Kamis, 17 April 2008

Sisi Lemah Demokrasi Sikka: Pilkada Sikka


PILKADA Kabupaten Sikka memasuki masa kritis. Lima hari lagi terhitung dari sekarang. Masing-masing kubu dari calon bupati dan wakilnya semakin tergerus oleh waktu. Berupaya secara maksimal untuk memberikan sentuhan akhir yang melegakan. Semua mengklaim kemenangan atas dirinya. Menyatakan aman untuk posisi pemberi suara pada wilayah-wilayah pemilihan. Membaptis dalam jumlah besar rakyat mengambang. Dengan melupakan, It’s the Voters, Stupid!

Kelesuan berdemokrasi

Dalam sebuah wawancara di tahun 1966, Walter Lippmann menengarai isu busuk pada praktik-praktik demokrasi liberal Barat. Ia menegaskan, demokrasi liberal Barat sedang menuju keruntuhannya sendiri. Akibat kebodohan sendiri. Secara tajam, ia membuat sejumlah politisi Eropa Barat, khususnya Amerika gerah. Mengajak mereka merefleksikan kembali posisi kepemimpinannya di tengah masyarakat.

Argumentasi Lippmaan berangkat dari fenomena penggelembungan opini publik melalui kampanye media maupun publik. Kampanye-kampanye tersebut dianggap memberikan daya rusak dan menimbulkan sejumlah konflik. Karena di dalamnya tertumpuk sejumlah janji, diulang-ulang dengan efek ingatan yang kuat pada sejumlah massa. Tetapi belum tentu akan ditepati. The bubbles politic ini kemudian berdampak pecah pada dukungan masyarakat terhadap pemimpinnya. Pada satu kubu pendukung terhadap kubu pendukung lainnya. Mengurangi kepercayaan pada kebijakan publik. Dengan konsekuensi lanjut, terciptanya keresahan non kooperatif pada elemen pendukung pembangunan.

Letak nadi demokrasi adalah dukungan rakyat. Pemimpin populis yang demokratis adalah pemimpin yang mendapat dukungan luas masyarakatnya. Karena itu, pada masa-masa kampanye, eforia para calon difokuskan pada upaya menarik perhatian massa. Berbagai cara dilakukan. Bahkan bisa mencapai 180o. Yaitu, sedapat mungkin atau seolah-olah menjadi sama dengan masyarakatnya. Sangat memahami persoalan masyarakat. Berbicara sangat banyak soal kondisi keprihatinan. Dengan janji, tak akan terjadi lagi pengingkaran atas nasib buruk rakyat.

Namun kelemahan kepemimpinan yang dibangun atas dasar simpatisan di corong kampanye adalah susah untuk dimintai tanggung jawab dan komitmennya. Tidak ada kunci yang disertai meterai pada mulut dan kata. Tidak ada pula keyakinan pada orde pemenuhan janji. Karena yang ada hanyalah produksi imajinatif untuk memanipulasi prasangka, opini, dan keberpihakan. Bukan untuk tujuan membangun ke masa depan, tetapi untuk merebut kursi kepemimpinan.

Pemimpin lantas melupakan rakyat dan eforia masa kampanyenya. Sementara rakyat sudah kembali larut dalam himpitan hidup. Lupa untuk menagih janji pada sang pengucap janji. Kalau pun diingat, ia tidak mampu melakukan selebrasi tuntutan. Atau advokasi kebijakan publik. Ruang yang disediakan untuk sebuah partisipasi hanya diletakkan pada perangkat desa, kelurahan, dan kecamatan. Selanjutnya menguap di meja-meja para pegawai bulanan yang menanti gaji.

Pada tahap ini, rakyat bisa digumpalkan pada beberapa kelompok. Gumpalan pertama berisi mereka yang acuh tak acuh pada roda pemerintahan. Yang hanya berurusan dengan keresahan mengisi perut tengah. Gumpalan berikut, berisi mereka yang punya kepentingan yang sangat kuat terhadap kebijakan publik di tangah pemerintah. Yang melihat peluang dan saling berebutan kue pembangunan. Dengan menyembunyikan alibi pada berkas proposal dan tender. Dan gumpalan terakhir adalah mereka yang aktif menyuarakan hak, kedudukan masyarakat. Menuntut janji pemerintah, mengadvokasi kebijakan publik. Namun dengan catatan, terengah-engah oleh konflik kepentingan, antara konsisten berpihak pada kepentingan rakyat. Atau, berorientasi menjadi pejabat. Mengejar kekuasaan dan kursi kenyamanan yang sama.

