Senin, 25 April 2011

Mengurai Jejak Frangky Sahilatua

Selamat Jalan Orang Pinggiran
Mengupas jejak seni Frangky Sahilatua di Nusa Tenggara Timur, khususnya di bumi Manggarai tidaklah bisa lepas dari seniman Flores asal Manggarai Ivan Nestoman. Frangky pernah melukis suaranya di belantika Flores melalui pena seni Ivan Nestorman pada lagu bercampur bahasa Manggarai E Wada. Syair lagu yang ditulis Ivan Nestorman itu tidaklah jauh dari ciri seni yang dihayati Frangky sebagai seniman akar rumput.
Seniman akar rumput adalah sebuah pilihan. Frangky meninggalkan industri musik karena baginya industri musik di tanah air sudah tidak sehat. Dia tidak ingin dikategorikan sebagai seorang selebritas. Semata-mata menghibur, beranak dari satu popularitas kepada popularitas lainnya, berkubang kemewahan melalui citra topeng, lantas melupakan tiras hidup faktual yang pedih dan getir.
Atas pilihannya itu, Frangky dijuluki sebagai seniman Troubadour. Seorang penyanyi yang tidak menghitung-hitung berapa upahnya. Dia lebih memilih menyanyi sesuai panggilan hatinya, yaitu panggilan untuk menjadi corong dari kehidupan akar rumput. Bernyanyi untuk menyerukan masyarakat yang masih terlilit dalam kebodohan, kemiskinan, ketertindasan. Bernyanyi untuk mengkritik sikap pemerintah dan penguasa yang seolah-olah menutup mata dan lamban dalam menanggapi kondisi akar rumput tersebut.
Franklin Hubert Sahilatua lahir di Surabaya pada 16 Agustus 1953. Pendidikan  terakhirnya ditempuh di Akademi Akutansi Surabaya. Karya pertamanya sebagai seorang penyanyi dimulai dengan album pertamanya yang diberi judul Senja Indah di Pantai (1975), berduet dengan adiknya Jeanne Sahilatua.
Album pertamanya itu nyaris menguburkan impiannya sebagai seorang penyanyi karena tak laku di pasaran. Namun, setelah menyanyikan syair lagu Ali Topan (1976) yang diperkenalkan Teguh Esha, nama Frangky mulai melambung di belantika musik nasional. Bersama Jeanne, album kedua Frangky bertajuk Musim Bunga (1978) meledak di pasaran. Frangky dan Jeanne benar-benar menguasai jagat musik  Indonesia. Setelah album kedua itu, duet Frangky dan Jeanne kembali mengeluarkan album berjudul Lelaki dan Rembulan (1992) yang sekaligus menjadi album perpisahan Franky dan Jeanne. Setelah itu, nama Franky pun mulai surut.  
Sebenarnya Frangky tidak sedang surut. Ruah seninya sedang bermetamorfosis menjadi seniman akar rumput. Tepat pada saat dirinya mengalami puncak kariernya sebagai penyanyi, panggilan jiwanya tengah membenturkan Frangky pada sesuatu yang selama ini tengah dicari. Sesuatu yang sebelumnya dari kejauhan memanggil dirinya, mengetuk pintu hatinya. Namun, sesuatu yang samar-samar itu belum mau menampakkan dirinya karena masih terhalang oleh obsesi Frangky sebagai murni seorang penyanyi di sebuah industri musik.
Secara tidak sadar, Frangky memang telah menyiapkan dirinya dalam sebuah kepompong metamorforsis menjadi penyanyi akar rumput. Dalam duetnya bersama Jeanne, lagu-lagu Frangky tidaklah lepas dari kicauan alam seperti Senja Indah di Pantai (1975), Musim Bunga (1978), Kepada Angin dan Burung-burung (1978), Dan Ketuk Semua Pintu (1979), Panen Telah Datang (1980), Siti Julaika (1982), Di Ladang Bunga (1983), Rumah Kecil, Pinggir Sungai (1984), Biarkan Hujan (1989), Langit Hitam (1992), Lelaki dan Rembulan (1992),  dan Menyambut Musim Petik (1986).
Solonya pun tidaklah lepas pula bak sebuah kuas seorang pelukis yang mencintai alam yang indah. Di antaranya Balada Wagiman Tua, Gadis Kebaya (1984), Biarkan Hujan (1985), Anak Emas, Lelaki dan Telaga, Kemarin, Kemesraan (1988).
Kesahajaan alam memang menjadi tema dan perwakilan Frangky berkicau dan melukis di belantika musik Indonesia. Frangky memandang Indonesia sebagai sebuah lekuk kuas di tangan sang pelukis yang menatap alam Nusantara penuh indah dan harmonis. Selain karena tema-tema itu, suaranya yang merdu merupakan personifikasi yang lengkap Frangky bak burung yang berkicau di sebuah alam yang bersahaja. Harmonis tanpa masalah, kecuali cuma hamparan keindahan.
Namun, watak alam yang bersahaja, pelukis panorama, bahkan burung yang sedang berkicau itu berubah sejak metamorfosisnya lengkap. Bersama Iwan Fals, Doel Sumbang, Emha Ainun Najib, Frangky menjelma menjadi kupu-kupu yang sulit dijumpai bahkan di desa-desa karena alam dan habitatnya telah terecoki. Frangky hanya nampak sebagai kupu-kupu untuk kaum terpinggir di Terminal (1993), Orang Pinggiran (1997), Menangis (1999), Perahu Retak (1995). Bahkan Frangky ingin menjadi kupu-kupu yang selalu dinantikan akar rumput sebagai seorang pemimpin yang seharusnya piawai meramu harmonisasi bangsa melalui Aku Mau Presiden Baru (2007), Saatnya Berterus Terang (1998).
Frangky menyadari alam yang bersajaha, panorama bangsa yang indah dan harmonis tempat burung berkicau merdu di negeri ini sudah memudar. Gadis Kebaya, Lelaki dan Telaga, Lelaki dan Rembulan, Musim Bunga, Musim Petik telah berubah menjadi Orang Pinggiran, penghuni Terminal, dalam Menangis mereka meratapi Perahu bangsa yang sedang Retak. Sulit bahkan tidak ada lagi Kemesraan, karena Terus Terang sudah menjadi hal yang mahal. Di akhir hidupnya, Frangky bahkan telah merasa menjadi Anak Tiri Republik dan negeri ini telah menjadi kampung sirkus melalui Sirkus dan Pangan.
Untuk sebuah pelosok yang bernama NTT, Frangky bersama Ivan Nestorman musisi asal Manggarai, Flores pernah mendaraskan E Wada. Di kancah nasional, NTT tergolong provinsi yang tertinggal, termiskin, tetapi terkorup itu Frangky bernyanyi:
Kenapa harus ada yang disingkirkan
Kenapa selalu ada yang harus dikalahkan
Oleh kekuasaan, oleh kesewenangan
Saudaranya sendiri

