Senin, 22 September 2008

Dari Satpam Menuju Jutawan

Orang Korea selalu merasa waktu ada bersama dirinya. Setiap detik tidak pernah dibuang percuma. Etos kerja yang mepet, hingga melupakan diri sendiri. Orang Tiongkok menghitung setiap sen duit dengan cermat. Tidak meremehkan dua puluh lima perak dalam kantung pundi-pundinya, karena berilmu pada semut yang mengumpulkan sedikit untuk banyak. Orang India menjadi tukang dunia, yang mengetahui detail setiap ruas pipa, kabel, dan ilmu teknis. Sementara itu, orang Padang merasa memiliki citarasa masakan Indonesia, karena berhasil merampok lidah Melayu dengan masakan Padang di segala penjuru nasional.


WS Rendra, Si Buruk Merak itu, pernah melontarkan pujian pada orang Flores. Dalam orasinya berjudul “Selamatkan Kekayaan Negara dengan Kedaulatan,” Rendra memuja Flores sebagai suku bangsa yang tidak pernah ditaklukkan di Tanah Air. ‘Begitu kuatnya budaya yang melasaki jiwa orang-orang Flores itu, sehingga mereka memiliki kedaulatan dalam dirinya sendiri,’ kata Rendra. ‘Yang terjadi di Flores adalah perpaduan yang kental antara budaya lokal dan budaya modern, antara agama dan kepercayaan tradisional, antara bumi, air, api, dan manusianya.’


Namun, apalah artinya kedaulatan tersebut, kalau hanya menjadi kebanggaan di masa lalu? Toh, orang Korea tetap merasa memiliki waktu, orang Tiongkok memiliki duit, orang India tetap menjadi tekhnokrat, dan orang Padang memiliki citarasa nasional. Di tambah pula imperialisme modern “The five sister,” Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, Flores sepertinya dihimpit dengan kekuatan-kekuatan yang mapan dan tak terkalahkan. Sebagai premis awal, sekarang bukan saatnya lagi mengatakan budaya atau suku bangsa itu kalah atawa dikalahkan, melainkan mampu atawa tidak mampu bersaing.


Pendidikan dan Persaingan
Cerita orang sukses dari Flores selalu dimulai dengan sebuah zaman antah berantah. Seorang wartawan sukses dari daerah yang kersang di Flores menceritakan kesuksesannya dari gaji Rp 150 ribu per bulan dengan menjadi satpam. Seorang business man dari Flores mengakhiri ceritanya dengan kata-kata kutipan peribahasa ‘bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.’ Seorang Marketing Manajer dari Flores mengibakan kisah hidupnya dengan menumpang tanpa sepeser duit dari kos ke kos, namun sukses karena ketekunannya.


Karakteristik Florenesis sudah sangat akrab di telinga para berduit di kota-kota besar. Mempekerjakan orang Flores sama sekali tidak merugi. Pekerja keras, jujur, dan dapat dipercaya. Attitude skill yang tidak diragukan. Karena keterampilan itu pula, orang Flores dikenal cerdas dan tangguh.


Namun, kekalahan telak bisa dirasakan kalau sudah masuk ke soal kecerdasan praktis, menjadi orang yang benar-benar spesial pada sebuah bidang. Persaingan akhirnya merucut pada spesialisasi, pada kejelimekan memahami ranah soal, dan budaya klik tanpa perlu menghabiskan waktu dengan mengandalkan solusi manual. Pada spesialisasi ini, orang Flores seperti baru belajar menyelam, atawa kembali menjadi kepompong dan menetek di dunia pengalaman.


Dasar orang Flores! Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo, sesulit apa pun spesialisasi tersebut, sang Flores tak kunjung menyerah. Tetes demi tetes air susu pengalaman itu diendapkan menjadi pengalaman berharga. Sama halnya dengan tantangan mendaki sebuah bukit untuk mendapatkan satu jerigen air bersih. Sama pula dengan bermain sepak bola di sebuah lapangan miring. Sama juga dengan berjalan kaki ke sekolah yang letaknya nun jauh di sana. Lantas, premis berikutnya adalah orang Flores mampu bersaing, dengan berkaca pada wajar kasar kehidupan ibunya.


Lalu, Apa?
Tentang segala sesuatu, hanya perubahanlah yang tetap. Perubahan hanya bisa melebarkan sebuah gelas menjadi mangkuk, mangkuk menjadi panci, dan panci menjadi gentong. Sekali aluminium, tetap aluminium, sekali Flores, tetap Flores. Namun, bukankah mangkuk lebih luas dari gelas, panci lebih lebar dari mangkuk, dan gentong terhadap panci. Bayangkan saja, kalau isinya adalah makanan, berapa banyak yang diperoleh dari setiap perluasan wadah tersebut?


Pendidikan meninggalkan bekas melentur pada inti diri. Melalui imajinasi, pendidikan meneguhkan kemauan dan otot-otot untuk bekerja. Pendidikan itu sumbu, sejauh mana api itu bisa menyala dan menerangi tubuh.


Namun, pendidikan tidak sama sekali berguru pada diktat. Diktat hanya membancikan kata dan mempermalukan pengalaman. Diktat mengurung roh hidup dan kemampuan mempelajari dinamika hidup di alam ruah.


Kisah sejati orang sukses bertumpu pada gigihnya orang Flores berjalan berkilo lamanya demi pelajaran membaca dan menulis, demi seteguk air bersih, dan sesuka hati menendang bola di tanah miring. Dari satpam menuju jutawan!(*)

Jumat, 13 Juni 2008

Mari Menjual Daerah: Pilkada NTT


Sebelum Pilkada, rakyat selalu menjadi yang nomor satu. Sang calon sangat sensitif publik. Persoalan dan penderitaan rakyat terbentang seperti “balok” di pelupuk mata. Namun, sudah lumrah, balok itu menjadi setitik noktah, malah nyaris tak tersentuh, ketika kursi panas itu sudah terduduki. Mengapa?

Politik Selebrita

Pilkada seperti layar lebar, sejenak mengangkang ke pikiran dan membooming. Kemudian, lewat waktu, ia terbujur nyaris mati.

Pamflet, selebaran, spanduk, kampanye bercampur massa merupakan bagian dari hipnotisasi itu. Semua pikiran seperti tertekuk, menyorot tajam pada sosok yang ingin memimpin. Pikiran pada kehidupan menjadi gamang. Kehidupan nyata lantas terlupakan, karena kata dan janji itu seperti mencerapkan bahasa hiburan tak berhenti, dengan kepuasaan berjengkal-jengkal.

Visi dan misi, tertulis seperti kata-kata hidup, yang terlahir dari pembacaan kilas rangkai harapan massa. Namun, penggelembungan itu menjadi santet, seperti meneror dan mengintimidasi tanpa rasa sakit dan takut. Malah orang terbawa, menjadi satu hati karena tak sadar tersiksa dalam kerangkeng itu.

Sosok, lebih sesak karena menilai sendiri kebenarannya. Sosok seperti mengutuk, menularkan wabah pada masyarakat. Namun, tiada seorang pun tahu, seperti apa dirinya menjadi, sebelum tersohor menjadi calon. Sosok menjadi popok, begitu pasrah menampung “kotoran”, seolah-olah sekian mendengarkan, merasa senasib dan sepenanggungan, dan mengkahyalkan kebahagiaan bersama dari sebuah kursi, dengan kue yang diperebutan banyak kepentingan.

Surat kabar, majalah, buletin, berpihak pada siapa? Menjual diri untuk meluputkan loper dari kemiskinan? Atau merubrikkan konflik dengan menceritakan kebaikan dan keburukan dari sisi yang cover both side (katanya!).

Celah ini menjadi semakin takabur, karena bercampur dengan mamon (duit). Tangan terendah membuka dan mengatup, dengan genggaman penuh durian jatuh. Apa pula yang terjadi, kehidupan itu terkapar dalam gengaman antara duit dan saku, perut dan kehendak. Satu piring ubi tatas bisa diganti dengan Rp 50 ribu bahkan Rp 100 ribu per kepala keluarga, hanya untuk mencari pendukung. Benar-benar “Bantuan Tunai Langsung.” Sementara parpol berpesta pora, KUPD kegenitan, sosok mengelus kursi, toh rakyat tetap gigit jari. Cuma bisa melihat, mendengar, mengagumi, namun tiada pernah bisa memiliki duit sekitar Rp 10 juta, bahkan sepanjang hidupnya, pada tawar menawar di lantai bursa pencalonan tersebut.

Pilkada, memiskinkan atau malah memperkaya? Benar, dua-duanya sedang bertarung, untuk memiskinkan dan memperkaya, tergantung pada siapa membayar siapa, menang atau kalah. Sesudahnya, menguap menjadi senyap!

Menjual Daerah

NTT, semua mata tengah memandang. Ada emas, batubara, fosfor, biji besi, panas bumi. Katanya, potensial!

Krisis energi, minyak melambung, dolar makan rupiah, tetapi pilkada tetap hiruk pikuk.

NTT itu miskin, tertinggal. Bocah-bocahnya kurang gizi. Tetapi, kok sebagian dari mereka di tanah rantau (kaum diaspora NTT) gemuk-gemuk?

Tiga kenyataan ini adalah pilihan sambung bersambung. Pertama, melihat potensi, pemimpin terpilih membubuhkan tanda tangan pada kontrak karya, dan sebuah daerah dari hektar luas pertanian, perkebunan, peternakan, perkampungan melayang ke meja para kuasa tambang. Kedua, tambang menghidupkan pendapatan daerah, menumbuhkan perekonomian dan berakibat pada pendapatan per kapita. Atau merupakan jalan keluar zero to zero, setelah pesta politik itu berakhir dengan utang? Ketiga, bocah-bocah itu kehilangan tempat bermain dan makanan mereka, karena ladang mereka sudah disulap menjadi perkampungan lumpur dan limbah. Keempat, dengan cara apa lagi untuk meyakinkan sang terpilih bahwa ruang hidup yang sudah terpelihara bertahun-tahun itu hanya perlu ditriger menjadi lahan usaha yang local contain. Kelima, penghematan dan pertumbuhan, efisiensi dan elaborasi hanya bisa datang dari pencermatan ruang hidup dan kebiasaan boros memboros. Tradisi yang boros, agama yang boros, pendidikan yang boros, energi yang boros, informasi yang boros, politik yang boros, dan waktu yang boros. Ini yang harus diubah. Mulai menyikapi krisis energi, inflasi, dengan tidak memboros!

Namun, persoalannya ada pada sang terpilih. Sering dan sangat mungkin, daerah, hektar per hektar dijual dengan MOU dan tanda tangan. Rakyat menggelepar. Pilkada, dari pesta menjadi utang. Utang dibayar tanah. Tanah dibayar tangis dan darah. Dan NTT, dari potensial menjadi potensialan(ha...ha.....ha....!).

Selasa, 20 Mei 2008

Politik Minyak, BBM Naik


Harga minyak dunia beranjak naik. Terakhir berkisar di harga US$ 126 per barrel. Pemerintah pun kebakaran jenggot. Terombang-ambing antara memaksakan subsidi atau menaikkan harga BBM. Tak kurang pula pertarungan politis yang melingkupi naik turunnya harga BBM tersebut. Sementara rakyat kecil menanti keputusan yang paling bijak. Bila perlu tanpa opsi menaikkan harga BBM.

Pada level US$ 100 per barrel

DPR dan pemerintah sudah punya keputusan sejak harga minyak berada di level US$ 100 per barrel. Kedua elemen negara ini menyepakati mengubah pos subsidi BBM menjadi Rp. 153 trilyun. Dengan terpaksa, pemerintah akan mengeluarkan uang tunai sebesar itu untuk menutup kerugian pertamina.

Dari manakah angka itu diperoleh? Harga minyak mentah US$ 100 per barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau diambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter. Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium, anggap saja dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.

Perhitungan ini benar. Namun perlulah diteliti lebih jauh asumsi yang digunakan. Pemerintah tidak cukup efisien dengan menyertakan minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia. Artinya, minyak mentah milik Indonesia itu harus dibeli pula. Termasuk hak pemerintah pada kilang-kilang minyak yang dikelola perusahaan minyak asing.

Kalau benar perlu tunai Rp. 153 trilyun plus tanpa dikurangi hak minyak pemerintah, berarti ada sejumlah uang yang lebih dari perhitungan itu. Kelebihan dana tunai ini patut dipertanyakan peruntukkannya. Dengan asumsi US$ 100 per barrel, ada sekitar Rp. 35 trilyun kelebihan dari dana yang dikucurkan tersebut.