Sesungguhnya aspek kebersamaan, seperti seruan mencapai keadilan dan kemakmuran semesta itu, sudah terkapling-kapling oleh wilayah kekuasaan masing-masing. Demokrasi menciptakan pemerintahan di dalam pemerintahan, kekuasaan di dalam kekuasaan, dan kepentingan di dalam kepentingan. Pada wilayah-wilayah ini, ada persentase keuntungan yang jelas. Yang satu menyatakan kekuasaan untuk memperlebar persentase keuntungan bagi pihak lain. Sementara yang lain, menarik persentase dari seruan dari seberang jalan. Wujud demokrasi itu menjadi berubah-ubah. Seperti bunglon. Tidak tetap. Tergantung situasi yang menguntungkan. Pada sebuah meja perjudian. Dengan bandar yang selalu berganti-gantian. Kalah dalam perjudian, lesu pulalah dalam pembangunan.

16 April 2008: Apa yang akan terjadi?

Kalau mau dikurung per wilayah, dengan mudahnya kita mampu menghitung secara cepat prediksi peta perpolitikan Kabupaten Sikka. Luka lama dalam tradisi dan sejarah membagi wilayah Sikka menjadi dua. Lebih populer disebut Maumere Timur (Kewapante, Wetakara, Nele, Bola, Hokor, Watuplapi, Kloangpopot, Waigete) dan Maumere Barat (Nita, Sikka, Lela). Sejarah yang saling menerkam, hegemoni budaya, dan arogansi kesukuan menjadikan daerah-daerah ini mudah dipengaruhi secara sentimentil.

Berbeda dengan dua wilayah lain, Talibura-Nebe (pada sisi Timur terjauh) dan Paga-Wolowiro (pada sisi Barat terjauh) tidak terlalu terbawa pada sentimen ini. Oleh karena faktor “mengambang” ini, kehadiran mereka menjadi sangat penting. Suara dan keberpihakan mereka menjadi dukungan plus untuk memukul ikatan primordial pihak lawan.

Karena itu, pada masa-masa kampanye Talibura-Nebe dan Paga-Wolowiro seketika menjadi selebrita sungguhan. Berlomba-lomba para cabub dan wabub berorasi, menjual ilmu corongnya untuk mendapatkan pendukung. Tetapi lihat sesudah itu, Daerah Timur dan Barat terluar itu kembali ke identitas mulanya. Yaitu sunguh-sungguh daerah “terluar”. Yang jarang ditengok. Minim perhatian. Sedikit sekali sentuhan pembangunannya. Dibiarkan terkapar dengan kondisi mengenaskan.

Nasib yang sama pun dialamatkan pada pulau-pulau gugusan Sikka. Palue dan Pamana. Mereka menjadi gugus pulau yang terlupakan. Baik dari segi apresiasi budaya, pelayanan kesehatan, ekosospol, sampai pada pembangunan infrastruktur. Masa-masa kampanye, mereka dielu-elukan. Sesudah itu, nasib mereka “hanya Tuhan yang tahu”.

Untuk Maumere Timur dan Barat, isu sentimen kesukuan selalu dipakai setiap kali Pilkada berlangsung. Secara sadar atau tidak sadar, penggiringan massa menuju alamat kesukuan itu dirujuk dengan kehadiran calon-calon di daerah asal dan tempat lahirnya. Sangat jarang, calon bupati atau wakil bupati diterima baik di dua tempat ini. Atau berbagi posisi orang nomor satu dan dua. Semua mau menjadi yang pertama, demi gengsi sejarah.

Sementara untuk wilayah terluar, isu keberpihakan selalu datang dari mulut pembangunan. Entah jalan, pipa air bersih, listrik, pelabuhan. Semua itu merupakan sisi imajinatif di pulau utopis. Mirip sekali dengan sinyalemen “the bubbles politic” yang sengaja digelembungkan pada masa tertentu. Kemudian pelahan mengempis, sejalan dengan memelarnya komitmen untuk mempertahankan gelembungan itu.

Pertanyaan sekarang, apa yang akan terjadi dengan 19 April nanti? Apakah kemenangan seorang calon itu masih ditentukan oleh prediksi klasik ini? Apakah masyarakat Sikka masih mau ditipu dengan sentimen kewilayahan ini? Demokrasi macam mana yang akan ditunjukkan? Semacam demokrasi, atau seolah-olah demokrasi?

Semua jawaban ada di tangan pemegang demokrasi. Di sinilah justru kelemahannya. Terlanjur menyerah pada opini publik. Pada arah argumentasi massa. Pada pengkotak-kotakan. Pada janji palsu.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di www.ntt-online.org


Tidak ada komentar: