Sebuah stasiun televisi sempat mewawancarai ibunda Susno Duadji sebelum memulai persidangan pada Rabu (29/9). Dari pengakuannya, ibunda Susno Duadji sangat sedih dengan kondisi carut marut masalah yang membelit anaknya. Susno Duadji, sesuai pengakuan ibundanya, merupakan anak yang sangat baik di mata keluarga.
Lantas doa sang ibunda pun keluar. “Saya berdoa mudah-mudahan Allah memberi jalan yang terbaik buat ananda. Sekarang ananda sedang diuji. Mudah-mudahan ananda diselamatkan Allah dan menjadi semakin beriman terhadap Allah. Mudah-mudahan Allah menyelesaikan semua masalah ini dengan baik,” ujar ibunda Susno Duadji.
Ibunda Susno Duadji tidak sedang membohongi publik tatkala mendaraskan doa untuk anaknya. Dari aura wajahnya, dia tidak sedang berkepentingan untuk menarik perhatian publik supaya merasa senasib sepenanggungan, bahkan mengharapkan dukungan atas penghakiman Susno Duadji. Ibunda Susno juga tidak sedang bertindak sebagai ‘penyapu halaman’ yang menjustifikasi keberadaan dan ucapannya untuk memberi citra positif terhadap Susno Duadji pada persidangan tersebut. Kehadirannya semata-mata untuk memberikan dukungan moril pada anaknya.
Kendati demikian, doa yang mengalir dari bibir ibunda Susno Duadji serentak mengalirkan gelombang besar terhadap sisi keberimanan dan moralitas bangsa ini. Ketakutannya terhadap Allah menunjukkan betapa dalamnya keberimanan dan moralitas ibunda Susno Duadji. Pada satu sisi, dalam pandangan keberimanan ibu, Susno saat ini sedang diuji. Ujian itu mesti dilalui Susno. Lantas, (mudah-mudahan) Susno menjadi semakin beriman terhadap Allah. Karena Allah akan menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Allah seperti yang ditampilkan pada rangkaian doa ibunda Susno Duadji tidak lain adalah Allah yang mahakuasa, maha adil, dan maha baik. Kekuasannya yang maha besar itu seharusnya menisbikan semua kekuasaan lain, allah-allah lain, karena hanya satu Allah yang mahakuasa. Artinya, keberhalaan pada kekuasaan yang lain melampaui kekuasaan Allah merupakan perbuatan tercela, terutama ketika dengan sengaja dilakukan bertentangan dengan buah keberimanan dari ajaran dan perintah Allah.
Keberhalaan itu bisa muncul akibat manusia haus akan kekuasaan, materi, dan kehormatan sehingga kepatuhan dalam keberimanan yang mutlak dan satu-satunya dipasrahkan pada Allah yang mahakuasa itu akhirnya disingkirkan. Keberhalaan itu pun terang-terangan melawan kemahakuasaan Allah, karena mementingkan diri sendiri, kelompok, atau golongan demi kepentingan tertentu.
Ada rangkaian paralel antara Allah yang diimani Ibunda Susno Duadji sebagai Allah yang maha baik dengan sosok Susno Duadji di mata ibundanya. “Susno Duadji itu anak yang baik di mata keluarga.” Arti baik dalam kategori profil Susno yang diungkapkan ibundanya tidak lain bersumber pada keberimanan ibunda akan Allah yang maha baik. Artinya, Susno bukanlah kejelekan absolut, yang sejak awal adanya selalu menjadi biang kerok kejahatan. Susno itu baik, sudah pernah, sekarang, dan yakin akan baik di masa mendatang. Hidup dan kebaktian Susno, termasuk hati dan pikiran kemanusiawian Susno tidak semata-mata terdiri atas kejahatan.
Jika saat ini Susno tengah diadili, ibundanya menyakini bahwa Susno sedang diuji. (Mudah-mudahan) Susno semakin beriman dengan kejadian ini, karena Allah akan menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Bagi ibu, Allah itu maha adil. Pengadilan Allah selalu bukan menghukum tetapi dalam arti diuji. Pengujian itu bermaksud menarik kembali sisi spiritual Susno supaya kembali beriman pada Allah. Dalam masa pengujian itu, Allah akan menunjukkan sifat-Nya yang maha adil dan memulihkan kembali citra dan kemakhlukan Susno. Karena itu, Susno diajak untuk keluar dari berhala, dari perhambaan pada allah-allah lain, untuk tunduk pasrah pada keberimanan pada Allah yang mahakuasa, mahabaik, dan maha adil tersebut.
