Senin, 28 April 2008

Menyimak Kemenangan SODA: Sikka Memilih Pemimpinnya Sendiri


SODA ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sikka. Hasil perhitungan suara menunjukkan persentase kemenangan paket ini. Paket yang diusung partai gurem. Yang belum punya tradisi kuat di kancah perpolitikan Sikka. SODA bahkan meninggalkan calon-calon lain yang tampil lebih populer. Sekurang-kurangnya, menurut versi LSI. Meninggalkan mereka yang langganan calon bupati. Juga yang punya historisitas kepemimpinan di Niang Tana Sikka. Apa yang terjadi?

Menjungkirkan prediksi

Seorang Sosimus Mitang pernah terlempar dari jajaran birokrasi Sikka. Sesudah itu, ia bersarang di rumahnya. Tidak banyak yang dilakukannya selama masa peristirahatan itu. Selain menikmati hari-harinya di rumah bersama keluarga. Mengunjungi kampung halamannya. Menyambangi teman-teman yang pernah seprofesi, sejajaran di dinas pemerintahan kabupaten Sikka. Kemudian, bergelut dengan masyarakat seharian di lingkungan, RT/RW, Kecamatan. Tanpa selintas pikir untuk menapaki lagi kursi panas nomor satu di Sikka, setelah gagal pada Pilkada sebelumnya.

Sementara Wera Damianus adalah Asistan pada jajaran birokrat yang dinahkodai incumbent. Seorang praktisi birokrat yang muncul dari Palue, di gugus terluar pulau-pulau Sikka. Sekejab terlintas, pada seorang Wera Damianus, nasib pulau-pulau dari gugus terluar itu “seolah-olah” ada di pundaknya. Pada mereka yang nampaknya “tidak betah” tinggal di Sikka. Selalu bepergian dengan perahu-perahu motor kecil dan mengejar nasibnya di lautan lepas tak berpemilik. Jauh dari Sikka. Jauh pula dari tetek bengek urusan politik dan pemerintahan.

Keduanya tidak masuk dalam bilangan historisitas tokoh kepemimpinan di Sikka. Mereka benar-benar lahir di atas “halar” (tempat tidur dari bilah bambu). Dari kelapa, kakao, cengkeh, jambu mente, jagung, dan minum dari air batang pisang atau sulingan uap panas bumi. Pada musim lapar, mereka mengalami masa-masa makan “ubi hutan”, “ohu”, “hura”, dengan ketergantungannya yang tinggi pada kondisi curah hujan dan peruntungan di masa paceklik. Keduanya tidak bisa menyembunyikan wajah “kekampungannya”, sebelum atau sesudah menjadi pemimpin nomor satu di Sikka.

Koalisi Bersama Membangun Sikka juga bukan berasal dari partai-partai mapan dan berakar di Kabupaten Sikka. Sekurang-kurangnya, partai-partai ini baru saja mencuri startnya pada Pemilu kemarin. Lantas SODA tidak menjadi populer dengan koalisi itu. Jauh dari perhitungan menang. Beda sekali dengan Golkar dan PDIP yang sudah lebih tua, dengan klaim basis pada wilayah demi wilayah di Kabupaten Sikka. Tetapi toh, besar kecilnya partai tidak lantas mempengaruhi arus pemberian suara massa.

Kenyataan ini menjadi fenomenal, SODA dengan koalisi partai gurem itu menunjukkan realitas perpolitikan yang sejatinya hanya tunduk pada satu tuannya, yaitu rakyat. Tergantung pada pilihan rakyat. Runtutnya, kalau dilihat dari kemenangan demi kemenangan dari 12 kecamatan di Sikka. SODA unggul merata pada semua TPS di kecamatan-kecamatan Timur luar dan Barat luar. Ditambah dengan simpatisan yang diberikan oleh kebebasan memilih pada beberapa orang di basis pemilih calon lain dan keberpihakan masyarakat pulau di gugusan terluar, SODA melejit sendirian. Meninggalkan calon lain. Partai mapan. Tradisi kepemimpinan. Dan prediksi kepopularan.

Simpul suara

Sejenak kemenangan SODA bisa dirayakan. Seperti baru saja bernapas lega setelah mendaki sebuah ketinggian. Tetapi pada gilirannnya, SODA mesti menuruni lagi ketinggian itu. Untuk lebih tertatih-tatih mendaki ke sebuah bukit yang lain. Karena, di balik suara-suara dukungan tersebut, terbersit harapan besar bahwa pasangan ini mampu mengantar banyak jiwa keluar dari kemelut kehidupan. Di antara kemiskinan, kemerosotan moral dan pendidikan. Pada ambang pesimis kaum tani, nelayan, pedagang. Masalah korupsi, busung lapar, krisis air bersih, dan abrasi pesisir pantai. Dan luka lama sentimen kewilayahan, perang dingin antarsuku, kerajaan, sejarah, swasta dan pemerintah, gereja dan birokrat.

Kalau mau dilihat pada gambaran kemenangan SODA di TPS-TPS, kebanyakan rakyat Sikka memilih SODA karena unggul dalam netralitas keberpihakannya, punya komitmen kuat dengan wajah “kekampungan” pada pembangunan visi pedesaan, dan tentunya punya integritas dalam menjamin kekayaan masyarakat. Lebih tajam, SODA menang karena dalam dirinya terbuka jumpa ruang yang begitu luas antara ketokohan seorang pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. SODA juga simbol kebangkitan masyarakat terlupakan. Yang selama ini berada di luar jangkauan, “sadar atau tidak sadar” tersisih, terbuang, tercerai tanpa sentuhan pembangunan. Bahkan untuk kaum yang minus malum sekalipun, SODA merupakan harapan di tengah ketidakpercayaan massal.

Pada setumpuk masalah, rakyat menemukan SODA. Merasa SODA berada dan berjalan bersama-sama mereka. SODA punya telinga, hati, dan mata untuk rakyatnya. Letak itu pula, rakyat bersatu mengayam sebuah kursi untuk SODA. Mereka lantas mendudukan SODA. Persis di sebuah ketinggian. Apakah penemuan mereka ini lantas hilang lagi di tengah prosesnya? Melupakan lagi? Dengan susah payah harus mendongkakkan kepala, mencari, dan sulit ditemukan?

Basis kemenangan SODA ada pada komunikasi horisontal. Pada kesetaraan dirinya dengan nasib rakyatnya. Sama seperti masa lalu membesarkannya. Karena itu, betapa menyakitkan kalau pada proses selanjutnya, SODA malah mengubah identitas dirinya menjadi sangat vertikal, top down, seperti seorang bapa berjanggut panjang, berwajah garang, pedang di tangan, dan siap menghukum. Yang paling penting dari simpul suara itu adalah, kerelaan untuk turun dari kursi kenyamanannya, dan berinkarnasi bersama rakyatnya. Karena di situlah justru kualitas kepemimpinan SODA. Berhasil memberikan tempat yang luas untuk unek-unek rakyatnya. Lepas dari kepentingan, kekuasaan, dan kekayaan.

Melepaskan jebakan

Paus Yohanes XXIII ialah pemimpin publik dari sebuah dusun kecil yang miskin. Hati kemiskinannya itu tetap ia pelihara. Sampai pada kursi kepausannya. Melalui hati itu pula ia banyak menghasilkan karya-karya ajaib. Yang mustahil tetapi bisa dilakukan. Mampu melihat perdamaian di tengah kekacauan, visi kesejahteraan di tengah kemiskinan, tajam melihat kepentingan dari keberpihakan, dan konsisten pada pengabdian tanpa mengambil keuntungan. Ia akhirnya berhasil tampil sebagai pemimpin yang dipercayai banyak orang. Menyentuh banyak hati. Tanpa harus menolong secara material.