Perhitungannya, produksi : 1 juta barrel per hari. 70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia. Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel 1 US $ = Rp. 10.000. Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel. 1 barrel = 159 liter. Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter Jika demikian, produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000. Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000 Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000. Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini (19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000=121,900,000,000,000. Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri 40,624,500,000 x Rp. 3.870= 157,216,815,000,000. Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar Rp. 35,316,815,000,000 Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual. Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500. Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan) 630. Kelebihan uang per liter 3,870. Ke mana kelebihan tersebut diperuntukkan?

BBM berarti (hanya) minyak

Politisasi minyak dimulai dengan istilah BBM. Dalam definisinya yang ketat antara kelangkaan, kenaikan harga di pasaran internasional, dan prediksi APBN, BBM sengaja tidak pernah dilepaskan dari “minyak”. “Bahan bakar” sendiri, yang menjadi kepentingan sejuta umat sepertinya diabaikan. Sengaja direduksi. Dengan “minyak” sebagai porsi terbesarnya.

Karena itu pulalah, minyak menjadi trend luar biasa selama ia masih bisa disedot dari perut bumi. Menciptakan ketergantungan. Mengelitiskan segelintir orang dengan kepentingan, kekuasaan, modal pada minyak. Melupakan potensi alam yang lain. Melupakan nilai-nilai yang lebih humanis dan selaras alam. Melupakan kaum terpinggir dan terpencil yang berharap tidak terjadi kenaikan harga BBM.

Pernah ada penemuan bahan bakar air. Lain waktu, kita didorong untuk menanam jarak. Di daerah-daerah terpencil, dengan potensi alam yang luar biasa, orang tergerak untuk menemukan sumber-sumber pasokan energi alternatif. Seperti, pembangkit tenaga air, tenaga uap, atau tenaga angin. Alternatif pasokan energi alam ini menjanjikan. Membangkitkan harapan. Dengan sejumlah nilai yang lebih humanis, selaras alam, seperti hemat energi, ramah lingkungan, dan bebas polusi. Namun ini hanya sebuah eforia awal. Kalah dengan kebijakan publik nasional yang selalu meleletkan lidah pada minyak.

Dari sini pulalah mesti mulai mengerti, bahwa ruang hidup yang diciptakan dari BBM ternyata mengambil bagian terpenting dari kehidupan manusia. Yaitu, energi kehidupan. Spirit kehidupan. Yang seharusnya dimiliki seimbang, seadil-adilnya, dan sederajat untuk semua orang. Dari sini pulalah, sebuah kesalahan pembacaan terhadap ruang hidup itu tercipta. Mulai dari istilah BBM. Sampai Benar-Benar Mabok!

Harga BBM Naik

Pilihan pemerintah kemudian merucut pada kenaikan harga BBM. Dari perhitungan di atas, juga reduksi istilah, mau tidak mau kenaikan harga BBM bukanlah telanjang sifatnya. Artinya, benar-benar didasarkan atas perhitungan kepentingan bersama. Lepas dari pengaruh invisible hand, yang menekan pemerintah untuk segera mengambil keputusan tersebut.

Dimulai dengan kontrak karya dengan pembagian keuntungan (split profit) yang kecil untuk pemerintah. Kemudian dari keuntungan yang kecil itu, pemerintah mesti harus melunaskan utang operasional (cost recovery). Maka, yang tersisa dari keuntungan BBM itu terbilang “sangat kecil”. Keuntungan lebih besar pada perusahaan-perusahaan minyak dan pelaku/pemain minyak Indonesia.

Konsumsi minyak yang melebihi produksi menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada import negara-negara produsen minyak. Mau tidak mau, negara pun bergantung pada distributor minyak.

Pemerintah cq Pertamina sesungguhnya bukan murni plat merah. Banyak plat hitam yang mempengaruhi kebijakan perminyakan di Indonesia. Dimulai dari klik yang berada di seputar kepala negara dan wakilnya. Orang-orang kunci di bidang ekonomi. Aparat ideologis negara. Aparat represif negara. Orang-orang kunci di bidang politik. Inilah yang disebut kelas komparador domestik menurut Biersteker (1981). Muaranya adalah kebijakan publik. Termasuk minyak dan kenaikan harga BBM.

Sementara kepentingan rakyat adalah bagian paling akhir dari hitung menghitung sampai pada tingkat aman untuk kelas di atas. Praktisnya, apa pun pertimbangan yang masuk akal, pilihan politislah yang menjadi penentunya. Harga BBM tentu saja naik!(*)

Artikel ini pernah dimuat di Harian Flores Pos, 21 Mei 2008

Selasa, 06 Mei 2008

Sejarah Yang Membentang Nagekeo dan Sikka


Tidaklah mengejutkan menghubungkan Nagekeo dan Sikka. Sesungguhnya, sejarah telah menghubungkan dua kabupaten ini. Bukan cuma wilayahnya yang bertautan di seberang Pantura. Yang strategis untuk muncul sebagai dua kekuatan besar di daratan Flores. Tetapi juga soal karakter pemimpinnya. Pada sudut sanubari rakyatnya. Jelang Pilkada Nagekeo.

Sejarah para tokoh

Tahun 1960-an, Flores memperoleh ancaman serius dari Seso Badjo Bima yang berkedudukan di Manggarai. Ancaman ini tidak sekedar mengganggu kenyamanan, tetapi juga membuat sebagian orang gusar. Keras kepala. Memberontak. Kecuali Manggarai, daerah Flores lainnya, terlebih Ngada (Nagekeo), Ende, dan Sikka, membarikade dirinya untuk membentengi ekspansi Bima.
Tersebutlah nama Kota Djogo, terletak di dekat Toto Lambo sebelah barat teluk Tjinde, Kinde atau Sinde, di Teluk Kaburea. Kota Djogo menjadi begitu mencuat karena perannya sebagai benteng pertahanan terhadap serbuan ekspansi Bima. Di sini pulalah, pemimpin-pemimpin Nagekeo dan Sikka bahu membahu melakukan perlawanan gigih terhadap Seso Badjo Bima.
Hubungan yang erat itu pula ditunjukkan dengan “jalur bebas” orang Sikka dan orang Nagekeo. Bahwa antara Sikka dan Nagekeo, tidak ada perbatasan yang memisahkan. Keduanya seperti saudara sekandung, yang membiarkan bebas wilayah-wilayahnya itu terikat hubungan pulang pergi, kawin mawin, dan cenderamata pemberian nama.
Tentang nama Maumere, sekalipun masih dalam perdebatan begitu lekat dengan nama wilayah-wilayah di Nagekeo. Maukeli, Maumbawa, Mauponggo, Maunori, yang semuanya menunjukkan sebuah daerah pantai sebagai wilayah stategisnya. Maumere atau “pantai besar” itu menjadi pelabuhan penting, sekurang-kurangnya sejak penjajahan Belanda. Menjadi salah satu pusat transportasi laut dan bongkar prajurit yang diandalkan di daratan Flores. Karena itu, Maumere adalah “pantai besar”.
Sebaliknya, sebuah puisi indah tentang Nagekeo pernah dibukukan dalam sejarah tulis orang Sikka. Gera le Keo//Nia gita Tonggo Keo//Tonggo Keo parak bura//Ganu ladjar wilanda//Bila anda berada di Keo//Terpandang matamu Tonggo Keo//Tonggo Keo wadas putih//seputih layar Belanda// Seolah-olah Nagekeo itu masuk di dalam wilayah Sikka. Sejauh mata memandang di ulu dan eko. Nampak terlihat Sikka dan Nagekeo. Karena itu, Sikka bebas menjejakkan kakinya di wilayah Nagekeo. Menjadi seperti orang Nagekeo. Melawan musuh bersama. Mempertahankan perbatasan. Demikian pun sebaliknya.
Sejarah memberikan karakter. Terlepas dari dominasi genetis. Ingatan akan masa lalu, pelisanan dan pencatatan membentuk sejarahnya sendiri. Sejarah tidak pernah mati. Ia tersimpan baik dalam memori kolektif. Pada alam bawah sadar. Untuk kemudian muncul kembali pada sebuah penemuan. Pada reinkarnasi. Dan di sinilah, sejarah itu membentuk siklus berulang. Dengan tempat, tanggal, waktu, dan orang yang berbeda.
Sejarah Nagekeo dan Sikka adalah sejarah perlawanan. Segi orisinalitasnya terletak pada jiwa pembaru. Sesaat waktu muncul dalam diri orang-orang yang kritis. Bersikap sebagai oposan sejati untuk kalangan birokrat pemerintah. Yang gerah dengan perlakuan tak berpihak pemerintah pada rakyatnya. Tetapi sekaligus mengisi penuh di setiap debar jantung ketidakberuntungan masyarakatnya.
Cinta terhadap tanah airnya tidak serta merta menjadikan liat mukanya selalu bergembira dengan situasi ketertindasan, ketertinggalan, kebodohan, bahkan penjajahan. Ia tidak menari-nari di atas penderitaan rakyat banyak. Selalu punya hati untuk maju. Berwatak keras. Pembawaan tegas. Tidak kompromi. Untuk kebaikan banyak orang.
Tetapi sejarah Nagekeo dan Sikka juga adalah persaudaraan. Identitas pada sebuah nama dan pujian pada syair memberikan warna lain pada karakter orangnya. Untuk orang Flores pada umumnya, nama dan syair tidak datang dengan sendirinya. Ia melekat pada tradisi, budaya, dan masyarakat. Tidak ada syair dan nama tanpa masyarakat. Di luar upacara besar. Pada situs rumah adat dan persetujuan nenek moyang. Pada persaudaraan dan keakraban semua kampung.
Jika demikian, nama menunjukkan hati. Sejauh mana masyarakat menyatakan kesetujuannya pada nama itu. Identitas tidak lantas menjadi hegemoni sebuah pribadi. Berat ringannya, baik buruknya selalu punya persentase di mata masyarakat. Pada memori kolektif. Pada ingatan akan sejarahnya. Terutama sejarah ketertindasan dan munculnya figur pemimpin yang dapat membebaskan. Menumbuhkan persaudaraan. Dengan porsi ketegasan yang tidak kompromi. Pemimpin yang lahir dari masyarakat. Bukan dari luar.
Sejarah, budaya, masyarakat, dan integritas pribadi. Inilah yang menjadi rahim sejarah para tokoh. Munculnya para pemimpin di Nagekeo dan Sikka.

Demokrasi ala Flores

Flores tidak bisa lepas dari budaya dan agama. Keduanya memiliki tradisi dan kontrol sosial. Perangkat nilai dan perilaku. Setiap peristiwa dalam laku hidup orang Flores senantiasa diterjemahkan ke dalam interaksi dua komunitas ini. Termasuk di dalamnya hakikat mengorganisasi sebuah masyarakat. Dengan pilihan pemimpin yang seimbang di kedua sisi.
Kelompok yang lahir dari dua komunitas ini pun terbagi atas dua. Pertama, yang mengusung budaya dan agama sebagai tradisi baku. Cenderung kaku, Mempertahankan kemapanan dengan merengkuh kuat kursi pemimpin adat dan agama.
Kelompok berikut adalah kaum intelektual. Yang lahir dan dibesarkan dalam situasi pertama, tetapi punya keinginan kuat untuk keluar dari jerat itu. Dalam lintasan yang sama itu, kelompok ini lebih kencang larinya. Lebih dulu mencapai garis finish. Memberikan kritik atas kelambanan, ketertinggalan, kemapanan ritme atas budaya dan agama. Untuk kalangan pertama, mereka nampak seperti benjolan-benjolan pada kulit ari. Nampak bobeng. Tetapi untuk masyarakat, mereka adalah angin segar. Cara pikir lain. Alternatif baru. Pintu perubahan baru.
Demokrasi ala Flores dan tema pencerahan sebenarnya tidak murni urusan politik. Kontrak sosial yang terjadi di lingkup orang Flores lebih kepada kontrak antarsuku, tradisi, budaya, dan agama. Politik hanya mengalihkan perangkat sistem memerintah dari budaya dan agama. Sementara dari, oleh, dan untuk rakyat itu lebih banyak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dimiliki oleh budaya dan agama. Akibatnya, demokrasi Flores melahirkan kasta, kelas, klik. Dengan perseteruan yang melebar pada sejumlah isu fundamentalisme, feodalisme, konservatisme, dan hierarkisme. Tatanan masyarakat dan massa mengambang (floating mass) ditarik pada hierarki ini. Menjadi pendukung dan pengusung pada orang yang dicalonkan.
Namun sejak Pilkada langsung, demokrasi Flores itu mulai bergeser. Berat teguh perpolitikan yang disemangati isu-isu konservatisme dan feodalisme berimbang pada dimensi pencerahan kolektif. Ditandai dengan kesadaran moral pemilih untuk bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Hal ini terutama dipicu oleh kelesuan dan keprihatinan. Bahwa politik sekarang hanya mewaraskan ketertinggalan kelas. Bahwa politik perlu dibangun dari seorang intelektual yang mengabdi. Bahwa politik harus mengusung kursi kesetaraan, kebebasan, persaudaraan untuk setiap kelas. Lebih adil, dengan meninggalkan asumsi-asumsi primodial.
Kesetaraan, kebebasan, persaudaraan, seperti keadaban revolusi Perancis. Inilah yang berhasil mengantar Sosimus Mitang dan Wera Damianus ke kursi panas Sikka. Sementara Nagekeo sedang mencari roh pemimpinnya di wilayah pencerahan ini.

Wilayah Pantura

Entah siapa saja yang terpilih nantinya, juga buat Sosimus Mitang dan Wera Damianus wilayah Pantura adalah sebuah tantangan. Pada bentang wilayah ini, yang terlihat cuma bukit-bukit yang tidak terurus, hamparan padang seolah tanpa pemilik, jalan yang rusak, pantai yang tak terusik, dengan bahaya abrasi yang semakin meluas, dan denyut hidup yang belum bergairah. Satu dua rumah, kampung dengan jarak yang jauh terlihat ramai. Selebihnya, Pantura seperti tidak ada kehidupan.
Kalau mau dibilang, Pantura adalah kenangan. Lebih dari itu, adalah keterlupaan dan ketertinggalan.
Bercermin pada sejarah, seharusnya dua Kabupaten ini punya tanggung jawab yang besar atas wilayah ini. Selain Ende. Karena di sini pulalah nama Flores, atau Nusa Nipa itu mendapat pengakuannya. Di sini pulalah, kebesaran nama-nama pemimpin dari kedua kabupaten ini lahir. Para pemimpin itu tahu betul letak unggul wilayah ini. Karena itu, mereka berkorban mati-matian untuk mempertahankan jengkal tanah ini.
Kalau Nagekeo dan Sikka bisa bersikap strategis, bahu membahu dua wilayah ini mutlak dibutuhkan. Kekuatan raksasa Pantura ini sudah seharusnya dimunculkan. Setelah Manggarai pecah menjadi tiga Kabupaten, berikut pergolakan di wilayah Larantuka, Adonara, Lembata, kedua wilayah ini seharusnya sudah mencium momentum yang lahir. Baik Nagekeo maupun Sikka, keduanya sama-sama potensial. Baik dari segi SDM, SDA, suhu perpolitikan, budaya, dan sejarah. Keduanya pantas bersanding untuk menyulap Pantura menjadi Kota Baru. Kota Pantura.(*)

Senin, 28 April 2008

Menyimak Kemenangan SODA: Sikka Memilih Pemimpinnya Sendiri


SODA ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sikka. Hasil perhitungan suara menunjukkan persentase kemenangan paket ini. Paket yang diusung partai gurem. Yang belum punya tradisi kuat di kancah perpolitikan Sikka. SODA bahkan meninggalkan calon-calon lain yang tampil lebih populer. Sekurang-kurangnya, menurut versi LSI. Meninggalkan mereka yang langganan calon bupati. Juga yang punya historisitas kepemimpinan di Niang Tana Sikka. Apa yang terjadi?

Menjungkirkan prediksi

Seorang Sosimus Mitang pernah terlempar dari jajaran birokrasi Sikka. Sesudah itu, ia bersarang di rumahnya. Tidak banyak yang dilakukannya selama masa peristirahatan itu. Selain menikmati hari-harinya di rumah bersama keluarga. Mengunjungi kampung halamannya. Menyambangi teman-teman yang pernah seprofesi, sejajaran di dinas pemerintahan kabupaten Sikka. Kemudian, bergelut dengan masyarakat seharian di lingkungan, RT/RW, Kecamatan. Tanpa selintas pikir untuk menapaki lagi kursi panas nomor satu di Sikka, setelah gagal pada Pilkada sebelumnya.

Sementara Wera Damianus adalah Asistan pada jajaran birokrat yang dinahkodai incumbent. Seorang praktisi birokrat yang muncul dari Palue, di gugus terluar pulau-pulau Sikka. Sekejab terlintas, pada seorang Wera Damianus, nasib pulau-pulau dari gugus terluar itu “seolah-olah” ada di pundaknya. Pada mereka yang nampaknya “tidak betah” tinggal di Sikka. Selalu bepergian dengan perahu-perahu motor kecil dan mengejar nasibnya di lautan lepas tak berpemilik. Jauh dari Sikka. Jauh pula dari tetek bengek urusan politik dan pemerintahan.

Keduanya tidak masuk dalam bilangan historisitas tokoh kepemimpinan di Sikka. Mereka benar-benar lahir di atas “halar” (tempat tidur dari bilah bambu). Dari kelapa, kakao, cengkeh, jambu mente, jagung, dan minum dari air batang pisang atau sulingan uap panas bumi. Pada musim lapar, mereka mengalami masa-masa makan “ubi hutan”, “ohu”, “hura”, dengan ketergantungannya yang tinggi pada kondisi curah hujan dan peruntungan di masa paceklik. Keduanya tidak bisa menyembunyikan wajah “kekampungannya”, sebelum atau sesudah menjadi pemimpin nomor satu di Sikka.

Koalisi Bersama Membangun Sikka juga bukan berasal dari partai-partai mapan dan berakar di Kabupaten Sikka. Sekurang-kurangnya, partai-partai ini baru saja mencuri startnya pada Pemilu kemarin. Lantas SODA tidak menjadi populer dengan koalisi itu. Jauh dari perhitungan menang. Beda sekali dengan Golkar dan PDIP yang sudah lebih tua, dengan klaim basis pada wilayah demi wilayah di Kabupaten Sikka. Tetapi toh, besar kecilnya partai tidak lantas mempengaruhi arus pemberian suara massa.

Kenyataan ini menjadi fenomenal, SODA dengan koalisi partai gurem itu menunjukkan realitas perpolitikan yang sejatinya hanya tunduk pada satu tuannya, yaitu rakyat. Tergantung pada pilihan rakyat. Runtutnya, kalau dilihat dari kemenangan demi kemenangan dari 12 kecamatan di Sikka. SODA unggul merata pada semua TPS di kecamatan-kecamatan Timur luar dan Barat luar. Ditambah dengan simpatisan yang diberikan oleh kebebasan memilih pada beberapa orang di basis pemilih calon lain dan keberpihakan masyarakat pulau di gugusan terluar, SODA melejit sendirian. Meninggalkan calon lain. Partai mapan. Tradisi kepemimpinan. Dan prediksi kepopularan.

Simpul suara

Sejenak kemenangan SODA bisa dirayakan. Seperti baru saja bernapas lega setelah mendaki sebuah ketinggian. Tetapi pada gilirannnya, SODA mesti menuruni lagi ketinggian itu. Untuk lebih tertatih-tatih mendaki ke sebuah bukit yang lain. Karena, di balik suara-suara dukungan tersebut, terbersit harapan besar bahwa pasangan ini mampu mengantar banyak jiwa keluar dari kemelut kehidupan. Di antara kemiskinan, kemerosotan moral dan pendidikan. Pada ambang pesimis kaum tani, nelayan, pedagang. Masalah korupsi, busung lapar, krisis air bersih, dan abrasi pesisir pantai. Dan luka lama sentimen kewilayahan, perang dingin antarsuku, kerajaan, sejarah, swasta dan pemerintah, gereja dan birokrat.

Kalau mau dilihat pada gambaran kemenangan SODA di TPS-TPS, kebanyakan rakyat Sikka memilih SODA karena unggul dalam netralitas keberpihakannya, punya komitmen kuat dengan wajah “kekampungan” pada pembangunan visi pedesaan, dan tentunya punya integritas dalam menjamin kekayaan masyarakat. Lebih tajam, SODA menang karena dalam dirinya terbuka jumpa ruang yang begitu luas antara ketokohan seorang pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. SODA juga simbol kebangkitan masyarakat terlupakan. Yang selama ini berada di luar jangkauan, “sadar atau tidak sadar” tersisih, terbuang, tercerai tanpa sentuhan pembangunan. Bahkan untuk kaum yang minus malum sekalipun, SODA merupakan harapan di tengah ketidakpercayaan massal.

Pada setumpuk masalah, rakyat menemukan SODA. Merasa SODA berada dan berjalan bersama-sama mereka. SODA punya telinga, hati, dan mata untuk rakyatnya. Letak itu pula, rakyat bersatu mengayam sebuah kursi untuk SODA. Mereka lantas mendudukan SODA. Persis di sebuah ketinggian. Apakah penemuan mereka ini lantas hilang lagi di tengah prosesnya? Melupakan lagi? Dengan susah payah harus mendongkakkan kepala, mencari, dan sulit ditemukan?

Basis kemenangan SODA ada pada komunikasi horisontal. Pada kesetaraan dirinya dengan nasib rakyatnya. Sama seperti masa lalu membesarkannya. Karena itu, betapa menyakitkan kalau pada proses selanjutnya, SODA malah mengubah identitas dirinya menjadi sangat vertikal, top down, seperti seorang bapa berjanggut panjang, berwajah garang, pedang di tangan, dan siap menghukum. Yang paling penting dari simpul suara itu adalah, kerelaan untuk turun dari kursi kenyamanannya, dan berinkarnasi bersama rakyatnya. Karena di situlah justru kualitas kepemimpinan SODA. Berhasil memberikan tempat yang luas untuk unek-unek rakyatnya. Lepas dari kepentingan, kekuasaan, dan kekayaan.

Melepaskan jebakan

Paus Yohanes XXIII ialah pemimpin publik dari sebuah dusun kecil yang miskin. Hati kemiskinannya itu tetap ia pelihara. Sampai pada kursi kepausannya. Melalui hati itu pula ia banyak menghasilkan karya-karya ajaib. Yang mustahil tetapi bisa dilakukan. Mampu melihat perdamaian di tengah kekacauan, visi kesejahteraan di tengah kemiskinan, tajam melihat kepentingan dari keberpihakan, dan konsisten pada pengabdian tanpa mengambil keuntungan. Ia akhirnya berhasil tampil sebagai pemimpin yang dipercayai banyak orang. Menyentuh banyak hati. Tanpa harus menolong secara material.

Pada sebuah sisi, SODA memiliki potensi untuk menjadi pemimpin seperti ini. Berangkat dari sebuah kampung, di sebuah ketertinggalan dan kemiskinan. Untuk sampai pada banyak hati itu, SODA hanya perlu menanggalkan tujuan dirinya. Di kelompok kepentingannya. Pemimpin rakyat tidak memiliki ambisi pribadi. Tidak pula menginginkan sesuatu dari kepemimpinannya. Ia hanya perlu pulang pada kemiskinannya, tanpa berusaha menghapus sejarah dirinya itu. Pada nasib sejumlah orang yang tidak beruntung. Pada perpecahan untuk perdamaian, kesalahan untuk pemaafan, demi membangun damai, dukungan, jaringan, dan perjuangan bersama. Kalau ini diingkari, sebuah kubur sudah digali sejak dari pertama kedudukannya.(*)

Kamis, 17 April 2008

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon


Bagian 3, habis

Harmonisasi atau Disharmonisasi Egon
Pada hari Selasa, 15 April 2008, pukul 22.15 waktu setempat Gunung Egon meletus. Warga di kaki gunung itu mendadak panik. Mengemas barang-barang dan mengungsi ke kampung-kampung tetangga. Mereka sama sekali tidak menduga gunung itu bakal meletus lagi, setelah tahun 1888, 1891, 1892, dan 1925.


Tahun 1995 – 1996, aktivitas gunung Egon itu meningkat. Beberapa kali terdengar ledakan kecil, disertai semburan abu dan material. Bagian pinggir dari puncak kawah gunung tersebut sempat longsor. Saat itu, penduduk setempat berpikir gunung Egon bakal meletus lagi setelah sekian lama tidur. Namun pada saat siaga itu, ternyata Egon tidak jadi meletus. Baru sekarang, ketika semua warga sedang tertidur lelap dan tidak berjaga-jaga, ia menunjukkan kegarangannya.


Ke manakah sinyal alam itu? Apakah alam dan penghuninya tidak lagi memberikan tanda pada saat ia hendak melakukan harmonisasi dari hukum keseimbangannya sendiri? Apakah dialog antara alam dan manusia itu sudah terputus? Tidak ada lagi komunikasi?


Memasuki tahun 1990-an sampai tahun 2008 kini, warga setempat diresahkan dengan berbagai tindakan eksploitasi lingkungan. Hutan tempat sumber air panas dan bendungan itu tidak lagi seasli dulu. Pada sisi kiri dan kanannya kita dapat menyaksikan tumbangnya pohon demi pohon oleh ulah para penebang liar. Siang tak kenal malam, dengungan mesin sensor pemotong kayu terdengar mengacau. Truk-truk besar kecil turun gunung dengan muatan penuh gelondongan kayu.