Pengadilan manusia cenderung berlawanan dengan motivasi, keberimanan, dan moralitas ilahi. Pengadilan manusia sering menghadirkan stigma dan mematikan pucuk harapan manusia untuk bertumbuh kembali setelah berguguran. Pengadilan manusia mendakwa, memidanakan, menjatuhkan hukuman, dan memenjarakan. Sementara itu, pengadilan ilahi menobatkan untuk membebaskan. Pengadilan manusia memecat, sedangkan pengadilan ilahi menjadi manusia baru.
Harapan ibu, Susno bisa keluar dari pengadilan manusia melihat kejadian dirinya sebagai pengadilan moral, pengadilan ilahi. Dalam dirinya, Susno hanya perlu membebaskan prasangka sendiri sehingga pucuk harapan yang pernah hidup dan kini meredup layu, kembali menemukan tanah suburnya sehingga bertumbuh lagi menjadi manusia baru. Penjara manusia hanyalah jebakan dengan seutas tali pada leher. Tetapi, jika berhasil keluar dari prasangka penjara manusia itu, setiap orang yang terpenjara akan terlahir baru sebagai manusia yang bertunas.
Harapan ibu juga menjadi harapan semua orang. Sebenarnya. Karena semua orang tidak ingin dihakimi, dipenjara, melainkan dibebaskan dan memperoleh pertobatan.(*)
Rabu, 29 September 2010
Pengadilan Moral di Mata Ibunda Susno Duadji
Labels:
refleksi
Rabu, 08 September 2010
Gereja Perlu Bertobat
Sebelum Mengkritik
Gereja masa kini mentautkan dirinya dengan dunia politik, ekonomi, dan sosial. Sikap gereja itu bersumber pada keprihatinan atas pencapaian visi keadilan dalam kerangka rencana keselamatan ilahi.
Sebagai nabi yang menyuarakan rencana keselamatan ilahi, gereja bersandar pada definisi already but not yet. Bahwa keselamatan itu mesti sudah dimaklumkan kepada segala bangsa melalui gerbang surga yang dibuka Yesus pada peristiwa golgota dan kebangkitan di hari ketiga, yang merupakan puncak dari pengalaman Bapa-Bapa Bangsa dan Bangsa Israel. Karena itu, keselamatan juga mesti dimaklumkan saat ini (in present), seperti nas yang digenapkan Sang Putera itu dengan berpihak pada keadilan dan kebenaran.
Gereja juga selalu berpegang pada misterium lunae. Suara kenabian itu semestinya dibagi-bagikan secara cuma sebagai pancaran dari Sang Logos yang satu dan mahakuasa. Artinya, kebenaran yang terpancar itu (logos spermatoikos) tidak berasal dari diri gereja, melainkan merupakan pantulan dari Sang Guru. Gereja adalah bulan yang tidak bisa bersinar tanpa matahari, tanpa melekat, berguru, berdialog, dan mengambil bagian secara personal (ekaristi) bersama Sang Guru. Kebenaran gereja selalu bersumber pada kebenaran Sang Guru, tidak pada kemauan manusiawi, tetapi bersandar pada iluminasi dan prokreasi dengan Sang Guru.
Dalam terang itu, Gereja perlu merenungkan kembali arti inkarnasi. Bukan sebagai peristiwa Allah yang mendatangi manusia di Bethlemen, tetapi lebih kepada keyakinan membangun dialog melalui pikiran, peristiwa, dan denyut kehidupan manusia. Inkarnasi sebagian berarti inkulturasi, sosial karitatif, profetis, dan altar. Dalam semangat itu, gereja selalu berada dalam dua kutub. Pada satu sisi, gereja aktif berkiprah di tengah pergumulan, entah dalam komunitas, kerumunan, maupun chaos. Sedangkan sisi lainnya, yaitu kembali ke bukit, ke tengah kesunyian untuk berdoa dan bergumul pada persekolahan para murid.
Puncak dari kutub pertama adalah peristiwa perkawinan di Kana atau peristiwa roti dan ikan yang digandakan untuk memberi makan lima ribu orang. Peristiwa salib merupakan teladan spiritual yang heroik dan merupakan salah satu puncak dari karya profetis. Sementara itu, perjamuan malam terakhir adalah simbol perayaan umat, makan dan minum dari hasil kebun dan ternak.
Setelah Sang Guru mengajar dan ingin mengasingkan diri dengan perahu ke tempat sunyi, banyak orang malah mengikuti Dia. Hingga menjelang malam, orang banyak itu tidak juga beranjak pergi. Lalu, murid-murid Sang Guru meminta Dia untuk menyuruh banyak orang itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.
Namun, Sang Guru berkata lain, “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Lalu para murid-Nya memberikan lima roti dan dua ikan kepada Dia, dan Dia pun memecahkan roti sehingga semua orang bisa makan.(bdk. Matius 14:13-21). Sang Guru telah memberikan contoh bahwa gereja tidak saja berkotbah, mengajar, mengkritik, tetapi wajib memberi makan banyak orang.
Puncak dari kutub kedua adalah peristiwa di Gunung Tabor, ketika Tuhan berubah rupa. Juga peristiwa Emaus. Ketika Yesus mengajak Petrus, Yakobus, dan Yohanes ke Kemah Tabor dan berubah rupa di sana, mereka tidak menemukan Yesus yang mereka kenal di dunia. “Ini Elia, Musa, atau siapa?” Dalam kebingungan tersebut, mereka merasa ada satu suasana lain dari sisi keterbatasan kemanusiaan mereka. Ada rasa damai, nyaman, sebuah pengalaman kerohanian yang tinggi, yang dialami sebagai katarsis iman, melampaui pengalaman keseharian.
Akhir dari cerita itu, Yesus memberikan gambaran tentang masa depan menyangkut nasib-Nya. Ia akan menderita, mati, dan bangkit pada hari ketiga. Yesus berbicara apa adanya. Tidak juga memaksa ketiga rasul-Nya itu percaya. Dia membiarkan kemanusiaan Petrus, Yakobus, dan Yohanes mencerna sendiri. Tidak mudah untuk mengerti memang. Karena pikiran ketiga rasul itu sangat terbatas, atau terpenjara dalam keterbatasan pengetahuan dan kemauan untuk belajar. Padahal, pintu masuk dalam katarsis iman tersebut sudah tersembul dan ketiganya tinggal melangkah untuk menikmati pencerahan baru. Petrus, Yakobus, dan Yohanes lebih memilih memandang peristiwa tersebut dengan kaca mata budaya mereka. Ketiganya tidak berhasil masuk dalam “circumtance” kemah Tabor. Kemah Tabor, bagi mereka, adalah dunia hunian biasa yang juga terisi oleh pandangan lokal yang membudaya, mengakar kuat, dan sulit untuk dilepaskan.
Kalau pun Yesus berubah rupa di Kemah Tabor, melampaui raga manusiawi-Nya dan muncul dengan rupa baru yang suci, itu berarti Yesus mau supaya manusia menyelam ke dasar kemanusiawiannya. Mencoba menemukan sisi terdalam dari keterbatasan tersebut. Lantas, mengakui bahwa cita-cita ilahi sebenarnya yang terkandung di dalam raga yang rentan itu adalah berada dalam kondisi purna, yang ilahi dan yang tanpa batas. Sisi terdalam tersebut tidak pernah ditemukan dalam rupa pakaian modern yang gemerlapan, atau dalam suasana ad presens. Yang Yesus tunjukkan adalah sebuah kepekaan untuk “berganti, bertobat, menyadari keadaan lebih dari yang terjadi,” dari yang mudah rapuh, terpenggal, terbatas, pada sesuatu yang sifatnya tidak terbatas, lebih tahan lama, menuju sumber inspirasi baru. Atau dari lipstik pembicaraan, menuju pada berita yang layak untuk diwartakan. Dari yang tidak sekedar sensasional, meminjam Ratzinger, menuju pertobatan yang radikal.