Pada sebuah sisi, SODA memiliki potensi untuk menjadi pemimpin seperti ini. Berangkat dari sebuah kampung, di sebuah ketertinggalan dan kemiskinan. Untuk sampai pada banyak hati itu, SODA hanya perlu menanggalkan tujuan dirinya. Di kelompok kepentingannya. Pemimpin rakyat tidak memiliki ambisi pribadi. Tidak pula menginginkan sesuatu dari kepemimpinannya. Ia hanya perlu pulang pada kemiskinannya, tanpa berusaha menghapus sejarah dirinya itu. Pada nasib sejumlah orang yang tidak beruntung. Pada perpecahan untuk perdamaian, kesalahan untuk pemaafan, demi membangun damai, dukungan, jaringan, dan perjuangan bersama. Kalau ini diingkari, sebuah kubur sudah digali sejak dari pertama kedudukannya.(*)

Kamis, 17 April 2008

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon


Bagian 3, habis

Harmonisasi atau Disharmonisasi Egon
Pada hari Selasa, 15 April 2008, pukul 22.15 waktu setempat Gunung Egon meletus. Warga di kaki gunung itu mendadak panik. Mengemas barang-barang dan mengungsi ke kampung-kampung tetangga. Mereka sama sekali tidak menduga gunung itu bakal meletus lagi, setelah tahun 1888, 1891, 1892, dan 1925.


Tahun 1995 – 1996, aktivitas gunung Egon itu meningkat. Beberapa kali terdengar ledakan kecil, disertai semburan abu dan material. Bagian pinggir dari puncak kawah gunung tersebut sempat longsor. Saat itu, penduduk setempat berpikir gunung Egon bakal meletus lagi setelah sekian lama tidur. Namun pada saat siaga itu, ternyata Egon tidak jadi meletus. Baru sekarang, ketika semua warga sedang tertidur lelap dan tidak berjaga-jaga, ia menunjukkan kegarangannya.


Ke manakah sinyal alam itu? Apakah alam dan penghuninya tidak lagi memberikan tanda pada saat ia hendak melakukan harmonisasi dari hukum keseimbangannya sendiri? Apakah dialog antara alam dan manusia itu sudah terputus? Tidak ada lagi komunikasi?


Memasuki tahun 1990-an sampai tahun 2008 kini, warga setempat diresahkan dengan berbagai tindakan eksploitasi lingkungan. Hutan tempat sumber air panas dan bendungan itu tidak lagi seasli dulu. Pada sisi kiri dan kanannya kita dapat menyaksikan tumbangnya pohon demi pohon oleh ulah para penebang liar. Siang tak kenal malam, dengungan mesin sensor pemotong kayu terdengar mengacau. Truk-truk besar kecil turun gunung dengan muatan penuh gelondongan kayu.


Pada musim kemarau, dari tahun ke tahun pembukaan lahan baru dengan cara membakar terus menerus dilakukan oleh para petani pindah ladang. Menghanguskan hutan dengan sejumlah bibit peremajaan pohon kecil besar, semak dan belukar. Habitat dari sejumlah hewan hutan pun turut dirusakkan. Rusa, kera, babi hutan pada bermigrasi. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran manusia dan ulahnya.


Garis pantai sepanjang Waigete pun tidak luput dari arogansi tamak manusia. Terumbu karang dengan ikan warna-warni, kemilau berjenis di dasar laut sudah jarang dijumpai. Pantai Waigete tidak lagi seindah dulu. Cuma menyisakan pasir putihnya. Pola penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak memporak-porandakan sejumlah terumbu karang, berikut keseimbangan ekosistem laut. Jumlah pohon bakau makin sedikit. Sementara laut terus mengeruk sedikit demi sedikit daerah kering di bibir pantai. Banyak yang bilang, “untuk sekedar mandi pun terasa tidak lagi nyaman. Permukaan laut tidak enak untuk diinjak. Penuh beling, karang-karang hancur, dan lautnya pun kotor”


Keluhan senada pun dialamatkan pada debit air bendungan yang kian hari kian menurun. “Kalau dulu kami kelimpahan air, sekarang kami harus berebutan. Buka tutup saluran air. Malah ada yang curang. Jatah pembukaan saluran air untuk kelompok tani lain sengaja ditutup supaya sawah mereka bisa dialiri sejumlah air” Kali-kali dan sejumlah sumber air bersih pun ikut mati. “Dulu kami tidak kesulitan air bersih. Kapan saja kami mau, selalu tersedia. Sekarang, ada jam-jam tertentu air itu mengalir. Kebutuhan air bersih kami sangat bergantung dari kran-kran penampung air”.


Curah hujan menurun. Unsur hara tanah kian terkikis. Keropos. “Ladang kebun kami tidak lagi bersahabat. Tanaman dan buah-buahan kami kerdil. Padi-padi tidak banyak bulirnya. Panen makin menurun. Bahkan untuk makan pun kami susah. Ternak-ternak kami pun kelaparan. Tidak ada lagi padang rumput yang hijau. Semua kelihatan kering. Hangus terbakar oleh sengat matahari”.


Betapa memprihatinkan pula kalau pemerintah setempat merasa tidak terjadi apa-apa dengan hutan di sekitar gunung Egon. Atau malah membiarkan semua kerusakan itu terjadi di depan mata. Hutan rakyat, tempat para petani menggantungkan hidupnya itu dibiarkan dibabat. Dibakar. Tak tersisa sampai sekecil-kecilnya. Mulusnya perusakan hutan ini tidak jauh pula dari perjanjian empat mata, yang dilakukan diam-diam antara pemasok kayu dan pihak keamanan. Dengan kertas pada sejumlah peraturan, undang-undang, para pembabat hutan itu merasa sudah dimenangkan dengan butir-butir hukum itu. Mereka bahkan menguasai hutan, dengan menggantikan periuk nasi para tetua kampung dengan sejumlah uang.


Sebenarnya masyarakat tidak perlu heran dengan segala kejadian yang menimpa sawah, ladang, kebun, ternak mereka. Dengan sendirinya hukum alam itu bekerja untuk mencari keseimbangannya. Ketika ekosistem hayati itu diganggu, alam mencari sendiri premis-premisnya, untuk kemudian memunculkan kesimpulan dalam bentuk tanda-tanda. Seperti kemarau panjang, curah hujan yang rendah, keroposnya unsur hara, dan kerdilnya panen para petani dan nelayan. Sejauh alam mampu membentengi dirinya sendiri, melakukan mekanisme penyembuhan sendiri, ia bisa mengatasi hal-hal yang mengejutkan, menakutkan. Seperti bencana atau badai. Tetapi ketika hukum keseimbangannya sudah tidak mampu lagi menampung daya rusak pada ekosistemnya, alam menjawab kalimat perusak itu dengan daya rusaknya pula. Bukan untuk menelan manusia. Menguburkan sejumlah nyawa. Tetapi hanya untuk sebuah alasan sederhana. Harmonisasi.

Berdialog dengan alam
Sinyal yang tidak bisa ditangkap oleh penduduk setempat berkaitan dengan letusan itu menandakan putusnya dialog, komunikasi intersubjektif antara alam dan manusia. Bahwa yang terjadi selama dekade tahun 1990-an hingga kini adalah dialog sepihak. Bahkan kesannya memaksa. Mengeksploitasi. Merusak. Tidak ada bahasa yang lebih humanis dan kosmologis. Seperti mencintai, merawat, menanam kembali. Ada ruang yang hilang antara Egon dan warganya.


Betapa menipisnya jumlah besar orang yang mempunyai hati seperti Dua Kesik. Juga pengetahuan lokal seperti kisah si penunggu gunung itu. Tidak ada pula perempuan-perempuan, pada setiap sore, yang berbaris menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bahkan ranting sudah habis. Tidak ada pula perempuan-perempuan pemikul cangkul. Menari dan menyanyi sambil mencakul kebun dan memetik panen. Sebab tanah itu tidak lagi berbuah banyak.