Kenapa harus ada darah yang diteteskan
Kenapa harus ada penggusuran dan pemusnahan
Sedangkan di dalam kasih sayang Tuhan
Kita bisa berbagi

E wada, e wada, e wada, caul mori mese
E wada, e wada, e wada, caul mori mese
Sangged one lino de mori de ngaranta

Sambeng koeng lakog du toke kebe
Dadang koeg lako du lupi ngampang
Ada yang menangis, luruh hatimu
Ada yang merintih, nyenyakkah tidurmu

E wada, e wada, e wada, caul mori mese
E wada, e wada, e wada, caul mori mese
Sangged one lino de mori de ngaranta

Sedangkan burung-burung membangun sarang anaknya
Sedangkan gunung-gunung memelihara hutannya
Sangged one lino de mori de ngaranta

Yang dirundung sepi, jenguklah hatinya
Yang dirundung sunyi, sapalah jiwanya

Selamat Jalan Frangky “Orang Pinggiran” Sahilatua, namamu tetap terpatri penuh “Kemesraan” dalam sanubari kami.(*)

Senin, 18 April 2011

Kiblat Gereja adalah Kebangkitan

Orang-orang di seputar penyaliban Yesus punya pendapat yang berbeda soal peristiwa Golgota tersebut. Konspirasi dari penyaliban Yesus itu berawal dari Kaum Farisi, Ahli Taurat, dan Pemuka Yahudi. Mereka dari golongan cendikiawan masyarakat itu merasa terganggu dengan aksi Yesus dan para murid-Nya yang telah merebut gelombang simpati massa. Konspirasi itu berlanjut pada meja politik. Tanpa mau kehilangan muka dan status quo, tokoh politik Bangsa Yahudi mengambil moment itu sebagai pencitraan positif untuk Kekaisaran Romawi.

Kombinasi cendikiawan dan birokrat Bangsa Yahudi itu menyebabkan Yesus ditangkap. Dia lantas dijatuhi hukuman mati dengan cara penyaliban. Cendikiawan dan birokrat Bangsa Yahudi pun merasa menang. Mereka berhasil menghukum dengan cara menista Dia yang digadang-gadang banyak orang sebagai tokoh pembebas. Sang Pemberontak yang bernama Yesus itu pun mati di salib. 