Pada musim kemarau, dari tahun ke tahun pembukaan lahan baru dengan cara membakar terus menerus dilakukan oleh para petani pindah ladang. Menghanguskan hutan dengan sejumlah bibit peremajaan pohon kecil besar, semak dan belukar. Habitat dari sejumlah hewan hutan pun turut dirusakkan. Rusa, kera, babi hutan pada bermigrasi. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran manusia dan ulahnya.


Garis pantai sepanjang Waigete pun tidak luput dari arogansi tamak manusia. Terumbu karang dengan ikan warna-warni, kemilau berjenis di dasar laut sudah jarang dijumpai. Pantai Waigete tidak lagi seindah dulu. Cuma menyisakan pasir putihnya. Pola penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak memporak-porandakan sejumlah terumbu karang, berikut keseimbangan ekosistem laut. Jumlah pohon bakau makin sedikit. Sementara laut terus mengeruk sedikit demi sedikit daerah kering di bibir pantai. Banyak yang bilang, “untuk sekedar mandi pun terasa tidak lagi nyaman. Permukaan laut tidak enak untuk diinjak. Penuh beling, karang-karang hancur, dan lautnya pun kotor”


Keluhan senada pun dialamatkan pada debit air bendungan yang kian hari kian menurun. “Kalau dulu kami kelimpahan air, sekarang kami harus berebutan. Buka tutup saluran air. Malah ada yang curang. Jatah pembukaan saluran air untuk kelompok tani lain sengaja ditutup supaya sawah mereka bisa dialiri sejumlah air” Kali-kali dan sejumlah sumber air bersih pun ikut mati. “Dulu kami tidak kesulitan air bersih. Kapan saja kami mau, selalu tersedia. Sekarang, ada jam-jam tertentu air itu mengalir. Kebutuhan air bersih kami sangat bergantung dari kran-kran penampung air”.


Curah hujan menurun. Unsur hara tanah kian terkikis. Keropos. “Ladang kebun kami tidak lagi bersahabat. Tanaman dan buah-buahan kami kerdil. Padi-padi tidak banyak bulirnya. Panen makin menurun. Bahkan untuk makan pun kami susah. Ternak-ternak kami pun kelaparan. Tidak ada lagi padang rumput yang hijau. Semua kelihatan kering. Hangus terbakar oleh sengat matahari”.


Betapa memprihatinkan pula kalau pemerintah setempat merasa tidak terjadi apa-apa dengan hutan di sekitar gunung Egon. Atau malah membiarkan semua kerusakan itu terjadi di depan mata. Hutan rakyat, tempat para petani menggantungkan hidupnya itu dibiarkan dibabat. Dibakar. Tak tersisa sampai sekecil-kecilnya. Mulusnya perusakan hutan ini tidak jauh pula dari perjanjian empat mata, yang dilakukan diam-diam antara pemasok kayu dan pihak keamanan. Dengan kertas pada sejumlah peraturan, undang-undang, para pembabat hutan itu merasa sudah dimenangkan dengan butir-butir hukum itu. Mereka bahkan menguasai hutan, dengan menggantikan periuk nasi para tetua kampung dengan sejumlah uang.


Sebenarnya masyarakat tidak perlu heran dengan segala kejadian yang menimpa sawah, ladang, kebun, ternak mereka. Dengan sendirinya hukum alam itu bekerja untuk mencari keseimbangannya. Ketika ekosistem hayati itu diganggu, alam mencari sendiri premis-premisnya, untuk kemudian memunculkan kesimpulan dalam bentuk tanda-tanda. Seperti kemarau panjang, curah hujan yang rendah, keroposnya unsur hara, dan kerdilnya panen para petani dan nelayan. Sejauh alam mampu membentengi dirinya sendiri, melakukan mekanisme penyembuhan sendiri, ia bisa mengatasi hal-hal yang mengejutkan, menakutkan. Seperti bencana atau badai. Tetapi ketika hukum keseimbangannya sudah tidak mampu lagi menampung daya rusak pada ekosistemnya, alam menjawab kalimat perusak itu dengan daya rusaknya pula. Bukan untuk menelan manusia. Menguburkan sejumlah nyawa. Tetapi hanya untuk sebuah alasan sederhana. Harmonisasi.

Berdialog dengan alam
Sinyal yang tidak bisa ditangkap oleh penduduk setempat berkaitan dengan letusan itu menandakan putusnya dialog, komunikasi intersubjektif antara alam dan manusia. Bahwa yang terjadi selama dekade tahun 1990-an hingga kini adalah dialog sepihak. Bahkan kesannya memaksa. Mengeksploitasi. Merusak. Tidak ada bahasa yang lebih humanis dan kosmologis. Seperti mencintai, merawat, menanam kembali. Ada ruang yang hilang antara Egon dan warganya.


Betapa menipisnya jumlah besar orang yang mempunyai hati seperti Dua Kesik. Juga pengetahuan lokal seperti kisah si penunggu gunung itu. Tidak ada pula perempuan-perempuan, pada setiap sore, yang berbaris menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bahkan ranting sudah habis. Tidak ada pula perempuan-perempuan pemikul cangkul. Menari dan menyanyi sambil mencakul kebun dan memetik panen. Sebab tanah itu tidak lagi berbuah banyak.

Peristiwa meletusnya gunung Egon, menghujankan abu vulkanik dan bau belerang, perlulah dimaknai secara kosmologis. Dengan sasarannya pada kultur, perilaku, dan tata kelola ekonomi masyarakat di kaki gunungnya. Katakanlah Egon yang gagah di singgasananya itu sedang mengembuskan suara kenabian. Pada gemuruh dan batuk-batuk asap dan abunya itu, ia ingin mengatakan kepada penghuni di kakinya. “Lihatlah sekarang, pada tubuh, kaki, tanganku. Tidak ada lagi sesuatu yang dapat dibanggakan dari diriku. Babak belur diriku dibuat. Bahkan sisa-sisa dari intipati diriku pun telah disedot. Sekarang, dalam keadaan diriku yang keropos ini, apa yang kau mau dari diriku lagi? Karena yang tersisa pada diriku hanyalah abu, asap, dan belerang. Maka kuberikan padamu juga. Supaya pada bagian dari yang tersisa ini bisa bertumbuh lagi segala jenis tanam-tanaman, pohon-pohonan, buah-buahan, sayur-sayuran. Menjadi tempat persemaian bibit-bibitmu. Dan makanan untuk ternak-ternakmu. Masih belum cukupkan kebaikanku padamu? Atau mau kumuntahkan saja sekalian lava dan laharku? Supaya kamu mengerti, betapa menyakitkan mempertahankan keseimbangan diriku. Mengertilah, camkanlah untuk sekarang dan yang akan datang. Supaya aku selalu bisa memberimu makan. Jadi, jangan paksa diriku untuk menjadi lebih murka dari sekarang? Jangan minta sesuatu yang belum saatnya terjadi.”Dialog dengan alam adalah dialog melestarikan, menanam kembali, dan mengambil secukupnya untuk hari ini. Tanpa itu, kita tinggal menanti letusan berikut yang lebih dasyat dari hari ini.(*)

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Bagian 2 dari 3 tulisan

Perempuan Egon: ibu-ibu bumi


Dua Kesik melanjutkan tenunannya. Sementara Nong Frans bergegas hendak ke pasar.
“Moret lalang masa tei poin susar megu meruk”. (Jalan hidup di masa sekarang hanyalah susah sedih meremuk). Kata Dua Kesik.
“Ama Pu loar nain ita, ganu me heak belung loar”. (Sepertinya Tuhan meninggalkan kita, seperti anak yang ditinggalkan setelah dilahirkan) Lanjutnya pula.
“Au gata Kitab Suci rakang. Te tutur hoor aun ganu lau tahi witi wuak” (Kau terlalu baca Kitab Suci. Kata-katamu itu bombastis. Lepas ditelan laut) Nong Frans membalas.
“Au ele persaya ko? Uma woer itan benu bait. Loning poi niang tawa tana itan peho matan potat rumu ramang.” (Kenapa kau tidak percaya? Yang tumbuh di kebun kita hanya kepahitan. Karena si empunya tanah membalikkan muka dan menghilang di tengah kegelapan) Lanjut Dua Kesik.
“Tutur dor aun ganu ata plender. Gata kela poin di ele newan. Ma perang beli me aun. Au pano lalan epan. Ge tena naruk dadi mior melur” (Kata-katamu seperti orang pintar saja. Padahal baca tulis saja kau tidak bisa. Sana, masak buat anakmu. Saya jalan dulu. Semoga Sukses. Sehingga kesulitan kita dapat diatasi) Sahut Nong Frans.
***
Kehidupan kaum perempuan di Waigete, di bawah kaki gunung Egon, 23 kilometer dari Kota Maumere, tidak jauh dari alam. Dari sawah dan kebun mereka. Sudah ada pembagian yang jelas antara suami dan isteri. Selain rumah, di seputar dapur dan anak, isteri dan anak perempuan ikut membantu di kebun atau sawah. Mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, menyirami, memupuki, sampai memetik hasil. Bahkan pada saat-saat tertentu, perempuan menjadi lebih intens dan dekat dengan alam, tanah, dan tumbuh-tumbuhannya. Ketika pria-pria mereka memindahkan hewan ternak mereka, seperti sapi, kambing, kerbau, mencari tempat makan di padang berikut, mereka ditemukan tiarap dengan tanah. Pada saat pria-pria mereka itu melaut, mereka pulalah yang menggantikan peran menjadi petani, dengan sejumlah beban di rumahnya. Untuk asap dapur pun, perempuan-perempuanlah yang mencari kayu bakar di hutan, mengambil air di sumur-sumur dan pipa-pipa umum, menjinjing bakul ayaman berisi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan untuk dimakan. Mereka pulalah yang menumbuk padi, mewarisi sejumlah potensi pangan lokal. Perempuanlah para petani itu!

Pada satu waktu di awal musim hujan, sekelompok perempuan termasuk di antara Dua Kesik akan memikul cangkul ke ladang. Mereka disebut group “Sako Seng”. Seperti arisan bergilir untuk mencangkul kebun. Kalau hari ini giliran Dua Kesik, solidaritas “Sako Seng” itu beramai-ramai selama tiga sampai lima jam mencangkul petak tanah dan membuat bedeng pada kebun Dua Kesik. Begitu pun sebaliknya, tiba giliran teman lain, Dua Kesik pun harus rela membiarkan waktu dan cangkulnya berada di atas ladang milik teman kelompoknya. Termasuk dalam hal panen, mereka memberlakukan gotong royong unik ini.

Jelang masa panen, ketika bulir-bulir padi mulai menguning, perempuan-perempuan itu pula yang menarik boneka (orang-orangan) untuk mengusir burung-burung Tuhan. Sementara laki-laki mereka mencari nafkah lain, untuk mencukupi kebutuhan harian. Sambil menunggu, menarik tali-tali pada boneka-boneka itu, mereka menyulam, mengayam. Mereka bernyanyi. Mengajarkan kebijaksanaan perempuan pada anak-anak perempuan mereka.

Kalau tidak bersekolah, satu-satunya sumber dari kecerdasan yang mereka miliki adalah belajar dari alam. Dari ruang hidup. Dan kebijaksanaan mereka selalu seperti padi. Lebih berisi lebih meruduk. Mereka juga mengajarkan cinta, mewariskan cinta melalui dialog dengan alam.

Apa yang salah dari Egon?


“Raik Egon raning rang, ita gai plari epae?” (Kalau gunung Egon meletus, kita mau lari ke mana) Tanya Dua Kesik.
“Hai ata beta ganu tia? Lopa blau, noran Moan Egon. Siru wisu nimun newan tena Egon bile blatan” (Siapa bilang begitu. Jangan takut, ada penjaga gunung. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan supaya Gunung Egon tetap diam) Kata Nong Frans.
“Gita sai Egon reta ia. Rusa tama natar. Ular-ular bekor nain. Wero-wero plari sawe. Raik tia, masa nimun gai raning rang” (Coba perhatikan, rusa masuk kampung, ular-ular pada bermunculan, kera-kera lari meninggalkan habitatnya. Itu pertanda, Egon akan mengamuk) Jelas Dua Kesik.
“Egon gahu gahar, tahi marak matar, hala apa walong ita ei? (Gunung Egon lagi memanas, laut seperti ikut bergolak, salah apa kita? Seolah-olah retoris, Nong Frans berkata.
***
Konon, Gunung Egon itu ada penunggunya. Juru kuncinya. Ia dilukiskan sebagai orang tua yang berambut dan berjenggot panjang. Kalau berjalan, kakinya tidak menyentuh tanah. Alias melayang di udara. Itu menandakan “ilmu” pertapaannya sangat tinggi. Setiap hari, hidupnya hanya diabdikan untuk Egon. Berada tidak jauh-jauh dari Egon.

Kalau ia keluar dari pertapaannya, itu berarti ada sesuatu yang penting, sangat penting dan mendesak, berkaitan dengan siklus musiman Egon. Dipercaya, pada masa tertentu, sosok penunggu gunung itu harus memberikan sesajian dan tumbal untuk menjinakkan murka Egon. Keluarnya sang pertapa penunggu gunung itu berkaitan erat dengan tumbal. Saat itu, keadaan kampung akan menjadi lebih hening. Anak-anak tidak boleh keliaran sembarangan. Apalagi anak perempuan yang masih perawan.

Pengetahuan kuno masyarakat mengajarkan bahwa, ketika binatang-binatang hutan pada berkeluaran secara serempak, seperti rusa masuk kampung, kera-kera bermigrasi, dan ular-ular bermunculan dari sarang sembunyiannya, saat itu bumi lagi bergolak. Panas. Membuat tidak betah binatang-binatang itu. Saat itu pula, sinyal meletusnya gunung Egon dibaca dan diterima oleh penduduk setempat. Rata-rata mereka sudah tahu sebelum sinyal kerak bumi itu
diterima mesin seismograf.

Peringatan dini itu akan berjalan, jika dan hanya jika, keseimbangan alam itu terjaga dengan baik. Artinya, indera penciuman manusia sangat bergantung pada insting di dunia binatang. Pada hewan-hewan di hutan. Mengandaikan hutan masih merupakan tempat huni yang nyaman buat hewan-hewan bebas itu. Mengandaikan hutan dibiarkan pada bentuk aslinya, tidak terlalu banyak campur tangan manusia, rekayasa ekosistem dan hutan, eksploitasi dan pengerukkan massal.

Dengan dibiarkan seperti itu, bingkai cerita kuno pada sebentuk tokoh tua si penunggu gunung punya kebenarannya sendiri. Mendedikasikan hidup seluruhnya pada gunung, ia menjadi orang yang paling cerdas, dengan pengetahuan jelimek tentang keadaan gunung. Denyut gunung dan alam sekitar adalah denyut jantungnya pula. Ketidakseimbangan pada ekosistem dan disharmonisasi hutan adalah gangguan pada kesehatannya pula. Dengan begitu ia pun tahu cara untuk menyembuhkannya. Karena, ketika keadaan kritis itu terjadi, ia mampu berdialog dengan hutan, gunung, dan alam tentang hal yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana harus mengatasinya.

Seorang Dua Kesik, perempuan di kaki gunung Egon itu pun merasakan hal sama. Ia memiliki kecerdasan alam. Karena senantiasa dekat dengan bumi. Bersentuhan mesrah dengan bumi. Ia mampu merasakan derita alam, tumbuhan, buah-buahan, dan tanam-tanaman. Ketika kebun ladang mereka hanya menyisakan hasil yang kerdil. Ia pun mulai menjadi resah, merasa bumi mulai menolak keberadaan umat manusia. Kepekaannya melebihi kecerdasan kaum cerdik pandai. Melebihi bilangan patriarkat yang menjadi dominan untuk kelas intelektual masyarakat kampung.

Tetapi pertanyaan Nong Frans menjadi penting. Pada sesuatu yang sebenarnya tidak mau diungkapkan secara terang oleh Dua Kesik. Ia tahu diri. Kultur tidak pernah memberi tempat yang luas untuk refleksi seorang perempuan. Karena itu, Dua Kesik sepertinya sedang menggiring Nong Frans untuk mengungkapkan inti dari permenungan kosmologisnya. Yaitu: apa yang salah dari alam dan diri kita?........................bersambung

Dialog Kosmologis Melindungi Hutan: Pada Letusan Gunung Egon

Bagian 1 dari 3 tulisan

Helaan napas panjang keluar dari mulut Dua Kesik. Dengan lincahnya perempuan tua itu memindahkan buntalan benang dari sisi kiri ke kanan. Dalam lima enam kali gerakan, ia merapatkan benang-benang itu. Menyatu pintal dengan tenunan benang lainnya. Terus menerus gerakan itu dilakukan. Di sisi terdekat dari simpuh duduknya, kelihatan kain tenunannya itu menggambarkan motif dari sebuah sarung. Seperti bangunan segi lima, teratur, indah, berwarna.


Dua Kesik menghela napas lagi. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Menimbulkan beban pada pundak. Dengan hati seperti biru blau. Kalau dipandang dengan sekejab mata. Tanpa perhatian serius dan mendalam, nampak Dua Kesik begitu menikmati setiap gerakan dari menenunnya itu. Ia seakan ikut menari bersama sahut-sahutan benang-benang itu. Karena menemukan solidaritas dan identitas dari penyatuan dirinya dengan benang lainnya menjadi sebuah sarung. Tanpa terganggu oleh keresahan hati seorang Dua Kesik.

Setengah jam berlalu. Dari arah berlawanan muncul Nong Frans. Hitam. Berdebu. Dengan kumis pada mulut. Kelihatan sekali tempaan alam membuat otot-otot bisep trisep sang pembawa kelapa itu nampak kekar.
“Kabor kelut ko Nong?” (Kelapa muda ka Nong?) Tanya Ina Kesik.
“Eon. Kabor kubar ge Dua. Au gai pano regang. Kabor tena selung no pare.” (Bukan. Kelapa tua kok sayang. Saya mau ke pasar untuk tukar kelapa ini dengan beras) Jelas Nong.
“Tea leu poi. Puan sa ena Nurakin neni hoang gai riwa hoang sekolah nimun” (Jual saja itu kelapa. Dari tadi Nurak terus minta uang untuk bayar uang sekolahnya) Kata Dua Kesik.
“Au ma tea sai”. (Ayolah, jualah kelapa itu) Lanjutnya pula.

Egon: The Lost Paradise


Egon terlihat gagah. Di sekeliling kawahnya terburat garis lurus awan putih. Tidak ada asap. Tidak ada bunyi gemuruh. Nampak tenang agung dengan keindahan sekilas di puncaknya.

Kalau punya kesempatan merangsek ke dalam, pada isi perut di kaki pegunungan itu, akan ditemukan aneka kekayaan dan keindahannya. Beberapa jenis burung Kakatua, Nuri, Beo dengan pernah pernik warnanya, sekawanan rusa bertanduk empat, babi hutan, ayam hutan, kera, bahkan kelinci.


Beberapa kali seekor dua rusa masuk kampung. Sekejab rupa, kampung menjadi ramai. Laki-laki berumur maupun belia sama-sama mengejar rusa yang masuk kampung itu. Mirip arena balapan dengan lintasan tak berhingga. Sampai rusa itu benar-benar tertangkap.
Lain waktu, di rumahku beberapa orang di kaki gunung mengantar burung Kakatua, Nuri, atau Beo. Bulunya indah. Suara kicauannya merdu rupawan. Tetapi tidak mudah untuk mengurung burung-burung itu pada sangkar. Mereka sudah terbiasa dengan alam bebas di kaki pegunungan. Kalau tidak keburu dilepas, mereka bakal mati.


Hampir setiap sore, ketika beberapa siswa berpawai-pawai ke sekolah untuk belajar sore, anak-anak di kampung kami justru berbaris menuju hutan di kaki pegunungan itu. Mereka, yang rata-rata perempuan ragam usia itu, mencari kayu bakar. Mengambil dan mematahkan ranting-ranting pohon yang kering. Atau dahan dan batang pohon yang sudah mendekati lapuk. Semua itu dikumpulkan pada sebuah ikatan. Dibawa pulang untuk kebutuhan dapur. Menghidupkan tungku api dengan kayu-kayu kering itu.


Pada belukar hutan dan pohon kenari tua di sebuah letak, sekitar 15 kilometer dari jalan raya Maumere – Larantuka, tersembunyi mata air panas. Yang keluar terus menerus dari perut bumi oleh desakan aktivitas vulkanologi. Tempatnya masih sangat perawan. Tidak ada jebakan sejenis bendungan. Ia tercipta dari palung alam. Membaringkan aliran dari sumber panas itu mengalir di sela berisik gesekan daun-daun kenari.


Kalau sedikit menanjak ke sebuah perkampungan. Blidit, namanya. Ditemukan di sana bendungan tua yang tak terawat. Volume air yang dialirinya cukup membuat dam-dam di sepanjang bendungan itu penuh. Melimpahkan air pada sawah-sawah di Waigete. Yang membuat Waigete dikenal sebagai salah satu lumbung beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan di Kabupaten Sikka.


Pada ketinggian itu pula, sejauh mata memandang, nampak garisan pantai dengan pasir putih yang indah. Dibalut nyiur melambai pada sepanjang garis pantai itu. Sebuah tempat di sebelah Timur yang bernama pantai Wairterang justru menjadi salah satu tujuan wisata. Pada tempat yang tenang itu, wisatawan lokal maupun asing, berebutan berjemur dan merenangi isi keindahan terumbu karang di lepas pantainya.


Pati Ahu, nama lain dari tempat di Kecamatan Waigete yang mesti juga disebutkan. Di tempat ini, ada tiga hal yang perlu diingat. Pertama, Pati Ahu adalah tempat belajar para petani dan peternak. Ada sebuah sekolah pertanian dan peternakan yang diasuh biarawan SVD. Beberapa hektar tanahnya diabdikan untuk ladang percontohan budi daya kelapa, jati putih, lamtoro, beberapa jenis sayuran, dan buah-buahan. Sementara salah satu bangunan di deretan bangunan asrama dan perumahan para karyawan, dibangun khusus sebuah asrama percontohan peternakan babi, sapi, ayam, itik, dan ikan. Semua orang yang berminat bisa belajar dari asrama orang tani dan peternak ini.


Kedua, Pati Ahu memiliki klub sepak bola kesohor. Klub yang lintas ethnis. Orang Maumere, Ngada, dan Lembata. Mereka menjadi tersohor karena berturut-turut memboyong piala bergilir antarkecamatan se-Kabupaten Sikka untuk Waigete. Tidaklah heran, pemain besutan klub ini menjadi langganan kesebelasan Persami Maumere, PS Ngada, dan PS Lembata.
Ketiga, pada salah satu tempat di kedalaman hutannya terdapat sebuah gua dengan usia puluhan tahun. Menariknya, karena di gua itu hidup secara berkerumunan sekelompok kelalawar. Gua itu disebut Gua Kelalawar. Karena mereka sesungguhnya adalah tuan atas tempat itu, sebelum ditemukan oleh peradaban. Dan menjadi daya tarik lain bagi pengunjung di daerah wisata Waigete.


Rata-rata masyarakat Waigete orang kelas menengah ke bawah. Kalau mau dipatok berdasarkan ukuran sosiologis ekonomis. Tetapi sangat tidak adil kalau selanjutnya dijustifikasi dengan ukuran seperti ini. Kerdil di hadapan statistik. Kurus di hadapan data angka kemiskinan.
Tidak ada orang asli di Waigete. Semua adalah pendatang dari wilayah Nele, Kloangpopot, Bola, Sikka-Lela. Oleh peradaban berpindah-pindah, mereka mematok hutan, membuka ladang dan persawahan, dan makan dari sistem food gathering.


Untuk para pendatang, Waigete merupakan penemuan terbesar. Seperti surga yang hilang (The lost paradise). Untuk rata-rata kondisi geografis dan kontur tanah Sikka yang kering kemarau, Waigete (sesuai namanya, Wair: air, Gete: besar) adalah kelimpahan, kesuburan, dan kehidupan. Karena itu, gerak perpindahan translokal itu pun serentak mengalir sendiri. Tanpa harus dipaksa atau diultimatum. Tanah yang subur dan air yang berlimpah merupakan berita sejuk untuk Sikka yang kering.


Surga itu pun dibuka. Dengan cantiknya, mereka meletakkan sawah-sawah itu di dataran yang subur, menanam kelapa-kelapa di sepanjang garis pantai, buah-buahan, sayur-sayuran, dan hidup dari kelimpahan tersebut. Tidak pernah terpikirkan untuk mengambil secara serakah, atau berlebihan dari hasil yang seharusnya dipetik. Mereka hidup selaras alam. Mencintai irama harmonisasi alamnya. Pada sungai mengalir, pada kicau burung, pada ranting pohon yang mengering dan batang pohon yang patah, pada ular sawah, tikus, belalang, madu hutan, terumbu, kerang, rusa, kera, babi dan ayam hutan. Yang terpikirkan oleh mereka adalah bumi mesti tetap mengeluarkan khasiat kesuburannya, tetapi tidak dengan cara dipaksakan. Diperas. Bumi hanya bisa menurunkan hujan, mengeluarkan kesuburan, kalau manusia menuruti irama alamnya. Mencintai dengan merawat, mengambil seperlunya, dan menyimpan yang lainnya di dalam tanah, untuk hari berikutnya........bersambung

Sisi Lemah Demokrasi Sikka: Pilkada Sikka


PILKADA Kabupaten Sikka memasuki masa kritis. Lima hari lagi terhitung dari sekarang. Masing-masing kubu dari calon bupati dan wakilnya semakin tergerus oleh waktu. Berupaya secara maksimal untuk memberikan sentuhan akhir yang melegakan. Semua mengklaim kemenangan atas dirinya. Menyatakan aman untuk posisi pemberi suara pada wilayah-wilayah pemilihan. Membaptis dalam jumlah besar rakyat mengambang. Dengan melupakan, It’s the Voters, Stupid!

Kelesuan berdemokrasi

Dalam sebuah wawancara di tahun 1966, Walter Lippmann menengarai isu busuk pada praktik-praktik demokrasi liberal Barat. Ia menegaskan, demokrasi liberal Barat sedang menuju keruntuhannya sendiri. Akibat kebodohan sendiri. Secara tajam, ia membuat sejumlah politisi Eropa Barat, khususnya Amerika gerah. Mengajak mereka merefleksikan kembali posisi kepemimpinannya di tengah masyarakat.

Argumentasi Lippmaan berangkat dari fenomena penggelembungan opini publik melalui kampanye media maupun publik. Kampanye-kampanye tersebut dianggap memberikan daya rusak dan menimbulkan sejumlah konflik. Karena di dalamnya tertumpuk sejumlah janji, diulang-ulang dengan efek ingatan yang kuat pada sejumlah massa. Tetapi belum tentu akan ditepati. The bubbles politic ini kemudian berdampak pecah pada dukungan masyarakat terhadap pemimpinnya. Pada satu kubu pendukung terhadap kubu pendukung lainnya. Mengurangi kepercayaan pada kebijakan publik. Dengan konsekuensi lanjut, terciptanya keresahan non kooperatif pada elemen pendukung pembangunan.

Letak nadi demokrasi adalah dukungan rakyat. Pemimpin populis yang demokratis adalah pemimpin yang mendapat dukungan luas masyarakatnya. Karena itu, pada masa-masa kampanye, eforia para calon difokuskan pada upaya menarik perhatian massa. Berbagai cara dilakukan. Bahkan bisa mencapai 180o. Yaitu, sedapat mungkin atau seolah-olah menjadi sama dengan masyarakatnya. Sangat memahami persoalan masyarakat. Berbicara sangat banyak soal kondisi keprihatinan. Dengan janji, tak akan terjadi lagi pengingkaran atas nasib buruk rakyat.

Namun kelemahan kepemimpinan yang dibangun atas dasar simpatisan di corong kampanye adalah susah untuk dimintai tanggung jawab dan komitmennya. Tidak ada kunci yang disertai meterai pada mulut dan kata. Tidak ada pula keyakinan pada orde pemenuhan janji. Karena yang ada hanyalah produksi imajinatif untuk memanipulasi prasangka, opini, dan keberpihakan. Bukan untuk tujuan membangun ke masa depan, tetapi untuk merebut kursi kepemimpinan.

Pemimpin lantas melupakan rakyat dan eforia masa kampanyenya. Sementara rakyat sudah kembali larut dalam himpitan hidup. Lupa untuk menagih janji pada sang pengucap janji. Kalau pun diingat, ia tidak mampu melakukan selebrasi tuntutan. Atau advokasi kebijakan publik. Ruang yang disediakan untuk sebuah partisipasi hanya diletakkan pada perangkat desa, kelurahan, dan kecamatan. Selanjutnya menguap di meja-meja para pegawai bulanan yang menanti gaji.

Pada tahap ini, rakyat bisa digumpalkan pada beberapa kelompok. Gumpalan pertama berisi mereka yang acuh tak acuh pada roda pemerintahan. Yang hanya berurusan dengan keresahan mengisi perut tengah. Gumpalan berikut, berisi mereka yang punya kepentingan yang sangat kuat terhadap kebijakan publik di tangah pemerintah. Yang melihat peluang dan saling berebutan kue pembangunan. Dengan menyembunyikan alibi pada berkas proposal dan tender. Dan gumpalan terakhir adalah mereka yang aktif menyuarakan hak, kedudukan masyarakat. Menuntut janji pemerintah, mengadvokasi kebijakan publik. Namun dengan catatan, terengah-engah oleh konflik kepentingan, antara konsisten berpihak pada kepentingan rakyat. Atau, berorientasi menjadi pejabat. Mengejar kekuasaan dan kursi kenyamanan yang sama.

Sesungguhnya aspek kebersamaan, seperti seruan mencapai keadilan dan kemakmuran semesta itu, sudah terkapling-kapling oleh wilayah kekuasaan masing-masing. Demokrasi menciptakan pemerintahan di dalam pemerintahan, kekuasaan di dalam kekuasaan, dan kepentingan di dalam kepentingan. Pada wilayah-wilayah ini, ada persentase keuntungan yang jelas. Yang satu menyatakan kekuasaan untuk memperlebar persentase keuntungan bagi pihak lain. Sementara yang lain, menarik persentase dari seruan dari seberang jalan. Wujud demokrasi itu menjadi berubah-ubah. Seperti bunglon. Tidak tetap. Tergantung situasi yang menguntungkan. Pada sebuah meja perjudian. Dengan bandar yang selalu berganti-gantian. Kalah dalam perjudian, lesu pulalah dalam pembangunan.

16 April 2008: Apa yang akan terjadi?

Kalau mau dikurung per wilayah, dengan mudahnya kita mampu menghitung secara cepat prediksi peta perpolitikan Kabupaten Sikka. Luka lama dalam tradisi dan sejarah membagi wilayah Sikka menjadi dua. Lebih populer disebut Maumere Timur (Kewapante, Wetakara, Nele, Bola, Hokor, Watuplapi, Kloangpopot, Waigete) dan Maumere Barat (Nita, Sikka, Lela). Sejarah yang saling menerkam, hegemoni budaya, dan arogansi kesukuan menjadikan daerah-daerah ini mudah dipengaruhi secara sentimentil.

Berbeda dengan dua wilayah lain, Talibura-Nebe (pada sisi Timur terjauh) dan Paga-Wolowiro (pada sisi Barat terjauh) tidak terlalu terbawa pada sentimen ini. Oleh karena faktor “mengambang” ini, kehadiran mereka menjadi sangat penting. Suara dan keberpihakan mereka menjadi dukungan plus untuk memukul ikatan primordial pihak lawan.

Karena itu, pada masa-masa kampanye Talibura-Nebe dan Paga-Wolowiro seketika menjadi selebrita sungguhan. Berlomba-lomba para cabub dan wabub berorasi, menjual ilmu corongnya untuk mendapatkan pendukung. Tetapi lihat sesudah itu, Daerah Timur dan Barat terluar itu kembali ke identitas mulanya. Yaitu sunguh-sungguh daerah “terluar”. Yang jarang ditengok. Minim perhatian. Sedikit sekali sentuhan pembangunannya. Dibiarkan terkapar dengan kondisi mengenaskan.

Nasib yang sama pun dialamatkan pada pulau-pulau gugusan Sikka. Palue dan Pamana. Mereka menjadi gugus pulau yang terlupakan. Baik dari segi apresiasi budaya, pelayanan kesehatan, ekosospol, sampai pada pembangunan infrastruktur. Masa-masa kampanye, mereka dielu-elukan. Sesudah itu, nasib mereka “hanya Tuhan yang tahu”.

Untuk Maumere Timur dan Barat, isu sentimen kesukuan selalu dipakai setiap kali Pilkada berlangsung. Secara sadar atau tidak sadar, penggiringan massa menuju alamat kesukuan itu dirujuk dengan kehadiran calon-calon di daerah asal dan tempat lahirnya. Sangat jarang, calon bupati atau wakil bupati diterima baik di dua tempat ini. Atau berbagi posisi orang nomor satu dan dua. Semua mau menjadi yang pertama, demi gengsi sejarah.

Sementara untuk wilayah terluar, isu keberpihakan selalu datang dari mulut pembangunan. Entah jalan, pipa air bersih, listrik, pelabuhan. Semua itu merupakan sisi imajinatif di pulau utopis. Mirip sekali dengan sinyalemen “the bubbles politic” yang sengaja digelembungkan pada masa tertentu. Kemudian pelahan mengempis, sejalan dengan memelarnya komitmen untuk mempertahankan gelembungan itu.

Pertanyaan sekarang, apa yang akan terjadi dengan 19 April nanti? Apakah kemenangan seorang calon itu masih ditentukan oleh prediksi klasik ini? Apakah masyarakat Sikka masih mau ditipu dengan sentimen kewilayahan ini? Demokrasi macam mana yang akan ditunjukkan? Semacam demokrasi, atau seolah-olah demokrasi?

Semua jawaban ada di tangan pemegang demokrasi. Di sinilah justru kelemahannya. Terlanjur menyerah pada opini publik. Pada arah argumentasi massa. Pada pengkotak-kotakan. Pada janji palsu.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di www.ntt-online.org


Rabu, 09 April 2008

Busung Lapar: Dari Virtualisasi Menuju Kampung


Mengumpulkan satu per satu data korban dari media tracking soal busung lapar, sama juga dengan mengamini fenomena gunung es. Namun, di lain sisi, ada hal yang menarik, yang dapat disimpulkan dari kerja virtual itu. Lagi-lagi pemerintah yang diharapkan mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Lagi-lagi, hanya langkah prosedural: kuratif-emergensi-jangka pendek, yang bisa dilakukan pemerintah. Dan terakhir, menanti lagi media massa mengangkat kasus gizi buruk itu di kemudian hari.

Virtualisasi dan kesalahan mengingat

Kenyataan pertama yang harus diakui. Busung lapar itu baru disebut kasus, kalau berhasil keluar dari bidikan lensa, diproduksi sebagai berita pada stasiun-stasiun televisi, dan makanan empuk para juru tulis. Selebihnya, berapa pun korban berjatuhan, intensionalitas pada kosmologi pemikiran bangsa ini, lebih tersedot pada hiruk pikuk dunia politik. Pada sejumlah pilkada, pilgub, dan pilpres. Busung lapar seolah-olah menjadi “timeless” pada berita-berita politik.

Betapa tergantungnya persepsi, imajinasi, dan pragmatisme kita pada dunia virtual tersebut. Dan tanpa disadari, virtualisasi tersebut justru mematok pemikiran kita dalam batas-batas tiga dimensi, sejauh kamera itu mampu menyajikan horizonnya. Spasialitas yang bergerak di bentangan ruang hidup, dengan segala dinamikanya lantas terabaikan. Fenomena busung lapar pun kemudian menjadi kisah ketidakberdayaan sekumpulan manusia pada sebuah bidikan.

Virtualisasi cenderung menciptakan fenomena dari akibatnya. Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi dari sebuah peristiwa. Pada “pedih perihnya” busung lapar. Pada seorang anak yang tinggal “kulit pada tulang”. Pada rumah sakit-rumah sakit dengan berjubel penderita gizi buruk. Dan tidak pada keseluruhan peristiwa, dalam kontinuitas waktunya, dengan melibatkan tradisi, dinamika, dan etika. Karena itu, busung lapar pada bidikan kamera merupakan fagmen, potongan kejadian pada gambar semata. Bukan pada realitas terdalam, yang sesungguhnya. Celakanya, justru inilah yang diingat oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini.

Kesalahan mengingat pada gilirannya mengantar kita pada kesalahan bertindak. Paul Ricoeur (1999) menandaskan, ingatan selalu berkaitan dengan dua relasi. Yaitu, relasi pengetahuan dan relasi tindakan. Sejauh mana ingatan itu membentuk pengetahuan dan mendorong lahirnya sebuah tindakan. Ingatan yang salah, membentuk pengetahuan yang salah. Berikut, tindakan pun cenderung salah. Lebih parah lagi kalau gejala ini menjangkit sampai pada ingatan kolektif. Visualisasi virtual itu secara signifikan mampu meninggalkan goresan pekat dan dalam pada sejumlah orang. Disertai perubahan karakter kepribadian, seperti saling mencurigai, melemparkan tanggung jawab, mencari kambing hitam, dan melihat korban semata-mata sebagai objek penderita.

Finalisasi dari babak visualisasi ini berakhir dengan fenomena gunung es. Setelah tercerai berai dengan perspektif yang keliru, langkah “bijak” yang diambil adalah penimbunan kasus demi kasus busung lapar tersebut, supaya tidak lagi diekspose. Sejalan, logika penanganannya berupa: memberi makan untuk yang lapar, mengobati yang sakit, dan menguburkan yang mati. Prosedural kampanye digalakkan. Masyarakat serta merta dijejali dengan sosialiasi hidup sehat, gizi seimbang, dan menu makan sehat. Seminggu dua, virtualisasi media elektronik dan media massa pun mengamini. “Angka gizi buruk dan busung lapar menurun, kesehatan masyarakat mulai membaik!” Dengan catatan, “nanti tunggu pemberitaan busung lapar lagi!”.

Deregulasi

Terlalu sempit mengartikan deregulasi dengan melepaskan sejumlah aturan atau regulasi demi kebebasan bergeraknya modal, barang, dan jasa. Pencangkokan istilah deregulasi pada kepentingan ekonomi menciptakan kesalahan dalam pembacaan relasi antara pemerintah dan rakyatnya. Dalam arti sebenarnya, deregulasi adalah ketidaktergantungan nyawa masyarakat pada kekuasaan negara, atau rezim yang berkuasa. Bukan pula pada otonomi daerah, tetapi pada individu terhadap pemimpin lokalnya. Dari state-regulation menjadi self-regulation.

Kaitannya dengan kasus busung lapar, self-regulation mengandung beberapa pengertian. Pertama, menyimak, menilai, membedah kasus busung lapar tersebut dari sebabnya, dan bukan dari akibatnya. Penuntasan masalah busung lapar harus dicari sampai ke akar persoalan (sanate in radix). Tidak bisa hanya sekedar menimbun di permukaan. Fakta berjubel anak di rumah sakit, yang tinggal kulit pada tulang, tak ada makanan di rumah, ini cuma akibatnya. Perlu menelusuri sebab mulanya, yang menjadi inti soalnya.
Kedua, perlu pula mempelajari ruang hidup, local resources, dalam bentuk pengetahuan, tradisi, perilaku yang dapat menjadi landasan perbaikan taraf hidup dan kesehatan masyarakat. Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”. Karena menjadi warga negara bukan sebuah status pasif tetapi sebuah keterlibatan aktif dalam komunitas, apapun wujudnya. Pola belajar masyarakat juga mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif. Bersumber pada naluri bebas manusia, yang terus berjuang untuk meneriakkan dan mengorganisir dirinya sedemikian rupa agar tidak tersingkirkan dan mampu memberi sumbangan yang diakui. Dengan memusatkan perhatian pada berbagai aspek dan hubungan yang dimiliki semua anak terhadap anggota masyarakat lainnya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Mengenali pengertian hak, kesejahteraan, dan keadilan, serta perjuangan untuk mencapai ketiganya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Dan yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada dan membiasakannya dalam pola perilaku tertentu.
Ketiga, memperkecil intervensi pemerintah dan lembaga terkait sebagai pemangku kewajiban dari pemenuhan kesejahteraan rakyat yang sentralistik, prosedural, dan birokratis. Ketergantungan terhadap pemerintah dan lembaga terkait dengan penanganan yang prosedural dan birokratis justru malah melemahkan self-regulation. Pemerintah dan lembaga terkait tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya penanggung jawab kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Etika deregulasi menghendaki manajemen masyarakat, komunitas, dan individu. Bertumpu pada kesadaran kritis masyarakat untuk menyelesaikan seturut mekanisme mereka. Karena, betapa pun ilmiahnya sebuah ilmu, ia tidak mungkin jatuh gratis dari langit. Tetapi senantiasa tumbuh dari penelitian di tengah masyarakat. Pada ruang belajar dan dinamika hidup masyarakat.

Kembali ke Kampung

Peter Sloterdijk dalam salah satu simposium filsafat internasional di Bavaria, Juli 1999 mengejek modernitas di bawah kekuasaan sainstik yang gagal merekayasa manusia dan dunia menjadi lebih unggul, sejahtera, dan damai. Ia malah mengatakan, humanisme benar-benar sudah mati di abad modern ini. Karena semakin banyak manusia yang tersingkir, tertindas, menjadi korban dari kekejaman, kejahatan, kemiskinan, dan konflik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Pertanyaannya: benarkah era modernitas membawa peradaban ke arah yang lebih baik?

Titik sasar Sloterdijk adalah kaum positivistik. Kelihatan sekali humanisme itu diabaikan. Yang ada cuma sebuah ladang exercise yang besar atas manusia. Manusia selalu menjadi kelinci percobaan. Senantiasa menjadi korban, objek, yang selalu bergantung pada kekuatan di luar dirinya sendiri. Lebih dari itu, dunia cuma menjadi ladang bisnis. Perkampungan jual beli. Perang, bencana, wabah, kemiskinan dilihat sebagai ajang menjual diri dan meraup keuntungan. Tidak peduli dengan dampak yang ditimpakan pada manusia dan dunia. Klaim ekonomi-bisnis, yang berakar pada penerapan teknologi telah menciptakan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Susah untuk dilepaskan. Menjerat. Mencekik masyarakat.

Betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk tidak bergantung. Betapa berharganya pula menerima aspek kontinuitas, aktualitas pada genre kampung. Kenyataannya, “kekampungan” itu tidak selamanya identik dengan busung lapar. Justru, ketika “kekampungan” itu dilupakan, anatomi antroposentris yang berpihak pada nilai positif manusia berjalan pincang. Kekampungan hanya dinilai sebatas “ketertinggalan”, “ketidakberdayaan”, “kekolotan”. Lantas relasi pragmatis pun turut pincang. Yang satu memaksa, yang lainnya berlaku surut. Yang satu unjuk cerdas, yang lainnya tampil mundur. Yang satu di atas, yang lainnya di bawah. Yang satu menang, yang lainnya jadi korban. Kampung dilecehkan tanpa meninggalkan jejak watak yang positif pada ruang belajarnya sendiri. Ia hanya kebodohan dan kebergantungan.

Era modernitas, apa membawa perubahan ke arah yang lebih baik untuk kampung? Busung lapar, apa kampung kita yang salah? Mari, lihat, dan cermati!!! (*)
Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org (9 April 2008)

Selasa, 01 April 2008

SPMNJ: Orang Muda Punya Bisa!

19 April merupakan tanggal penting untuk orang muda Nagekeo di Jakarta. Hal itu bisa terjadi karena sebuah solidaritas. Tepatnya, Solidaritas Pemuda Mahasiswa Nagekeo Jakarta (SPMNJ). Deklarasi mereka, deklarasi tubuh dan ide. Saat raga dan roh muda mereka menggeliat riak secara fenomenal. Merebut momentum. Untuk tidak sekedar melirik, melongokkan kepala, atau memecahkan keheningan dengan suara.

1
Seorang Socrates, sang pencari kebenaran dari Yunani itu, begitu yakin dengan kekuatan orang muda. Pada setiap kesempatan, ia mengajak orang muda untuk berpikir secara kritis. Menempatkan mereka sebagai subjek. Dengan pandangan tajam dan lurus, mencoba melihat dan menilai secara kritis roda pemerintahan berjalan. Sedapat mungkin, Socrates berusaha menanggalkan baju kemapanan, ikut arus, tenggelam dalam massa. Ia mengajak orang muda Yunani berpijak pada kebenaran, keyakinan, dan prinsip. Menjadi otonom. Sambil menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih estafet kepemimpinan.

Sebegitu gigihnya ia mendaur pikiran kritis kaum muda, Socrates kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Untuk pemerintah Yunani saat itu, Socrates adalah racun untuk kaum muda. Gerakan pembebasannya membahayakan pemerintahan. Sekali waktu, bisa muncul dengan kobar api yang besar. Menghanguskan kemapanan yang ada. Karena itu, Socrates dikurung. Dipaksa untuk mengakui kesalahannya. Kemurtatannya. Supaya pasal bisa mendefinisikan jenis hukumannya. Bila perlu, hukuman mati. Namun, Sorates lebih memilih meminum racun ketimbang mengikuti skenario pemerintah.

Ekspresi seorang Chairil Anwar dalam puisi “Aku” tidak jauh beda dengan bingkai cerita Socrates. “Aku” yang binatang jalang itu memilih untuk ditembusi peluru. Ketimbang harus menyerahkan pemberontakannya pada penguasa yang lalim. Pada waktunya, “Aku” tidak bisa dirayu. Ia berhak memilih dan menentukan sikapnya. Tanpa perlu sedu sedan, kalau pun “Aku” harus terbuang dari kumpulan. Dari masyarakat sosial. Dari negaranya. Menjadi sekian “si gila”, yang berbeda dari batas-batas kewajaran, kenormalan. Bersuara tegas terhadap kemapanan. Karena hanya dengan demikianlah, bangsa dan masyarakatnya dapat hidup seribu tahun lagi.

Rupa pikir layaknya seorang gila itu justru mendapat apresiasi yang tinggi dari permenungan seorang Kahlil Gibran. Untuk Gibran, kegilaan adalah sebuah metode. Cara berpikir dan bersikap lain, tidak biasa dari kenormalan. Kegilaan itu sebuah jalan pembebasan. Karena kegilaan itu netral, tidak berpihak, tidak mau dirayu, ia tampil sebagai jembatan yang baik untuk menemukan kebenaran. Tampil kritis dan profetik. Kegilaan kemudian menjadi tidak sekedar metode, melainkan pula kehormatan dan martabat.

Pada karakteristik ketegasan yang berani bersuara seperti ini, orang muda merupakan halte usia yang cocok. Mengingat mereka belum terikat pada lembaga dan fungsi sosial tertentu. Dalam kedudukannya di masyarakat, mereka berada di pihak tengah. Yang bebas bergerak. Mampu menemukan ruang baru, menjadi fenomenal dengan memastikan momentum, dalam sebentuk pemikiran atau tindakan. Mereka bisa menjadi penggonggong, yang menarik perhatian banyak orang, menyendul dengan kekuatan kencang, dan corong untuk menyatakan rintih keprihatinan. Pada mereka, perhatian selalu beralih ke sebuah “dunia lain”, “dunia kegilaan”, untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi dari batas-batas kemapanan dan kenormalan.

2
Dalam sejarahnya, macam organisasi, perkumpulan, perserikatan, solidaritas orang Flores itu tidak bertahan lama. Pertama sekali, kelahirannya begitu menggebu-gebu. Menyeruduk seperti banteng liar. Nampak kokoh yang bisa bernapas panjang. Baik dari segi keanggotaannya, maupun program-program kerjanya.

Namun kedua, bersamaan dengan waktu berjalan, pelahan-lahan semangat yang menggebu-gebu itu memudar. Satu per satu anggota mulai mengundurkan diri. Enggan mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah-edukatif-sosialisasi. Tetapi akan banyak berdatangan, seperti semut pada gula, kalau ada kegiatan-kegiatan seremonial, eforia nyanyian dan tarian, pesta dalam berbagai macam tema, atau solidaritas untuk mempertahankan gengsi dalam bentuk tawuran. Solidaritas moke (arak) dan jenis B1, B2 lebih kencang ketimbang diskusi dan rekomendasi.

Internal pelik, orang Flores termasuk orang mudanya sama-sama tidak mau mengalah. Susah mengakui keunggulan, menghargai pendapat, sportif, dan kompak. Yang sering terjadi, ada kelompok di dalam kelompok. Teman makan teman. Tergantung mood, dan enak sama enak. Dan persoalan mood itu, sangat erat kaitannya dengan mata, mulut, perut, dan kaki. Jarang fokus pada solidaritas otak kiri dan otak kanan, atau akal budi dan hati. Finalitasnya ada pada hasil dan bukan pada proses. Selesai sebuah kegiatan, makan selesailah pula sebuah solidaritas. Termasuk, dana! Tidak pada sebuah proses, yang selalu bergerak secara dialektik, masa lalu, kini, dan yang akan datang. Kerja keras, hasil, dan kerja keras.

Warisan stigma ini pun menjadi palu justifikasi untuk kelompok atau organisasi kaum muda Flores yang baru lahir. Kemudian tidak lepas pula kesulitannya pada, siapa yang harus menjadi inspirator, pendamping, atau sejenis moderator. Yang bisa menjadi “kakak” senior untuk orang-orang muda ini. Berikut, sulitnya pula mengumpulkan dana operasional. Karena, siapa yang akan nyakin betul, uang sisihannya itu digunakan untuk sebuah kegiatan yang benar-benar efektif, bernilai, bermartabat. Dan bukan untuk sebuah seremonial yang protokoler, dengan musik hip hop dan hidangan arak, B1 atau B2. Ini masalah kepercayaan, keyakinan, persepsi orang Flores terhadap perkumpulan orang muda Flores!

3
SPMNJ: ke mana anda harus memilih? Yang pasti, fenomena melahirkan itu selalu disertai rasa sakit. Tidak pernah dengan sebuntal kegembiraan. Pedih perih karena berbagai macam komentar. Sinisan. Tanpa melupakan pujian tulus dari sekelompok kecil orang.

Menjadi konsisten seperti seorang Socrates, dengan ketidakpedulian binatang jalangnya Chairil Anwar, dengan metode kegilaan seorang Gibran, merupakan pilihan paling radikal. Tetapi justru dengan pilihan-pilihan itulah, mereka menjadi besar. Menjadi bermartabat. Mereka belajar berproses, menghormati proses, tanpa mempedulikan hasil. Dunia yang memberikan hasilnya buat mereka. Sementara mereka tidak pernah menikmati hasilnya secara maksimal.

Hal ini erat pula kaitannya dengan jebakan-jebakan yang sudah sering terjadi untuk sebuah organisasi orang muda. Hanya mengejar kekayaan (uang), kekuasaan (jabatan), dan popularitas, organisasi-organisasi kaum muda itu turun kelasnya menjadi organisasi tempe. Padahal, emas sudah ditangan. Tetapi dengan mudahnya emas itu dirupakan secara murah, seperti kisah “Anak Yang Hilang”. Setelah semuanya habis terkuras, martabat orang muda itu dinilai hanya seharga makanan babi. Perlulah sikap konsisten, seperti teladan seorang Socrates, Chairil Anwar, dan Gibran.

Mata orang muda adalah mata zaman. Pada posisinya yang di tengah, ia mampu memandang tajam ke masa silam dan masa depan. Bahkan mampu menentukan masa depannya sendiri. Memegang kendali pada ruang dan waktu. Karena itu, tidak cukup hanya menjadi fenomenal. Tetapi perlu pula menciptakan momentum. Merebut momentum. Dan menulis sejarah dengan tangan sendiri. Sekalipun baru sampai pada tahap catatan kaki. Karena dengan begitu, masa lalu dapat dipurifikasi. Dinilai ulang. Dibaca secara baru. Diterjemahkan secara kontekstual.

Teks-teks yang dibaca dibangku kuliah tidak sekedar kata, atau huruf pada catatan. Ia merupakan batu-batu hidup yang bercahaya kalau didedikasikan secara sosial pada masyarakat. Masa lalu pada bacaan orang tua sudah terlalu kaku dan tidak update. Pikiran mereka boleh saja selalu baru, tetapi ketubuhan mereka sudah luluh di makan waktu. Karena itu, antara teks, konteks, tubuh, dan jiwa adalah purna bentuk dari sebuah dedikasi sosial. Masyarakat yang hidup tidak pernah mencari batu-batu mati. Masyarakat selalu mencari batu-batu hidup yang kokoh. Demi membangun struktur, jejaring sosial yang dinamis dan kontekstual. Karena itu, orang muda menjadi kelas istimewa. Pada mereka, masyarakat mengharapkan batu-batu hidup itu.

4
SPMNJ, tidak sekedar berhenti pada sebuah deklarasi. Mereka sendiri sudah mengizinkan dirinya, teks, tubuh, jiwa mereka menjadi batu-batu hidup. Waktu sudah diberikan. Kesempatan sudah datang. Tinggal bagaimana mereka mendefinisikan tanggung jawabnya. Mari kita dukung mereka. Orang muda yang selalu punya bisa!(*)

Tulisan ini pernah dimuat pada www.ntt-online.org

Kamis, 27 Maret 2008

BUSUNG LAPAR: PADA RUANG HIDUP!


Gunung es kasus busung lapar dan gizi buruk itu kini dimulai lagi dari Rote. Kemudian wacana itu meluas ke wilayah-wilayah lain di NTT. Pemerintah pun mulai main hitung-hitungan. Dibutuhkan dana sebesar lima puluh miliar untuk menangani kasus tersebut. Diprediksi dari hitungan data Januari 2007 – Februari 2008, ada sekitar 81.380 balita gizi buruk, 68.873 balita kurang gizi, 12.340 balita gizi buruk dan komplikasi, dan 167 anak penderita busung lapar dari 497.777 balita di NTT.


Kemiskinan dan Ketergantungan


Tahun 2005, ketika kasus gizi buruk dan busung lapar itu ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp. 64.027.047.000. Yang diperkuat justru infrastruktur kesehatan, posyandu, pemberian makanan suplemen, dan penanganan dana insentif cepat. Itu artinya, dana sebesar enam puluh empat atau lima puluh miliar itu akan lari ke lembaga-lembaga pemerintah yang khusus menangani unit-unit penyelesaian itu. Menciptakan lahan subur korupsi. Dan melupakan tujuan sebenarnya dari dana tersebut.


Pembacaan kasus busung lapar dan gizi buruk selalu dimulai dengan kemiskinan dan kekurangan pangan. Tetapi sekian sering wilayah ini tidak disentuh, dalam penyelesaiannya. Tidak heran kalau kasus busung lapar dan gizi buruk terus menghantui masyarakat NTT dari tahun ke tahun. Di satu sisi, penyelesaian yang diambil hanya bersifat kuratif, emergensi, dan jangka pendek. Sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah. Hanya berusaha menimbun untuk sementara waktu. Dan sisi lainnya, menimbulkan konflik pengetahuan dan ketergantungan pola konsumtif baru dari masyarakat yang penghasilan rendah.


Terpantau misalnya, PMT mengubah paradigma pola konsumsi masyarakat menuju pada ketergantungan hegemoni yang materialistik. Pengetahuan akan makanan bergizi direduksi pada mie instant, biskuit, susu,dan daging kaleng. Sama seperti era “Revolusi Hijau” yang berhasil memberi stigma nomor satu untuk beras sebagai bahan makanan pokok, dan membuyarkan pola beragam pangan masyarakat dengan pertanian komoditi. Mie instant, biskuit, susu, daging kaleng adalah upaya memandang rendah food gathering yang dapat diambil secara mudah murah di kebun atau halaman rumah. Umbi-umbian, jagung, sayur-sayuran dianggap makanan kelas dua. Alhasil, sesudah proyek PMT itu selesai, masyarakat kembali kehilangan asupan gizi. Kembali kelaparan. Sumber pangan dan asupan gizi mereka tiba-tiba saja dihentikan.


Pola penyelesaian seperti ini lebih merupakan “mencekoki” daripada “membebaskan”. Sama seperti ketika KB-nisasi itu masuk NTT, dan warga masyarakat dipaksa secara militeristik. Demi suksesnya program, sekian persen ketercapaian, dan dana mesti habis (anggaran berimbang!).


Babak berikutnya, yang lebih menyakitkan dan mematikan, adalah berhentinya proses belajar bersama yang terjadi di masyarakat. Ruang hidup masyarakat dipasifkan. Dengan tidak dihargainya potensi lokal, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bahwa masyarakat selalu mampu mencukupi (self-sufficient) dan menyembuhkan (sanate in radix) dirinya sendiri.


Pola belajar masyarakat itu tidak bisa dilakukan dengan cara “dicecoki”, “dipaksakan”, “diceramahi”, sama dengan perlakuan kita terhadap seekor binatang. Bahkan binatang kadang lebih manusiawi daripada manusia. Pola belajar masyarakat mesti diletakkan pada kerangka yang lebih manusiawi dan intersubjektif, yaitu bersumber pada naluri membebaskan manusia itu sendiri. Tidak ada yang mau menderita. Karena itu, manusia selalu mencari cara untuk menyelamatkan dirinya. Mengenali potensi alam dan dirinya untuk mempertahankan kehidupannya. Karena itu, pola belajar masyarakat sangat dekat dengan budaya, lingkungan, dan interaksi sosial. Yang dicerdaskan dari masyarakat sesungguhnya adalah inisiatif dan sensitivitas lokal. Cukup dengan keterbukaan untuk belajar apa yang ada.


Belajar dari kegagalan penanganan proyek KLB pada tahun 2005, seperti yang diteliti oleh Institute for Ecosoc Rights, seperti: (1) sistem administrasi dan birokrasi yang lamban, (2) pemberian PMT tidak mempertimbangkan kondisi keluarga yang miskin dan lemah akses pangan. PMT tidak hanya dimakan anak gizi buruk, tetapi oleh seluruh anggota keluarga. PMT tidak juga mempertimbangkan penyakit penyerta yang diderita anak, (3) Pendekatannya cenderung personal dan kurang melibatkan peran aktif keluarg dan komunitas, (4) posyandu hanya dilihat sebagai kegiatan datang, timbang, lalu pulang, sebaiknya dana sekian miliar itu digunakan untuk memperluas proses belajar bersama di komunitas-komunitas lokal, yang dari hari ke hari justru sangat dekat dengan kejadian miris ini. (Ironi sebuah komunitas lokal adalah, dibiarkan oleh pemerintah pada kesehariannya, tetapi dibutuhkan pemerintah pada perlombaan kelompok usaha tani di tingkat nasional. Kalau juara, hadiahnya selalu dicatut!)


Persoalan gizi buruk dan busung lapar juga merupakan persoalan kultur, gender, hak anak, pengetahuan, pengembangan ekonomi kerakyatan, selain masalah kemiskinan dan akses terhadap pangan (Institute for Ecosoc Rights, 2007). Dimensinya yang luas seperti ini tidak bisa ditemukan dan diselesaikan hanya dengan logika proyek. Logika ini terbukti hanya menciptakan ketergantungan ekonomis dan konsumtif, juga mengeliminasi sejumlah potensi lokal. Lebih dari itu, masyarakat dan ruang belajarnya dipasifkan. Dididik untuk menerima nasib (Nasib Tidak Tentu) dan pasrah (Nanti Tuhan Tolong)! Sesungguhya, cakupan yang luas ini hanya bisa ditemukan dan diselesaikan dalam proses belajar bersama di sebuah ruang hidup masyarakat. Masyarakat tidak didikte. Masyarakatlah yang menentukan pendekatannya secara lebih strategis, preventif, dan jangka panjang.


Ruang Hidup


Sekian sering potensi ruang hidup dan proses belajar masyarakat itu diabaikan. Dikunci rapat-rapat, atau tidak diadudomba. Sekian sering pula potensi itu dikalahkan oleh kepentingan kapital, kekuasaan birokratis, dan legitimasi keagamaan. Kasus gizi buruk dan busung lapar itu berada pada himpitan ini. Lantas, siapa yang berani mengeluarkannya? Siapa yang berani menjadi superhero? Inilah persoalan berikutnya. Begitu susahnya mencari tipe kepemimpinan yang partisipatif. Yang tidak mengontrol dan menjerumuskan proses, namun bertindak sebagai mitra aktif yang memancing kecerdasan dan inisiatif masyarakat. Seorang seniman pemimpin yang membangkitkan cara berpikir, merefleksikan pengalaman-pengalaman, mencoba dan menguji berbagai ide, mempraktikan, memodifikasi, mengevaluasi, dan memonitoring untuk sebuah proses lanjutan. Sekian sering kita sudah terbiasa dengan mental top-down, sentralistik, reduksionistik, dan mengabaikan dinamika masyarakat. Keluaran dari mental ini adalah ketegangan yang berkepanjangan dan akut antara masyarakat dan pemimpinnya, curiga mencurigai, potong memotong. Masyarakat sekali lagi menjadi korban! Sudah jatuh ditimpa tangga!


Dalam konteks masalah gizi buruk dan busung lapar, pertanyaan partisipatif yang perlu dilontarkan pada kasus tersebut, pertama, apakah di rumah ada yang dapat dimakan atau tidak? Bukan apakah di rumah ada nasi, biskuit, susu, daging kaleng atau tidak? Karena dengan meluaskan cakupan asupan gizi, proses belajar bersama itu akan menemukan sekian jenis bahan makanan yang dapat dimakan. Dapat dipetakan sesuai musim, kandungan nutrisi, dan kebutuhan gizi perseorangan. Masyarakat memiliki pengetahuan akan hal tersebut. Tetapi tidak tahu bagaimana harus meramu pengetahuan tersebut menjadi menu sehat dan bergizi. Karena itu, proses belajar bersama tersebut tidak selesai pada pemetaan berbagai jenis bahan makanan. Tetapi kemudian berlanjut pada cara produksi, konsumsi, dan antisipasi stok. Pertanyaan seperti ini dan proses belajar bersama tersebut boleh jadi merupakan bentuk perlawanan terhadap proyekisme, ketergantungan hegemoni konsumtif, dan keterbatasan akses terhadap pangan.


Kedua, apakah semua anak di Rote menderita gizi buruk dan busung lapar? Cukup dengan mempertanyakan hal ini, ruang belajar yang direduksi pada stigma kemiskinan, keterbatasan pangan dapat diobjektifkan, sejajar dengan kondisi riil yang ada. Artinya, ada beberapa anak yang bisa menjadi contoh dalam proses belajar tersebut, baik pola hidupnya, pola makannya, budaya, maupun kebiasaan-kebiasaannya, yang dapat ditemukenali sebagai cara mendekati dan menyembuhkan kasus di daerah tersebut. Bahwa ada anak-anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar, itu berita buruk. Tetapi ada anak-anak yang sehat, itu berita menggembirakan. Karena dari situ, ruang pembelajaran ke arah penyembuhan itu memperoleh pintu masuknya.(*)