Pewartaan di mimbar berbeda dengan media tulis. Mimbar sarat etika, post factum, bahkan bersifat eskatologis. Sementara itu, media tulis mengandalkan durasi in factum, tak harus bersentuhan dengan pesan moral, demi memenuhi hasrat ingin tahu sesaat. Boleh jadi media tulis memberi jejak pada ingatan, tetapi yang tersimpan hanyalah pesan pada sebuah kepentingan. Tidak lebih untuk mengklaim sebuah tujuan, atau tidak selamanya mengabdi pada kebenaran. Karena itu, media tulis selalu bertangan besi, atau menggembirakan atau menyakitkan. Tidak ada harapan untuk masa depan dengan hasil akhir yang melegakan.
Dalam buku Rapporto Sulla Fede, yang berisi wawancara wartawan Italia Vittorio Messori dengan Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) soal rahasia ketiga dari pesan Bunda Maria di Fatimah kepada tiga anak , Sang Kardinal mengatakan:
“Karena, menurut pertimbangan para Paus, isi rahasia tersebut sama sekali tidak menambah sesuatu yang baru bagi pewahyuan Kristen. Isi rahasia tersebut berupa seruan radikal kepada pertobatan, kesulitan berat dari sejarah, bahaya-bahaya yang mengancam iman dan hidup orang Kristen, dan juga kemudian bagi dunia. Jika tidak atau belum dipublikasikan, paling tidak untuk sementara waktu, semata-mata untuk menghindari orang beriman melihat secara membingungkan kenabian religius sebagai hal yang sensasional…”
Rahasia ketiga dari penampakan tersebut merupakan yang paling ditunggu banyak pihak. Keterpikatan tersebut hanya bertolak dari perasaan ingin tahu, dan cenderung melupakan latar belakang religius dari penampakan tersebut. Peralihan zaman telah menggeser persepsi manusia tentang arti kenabian. Dalam arti yang paling sempit, kenabian itu menjadi sekedar informasi tentang nasib duniawi dan bukan surgawi.
Materialisme telah mengubah kultur religius manusia menjadi sangat duniawi. Kiblat kerohanian yang sejak awal diharapkan lahir dari persemaian keluarga, telah bergeser pada isu relativisme. Pada sejarah keselamatan bangsa Israel, Musa mengukuhkan kenabiannya melalui tiang awan dan tiang api. Tanda-tanda duniawi tersebut tidak pernah dibaca secara harafiah. Tiang awan dan api tersebut hanya merupakan figurasi material dari iman akan keselamatan. Musalah tongkat di tangan Yahwe.
Imanensi yang berkulturasi pada materialisme yang humanis dan rohaniah berpuncak pada peristiwa inkarnasi Allah. Semua benda dalam jagat seolah-olah terserap dalam imanensi tersebut. Tanda-tanda kemahabesaran dalam jagat semesta itu seperti tidak berdaya, karena imanensi puncak tersebut menjelaskan secara sempurna awal dan akhir kehidupan. Tidak ada lagi pemberitaan yang sifatnya spekulatif. Semua pemberitaan dari Abraham, Ishak, Yakub, hingga Musa berakhir pada inkarnasi tersebut.
Namun, jauh sesudah pemakluman inkarnasi itu, manusia kembali terjebak pada arus formalisme yang material. Sesuatu yang imaterial, bahkan kerohanian sifatnya disisipkan sebagai pepesan. Kepentingan dan status quo lebih mendominasi daripada kerelaan untuk berbagi. Formalisme yang berujung pada materialisme absolut menisbikan religiositas menjadi berita sensasional. Karena segala sesuatu mesti dinyatakan dalam bentuk pada ruang dan waktu, dan bukan bersandar pada harapan yang belum pasti. Yang berharga adalah in factum, aktualitas, bukan post factum dan yang eskatologis.
Paus Yohanes Paulus II, dari sebelumnya Paus Pius IX dan berkelanjutan pada Paus Benedictus XVI saat ini, menyadari pentingnya menyampaikan informasi secara humanis, berkulturasi, dan beretika. Informasi tidak boleh berguguran seperti daun rontok, atau pada layang-layang yang menggantungkan panorama ketinggiannya pada ke mana arah angin. Bersamaan dengan itu, pandangan dunia yang lebih humanis dan kosmologis kembali memayungi cara dunia beraksi. Karena itu, informasi membutuhkan tubuh yang lebih terdidik, dan menjadi sarana penyampaian kabar gembira dan pewahyuan.