Peristiwa meletusnya gunung Egon, menghujankan abu vulkanik dan bau belerang, perlulah dimaknai secara kosmologis. Dengan sasarannya pada kultur, perilaku, dan tata kelola ekonomi masyarakat di kaki gunungnya. Katakanlah Egon yang gagah di singgasananya itu sedang mengembuskan suara kenabian. Pada gemuruh dan batuk-batuk asap dan abunya itu, ia ingin mengatakan kepada penghuni di kakinya. “Lihatlah sekarang, pada tubuh, kaki, tanganku. Tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan dari diriku. Babak belur diriku dibuat. Bahkan sisa-sisa dari intipati diriku pun telah disedot. Sekarang, dalam keadaan diriku yang keropos ini, apa yang kau mau dari diriku lagi? Karena yang tersisa pada diriku hanyalah abu, asap, dan belerang. Maka kuberikan padamu juga. Supaya pada bagian dari yang tersisa ini bisa bertumbuh lagi segala jenis tanam-tanaman, pohon-pohonan, buah-buahan, sayur-sayuran. Menjadi tempat persemaian bibit-bibitmu. Dan makanan untuk ternak-ternakmu. Masih belum cukupkan kebaikanku padamu? Atau mau kumuntahkan saja sekalian lava dan laharku? Supaya kamu mengerti, betapa menyakitkan mempertahankan keseimbangan diriku. Mengertilah, camkanlah untuk sekarang dan yang akan datang. Supaya aku selalu bisa memberimu makan. Jadi, jangan paksa diriku untuk menjadi lebih murka dari sekarang? Jangan minta sesuatu yang belum saatnya terjadi.”Dialog dengan alam adalah dialog melestarikan, menanam kembali, dan mengambil secukupnya untuk hari ini. Tanpa itu, kita tinggal menanti letusan berikut yang lebih dasyat dari hari ini.(*)

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Bagian 2 dari 3 tulisan

Perempuan Egon: ibu-ibu bumi


Dua Kesik melanjutkan tenunannya. Sementara Nong Frans bergegas hendak ke pasar.
“Moret lalang masa tei poin susar megu meruk”. (Jalan hidup di masa sekarang hanyalah susah sedih meremuk). Kata Dua Kesik.
“Ama Pu loar nain ita, ganu me heak belung loar”. (Sepertinya Tuhan meninggalkan kita, seperti anak yang ditinggalkan setelah dilahirkan) Lanjutnya pula.
“Au gata Kitab Suci rakang. Te tutur hoor aun ganu lau tahi witi wuak” (Kau terlalu baca Kitab Suci. Kata-katamu itu bombastis. Lepas ditelan laut) Nong Frans membalas.
“Au ele persaya ko? Uma woer itan benu bait. Loning poi niang tawa tana itan peho matan potat rumu ramang.” (Kenapa kau tidak percaya? Yang tumbuh di kebun kita hanya kepahitan. Karena si empunya tanah membalikkan muka dan menghilang di tengah kegelapan) Lanjut Dua Kesik.
“Tutur dor aun ganu ata plender. Gata kela poin di ele newan. Ma perang beli me aun. Au pano lalan epan. Ge tena naruk dadi mior melur” (Kata-katamu seperti orang pintar saja. Padahal baca tulis saja kau tidak bisa. Sana, masak buat anakmu. Saya jalan dulu. Semoga Sukses. Sehingga kesulitan kita dapat diatasi) Sahut Nong Frans.
***
Kehidupan kaum perempuan di Waigete, di bawah kaki gunung Egon, 23 kilometer dari Kota Maumere, tidak jauh dari alam. Dari sawah dan kebun mereka. Sudah ada pembagian yang jelas antara suami dan isteri. Selain rumah, di seputar dapur dan anak, isteri dan anak perempuan ikut membantu di kebun atau sawah. Mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, menyirami, memupuki, sampai memetik hasil. Bahkan pada saat-saat tertentu, perempuan menjadi lebih intens dan dekat dengan alam, tanah, dan tumbuh-tumbuhannya. Ketika pria-pria mereka memindahkan hewan ternak mereka, seperti sapi, kambing, kerbau, mencari tempat makan di padang berikut, mereka ditemukan tiarap dengan tanah. Pada saat pria-pria mereka itu melaut, mereka pulalah yang menggantikan peran menjadi petani, dengan sejumlah beban di rumahnya. Untuk asap dapur pun, perempuan-perempuanlah yang mencari kayu bakar di hutan, mengambil air di sumur-sumur dan pipa-pipa umum, menjinjing bakul ayaman berisi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan untuk dimakan. Mereka pulalah yang menumbuk padi, mewarisi sejumlah potensi pangan lokal. Perempuanlah para petani itu!

Pada satu waktu di awal musim hujan, sekelompok perempuan termasuk di antara Dua Kesik akan memikul cangkul ke ladang. Mereka disebut group “Sako Seng”. Seperti arisan bergilir untuk mencangkul kebun. Kalau hari ini giliran Dua Kesik, solidaritas “Sako Seng” itu beramai-ramai selama tiga sampai lima jam mencangkul petak tanah dan membuat bedeng pada kebun Dua Kesik. Begitu pun sebaliknya, tiba giliran teman lain, Dua Kesik pun harus rela membiarkan waktu dan cangkulnya berada di atas ladang milik teman kelompoknya. Termasuk dalam hal panen, mereka memberlakukan gotong royong unik ini.

Jelang masa panen, ketika bulir-bulir padi mulai menguning, perempuan-perempuan itu pula yang menarik boneka (orang-orangan) untuk mengusir burung-burung Tuhan. Sementara laki-laki mereka mencari nafkah lain, untuk mencukupi kebutuhan harian. Sambil menunggu, menarik tali-tali pada boneka-boneka itu, mereka menyulam, mengayam. Mereka bernyanyi. Mengajarkan kebijaksanaan perempuan pada anak-anak perempuan mereka.

Kalau tidak bersekolah, satu-satunya sumber dari kecerdasan yang mereka miliki adalah belajar dari alam. Dari ruang hidup. Dan kebijaksanaan mereka selalu seperti padi. Lebih berisi lebih meruduk. Mereka juga mengajarkan cinta, mewariskan cinta melalui dialog dengan alam.

Apa yang salah dari Egon?


“Raik Egon raning rang, ita gai plari epae?” (Kalau gunung Egon meletus, kita mau lari ke mana) Tanya Dua Kesik.
“Hai ata beta ganu tia? Lopa blau, noran Moan Egon. Siru wisu nimun newan tena Egon bile blatan” (Siapa bilang begitu. Jangan takut, ada penjaga gunung. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan supaya Gunung Egon tetap diam) Kata Nong Frans.
“Gita sai Egon reta ia. Rusa tama natar. Ular-ular bekor nain. Wero-wero plari sawe. Raik tia, masa nimun gai raning rang” (Coba perhatikan, rusa masuk kampung, ular-ular pada bermunculan, kera-kera lari meninggalkan habitatnya. Itu pertanda, Egon akan mengamuk) Jelas Dua Kesik.
“Egon gahu gahar, tahi marak matar, hala apa walong ita ei? (Gunung Egon lagi memanas, laut seperti ikut bergolak, salah apa kita? Seolah-olah retoris, Nong Frans berkata.
***
Konon, Gunung Egon itu ada penunggunya. Juru kuncinya. Ia dilukiskan sebagai orang tua yang berambut dan berjenggot panjang. Kalau berjalan, kakinya tidak menyentuh tanah. Alias melayang di udara. Itu menandakan “ilmu” pertapaannya sangat tinggi. Setiap hari, hidupnya hanya diabdikan untuk Egon. Berada tidak jauh-jauh dari Egon.

Kalau ia keluar dari pertapaannya, itu berarti ada sesuatu yang penting, sangat penting dan mendesak, berkaitan dengan siklus musiman Egon. Dipercaya, pada masa tertentu, sosok penunggu gunung itu harus memberikan sesajian dan tumbal untuk menjinakkan murka Egon. Keluarnya sang pertapa penunggu gunung itu berkaitan erat dengan tumbal. Saat itu, keadaan kampung akan menjadi lebih hening. Anak-anak tidak boleh keliaran sembarangan. Apalagi anak perempuan yang masih perawan.

Pengetahuan kuno masyarakat mengajarkan bahwa, ketika binatang-binatang hutan pada berkeluaran secara serempak, seperti rusa masuk kampung, kera-kera bermigrasi, dan ular-ular bermunculan dari sarang sembunyiannya, saat itu bumi lagi bergolak. Panas. Membuat tidak betah binatang-binatang itu. Saat itu pula, sinyal meletusnya gunung Egon dibaca dan diterima oleh penduduk setempat. Rata-rata mereka sudah tahu sebelum sinyal kerak bumi itu
diterima mesin seismograf.

Peringatan dini itu akan berjalan, jika dan hanya jika, keseimbangan alam itu terjaga dengan baik. Artinya, indera penciuman manusia sangat bergantung pada insting di dunia binatang. Pada hewan-hewan di hutan. Mengandaikan hutan masih merupakan tempat huni yang nyaman buat hewan-hewan bebas itu. Mengandaikan hutan dibiarkan pada bentuk aslinya, tidak terlalu banyak campur tangan manusia, rekayasa ekosistem dan hutan, eksploitasi dan pengerukkan massal.

Dengan dibiarkan seperti itu, bingkai cerita kuno pada sebentuk tokoh tua si penunggu gunung punya kebenarannya sendiri. Mendedikasikan hidup seluruhnya pada gunung, ia menjadi orang yang paling cerdas, dengan pengetahuan jelimek tentang keadaan gunung. Denyut gunung dan alam sekitar adalah denyut jantungnya pula. Ketidakseimbangan pada ekosistem dan disharmonisasi hutan adalah gangguan pada kesehatannya pula. Dengan begitu ia pun tahu cara untuk menyembuhkannya. Karena, ketika keadaan kritis itu terjadi, ia mampu berdialog dengan hutan, gunung, dan alam tentang hal yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana harus mengatasinya.

Seorang Dua Kesik, perempuan di kaki gunung Egon itu pun merasakan hal sama. Ia memiliki kecerdasan alam. Karena senantiasa dekat dengan bumi. Bersentuhan mesrah dengan bumi. Ia mampu merasakan derita alam, tumbuhan, buah-buahan, dan tanam-tanaman. Ketika kebun ladang mereka hanya menyisakan hasil yang kerdil. Ia pun mulai menjadi resah, merasa bumi mulai menolak keberadaan umat manusia. Kepekaannya melebihi kecerdasan kaum cerdik pandai. Melebihi bilangan patriarkat yang menjadi dominan untuk kelas intelektual masyarakat kampung.

Tetapi pertanyaan Nong Frans menjadi penting. Pada sesuatu yang sebenarnya tidak mau diungkapkan secara terang oleh Dua Kesik. Ia tahu diri. Kultur tidak pernah memberi tempat yang luas untuk refleksi seorang perempuan. Karena itu, Dua Kesik sepertinya sedang menggiring Nong Frans untuk mengungkapkan inti dari permenungan kosmologisnya. Yaitu: apa yang salah dari alam dan diri kita?........................bersambung

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Bagian 1 dari 3 tulisan

Helaan napas panjang keluar dari mulut Dua Kesik. Dengan lincahnya perempuan tua itu memindahkan buntalan benang dari sisi kiri ke kanan. Dalam lima enam kali gerakan, ia merapatkan benang-benang itu. Menyatu pintal dengan tenunan benang lainnya. Terus menerus gerakan itu dilakukan. Di sisi terdekat dari simpuh duduknya, kelihatan kain tenunannya itu menggambarkan motif dari sebuah sarung. Seperti bangunan segi lima, teratur, indah, berwarna.


Dua Kesik menghela napas lagi. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Menimbulkan beban pada pundak. Dengan hati seperti biru blau. Kalau dipandang dengan sekejab mata. Tanpa perhatian serius dan mendalam, nampak Dua Kesik begitu menikmati setiap gerakan dari menenunnya itu. Ia seakan ikut menari bersama sahut-sahutan benang-benang itu. Karena menemukan solidaritas dan identitas dari penyatuan dirinya dengan benang lainnya menjadi sebuah sarung. Tanpa terganggu oleh keresahan hati seorang Dua Kesik.

Setengah jam berlalu. Dari arah berlawanan muncul Nong Frans. Hitam. Berdebu. Dengan kumis pada mulut. Kelihatan sekali tempaan alam membuat otot-otot bisep trisep sang pembawa kelapa itu nampak kekar.
“Kabor kelut ko Nong?” (Kelapa muda ka Nong?) Tanya Ina Kesik.
“Eon. Kabor kubar ge Dua. Au gai pano regang. Kabor tena selung no pare.” (Bukan. Kelapa tua kok sayang. Saya mau ke pasar untuk tukar kelapa ini dengan beras) Jelas Nong.
“Tea leu poi. Puan sa ena Nurakin neni hoang gai riwa hoang sekolah nimun” (Jual saja itu kelapa. Dari tadi Nurak terus minta uang untuk bayar uang sekolahnya) Kata Dua Kesik.
“Au ma tea sai”. (Ayolah, jualah kelapa itu) Lanjutnya pula.

Egon: The Lost Paradise


Egon terlihat gagah. Di sekeliling kawahnya terburat garis lurus awan putih. Tidak ada asap. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya.

Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci.


Beberapa kali seekor dua rusa masuk kampung. Sekejab rupa, kampung menjadi ramai. Laki-laki berumur maupun belia sama-sama mengejar rusa yang masuk kampung itu. Mirip arena balapan dengan lintasan tak berhingga. Sampai rusa itu benar-benar tertangkap.
Lain waktu, di rumahku beberapa orang di kaki gunung mengantar burung Kakatua, Nuri, atau Beo. Bulunya indah. Suara kicauannya merdu rupawan. Tetapi tidak mudah untuk mengurung burung-burung itu pada sangkar. Mereka sudah terbiasa dengan alam bebas di kaki pegunungan. Kalau tidak keburu dilepas, mereka bakal mati.


Hampir setiap sore, ketika beberapa siswa berpawai-pawai ke sekolah untuk belajar sore, anak-anak di kampung kami justru berbaris menuju hutan di kaki pegunungan itu. Mereka, yang rata-rata perempuan ragam usia itu, mencari kayu bakar. Mengambil dan mematahkan ranting-ranting pohon yang kering. Atau dahan dan batang pohon yang sudah mendekati lapuk. Semua itu dikumpulkan pada sebuah ikatan. Dibawa pulang untuk kebutuhan dapur. Menghidupkan tungku api dengan kayu-kayu kering itu.


Pada belukar hutan dan pohon kenari tua di sebuah letak, sekitar 15 kilometer dari jalan raya Maumere – Larantuka, tersembunyi mata air panas. Yang keluar terus menerus dari perut bumi oleh desakan aktivitas vulkanologi. Tempatnya masih sangat perawan. Tidak ada jebakan sejenis bendungan. Ia tercipta dari palung alam. Membaringkan aliran dari sumber panas itu mengalir di sela berisik gesekan daun-daun kenari.


Kalau sedikit menanjak ke sebuah perkampungan. Blidit, namanya. Ditemukan di sana bendungan tua yang tak terawat. Volume air yang dialirinya cukup membuat dam-dam di sepanjang bendungan itu penuh. Melimpahkan air pada sawah-sawah di Waigete. Yang membuat Waigete dikenal sebagai salah satu lumbung beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan di Kabupaten Sikka.


Pada ketinggian itu pula, sejauh mata memandang, nampak garisan pantai dengan pasir putih yang indah. Dibalut nyiur melambai pada sepanjang garis pantai itu. Sebuah tempat di sebelah Timur yang bernama pantai Wairterang justru menjadi salah satu tujuan wisata. Pada tempat yang tenang itu, wisatawan lokal maupun asing, berebutan berjemur dan merenangi isi keindahan terumbu karang di lepas pantainya.


Pati Ahu, nama lain dari tempat di Kecamatan Waigete yang mesti juga disebutkan. Di tempat ini, ada tiga hal yang perlu diingat. Pertama, Pati Ahu adalah tempat belajar para petani dan peternak. Ada sebuah sekolah pertanian dan peternakan yang diasuh biarawan SVD. Beberapa hektar tanahnya diabdikan untuk ladang percontohan budi daya kelapa, jati putih, lamtoro, beberapa jenis sayuran, dan buah-buahan. Sementara salah satu bangunan di deretan bangunan asrama dan perumahan para karyawan, dibangun khusus sebuah asrama percontohan peternakan babi, sapi, ayam, itik, dan ikan. Semua orang yang berminat bisa belajar dari asrama orang tani dan peternak ini.


Kedua, Pati Ahu memiliki klub sepak bola kesohor. Klub yang lintas ethnis. Orang Maumere, Ngada, dan Lembata. Mereka menjadi tersohor karena berturut-turut memboyong piala bergilir antarkecamatan se-Kabupaten Sikka untuk Waigete. Tidaklah heran, pemain besutan klub ini menjadi langganan kesebelasan Persami Maumere, PS Ngada, dan PS Lembata.
Ketiga, pada salah satu tempat di kedalaman hutannya terdapat sebuah gua dengan usia puluhan tahun. Menariknya, karena di gua itu hidup secara berkerumunan sekelompok kelalawar. Gua itu disebut Gua Kelalawar. Karena mereka sesungguhnya adalah tuan atas tempat itu, sebelum ditemukan oleh peradaban. Dan menjadi daya tarik lain bagi pengunjung di daerah wisata Waigete.


Rata-rata masyarakat Waigete orang kelas menengah ke bawah. Kalau mau dipatok berdasarkan ukuran sosiologis ekonomis. Tetapi sangat tidak adil kalau selanjutnya dijustifikasi dengan ukuran seperti ini. Kerdil di hadapan statistik. Kurus di hadapan data angka kemiskinan.
Tidak ada orang asli di Waigete. Semua adalah pendatang dari wilayah Nele, Kloangpopot, Bola, Sikka-Lela. Oleh peradaban berpindah-pindah, mereka mematok hutan, membuka ladang dan persawahan, dan makan dari sistem food gathering.


Untuk para pendatang, Waigete merupakan penemuan terbesar. Seperti surga yang hilang (The lost paradise). Untuk rata-rata kondisi geografis dan kontur tanah Sikka yang kering kemarau, Waigete (sesuai namanya, Wair: air, Gete: besar) adalah kelimpahan, kesuburan, dan kehidupan. Karena itu, gerak perpindahan translokal itu pun serentak mengalir sendiri. Tanpa harus dipaksa atau diultimatum. Tanah yang subur dan air yang berlimpah merupakan berita sejuk untuk Sikka yang kering.


Surga itu pun dibuka. Dengan cantiknya, mereka meletakkan sawah-sawah itu di dataran yang subur, menanam kelapa-kelapa di sepanjang garis pantai, buah-buahan, sayur-sayuran, dan hidup dari kelimpahan tersebut. Tidak pernah terpikirkan untuk mengambil secara serakah, atau berlebihan dari hasil yang seharusnya dipetik. Mereka hidup selaras alam. Mencintai irama harmonisasi alamnya. Pada sungai mengalir, pada kicau burung, pada ranting pohon yang mengering dan batang pohon yang patah, pada ular sawah, tikus, belalang, madu hutan, terumbu, kerang, rusa, kera, babi dan ayam hutan. Yang terpikirkan oleh mereka adalah bumi mesti tetap mengeluarkan khasiat kesuburannya, tetapi tidak dengan cara dipaksakan. Diperas. Bumi hanya bisa menurunkan hujan, mengeluarkan kesuburan, kalau manusia menuruti irama alamnya. Mencintai dengan merawat, mengambil seperlunya, dan menyimpan yang lainnya di dalam tanah, untuk hari berikutnya........bersambung

Sisi Lemah Demokrasi Sikka: Pilkada Sikka


PILKADA Kabupaten Sikka memasuki masa kritis. Lima hari lagi terhitung dari sekarang. Masing-masing kubu dari calon bupati dan wakilnya semakin tergerus oleh waktu. Berupaya secara maksimal untuk memberikan sentuhan akhir yang melegakan. Semua mengklaim kemenangan atas dirinya. Menyatakan aman untuk posisi pemberi suara pada wilayah-wilayah pemilihan. Membaptis dalam jumlah besar rakyat mengambang. Dengan melupakan, It’s the Voters, Stupid!

Kelesuan berdemokrasi

Dalam sebuah wawancara di tahun 1966, Walter Lippmann menengarai isu busuk pada praktik-praktik demokrasi liberal Barat. Ia menegaskan, demokrasi liberal Barat sedang menuju keruntuhannya sendiri. Akibat kebodohan sendiri. Secara tajam, ia membuat sejumlah politisi Eropa Barat, khususnya Amerika gerah. Mengajak mereka merefleksikan kembali posisi kepemimpinannya di tengah masyarakat.

Argumentasi Lippmaan berangkat dari fenomena penggelembungan opini publik melalui kampanye media maupun publik. Kampanye-kampanye tersebut dianggap memberikan daya rusak dan menimbulkan sejumlah konflik. Karena di dalamnya tertumpuk sejumlah janji, diulang-ulang dengan efek ingatan yang kuat pada sejumlah massa. Tetapi belum tentu akan ditepati. The bubbles politic ini kemudian berdampak pecah pada dukungan masyarakat terhadap pemimpinnya. Pada satu kubu pendukung terhadap kubu pendukung lainnya. Mengurangi kepercayaan pada kebijakan publik. Dengan konsekuensi lanjut, terciptanya keresahan non kooperatif pada elemen pendukung pembangunan.

Letak nadi demokrasi adalah dukungan rakyat. Pemimpin populis yang demokratis adalah pemimpin yang mendapat dukungan luas masyarakatnya. Karena itu, pada masa-masa kampanye, eforia para calon difokuskan pada upaya menarik perhatian massa. Berbagai cara dilakukan. Bahkan bisa mencapai 180o. Yaitu, sedapat mungkin atau seolah-olah menjadi sama dengan masyarakatnya. Sangat memahami persoalan masyarakat. Berbicara sangat banyak soal kondisi keprihatinan. Dengan janji, tak akan terjadi lagi pengingkaran atas nasib buruk rakyat.

Namun kelemahan kepemimpinan yang dibangun atas dasar simpatisan di corong kampanye adalah susah untuk dimintai tanggung jawab dan komitmennya. Tidak ada kunci yang disertai meterai pada mulut dan kata. Tidak ada pula keyakinan pada orde pemenuhan janji. Karena yang ada hanyalah produksi imajinatif untuk memanipulasi prasangka, opini, dan keberpihakan. Bukan untuk tujuan membangun ke masa depan, tetapi untuk merebut kursi kepemimpinan.

Pemimpin lantas melupakan rakyat dan eforia masa kampanyenya. Sementara rakyat sudah kembali larut dalam himpitan hidup. Lupa untuk menagih janji pada sang pengucap janji. Kalau pun diingat, ia tidak mampu melakukan selebrasi tuntutan. Atau advokasi kebijakan publik. Ruang yang disediakan untuk sebuah partisipasi hanya diletakkan pada perangkat desa, kelurahan, dan kecamatan. Selanjutnya menguap di meja-meja para pegawai bulanan yang menanti gaji.

Pada tahap ini, rakyat bisa digumpalkan pada beberapa kelompok. Gumpalan pertama berisi mereka yang acuh tak acuh pada roda pemerintahan. Yang hanya berurusan dengan keresahan mengisi perut tengah. Gumpalan berikut, berisi mereka yang punya kepentingan yang sangat kuat terhadap kebijakan publik di tangah pemerintah. Yang melihat peluang dan saling berebutan kue pembangunan. Dengan menyembunyikan alibi pada berkas proposal dan tender. Dan gumpalan terakhir adalah mereka yang aktif menyuarakan hak, kedudukan masyarakat. Menuntut janji pemerintah, mengadvokasi kebijakan publik. Namun dengan catatan, terengah-engah oleh konflik kepentingan, antara konsisten berpihak pada kepentingan rakyat. Atau, berorientasi menjadi pejabat. Mengejar kekuasaan dan kursi kenyamanan yang sama.

Sesungguhnya aspek kebersamaan, seperti seruan mencapai keadilan dan kemakmuran semesta itu, sudah terkapling-kapling oleh wilayah kekuasaan masing-masing. Demokrasi menciptakan pemerintahan di dalam pemerintahan, kekuasaan di dalam kekuasaan, dan kepentingan di dalam kepentingan. Pada wilayah-wilayah ini, ada persentase keuntungan yang jelas. Yang satu menyatakan kekuasaan untuk memperlebar persentase keuntungan bagi pihak lain. Sementara yang lain, menarik persentase dari seruan dari seberang jalan. Wujud demokrasi itu menjadi berubah-ubah. Seperti bunglon. Tidak tetap. Tergantung situasi yang menguntungkan. Pada sebuah meja perjudian. Dengan bandar yang selalu berganti-gantian. Kalah dalam perjudian, lesu pulalah dalam pembangunan.

16 April 2008: Apa yang akan terjadi?

Kalau mau dikurung per wilayah, dengan mudahnya kita mampu menghitung secara cepat prediksi peta perpolitikan Kabupaten Sikka. Luka lama dalam tradisi dan sejarah membagi wilayah Sikka menjadi dua. Lebih populer disebut Maumere Timur (Kewapante, Wetakara, Nele, Bola, Hokor, Watuplapi, Kloangpopot, Waigete) dan Maumere Barat (Nita, Sikka, Lela). Sejarah yang saling menerkam, hegemoni budaya, dan arogansi kesukuan menjadikan daerah-daerah ini mudah dipengaruhi secara sentimentil.

Berbeda dengan dua wilayah lain, Talibura-Nebe (pada sisi Timur terjauh) dan Paga-Wolowiro (pada sisi Barat terjauh) tidak terlalu terbawa pada sentimen ini. Oleh karena faktor “mengambang” ini, kehadiran mereka menjadi sangat penting. Suara dan keberpihakan mereka menjadi dukungan plus untuk memukul ikatan primordial pihak lawan.

Karena itu, pada masa-masa kampanye Talibura-Nebe dan Paga-Wolowiro seketika menjadi selebrita sungguhan. Berlomba-lomba para cabub dan wabub berorasi, menjual ilmu corongnya untuk mendapatkan pendukung. Tetapi lihat sesudah itu, Daerah Timur dan Barat terluar itu kembali ke identitas mulanya. Yaitu sunguh-sungguh daerah “terluar”. Yang jarang ditengok. Minim perhatian. Sedikit sekali sentuhan pembangunannya. Dibiarkan terkapar dengan kondisi mengenaskan.

Nasib yang sama pun dialamatkan pada pulau-pulau gugusan Sikka. Palue dan Pamana. Mereka menjadi gugus pulau yang terlupakan. Baik dari segi apresiasi budaya, pelayanan kesehatan, ekosospol, sampai pada pembangunan infrastruktur. Masa-masa kampanye, mereka dielu-elukan. Sesudah itu, nasib mereka “hanya Tuhan yang tahu”.

Untuk Maumere Timur dan Barat, isu sentimen kesukuan selalu dipakai setiap kali Pilkada berlangsung. Secara sadar atau tidak sadar, penggiringan massa menuju alamat kesukuan itu dirujuk dengan kehadiran calon-calon di daerah asal dan tempat lahirnya. Sangat jarang, calon bupati atau wakil bupati diterima baik di dua tempat ini. Atau berbagi posisi orang nomor satu dan dua. Semua mau menjadi yang pertama, demi gengsi sejarah.

Sementara untuk wilayah terluar, isu keberpihakan selalu datang dari mulut pembangunan. Entah jalan, pipa air bersih, listrik, pelabuhan. Semua itu merupakan sisi imajinatif di pulau utopis. Mirip sekali dengan sinyalemen “the bubbles politic” yang sengaja digelembungkan pada masa tertentu. Kemudian pelahan mengempis, sejalan dengan memelarnya komitmen untuk mempertahankan gelembungan itu.

Pertanyaan sekarang, apa yang akan terjadi dengan 19 April nanti? Apakah kemenangan seorang calon itu masih ditentukan oleh prediksi klasik ini? Apakah masyarakat Sikka masih mau ditipu dengan sentimen kewilayahan ini? Demokrasi macam mana yang akan ditunjukkan? Semacam demokrasi, atau seolah-olah demokrasi?

Semua jawaban ada di tangan pemegang demokrasi. Di sinilah justru kelemahannya. Terlanjur menyerah pada opini publik. Pada arah argumentasi massa. Pada pengkotak-kotakan. Pada janji palsu.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di www.ntt-online.org


Rabu, 09 April 2008

Busung Lapar: Dari Virtualisasi Menuju Kampung


Mengumpulkan satu per satu data korban dari media tracking soal busung lapar, sama juga dengan mengamini fenomena gunung es. Namun, di lain sisi, ada hal yang menarik, yang dapat disimpulkan dari kerja virtual itu. Lagi-lagi pemerintah yang diharapkan mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lagi-lagi, hanya langkah prosedural: kuratif-emergensi-jangka pendek, yang bisa dilakukan pemerintah. Dan terakhir, menanti lagi media massa mengangkat kasus gizi buruk itu di kemudian hari.

Virtualisasi dan kesalahan mengingat

Kenyataan pertama yang harus diakui. Busung lapar itu baru disebut kasus, kalau berhasil keluar dari bidikan lensa, diproduksi sebagai berita pada stasiun-stasiun televisi, dan makanan empuk para juru tulis. Selebihnya, berapa pun korban berjatuhan, intensionalitas pada kosmologi pemikiran bangsa ini, lebih tersedot pada hiruk pikuk dunia politik. Pada sejumlah pilkada, pilgub, dan pilpres. Busung lapar seolah-olah menjadi “timeless” pada berita-berita politik.

Betapa tergantungnya persepsi, imajinasi, dan pragmatisme kita pada dunia virtual tersebut. Dan tanpa disadari, virtualisasi tersebut justru mematok pemikiran kita dalam batas-batas tiga dimensi, sejauh kamera itu mampu menyajikan horizonnya. Spasialitas yang bergerak di bentangan ruang hidup, dengan segala dinamikanya lantas terabaikan. Fenomena busung lapar pun kemudian menjadi kisah ketidakberdayaan sekumpulan manusia pada sebuah bidikan.

Virtualisasi cenderung menciptakan fenomena dari akibatnya. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi dari sebuah peristiwa. Pada “pedih perihnya” busung lapar. Pada seorang anak yang tinggal “kulit pada tulang”. Pada rumah sakit-rumah sakit dengan berjubel penderita gizi buruk. Dan tidak pada keseluruhan peristiwa, dalam kontinuitas waktunya, dengan melibatkan tradisi, dinamika, dan etika. Karena itu, busung lapar pada bidikan kamera merupakan fagmen, potongan kejadian pada gambar semata. Bukan pada realitas terdalam, yang sesungguhnya. Celakanya, justru inilah yang diingat oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini.

Kesalahan mengingat pada gilirannya mengantar kita pada kesalahan bertindak. Paul Ricoeur (1999) menandaskan, ingatan selalu berkaitan dengan dua relasi. Yaitu, relasi pengetahuan dan relasi tindakan. Sejauh mana ingatan itu membentuk pengetahuan dan mendorong lahirnya sebuah tindakan. Ingatan yang salah, membentuk pengetahuan yang salah. Berikut, tindakan pun cenderung salah. Lebih parah lagi kalau gejala ini menjangkit sampai pada ingatan kolektif. Visualisasi virtual itu secara signifikan mampu meninggalkan goresan pekat dan dalam pada sejumlah orang. Disertai perubahan karakter kepribadian, seperti saling mencurigai, melemparkan tanggung jawab, mencari kambing hitam, dan melihat korban semata-mata sebagai objek penderita.

Finalisasi dari babak visualisasi ini berakhir dengan fenomena gunung es. Setelah tercerai berai dengan perspektif yang keliru, langkah “bijak” yang diambil adalah penimbunan kasus demi kasus busung lapar tersebut, supaya tidak lagi diekspose. Sejalan, logika penanganannya berupa: memberi makan untuk yang lapar, mengobati yang sakit, dan menguburkan yang mati. Prosedural kampanye digalakkan. Masyarakat serta merta dijejali dengan sosialiasi hidup sehat, gizi seimbang, dan menu makan sehat. Seminggu dua, virtualisasi media elektronik dan media massa pun mengamini. “Angka gizi buruk dan busung lapar menurun, kesehatan masyarakat mulai membaik!” Dengan catatan, “nanti tunggu pemberitaan busung lapar lagi!”.

Deregulasi

Terlalu sempit mengartikan deregulasi dengan melepaskan sejumlah aturan atau regulasi demi kebebasan bergeraknya modal, barang, dan jasa. Pencangkokan istilah deregulasi pada kepentingan ekonomi menciptakan kesalahan dalam pembacaan relasi antara pemerintah dan rakyatnya. Dalam arti sebenarnya, deregulasi adalah ketidaktergantungan nyawa masyarakat pada kekuasaan negara, atau rezim yang berkuasa. Bukan pula pada otonomi daerah, tetapi pada individu terhadap pemimpin lokalnya. Dari state-regulation menjadi self-regulation.

Kaitannya dengan kasus busung lapar, self-regulation mengandung beberapa pengertian. Pertama, menyimak, menilai, membedah kasus busung lapar tersebut dari sebabnya, dan bukan dari akibatnya. Penuntasan masalah busung lapar harus dicari sampai ke akar persoalan (sanate in radix). Tidak bisa hanya sekedar menimbun di permukaan. Fakta berjubel anak di rumah sakit, yang tinggal kulit pada tulang, tak ada makanan di rumah, ini cuma akibatnya. Perlu menelusuri sebab mulanya, yang menjadi inti soalnya.
Kedua, perlu pula mempelajari ruang hidup, local resources, dalam bentuk pengetahuan, tradisi, perilaku yang dapat menjadi landasan perbaikan taraf hidup dan kesehatan masyarakat. Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”. Karena menjadi warga negara bukan sebuah status pasif tetapi sebuah keterlibatan aktif dalam komunitas, apapun wujudnya. Pola belajar masyarakat juga mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif. Bersumber pada naluri bebas manusia, yang terus berjuang untuk meneriakkan dan mengorganisir dirinya sedemikian rupa agar tidak tersingkirkan dan mampu memberi sumbangan yang diakui. Dengan memusatkan perhatian pada berbagai aspek dan hubungan yang dimiliki semua anak terhadap anggota masyarakat lainnya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Mengenali pengertian hak, kesejahteraan, dan keadilan, serta perjuangan untuk mencapai ketiganya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Dan yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada dan membiasakannya dalam pola perilaku tertentu.
Ketiga, memperkecil intervensi pemerintah dan lembaga terkait sebagai pemangku kewajiban dari pemenuhan kesejahteraan rakyat yang sentralistik, prosedural, dan birokratis. Ketergantungan terhadap pemerintah dan lembaga terkait dengan penanganan yang prosedural dan birokratis justru malah melemahkan self-regulation. Pemerintah dan lembaga terkait tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Etika deregulasi menghendaki manajemen masyarakat, komunitas, dan individu. Bertumpu pada kesadaran kritis masyarakat untuk menyelesaikan seturut mekanisme mereka. Karena, betapa pun ilmiahnya sebuah ilmu, ia tidak mungkin jatuh gratis dari langit. Tetapi senantiasa tumbuh dari penelitian di tengah masyarakat. Pada ruang belajar dan dinamika hidup masyarakat.

Kembali ke Kampung

Peter Sloterdijk dalam salah satu simposium filsafat internasional di Bavaria, Juli 1999 mengejek modernitas di bawah kekuasaan sainstik yang gagal merekayasa manusia dan dunia menjadi lebih unggul, sejahtera, dan damai. Ia malah mengatakan, humanisme benar-benar sudah mati di abad modern ini. Karena semakin banyak manusia yang tersingkir, tertindas, menjadi korban dari kekejaman, kejahatan, kemiskinan, dan konflik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Pertanyaannya: benarkah era modernitas membawa peradaban ke arah yang lebih baik?

Titik sasar Sloterdijk adalah kaum positivistik. Kelihatan sekali humanisme itu diabaikan. Yang ada cuma sebuah ladang exercise yang besar atas manusia. Manusia selalu menjadi kelinci percobaan. Senantiasa menjadi korban, objek, yang selalu bergantung pada kekuatan di luar dirinya sendiri. Lebih dari itu, dunia cuma menjadi ladang bisnis. Perkampungan jual beli. Perang, bencana, wabah, kemiskinan dilihat sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan. Tidak peduli dengan dampak yang ditimpakan pada manusia dan dunia. Klaim ekonomi-bisnis, yang berakar pada penerapan teknologi telah menciptakan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Susah untuk dilepaskan. Menjerat. Mencekik masyarakat.

Betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk tidak bergantung. Betapa berharganya pula menerima aspek kontinuitas, aktualitas pada genre kampung. Kenyataannya, “kekampungan” itu tidak selamanya identik dengan busung lapar. Justru, ketika “kekampungan” itu dilupakan, anatomi antroposentris yang berpihak pada nilai positif manusia berjalan pincang. Kekampungan hanya dinilai sebatas “ketertinggalan”, “ketidakberdayaan”, “kekolotan”. Lantas relasi pragmatis pun turut pincang. Yang satu memaksa, yang lainnya berlaku surut. Yang satu unjuk cerdas, yang lainnya tampil mundur. Yang satu di atas, yang lainnya di bawah. Yang satu menang, yang lainnya jadi korban. Kampung dilecehkan tanpa meninggalkan jejak watak yang positif pada ruang belajarnya sendiri. Ia hanya kebodohan dan kebergantungan.

Era modernitas, apa membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk kampung? Busung lapar, apa kampung kita yang salah? Mari, lihat, dan cermati!!! (*)
Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org (9 April 2008)

Selasa, 01 April 2008

SPMNJ: Orang Muda Punya Bisa!

19 April merupakan tanggal penting untuk orang muda Nagekeo di Jakarta. Hal itu bisa terjadi karena sebuah solidaritas. Tepatnya, Solidaritas Pemuda Mahasiswa Nagekeo Jakarta (SPMNJ). Deklarasi mereka, deklarasi tubuh dan ide. Saat raga dan roh muda mereka menggeliat riak secara fenomenal. Merebut momentum. Untuk tidak sekedar melirik, melongokkan kepala, atau memecahkan keheningan dengan suara.

1
Seorang Socrates, sang pencari kebenaran dari Yunani itu, begitu yakin dengan kekuatan orang muda. Pada setiap kesempatan, ia mengajak orang muda untuk berpikir secara kritis. Menempatkan mereka sebagai subjek. Dengan pandangan tajam dan lurus, mencoba melihat dan menilai secara kritis roda pemerintahan berjalan. Sedapat mungkin, Socrates berusaha menanggalkan baju kemapanan, ikut arus, tenggelam dalam massa. Ia mengajak orang muda Yunani berpijak pada kebenaran, keyakinan, dan prinsip. Menjadi otonom. Sambil menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih estafet kepemimpinan.

Sebegitu gigihnya ia mendaur pikiran kritis kaum muda, Socrates kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Untuk pemerintah Yunani saat itu, Socrates adalah racun untuk kaum muda. Gerakan pembebasannya membahayakan pemerintahan. Sekali waktu, bisa muncul dengan kobar api yang besar. Menghanguskan kemapanan yang ada. Karena itu, Socrates dikurung. Dipaksa untuk mengakui kesalahannya. Kemurtatannya. Supaya pasal bisa mendefinisikan jenis hukumannya. Bila perlu, hukuman mati. Namun, Sorates lebih memilih meminum racun ketimbang mengikuti skenario pemerintah.

Ekspresi seorang Chairil Anwar dalam puisi “Aku” tidak jauh beda dengan bingkai cerita Socrates. “Aku” yang binatang jalang itu memilih untuk ditembusi peluru. Ketimbang harus menyerahkan pemberontakannya pada penguasa yang lalim. Pada waktunya, “Aku” tidak bisa dirayu. Ia berhak memilih dan menentukan sikapnya. Tanpa perlu sedu sedan, kalau pun “Aku” harus terbuang dari kumpulan. Dari masyarakat sosial. Dari negaranya. Menjadi sekian “si gila”, yang berbeda dari batas-batas kewajaran, kenormalan. Bersuara tegas terhadap kemapanan. Karena hanya dengan demikianlah, bangsa dan masyarakatnya dapat hidup seribu tahun lagi.

Rupa pikir layaknya seorang gila itu justru mendapat apresiasi yang tinggi dari permenungan seorang Kahlil Gibran. Untuk Gibran, kegilaan adalah sebuah metode. Cara berpikir dan bersikap lain, tidak biasa dari kenormalan. Kegilaan itu sebuah jalan pembebasan. Karena kegilaan itu netral, tidak berpihak, tidak mau dirayu, ia tampil sebagai jembatan yang baik untuk menemukan kebenaran. Tampil kritis dan profetik. Kegilaan kemudian menjadi tidak sekedar metode, melainkan pula kehormatan dan martabat.

Pada karakteristik ketegasan yang berani bersuara seperti ini, orang muda merupakan halte usia yang cocok. Mengingat mereka belum terikat pada lembaga dan fungsi sosial tertentu. Dalam kedudukannya di masyarakat, mereka berada di pihak tengah. Yang bebas bergerak. Mampu menemukan ruang baru, menjadi fenomenal dengan memastikan momentum, dalam sebentuk pemikiran atau tindakan. Mereka bisa menjadi penggonggong, yang menarik perhatian banyak orang, menyendul dengan kekuatan kencang, dan corong untuk menyatakan rintih keprihatinan. Pada mereka, perhatian selalu beralih ke sebuah “dunia lain”, “dunia kegilaan”, untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi dari batas-batas kemapanan dan kenormalan.

2
Dalam sejarahnya, macam organisasi, perkumpulan, perserikatan, solidaritas orang Flores itu tidak bertahan lama. Pertama sekali, kelahirannya begitu menggebu-gebu. Menyeruduk seperti banteng liar. Nampak kokoh yang bisa bernapas panjang. Baik dari segi keanggotaannya, maupun program-program kerjanya.

Namun kedua, bersamaan dengan waktu berjalan, pelahan-lahan semangat yang menggebu-gebu itu memudar. Satu per satu anggota mulai mengundurkan diri. Enggan mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah-edukatif-sosialisasi. Tetapi akan banyak berdatangan, seperti semut pada gula, kalau ada kegiatan-kegiatan seremonial, eforia nyanyian dan tarian, pesta dalam berbagai macam tema, atau solidaritas untuk mempertahankan gengsi dalam bentuk tawuran. Solidaritas moke (arak) dan jenis B1, B2 lebih kencang ketimbang diskusi dan rekomendasi.

Internal pelik, orang Flores termasuk orang mudanya sama-sama tidak mau mengalah. Susah mengakui keunggulan, menghargai pendapat, sportif, dan kompak. Yang sering terjadi, ada kelompok di dalam kelompok. Teman makan teman. Tergantung mood, dan enak sama enak. Dan persoalan mood itu, sangat erat kaitannya dengan mata, mulut, perut, dan kaki. Jarang fokus pada solidaritas otak kiri dan otak kanan, atau akal budi dan hati. Finalitasnya ada pada hasil dan bukan pada proses. Selesai sebuah kegiatan, makan selesailah pula sebuah solidaritas. Termasuk, dana! Tidak pada sebuah proses, yang selalu bergerak secara dialektik, masa lalu, kini, dan yang akan datang. Kerja keras, hasil, dan kerja keras.

Warisan stigma ini pun menjadi palu justifikasi untuk kelompok atau organisasi kaum muda Flores yang baru lahir. Kemudian tidak lepas pula kesulitannya pada, siapa yang harus menjadi inspirator, pendamping, atau sejenis moderator. Yang bisa menjadi “kakak” senior untuk orang-orang muda ini. Berikut, sulitnya pula mengumpulkan dana operasional. Karena, siapa yang akan nyakin betul, uang sisihannya itu digunakan untuk sebuah kegiatan yang benar-benar efektif, bernilai, bermartabat. Dan bukan untuk sebuah seremonial yang protokoler, dengan musik hip hop dan hidangan arak, B1 atau B2. Ini masalah kepercayaan, keyakinan, persepsi orang Flores terhadap perkumpulan orang muda Flores!

3
SPMNJ: ke mana anda harus memilih? Yang pasti, fenomena melahirkan itu selalu disertai rasa sakit. Tidak pernah dengan sebuntal kegembiraan. Pedih perih karena berbagai macam komentar. Sinisan. Tanpa melupakan pujian tulus dari sekelompok kecil orang.

Menjadi konsisten seperti seorang Socrates, dengan ketidakpedulian binatang jalangnya Chairil Anwar, dengan metode kegilaan seorang Gibran, merupakan pilihan paling radikal. Tetapi justru dengan pilihan-pilihan itulah, mereka menjadi besar. Menjadi bermartabat. Mereka belajar berproses, menghormati proses, tanpa mempedulikan hasil. Dunia yang memberikan hasilnya buat mereka. Sementara mereka tidak pernah menikmati hasilnya secara maksimal.

Hal ini erat pula kaitannya dengan jebakan-jebakan yang sudah sering terjadi untuk sebuah organisasi orang muda. Hanya mengejar kekayaan (uang), kekuasaan (jabatan), dan popularitas, organisasi-organisasi kaum muda itu turun kelasnya menjadi organisasi tempe. Padahal, emas sudah ditangan. Tetapi dengan mudahnya emas itu dirupakan secara murah, seperti kisah “Anak Yang Hilang”. Setelah semuanya habis terkuras, martabat orang muda itu dinilai hanya seharga makanan babi. Perlulah sikap konsisten, seperti teladan seorang Socrates, Chairil Anwar, dan Gibran.

Mata orang muda adalah mata zaman. Pada posisinya yang di tengah, ia mampu memandang tajam ke masa silam dan masa depan. Bahkan mampu menentukan masa depannya sendiri. Memegang kendali pada ruang dan waktu. Karena itu, tidak cukup hanya menjadi fenomenal. Tetapi perlu pula menciptakan momentum. Merebut momentum. Dan menulis sejarah dengan tangan sendiri. Sekalipun baru sampai pada tahap catatan kaki. Karena dengan begitu, masa lalu dapat dipurifikasi. Dinilai ulang. Dibaca secara baru. Diterjemahkan secara kontekstual.

Teks-teks yang dibaca dibangku kuliah tidak sekedar kata, atau huruf pada catatan. Ia merupakan batu-batu hidup yang bercahaya kalau didedikasikan secara sosial pada masyarakat. Masa lalu pada bacaan orang tua sudah terlalu kaku dan tidak update. Pikiran mereka boleh saja selalu baru, tetapi ketubuhan mereka sudah luluh di makan waktu. Karena itu, antara teks, konteks, tubuh, dan jiwa adalah purna bentuk dari sebuah dedikasi sosial. Masyarakat yang hidup tidak pernah mencari batu-batu mati. Masyarakat selalu mencari batu-batu hidup yang kokoh. Demi membangun struktur, jejaring sosial yang dinamis dan kontekstual. Karena itu, orang muda menjadi kelas istimewa. Pada mereka, masyarakat mengharapkan batu-batu hidup itu.

4
SPMNJ, tidak sekedar berhenti pada sebuah deklarasi. Mereka sendiri sudah mengizinkan dirinya, teks, tubuh, jiwa mereka menjadi batu-batu hidup. Waktu sudah diberikan. Kesempatan sudah datang. Tinggal bagaimana mereka mendefinisikan tanggung jawabnya. Mari kita dukung mereka. Orang muda yang selalu punya bisa!(*)

Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org