Cara kekuasaan menghukum Yesus ‘diamini’ Bapa. Pergolakan Yesus di taman Getzemani menggambarkan betapa Yesus ingin berlari dari ‘cawan’ penderitaan tersebut. Tetapi Bapa menghendaki salib yang sudah dirancang kekuasaan itu menjadi cawan yang dipikul Yesus. Kehendak Bapa dan kekuasaan pun bertemu pada satu titik, pada satu peristiwa. Kendati dengan visi dan misi yang berbeda. 

Salib beralih pada cawan, agar darah dan ketubuhan yang dinistakan dari penyiksaan sampai wafat di Golgota itu tidak tumpah dan tercabik sia-sia. Namun, di mata cendekiawan dan birokrat Bangsa Yahudi salib adalah penistaan, hukuman, dan si peniup pluit pemberontakan itu berhasil dimatikan di salib.

Antara tumbal dan cawan, peristiwa penyaliban Yesus seketika membelah masyarakat Yahudi dalam tiga kelompok. Mereka yang percaya pada cawan memposisikan salib Yesus sebagai bagian dari rencana keselamatan Bapa bagi manusia, yakni sebuah misi keselamatan yang melampaui dimensi ragawi kepada Kerajaan Allah. Salib adalah cara pandang baru manusia atas kehidupan, terutama pada visi kesetiaan terhadap Kerajaan Allah. Kendati harus mati di salib, kesetiaan pada Kerajaan Allah justru menguliti kerapuhan dan dimensi ragawi manusia kepada kebahagiaan abadi.

Kelompok berikut memandang salib semata-mata sebuah peristiwa penyiksaan seorang pemberontak. Tidak ada yang istimewa dari peristiwa itu, kecuali memberikan efek jera secara individual bagi setiap orang yang berencana memberontak. Salib adalah contoh kesia-siaan demi kesia-siaan dari usaha menentang kekuasaan.

Sementara itu, kelompok terakhir adalah massa mengambang, yang tidak berpihak pada kelompok mana pun. Massa yang sering hanya ikut arus, tidak punya identitas, mudah berpihak pada satu kelompok ke kelompok lainnya, yang mudah dimanipulasi, disetir, bahkan dibodohi.

“Mereka yang berteriak-teriak untuk salibkan Dia itu, sebagian pulang dengan menepuk-nepuk dadanya dari Golgota. Tetapi, tidak lantas mereka menyesaki rumah Perjamuan Terakhir. Toh, salib sebagai cawan dan peringatan akan Aku itu dalam perjalanan panjangnya setelah Yesus disalibkan hidup dan diwariskan dalam kelompok kecil, pada Siloam yang anawim.”

Semula kelompok kecil dari dua belas rasul dan Maria, ibu Yesus juga goyah pascapenyaliban Yesus. Namun, penampakkan-Nya pada beberapa tempat kepada beberapa orang hingga Thomas si penyangsi itu mencucukan jarinya di luka paku dan tombak Yesus, kepercayaan itu lama kelamaan melahirkan pengikut. Bahwa kematian dalam bentuk penyiksaan itu tidaklah menguburkan Yesus. Dia telah bangkit dan memompakan optimisme iman yang kuat terhadap kebenaran yang sudah diajarkan Sang Putra. Kematian bukan lagi penghalang, siksa raga tidaklah efek jera bagi pengikut-Nya mewartakan kebenaran iman.

Gerakan dua belas rasul itu menjadi besar dalam optimisme kepada kebangkitan, bukan kepada kematian. 

Misi dua belas rasul kini menjelma menjadi misi gereja. Artinya, gereja selalu harus berkiblat pada kebangkitan bukan pada kematian.

Kebangkitan mengandalkan sikap was-was, selalu dalam posisi berjaga-jaga. Seperti yang ditunjukkan gadis-gadis pintar dan bukan gadis-gadis yang bodoh. Sikap was-was dan berjaga-jaga yang khas Gereja adalah refleksi, berpuasa, dan bertobat. Kembali ke padang gurun, si sebuah puncak kesunyian untuk menilai diri sendiri dan membangun jarak dengan dunia.

Gereja yang dalam sejarahnya selalu diusung oleh filsafat seharusnya sangat humanis. Ciri kerja filsafat yang telah terbukti mengubah pandangan Gereja adalah semangat meragukan yang ditunjukkan Sang Guru terhadap tradisi dan kitab suci Bangsa Yahudi. Filsafat Sang Guru berhasil memasak kembali tradisi dan kitab suci Bangsa Yahudi di dapur refleksi sehingga cara pandang yang lama itu diperbarui. Gigi ganti gigi dibaruai menjadi cinta kasih. Hukum dan pembuangan menjadi pertobatan. Kematian menjadi kebangkitan. Perjanjian lama menjadi perjanjian baru.

Inkarnasi dalam diri Yesus Kristus adalah bagian dari otokritik Trinitas. Bapa Putra dan Roh Kudus itu merasa perlu “memisahkan persenyawaan-Nya” dan mengutus Putra untuk menjadi manusia. Sepertinya Bapa Putra dan Roh Kudus tengah meninggalkan Kemah Tabornya dan turun ke bumi. 

Otokritik itu sangatlah radikal. Dimulai dari cerita Maria, Bunda Yesus yang mengandung dari Roh Kudus dan berakhir tragis di puncak Golgota. Beberapa kali Putra terus menerus dicobai untuk menghentikan jalan baru filsafat-Nya melalui otokritik itu baik di padang gurun maupun di taman getzemani. Namun, konsistensi dari otokritik itu membuahkan hasilnya. Kebangkitan Putra menyebabkan otokritik Trinitas itu mengubah pesimisme dan ketidakpercayaan menjadi iman yang hidup, dari perjanjian lama kepada perjanjian baru.

Bapa Putra dan Roh Kudus bisa saja egois dan membiarkan manusia terus menerus hidup dalam hukum perjanjian lama yang melegitimasi hukuman sebagai ciri kelahiran baru. Cerita pengusiran manusia dari taman eden, Kain dan Habel, air bah, Si Sulung dan Si Bungsu, tulah demi tulah adalah bagian dari cara pandang perjanjian lama yang menghukum kebersalahan manusia supaya menjadi tahir. Tuhan lantas dipandang sebagai Raja Berkuasa di sebuah Tahta Kebesaran yang ditakuti karena punya kekuasaan untuk menghukum. 

Namun, otokritik Trinitas itu justru melupakan egoisme dan arogansi. Trinitas bahkan mengatasi kepentingan-Nya untuk bersedia menjadi manusia. Dari otokritik, Sang Putra lantas beralih kepada sikap kritis melalui inkarnasi. Langkah demi langkah berikutnya adalah mengajak manusia melalui bahasa, pola pikir, dan tindakan manusia untuk mengikrarkan perjanjian baru. Perjanjian baru itu terutama bersumber pada cinta kasih dan pertobatan, bukan kekuasaan dan hukuman. Tuhan lantas menjadi Imanuel, yaitu Allah beserta kita. Yang hadir dan menjiwai hati manusia dari sisi terdekat dan terdalam. Personal dan manusiawi.

Dalam karya-Nya, Sang Putra selalu melalukan dua hal tersebut. Otokritik dan kritik. Dari bukit, di sebuah kesunyian kepada massa, keramaian, dan khalayak. Bahanya-Nya pun disederhanakan. Dari perintah, larangan, tulah kepada perumpamaan seperti si penabur, koin, penjala ikan, domba, gembala, dian, biji sesawi. Tuhan ingin mewartakan dengan cara yang teramat dekat dan personal.

Dunia membutuhkan penampakkan gereja untuk menjawabi permasalahan salib dan penderitaan kehidupan. Penampakkan itu hanya bisa muncul jika gereja senantiasa kembali kepada puncak kesunyian untuk menilai diri dan membangun jarak dengan dunia. Melalui refleksi, berpuasa, dan tobat, gereja diharapkan mampu memperlihatkan wajah kebangkitan Yesus dalam penampakkannya. Supaya semua orang termotivasi untuk mengimani kebenaran iman akan Kristus.

Kemapanan adalah salah satu bentuk kematian. Dalam kemapanan tidak ada kebangkitan, apalagi penampakkan. Gereja gagal mengajak anggotanya berkiblat pada kebangkitan. Jika gereja menafsirkan jaraknya dengan dunia melalui cara pandang yang mapan, gereja pun berhenti berkiblat pada kebangkitan. Gereja justru mengantarkan banyak orang pada status quo, pada kematian sejumlah besar orang. 

Ahli Taurat, Orang Farisi, dan birokrat Yahudi gagal melihat peristiwa salib sebagai jembatan menuju kebangkitan karena selalu terperangkap dalam status quo. Bagi mereka salib adalah kematian tanpa kebangkitan dan penampakkan. Jika gereja pun memilih berdiam dalam status quo, gereja pun tidaklah beda dari Ahli Taurat, Orang Farisi, dan birokrat Yahudi.(*)