Gereja dan dunia berada dalam relasi yang unik. Gereja membutuhkan informasi untuk mendaratkan konsep teologisnya secara aktual. Liturgi inkulturasi di Gereja Asia-Afrika atau teologi pembebasan Amerika Latin merupakan contoh konkrit arus kuat desakan informasi. Sementara itu, dunia membutuhkan teologi sebagai langit pemikiran dan tubuh untuk aspek teleologis. Informasi tidak bisa lepas meluruh hanya sebagai informasi. Pada saat manusia membutuhkan pencernaan yang lebih matang, teologi merupakan cakrawala pandang yang memberikan etika penilaian. Model informasi yang terserap sudah merupakan hasil dari pencernaan lanjut di perut teologi.
Dalam relasi tersebut, menimbang Sang Guru pun tidak pernah mengabaikan kewajibannya pada dunia dan negara berilah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya pula, Gereja pun mestinya selalu peka terhadap tulisan, berita, dan informasi soal dunia. Dalam kepekaan tersebut, Gereja pun turut mengubah perwajahan dan pewartaannya menjadi lebih mendunia. Artinya, pertobatan tidak hanya sekedar monopoli ruang pengakuan. Inkarnasi hanya sebatas perayaan 25 Desember. Pertobatan mesti melampaui jeruji pengakuan dan menembus arti sempit yang semata-mata kultis. Pertobatan juga tidak sekedar mengakui dosa, tetapi juga mengakui keterbatasan cara pandang dan aksi. Karena itu, Gereja mesti tetap belajar, menjadi murid dari kesebelasan rasul menuju pada keterbukaan cara pandang yang baru.(*)
Labels:
refleksi
Jumat, 03 September 2010
Jangan Ceburkan Harmonika Beta!
Harmonika yang tercebur ke sungai menjadi puncak kemarahan Merry (Griffit Patricia) atas kenakalan Carlo (Yehuda Rumbini). Alat musik tiup itu menjadi melodi kedekatan Merry terhadap kakak tersayangnya Mauro (Marcel Raymond) yang sudah terpisah dalam rimba tak tentu. Tidak ada lagi harmonika yang menjadi jembatan kerinduan Merry atas Mauro. Carlo pantas dibenci karena memutuskan jembatan kerinduan Merry atas kakaknya Mauro.
Peristiwa revolusi kemerdekaan tanah Timor Timur atau yang lebih dikenal sebagai Timor Leste yang resmi memisahkan diri dari bumi pertiwi menyebabkan keluarga bahagia Tatiana (Alexandra Gottardo) tercerai berai. Sesungguhnya Tatiana, Merry, dan Mauro tidak pernah memilih menjadi pengungsian. Predikat itu dengan serta merta melekat pada diri keluarga itu setelah mereka memilih setia pada Indonesia. Ironis memang, karena sebelumnya mereka adalah warga negara Indonesia, hidup nyaman dan bahagia. Namun, ketika mereka kembali menegaskan dirinya sebagai warga negara Indonesia, memilih setiap pada Pancasila dan Merah Putih, mereka menjadi pengungsi di tanah airnya sendiri.
Nasib Carlo sebenarnya tidak lebih tragis dari kehidupan Tatiana, Merry, dan Mauro. Kalau Merry masih memiliki Tatiana dan Mauro, Carlo adalah sebatang kara. Ayahnya mati dalam perang revolusi, sedangkan ibunya meninggal oleh minimnya perhatian dan kepedulian bangsa ini terhadap nasib saudara seatapnya sendiri. Hidup di bawah standar kesehatan, miskin pendidikan, miskin sandang, pangan, dan papan adalah gambaran dari ongkos yang mesti diterima mereka yang memilih setia pada negara itu di barak pengungsian. Bahkan untuk sebuah cita-cita pun, Carlo tidak sanggup menyebutkan jati dirinya di masa depan karena tenggelam dalam depresi luar biasa atas nasib sebatang kara dirinya itu. “Saya punya cita-cita hanya mau supaya saya berkumpul dengan bapa dan mama,” ujar Carlo.
