asal Tiongkok itu membuat PLN mesti realistis.
Alhasil, hanya tiga pembangkit dengan total kapasitas 1.890 MW, yaitu PLTU Labuan, PLTU Indramayu, dan PLTU Rembang yang akan masuk dalam sistem distribusi jaringan tahun ini. Sekitar 31 pembangkit lainnya masih terkatung menanti pencairan dari komitmen pendanaan. Namun, kehadiran tiga pembangkit itu hanya mampu menambah ketersediaan cadangan hingga 30% sampai akhir tahun. Krisis listrik yang berujung pada byar pett masih tetap menjadi momok.
Sedikit mengherankan, PLN malah berani mencanangkan proyek 10.000 MW tahap kedua. Di tengah kesulitan pendanaan dan ketidakyakinan investor terhadap kredibilitas keuangan PLN, proyek 10.000 MW itu mengambil risiko dengan memasukkan panas bumi sebagai salah satu tulang punggung. Benar bahwa cadangan panas bumi nasional sekitar 27.510 MWe atau 40% dari potensi panas bumi dunia. PLN mengalokasikan pertumbuhan PLTP sebesar 4.733 MW pada 2014 dan 5.785 MW pada 2016. Sementara itu, kapasitas terpasang hingga tahun lalu masih sekitar 1.052 MWe.
Jika dikaitkan dengan biaya investasi sebuah pembangkit listrik panas bumi (PLTP), PLN perlu berpikir panjang. Pasalnya, Jika 1 MW diasumsikan sekitar US$ 2,5 – 3 juta, maka PLN membutuhkan US$ 50 – 60 juta untuk merampungkan PLTP berkapasitas 20 MW. Total investasi tersebut di luar pembangunan pembangkit yang mencapai US$ 1,5 juta per MW. “PLN sebaiknya tidak usah memperiodisasi pembangunan pembangkit dengan sebutan 10.000 MW tahap I dan II, jika tidak mampu merealisasikannya. Sebaiknya PLN realistis untuk merealisasikan pembangkit yang bisa dibangun,” ujar Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, beberapa waktu lalu.
Belum juga selesai pencairan pendanaan dari proyek 10.000 MW, PLN sudah menimpali bebannya sendiri dengan komitmen mengejar investasi listrik pada proyek 10.000 MW tahap kedua. PLN sekurang-kurangnya membutuhkan investasi sekitar US$ 8 miliar per tahun untuk investasi listrik. Kebutuhan pendanaan PLN hingga 2018 sekitar US$ 83,69 miliar. Sekitar US$ 56,57 miliar untuk pembangkit, US$ 14,10 miliar untuk transmisi, dan US$ 12,38 miliar untuk kebutuhan distribusi.
PLN berdalih, masalah kelistrikan bukan cuma tanggung jawab PLN. Mekanisme perampungan proyek listrik itu bisa bergandengan dengan pihak swasta. Dalih PLN tersebut bertumpu pada tawaran harga jual listrik yang lebih bankable, karena disesuaikan dengan tingkat pengembalian modal untuk jenis pembangkit. Namun, apakah garansi tersebut bisa memecahkan kebuntuan dari tersendatnya realisasi proyek listrik yang masih terbengkelai tersebut? Pasalnya, swasta cenderung menganggap harga jual pembangkit listrik ke PLN masih tetap rendah.
Tetap Berharap
Kendati belepotan masalah, upaya PLN tetap perlu diacungkan jempol. Boleh dibilang upaya pengentasan krisis listrik tersebut terbilang radikal. PLN memilih menutup mata terhadap tantangan, dan berani mengambil risiko tanpa pamrih. Toh, kerja keras PLN mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi nasional dan menjamin pasokan listrik itu tetap tersedia. Upaya tersebut bukan saja ditempuh melalui jalur batubara dan panas bumi, melainkan juga dari reinkarnasi penggunaan BBM menuju gasifikasi. Beberapa PLTGU, seperti PLTU Muara Karang, Priok, Labuhan Angin, Apung, Grati justru menjadi nyawa kedua PLN tahun ini. Pada PLTGU tersebut, PLN menemukan jati dirinya sebagai penjamin kebutuhan listrik nasional dan partner pemerintah dalam memajukan ekonomi bangsa. Masyarakat tetap menanti dan berharap, agar PLN menemukan kanal yang pas dalam menuntaskan proyek kelistrikan tersebut. Bagaimana pun juga, hidup dalam kegelapan di abad ini sudah bukan zamannya lagi!
---------------
Investor Daily, 22 April 2009