Kamis, 11 Agustus 2011

Gereja Harus Bertobat

Segera di toko buku anda!

Penulis         : Alexander Yopi
Harga           : Rp 45.000
Penerbit       : Lamalera
Tgl Penerbitan : Juli 2011
Bahasa         : Indonesia
Halaman       : 158 hal
Ukuran         : 120x190 mm

K
endati melakukan banyak perbuatan besar dan mukjizat, Yesus tidak serta merta disebut Tuhan. Sebagian mengenal Yesus sebagai Yohanes Pembabtis, Elia, atau nabi-nabi terdahulu yang bangkit (bdk Luk 9:18-19). Orang farisi, ahli Taurat, dan pemerintahan Romawi malah menganggap Yesus sebagai penentang, pemberontak, dan penghujat tradisi Yahudi.

Hingga akhirnya Yesus wafat di salib, semua orang pun tidak serentak mengamini bahwa Yesus adalah Tuhan. Banyak yang menyesal bahkan ikut menyoraki Dia sebagai tokoh pembebas yang gagal. Sementara itu, para murid-Nya yang dekat dengan hidup dan karya-Nya tercerai berai dan kebingungan dengan nasib Sang Guru. Ada yang menyangkali Yesus, ada yang bunuh diri, dan ada yang bersembunyi tak tahu rimba.

Namun, berkat kehadiran Yesus yang melampaui ruang dan waktu, yang ditandai dengan kebangkitan lalu penampakkan, Dia telah menunjukkan betapa kehadiran-Nya selalu konsisten dari awal hingga kini. Iman dan keyakinan akan Sang Guru itu pelahan-lahan menjelma menjadi jawaban atas kehidupan, menjadi pintu gerbang menuju mukjizat dan perbuatan besar dalam kenyataan. Lantas, Dia yang semula hanyalah manusia biasa, seperti karunia yang diperoleh Yohanes Pembabtis, Elia, atau nabi-nabi terdahulu kini disebut sebagai Tuhan oleh jumlah sebanyak pasir di laut dan bintang di langit.

Kepenuhan janji itu sudah nyata dalam diri Yesus. Tuhan kini telah menjamah manusia menurut arti kedagingan dan kemanusiaan melalui peristiwa inkarnasi. Ternyata, Tuhan itu begitu dekat, hidup dalam, bersama, dan menjadi manusia. Dia memahami diri-Nya dalam cawan manusia untuk berkomunikasi seturut dinamika ciptaan-Nya dan menyakinkan diri-Nya sendiri bahwa kerinduan terbesar ciptaan-Nya adalah berada dalam Rumah Bapa.

Berkali-kali Tuhan ingin menguji kesetiaan manusia, ingin meyakinkan diri-Nya sendiri bahwa manusia sedang mencari diri-Nya. Ujian itu semula dititahkan melalui janji kepada Abraham, Ishak, Musa, Yakub, kemudian kepada bangsa Israel dan berpuncak pada Putera-Nya yang menjelma menjadi manusia. Keyakinan itu menjadi purna oleh kerinduan yang teramat sangat akan seruan Putera di salib: Eloi Eloi Lamasabaktani! Bapa tidak cukup hanya dengan mendengar keluh kesah Putera, “Biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu.” Hanya dengan “Allah Ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan Daku,” mata hati Bapa pun impas.

Manusia, sebentuk Putera di salib, pada ujian demi ujian, pada salib demi salib, keluh kesahnya hanya terarah pada kerinduan untuk kembali ke Tanah Terjanji yaitu Rumah Bapa.

Pada tahap tersebut, Bapa pun menjadi maklum. Bahwa pengakuan iman dan pencarian akan Tuhan tidak bisa dipaksakan, apalagi melalui hukuman serupa kutukan atau tulah. Bangsa Israel mengalami “kemurkaan Allah” karena Tuhan cemburu atas hati manusia yang seolah-olah mendua tersebut. Karena itu pula, Bangsa Israel dicintai-Nya melebihi bangsa-bangsa lain. Melalui Putera-Nya, Bapa menyimpulkan bahwa kembali ke Rumah Bapa membutuhkan sebuah proses. Bahwa Bapa akan membiarkan anak-anak-Nya memilih jalannya hingga akhirnya anak itu pun berseru “Eloi Eloi Lamasabaktani” seperti seruan kerinduan Putera-Nya kembali ke pangkuan Bapa.
***
WS Rendra, Si Buruk Merak itu, pernah melontarkan pujian kepada suku bangsa Flores. Dalam orasinya berjudul “Selamatkan Kekayaan Negara dengan Kedaulatan,” Rendra memuja Flores sebagai suku bangsa yang tidak pernah ditaklukkan di Tanah Air. “Begitu kuatnya budaya yang melasaki jiwa orang-orang Flores itu, sehingga mereka memiliki kedaulatan dalam dirinya sendiri,” kata Rendra. “Yang terjadi di Flores adalah perpaduan yang kental antara budaya lokal dan budaya modern, antara agama dan kepercayaan tradisional, antara bumi, air, api, dan manusianya.”

Demikian juga kehadiran para misionaris awal di bumi Flores. Betapa takjubnya mereka dengan kepercayaan agama alam yang sudah bertumbuh di Flores, sehingga pewartaan akan kabar gembira Kristus itu tidak perlu disampaikan dengan susah payah. “Mereka telah beriman,” sebelum mengenal Kristus. Bahwa Flores adalah gens naturaliter Christiana, sebuah bangsa yang secara alamiah bersifat Kristen. Mereka hanya perlu dijelaskan bahwa yang diimani sebagai sesuatu yang tidak dikenal itu adalah Kristus. Karena itu pulalah, agama Katolik mendapat tempat yang istimewa di hati masyarakat Flores.

Kendati secara alamiah sudah bersifat Kristen, Flores tetaplah gens candida sed ruda, sebuah bangsa yang suci namun terkebelakang. Selanjutnya karya keselamatan Kristus di bumi Flores itu hadir bersama upaya pencerdasan dan modernisasi. Kabar gembira tersebut tidak boleh berhenti hanya pada pembabtisan, tetapi perlu bekerja menjawabi tantangan zaman. Sebab kehidupan iman, yang bersandar pada sabda dan janji tidak bisa mengelak dari pemenuhan kebutuhan manusiawi.

Setelah Sang Guru mengajar dan ingin mengasingkan diri dengan perahu ke tempat sunyi, banyak orang malah mengikuti Dia. Hingga menjelang malam, orang banyak itu tidak juga beranjak pergi. Lalu, murid-murid Sang Guru meminta Dia untuk menyuruh banyak orang itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.

Namun, Sang Guru berkata lain, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Lalu para murid-Nya memberikan lima roti dan dua ikan kepada Dia, dan Dia pun memecahkan roti sehingga semua orang bisa makan.(bdk Matius 14:13-21)

Misionaris awal di Flores membesarkan iman umat melalui pendidikan, pertanian dan perkebunan, pertukangan, dan peternakan. Mereka sadar betul bahwa tantangan zaman, terutama bermuara pada persoalan keterbelakangan di satu sisi dan modernisasi di sisi lain akan menghimpit sabda Tuhan itu di sebuah tanah kersang. Alhasil, benih itu sebagian hanya akan jatuh di pinggir jalan, di tanah berbatu-batu, di tengah semak duri, tanpa bisa berbuah banyak (bdk Mat 13:1-9). Karena itu, iman umat di Flores itu perlu terus didampingi dan dipupuk sehingga benih yang sudah ditaburkan tersebut tumbuh gemuk pada lahan yang subur.

Sama halnya dengan perbuatan besar Yesus memberi makan lima ribu orang supaya sabda Tuhan yang sudah diwartakan itu tumbuh subur dan berbuah banyak. Melalui pewartaan yang kontekstual tersebut, para misionaris awal di Flores memperoleh banyak tuaian. Gereja di Flores pada masa itu menjadi sangat berkarakter karena berwajah manusiawi dan berhasil membawa iman umat pada kemenangan salib. Iman para misionaris yang bersumber pada inkarnasi, pada gerak memahami tantangan zaman, pada kerelaan untuk dilahirkan kembali bersama cawan Flores akhirnya mengubah perwajahan iman masyarakat Flores secara kontekstual.
***
Kontekstualisasi selalu dalam arti aplikasi. Kontekstualisasi bergerak antara kondisi dan teks. Kontekstualisasi akan berhenti menjadi aplikatif jika teks tidak bisa menjawabi kondisi riil dan kondisi riil tidak mampu mengilhami teks berbicara. Karena itu, kontekstualisasi tidak bisa dibaca dan diterjemahkan sekali.

Upaya yang sudah dilakukan misionaris awal sebagai langkah menyuburkan iman umat sudah berjalan bertahun-tahun. Dalam daur waktu itu, tantangan zaman masyarakat dan umat di Flores pun berubah. Sayangnya, perubahan masyarakat dan umat di Flores saat ini justru dibalut dengan stigma kemiskinan. Telah lama Gereja hadir, bahkan makan dan minum dari bumi Flores sejak para misionaris awal memperkenalkan Kristus. Kendati demikian, Flores tidak pernah beranjak dari stigma kemiskinan. Apa yang Gereja lakukan sampai Flores tetap miskin?

Ketika misionaris awal membesarkan iman umat di Flores, mereka serentak memperkenalkan ilmu pengetahuan dan daya penerobosan budaya alternatif melalui pendidikan yang mengikuti arus zaman. Flores saat itu bahkan lebih intelektual ketimbang masyarakat pulau lain di daratan Indonesia. Pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan merupakan cara pandang Gereja memperbanyak dua ekor ikan dan lima ketul roti sehingga bisa memberi makan banyak orang. Gereja tanpa takut bersentuhan dengan dunia.

Di luar Flores, ilmu pengetahuan yang bermuara pada keterampilan dan spesialisasi saat ini berkembang dengan cepat. Pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan sudah bukan masalah tradisional. Berbagai pola industrialisasi, fabrikasi, dan kapitalisasi yang bertumpu pada manajemen dan jiwa wirausaha yang profesional mengubah pola mata pencaharian tradisional tersebut. Fisik dan olah alam bukan lagi tujuan utama. Fisik dan olah alam hanya merupakan pemicu untuk pengembangan sumber daya manusia. Sementara itu, pintu investasi dibuka supaya arus modal bisa menjalari aktivitas ekonomi. 

Gereja, masyarakat, dan umat di Flores justru tengah berhenti berproses. Pengetahuan, keterampilan, dan manajemen lama terus dipertahankan. Ketika daerah-daerah lain mulai merasakan buah dari mata rantai ekonomi akibat keterbukaannya pada perubahan cara pandang, pengetahuan, keterampilan, dan manajemen yang selaras zaman, Flores tetap pola lama. Tidak heran Flores pun ketinggalan. Iman dan denyut nadi kehidupan umat dan masyarakat pun berada di ambang krisis.

Kemiskinan hanya merupakan satu indikasi dari sekian banyak indikasi yang bakal muncul di Flores akibat kelesuan menghidupkan iman akan inkarnasi Kristus. Ketika agama sudah tidak aplikatif, tidak mampu memberikan lima ekor ikan dan dua ketul roti, iman akan yang ilahi itu kembali masuk dalam gua tak berpengharapan. Persis seperti kondisi para murid yang ditinggalkan Yesus karena mati dan dikuburkan. Rasa frustrasi, gamang, tak punya pegangan menyebabkan iman menjadi sangat kerdil dan rentan untuk dimobilisasi.

Gereja di Flores saat ini terlalu takut dan skeptis dengan segala perubahan yang sedang terjadi di luar. Ketakutan untuk menceburkan diri dalam dinamika dan aktualisasi dunia. Mengadopsi berbagai informasi dan perkembangan baru secara aplikatif. Sumber dari ketakutan itu adalah dikotomi yang tajam antara dunia dan kerajaan Allah. Dunia dan yang profan terlanjur terpasung dalam ideologi sumber dosa. Kelas dua. Materialistik. Jasmaniah. Kapitalistik. Tidak adil. Memiskinan. Mudah luntur dan tidak abadi. Terbalik dengan dunia ilahi. Kerajaan Allah. Yang sakral dan suci. Rohaniah. Bertahan lama. Abadi.

Sikap Gereja di Flores berbeda dengan Gereja universal lainnya yang hidup berdampingan dengan kemajuan zaman. Dikotomi yang dipelihara Gereja di Flores justru diimani Gereja di luar Flores sebagai sebuah tantangan untuk membumikan iman, menginkarnasikan karya keselamatan yang sudah dirintis Sang Guru. Ilmu pengetahuan, industrialisasi, fabrikasi, dan kapitalisasi bukan merupakan cara pandang yang bertentangan dengan hakikat Gereja sebagai tanda dan sarana keselamatan. Dengan menceburkan diri dalam kemajuan zaman itu, gereja sedang melakukan proses inkarnasi untuk secara kritis menawarkan dua ekor ikan dan lima ketul roti supaya bisa dimakan banyak orang.

Banyak dari kalangan Gereja, terutama para pastor sering berbicara soal investor dan keinginan untuk berinvestasi di Flores sebagai gerbang masuknya kapitalisme. Ketika gerbang itu dibuka, segera sesudah itu kapitalisme akan mencengkeram bumi Flores. Ketidakadilan, kemiskinan, tanah, mata pencaharian masyarakat akan direbut. Ketakutan demi ketakutan pun didaraskan sebagai penyejuk iman, yang sebenarnya lebih merupakan doktrinasi untuk anti terhadap perubahan.

Kemudian legitimasi atas doktrinasi itu dilengkapi dengan penghiburan bahwa "upahmu akan besar di surga." Proses industrialisasi, fabrikasi, dan kapitalisasi adalah semata-mata urusan duniawi, yang tidak abadi. Kemiskinan saat ini lalu dipandang sebagai takdir. Nanti Tuhan Tolong.

Ketika seorang karyawan pastoran atau pekerja di sebuah biara di Flores mendapat upah lebih kecil dari standar upah minimum nasional, Gereja mengklaim bahwa kekurangan dari upah itu merupakan cinta kasih. Bahwa Tuhan akan melihat kekurangan itu sebagai bagian yang akan dilunaskan-Nya sendiri di surga kelak. Namun dalam kenyataan, akibat upah yang kurang itu, lingkaran setan pun menjebak orang, keluarga, dan masyarakat dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Masyarakat dan umat sesungguhnya lapar setelah mendengarkan sabda Tuhan. Tetapi cinta kasih mengusir mereka untuk mencari makan sendiri. Gereja tidak mengindahkan perkataan Yesus, "Kamu harus memberi mereka makan."

Banyak keputusan pastoral Geraja yang diproduksi malah tidak mengindikasikan bahwa Gereja sedang menampilkan profil dirinya sebagai perpanjangtanganan Allah yang sedang berkomunikasi dengan cara yang teramat dekat dan personal. Banyak juga keputusan dan sikap gereja baik secara kolektif maupun personal tidak diproduksi secara matang didapur refleksi yang mengutamakan otokritik dan kritis. Gereja malah mengabaikan orang-orang yang teramat dekat dengan dirinya. Gereja malah membangun kembali Tahtanya yang arogan. Gereja malah mengutamakan dirinya sendiri.

Gereja mengalami kelesuan untuk melakukan otokritik dan kritik. Tidak hanya sekedar melemparkan suara keras seolah-olah suara keras itu mewakili sikap profetis. Gereja malah ikut terpelintir oleh godaan duniawi, memihak yang satu dan memaksa yang lain. Gereja terkotak-kotak dalam penolakan dan pro status quo. Tanpa mendalami lebih jauh substansi, esensi, dan eksistensi sikap penolakan dan pro status quo tersebut.

Ada sebuah proses yang berhenti. Gereja bertindak seolah-olah begitu memahami karya keselamatan Tuhan sehingga memaksa dan lupa berproses. Padahal, Bapa sendiri butuh proses yang panjang sebelum mengamini bahwa keselamatan itu berlangsung secara personal dalam pergumulan manusia dengan pilihannya. Hanya inkarnasi atau gerak menjadi manusia, Tuhan bisa memahami manusia yang seolah-olah berlari di hadapan-Nya. Tuhan sendiri pernah bertobat. Gereja pun harus bertobat.(*)

Senin, 08 Agustus 2011

Madre, Dee, dan Prokreasi Sejuta Umat

Madre ialah prokreasi Dewi Lestari. Dee, demikian dia dikenal, terlahir kembali setelah lama terbenam di Kota Supernova. Dia dengan sejuta parabel tertancap di otaknya itu  memilih menggunakan kembali penanya untuk mengurai sakit kepalanya. Sulit membayangkan hidup berdampingan dengan sejuta parabel di otak seperti yang dijalani Dee. Betapa Dee akan terus terusik, terganggu, bahkan tersiksa. Lebih-lebih ketika penanya gagal bertuah dan melahirkan parabel itu sesuai yang dimauai otaknya.



Sampai Madre itu lahir, Dee pun menjadi maklum untuk tidak lagi melawan arus. Siksa batinnya yang selama ini ditanggung akibat beranak pinaknya parabel dalam otaknya itu telah menemukan ari-arinya. Sebenarnya bukan Dee yang menemukan ari-ari itu. Dee hanya tidak mau melawan arus. Tidak mau munafik. Tidak mau menyangkal dirinya lagi. Tidak ingin menjadi layang-layang lagi. Dee hanya mau berterus terang, lebih bersabar untuk membiarkan parabel yang beranak pinak dalam otaknya itu memilih dirinya untuk berdifusi dan bermetaformosis. Dee hanya tidak ingin melawan kehendak pikiran, hati, dan badannya untuk dilahirkan kembali.
Kekhasan penceritaan Dee adalah parabelistik, dari Supernova hingga Madre. Bagi Dee, parabel adalah gaya penceritaan bak sebuah perkawinan yang romantis dan mesrah. Ada konflik, ada krisis, tetapi konflik dan krisis itu saling mengisi secara romantis dan mesrah. Namun, romantika itu hanya bumbu yang dipakai Dee untuk menarik perhatian pembaca dan penggemarnya pada proses perkawinan yang sesungguhnya, yakni pembuahan, pembelahan diri, dan siap dilahirkan kembali.
Sudah tentu Madre adalah kisah nyata Dee. Atau anggaplah sebagai kasus pencarian Dee atas Madre dirinya. Banyak peristiwa yang melingkupi Dee sebelum Madre, yang menggayut, mengusik, dan menyiksa pikiran, hati, dan tubuhnya. Kelahiran, perpisahan, pertemuan, jatuh cinta, kepercayaan adalah bagian dari kisah nyata, kisah pencarian Dee. Kendati Madre adalah kerja evolusi, dengan cakap Dee telah mengubahnya menjadi kerja revolusi. Dee tetap tidak ingin menjadi tokoh utama. Dia melebur. Dia hanyalah tangan dan kaki parabel yang berkecamuk di otaknya, yang membelah dirinya, membuahi, dan melahirkan kembali dirinya. Dee mengajak semua orang mencontohi inkarnasi dari perkawinan pena dan hatinya, tubuh dan jiwanya.
Madre tidak lain adalah esensi, yaitu sesuatu yang berkecamuk, bergelora, berkecambah dalam diri seseorang. Apapun seseorang menjadi, keberadaan dirinya sangat ditentukan oleh baku mutu yang menjadi motor dalam dirinya. Esensi itu tidak mungkin dipaksakan, tidak mungkin dijadikan, tidak mungkin pula dicuri. Dia memilih sendiri tempatnya, bertumbuh tanpa diminta, beranak pinak tanpa dibuahi. Dia dilahirkan dalam potensia, pada kemampuan seseorang untuk menjadi. Dia adalah adonan hidup yang siap dibentuk dan membentuk.
Seseorang yang telah dipilih oleh Madre tidak mungkin akan menyangkali keberadaan Madre. Sekali Madre melekat, dia tidak akan bisa dihapus. Melawan arus, munafik, menipu diri, atau menyangkali Madre adalah pekerjaan yang sia-sia. Atas cara tertentu, Madre akan memanggil pulang ketersesatan itu dan membuat seseorang mau tidak mau mengakui Madre dalam dirinya.
Demikian yang terjadi pada Madre dan Tansen. Madre telah memilih Tansen, apakah Tansen sanggup menyangkalinya? Tidak, dalam pencariannya Tansen justru menemukan esensi dirinya, panggilan jiwanya bersama Madre. Sejauh dia berlari, sebisa dia menyangkal, Tansen tidak mampu terus berlari dan melawan arus jiwanya.
Demikian pun yang terjadi pada Che dan Starla. Pada jiwa mereka, Madre telah memilih. Che dan Starla sama-sama tidak mau tahu, berlari, menjauh tinggi bak layang-layang yang terbang bebas. Namun, mereka lupa, tumpuan layang-layang hatinya itu telah terpatri satu sama lain pada Madre yang sama. Sejauh mereka berlari, sejauh mereka terbang, sesungguhnya mereka telah terikat satu sama lain.     
Hubungan Madre dan seseorang adalah hubungan prokreasi, saling melahirkan satu dengan yang lainnya. Madre yang telah memilih itu membiarkan dirinya menganak pinak dari kelahiran demi kelahiran seseorang. Kemampuan Madre adalah melahirkan bahkan dalam beratus-ratus kali. Sementara itu, seseorang yang telah terpilih itu mencapai kelahiran demi kelahiran dalam beratus-ratus kali berkat kesempatan, peluang, dorongan, dan tuntunan Madre.
Karena itu, Madre akan mati jika tidak melahirkan atau mencapai kelahiran. Kehilangan Madre sama saja dengan kiamat untuk seseorang. Demikian pun jika seseorang itu berhenti melahirkan, Madre pun mati. Madre tidak hidup dalam kulkas beku. Madre tidak bisa hidup tanpa Tansen. “Madre jangan dibikin nganggur,” kata Pak Hadi kepada Tansen. Karena itu, Madre akan mengusik dan menyiksa seseorang untuk menemukan dirinya dan melahirkan. Madre perlu kreativitas seseorang, perlu pikiran, hati, dan tubuh seseorang untuk melanjutkan hidupnya. Ketika dia hidup, dia melahirkan oleh pikiran, hati, dan tubuh seseorang, Madre akan memberi kelahiran demi kelahiran baru baginya.
Yah, Madre adalah adonan hidup, panggilan jiwa, potensia yang tidak bisa berkembang biak tanpa belajar, memahami, bekerja keras. Sama seperti seorang ibu yang melahirkan dalam sebuah Rimba Amniotik, dia tidak hanya sekedar mengeluarkan sebentuk daging yang tertancap di rahimnya. Dia bukan sekedar seorang ibu yang bertugas melahirkan dan mengasuh. Lebih dari itu, dia yang disebut janin itu dan kemudian anak pada sisi yang lainnya adalah Madre untuk sang ibu. Dalam hubungan ibu dan anak, keduanya saling melahirkan dan dilahirkan.
Banyak orang sering kebingungan dengan sosok Madre yang lahir dalam dirinya. Mereka kadang pesimistis dengan Madre yang telah memilih dirinya untuk menjadi. Sejuta umat itu terus menerus menyangkali dirinya, melawan arus, menipu diri, atau tidak berani berterus terang. Dalam gerakan perlawanan itu, dirinya sekian tersiksa dan sekian tersesat. Madre terus menerus memanggil dan menuntun sejuta umat itu untuk mengenal dirinya. Madre ingin dirinya dan sejuta umat itu berprokreasi, melahirkan dan dilahirkan. Namun, akibat melarikan diri, Madre itu hanya bisa tersimpan di sebuah kulkas beku. Orang itu pun tinggal sebagai sebuah toko tua yang mati.
Dee tidak berhenti pada dunia yang pesimistis. Dee justru sangat optimistis. Selama masih ada Madre di kulkas, sedangkan dirimu berkelana tanpa tujuan, Madre tetap akan setia menantimu untuk melahirkan dan dilahirkan. Dia terus memanggil dan menyadarimu dengan cara yang paling menyakitkan sekalipun. Sejak menyadari adonan hidup yang tersimpan di kulkas itu, hidup Tansen pun berubah. Dari Tan de Bakker menjadi Tansen de Bakker. 
Optimisme Dee juga sangat sosial. Madre bahkan memberi hidup pada sesamanya yang lain yang telah kehilangannya. Asalkan saja sang empunya Madre di kulkas itu menyadari miliknya yang paling berharga, melahirkan dan dilahirkan, dan mengajak sesamanya yang lain yang kehilangan Madre itu untuk sama-sama dilahirkan. Bagi Mei, dia telah kehilangan Madre. Tetapi Madre memanggil dirinya melalui Tansen. Bagi Pak Hadi, Bu Sum, Bu Cory, dan Bu Dedeh, Madre memang bukan milik mereka. Madre tidak memilih mereka. Tetapi Madre yang sosial itu menunjukkan kemurahan panggilan jiwanya untuk orang-orang yang mendukung sang empunya Madre. Mereka ada dalam hubungan saling memberi dan menerima, melahirkan dan dilahirkan dalam dan bersama Madre.
Dee akhirnya seolah-olah sedang berkata, “Berhentilah menjadi layang-layang. Mari, lihat, dan kenalilah Madre dalam dirimu. Dia telah memilihmu. Dia telah lahir dari mula dalam dirimu. Pakailah Madre untuk melahirkan dan mencapai kelahiran baru. Tinggalkanlah toko lama, konsep lama, pikiran usang, hati lapuk, tubuh lusuh. Kenakanlah kelahiran baru oleh difusi dan metamorforsismu bersama Madre.” 
Atas perkataan itu, setuju atau tidak, Dee telah menjadi Madre untuk prokreasi sejuta umat. Dan kita pun tidak berhak untuk memilih. Dee yang telah memilih kita!(*)