Film Tanah Air Beta garapan sutradara Ari Sihasale sekurang-kurangnya sedang mengurai dua harmonika yang tercerai berai. Tidak ada lagi lagu Tanah Air Beta. Tidak pula untuk Kasih Ibu. Harmonika itu telah tercebur, karena kecintaan para pengungsi diperbatasan itu tengah dikianati oleh saudara sebangsanya sendiri, bahkan oleh negaranya sendiri. Mereka memilih tetap tinggal di rumahnya Indonesia sebagai Tanah Air Beta, tetapi Indonesia malah memberi mereka identitas baru sebagai pengungsi.
Pilihan untuk kembali ke Indonesia menyebabkan Ayah, Ibu, dan anak-anaknya tercerai berai. Kebahagiaan sebagai satu keluarga serta merta dicabut dan dicabik-cabik. Ayah mencari ibu dan ibu mencari anak-anaknya. Sementara itu, Merry, Mauro, dan Carlo kehilangan masa ditimang dan dipeluk kedua orang tuanya, kehilangan pengalaman eksistensialnya sebagai kuncup yang baru tumbuh yang seyogyanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Demikian nyanyian Kasih Ibu tidak lagi harmonis, bahkan sulit untuk diperdengungkan karena harmonika itu telah tercebur.
Benar bahwa Ari Sihasale tidak berani mengeksplorasi terlalu jauh soal tragis dan pahitnya memilih pulang ke Indonesia sebagai Tanah Air Beta, ketimbang berdiam di Timor Lorosae. Atau, adakah kekecewaan para pengungsi itu memilih pulang ke Indonesia tetapi toh menjadi pengungsi. Benar bahwa film ini seolah cerita pendek yang tidak cukup durasi, dengan cerita yang mudah habis dan sederhana. Seperti sebuah dokumenter, laporan apa adanya yang diberi sinopsis.
Tetapi tindakan Ari Sihasale tersebut sangat humanis. Penceritaan ulang atas nasib tragis dan pahitnya sebuah pengalaman manusia bisa berubah menjadi penghakiman kedua yang memosisikan tokoh dari cerita yang diangkat itu sebagai korban. Penggal kisah terkait pengalaman pahit dan getir manusia yang diceritakan ulang sifatnya mesti membebaskan dan jangan sampai didramatisir sehingga mereka yang berada dalam kisah itu kembali merasa kecewa, dikhianati, rendah diri, dan menyerah dalam hidup. Karena alasan itulah, Ari Sahasale lebih memilih ‘mudah habis’ dan ‘sederhana’ ketimbang mesti harus memberi tangis dan darah kesekian kalinya pada para pengungsi.
Tujuan Ari Sahasale adalah, Merry mesti mendapatkan kembali harmonika yang sudah tercebur. Tanah Air Beta mesti dinyanyikan dengan harmonika yang indah, penuh kebanggaan. Sementara itu, Kasih Ibu menjadi melodi kasih dari bahagianya sebuah keluarga dengan kelahiran baru setelah khaos.
Kalau Carlo, dalam tragis dan keterbatasannya bisa menghadirkan kembali harmonika Merry, menemani dan membebaskan Merry dari kedukaan dan nasib tragisnya dengan melupakan diri sendiri, mengapa bangsa ini tidak bisa berlaku yang sama? Kalau Carlo dengan sepenuh hati menyanyikan Kasih Ibu untuk perjumpaan Merry dan Mauro, selanjutnya membebaskan Tatiana dari rasa bersalah sebagai ibu, mengapa bangsa ini tidak demikian?
Carlo sebenarnya tidak mengharapkan apa-apa dari keikhlasannya menemani Merry, kecuali untuk mengembalikan harmonika yang sudah tercebur. Tetapi yang diperoleh Carlo dari Merry adalah baju baru, dari celengan Merry. Sebuah celengan dari kamp pengungsian dan baju yang sudah disudah dipersiapkan Merry sebagai hadiah terindah untuk kakak tersayang.
Pemberian diri Carlo dibalas Merry dengan kerelaan untuk memberi identitas baru pada Carlo. Secara tidak langsung Merry ingin mengatakan, “Carlo, kau juga orang yang saya kasihi sama seperti saya mengasihi kakak saya Mauro. Kenakan baju baru ini dan kau menjadi kakak saya juga.” Carlo tidak sebatang kara lagi. Dia sudah menemukan keluarga barunya. Harmonika yang tercebur itu kini ditemukan kembali.(*)
Labels:
resensi
Langganan:
Postingan (Atom)